Thursday, June 4, 2009

Orang Jahat, Orang Teraniaya


Gw tau, setelah tulisan gw ini dibaca oleh orang banyak, akan ada banyak yang mau memaki gw dan nyebut gw ngga punya hati.
Yang mana itu tak mungkin, coz Tuhan tau persis, kalo gw beneran ngga punya hati alias liver, darah gw ngga akan ngalir, gw pasti ngga akan idup sekarang dan ngga akan bisa nge-blog.

Gw baca koran tiap hari. Dari seluruh rubrik yang ada di koran, gw paling benci rubrik Surat Pembaca.

Koran atau majalah bikin rubrik Surat Pembaca tuh maksudnya buat muat saran atau kritik pembaca terhadap media itu. Misalnya, "Setelah baca majalah N, saya jadi terinspirasi untuk belajar fotografi karena saya ingin memotret sebagus fotografer majalah N." Atau, "Yang terhormat Harian K, coba deh tolong yang diberitakan jangan cuma capres F melulu. Mbok sekali-kali artikelnya yang ditonjolin tuh tentang capres Z atau capres Q, napa?"

Tapi dewasa ini rubrik Surat Pembaca malah dipenuhi surat-surat komplain mengenai perusahaan-perusahaan layanan umum yang jelas ngga ada hubungannya dengan media tersebut. Debt collector bank A salah nagih melulu, AC-nya bis B soak, atau supermarket C salah nulis label harga barang. Kadang-kadang gw mikir, ini enaknya ganti aja rubriknya, jangan dinamai Surat Pembaca, tapi dititelin Kolom Pengaduan. Afdol kan?

Dari macam-macam perusahaan yang diprotes konsumen itu, ngga ada yang bikin gw gusar selain protes terhadap kaum kolega gw sendiri. Apalagi kalo bukan komplain mengenai pelayanan rumah sakit?

Sering terjadi pasien masuk rumah sakit, udah diladenin baik-baik, ngga taunya pasiennya protes. Isi protesnya macem-macem, mulai dari somasi kepada dokter atau perawatnya lah, dipalakin tarif mahal lah, sampai tuduhan malpraktek. Gw ngerti sih orang sakit itu emang kadang-kadang suka nggak sopan, berkat kondisi jiwanya yang terganggu, tapi rese banget kalo mereka ngadu ke media massa lewat surat pembaca. Dan koran selalu memuatnya, hanya berdasarkan fotokopi KTP si pemrotes, yang bahkan belum tentu juga KTP-nya asli.

Padahal, belum tentu pula rumah sakitnya yang salah. Kadang-kadang ini hanya masalah kesalahpahaman berkat miskomunikasi antara pasien dan rumah sakit, yang mestinya bisa diselesaikan baik-baik dengan musyawarah (bukan duit damai). Tapi keterlibatan media massa malah memperkeruh suasana, dengan memuat surat yang kesan isinya sangat memojokin rumah sakit, padahal belum tentu juga rumah sakit itu telah melanggar standar prosedur yang udah ditetapkan oleh asosiasi rumah sakit nasional. Surat yang mojokin sepihak itu dibaca khalayak luas, dan ngerontokin citra rumah sakit itu di mata masyarakat.

Gw ngga memungkiri rumah sakit bisa tolol. Sebagai mantan kuli rumah sakit, gw bisa deretin banyak kelakuan minus rumah sakit yang cukup nyebelin: Dokter yang ngga komunikatif, perawat yang jutek, antrean yang lelet, kamar opname yang panas, asuransi yang berbelit-belit, sampai ruang tunggu yang menyiksa keluarga pasien.

Tapi gw juga harus bilang bahwa pasien juga pegang andil dalam ketidakpuasan yang dialaminya sendiri. Mereka jarang nanya ke dokternya kenapa kudu disuntik, kenapa sakitnya bukan sembuh malah tambah parah. Mereka jarang nanya kenapa kudu dirawat, dan apa resikonya kalo maksa pulang. Dan kalo mereka ngga puas sama pelayanan dokternya, mereka ngga protes ke dokternya langsung, tapi malah protes ke koran. Padahal koran tau apa sih?

Itu yang bikin rumah sakit terkesan seolah jadi orang jahat di media massa, coz editor ngga pernah cross-check langsung ke rumah sakit sebelum memuat surat dari pembaca yan merasa teraniaya itu. Semestinya semua pihak punya hak bela diri. Pasien sebagai konsumen berhak minta penjelasan rumah sakit kenapa pelayanan rumah sakit malah merugikan dirinya. Rumah sakit juga berhak menjelaskan kepada pasien tentang alasan pelayanan mereka yang bisa jadi telah bikin pasien tidak nyaman. Ini bisa dilakukan kalo mereka mau musyawarah, ngga usah pake acara pencemaran nama baik di media massa segala.

Hari ini, kalo gw ngga salah info, sidang gugatan dr Hengky Golza dan dr Grace Hilza dari RS Omni Tangerang terhadap pasien Prita Mulyasari atas tuduhan pencemaran nama baik akan digelar. Para netizens nuntut Prita dibebaskan. Gw ngerti Prita merasa dirugikan selama dirawat di Omni, tapi gw ngga setuju RS Omni dihujat secara tidak proporsional. Tidak adil nama baik pihak kudu tercemar, cuman gara-gara curhatan surat seseorang di media massa tanpa bukti sah, yang kemudian menyulut emosi khalayak yang sok tau padahal awam mengenai masalah yang bersangkutan, sedangkan yang tercemar itu belum tentu bersalah secara normatif. Dan kasus ini bisa menimpa pelayanan umum manapun.

Ayo kita sama-sama melihat permasalahan dengan adil dan sesuai proporsinya, berhenti cari-cari siapa yang salah, siapa yang jahat. Seperti kata iklan rokok, nggak semua yang kita baca itu bener. Makanya baca internet tuh yang rada cerdas, napa?