Monday, June 1, 2009

Ngebul Bukan Hak Asasi


Inti dari Hari Tanpa Tembakau Sedunia adalah penghormatan terhadap hak asasi orang-orang yang nggak ngebul, untuk membebaskan mereka satu hari aja dari orang-orang sekitar mereka yang ngebul. Mudah-mudahan orang yang ngebul nggak nuntut hak asasi juga, supaya mereka dikasih Hari Tembakau Sedunia pula. Bisa repot kita nanti.

Saat ini penghormatan terhadap hak asasi para non-pengebul (dan para pengebul) di Indonesia baru ditemukan di restoran-restoran elite. Para manajer resto bikin smoking area dan non-smoking area, kadang-kadang buat misahinnya hanya pake penyekat doang. Prinsipnya, jangan sampai orang batal makan di tempat mereka cuman gara-gara orang itu dilarang ngebul.

Gw ingat suatu hari di jaman kuliah gw dulu, gw pergi ke kampus naik angkot. Hari masih pagi, gw satu-satunya penumpang di angkot itu. Wah, bakalan ngetem nih angkot, batin gw.

Baru lima menit jalan, tuh angkot berhenti lagi coz seorang laki-laki melambaikan tangan di pinggir jalan. Maka laki-laki itu naik ke bangku belakang. Dia benamin bokongnya ke jok, sementara sang supir tancap gas lagi. Tau-tau si penumpang baru nyalain geretannya dan bersiap-siap ngebul. Mendadak si supir berhenti dan berseru dengan nada membentak, "Matikan rokoknya, Pak! Di sini tidak boleh merokok, Pak! Kan sudah ada pasang tanda dilarang merokok di sini, Bapak lihat tidak sih?!"

Gw yang lagi baca buku tersentak kaget. Waaks..supirnya galak bener! Si pengebul langsung gelagapan. Sementara si supir terus-menerus membombardir penumpangnya sambil nunjuk-nunjuk tanda dilarang merokok yang tergantung di dalam mobil, tanda dari papan yang dia tulisin sendiri, "DILARANG MEROKOK DI ANGKOT INI! HORMATI ORANG YANG TIDAK MEROKOK! Anda ingin merokok, SILAKAN TURUN!"

Dan si supir meng-copy paste tulisannya sambil bentak-bentak, "Di angkot ini tidak boleh merokok, Pak! Bapak kalo mau merokok, silakan turun! Mari kita sama-sama jaga kesehatan, Pak! Bapak mau tetap merokok atau mau tetap naik angkot saya?!"

Gw nunduk ke buku gw, pura-pura nggak liat. Dari sudut mata gw, gw liat si pengebul dengan salah tingkah matiin lintingannya dan melemparnya keluar pintu. Sang supir bilang terima kasih, lalu dia tancap gas lagi. Maka kita bertiga ngelanjutin perjalanan, seolah-olah tidak terjadi apa-apa.

Jauh sebelum insiden pagi itu, gw pernah ngalamin insiden yang hampir sama waktu gw masih pake seragam putih abu-abu. Gw naik angkot bareng sohib gw Amanda, dan ngobrol sepanjang jalan. Kita masih muda, kekanak-kanakan, dan suara kita kenceng kayak bebek.

Tau-tau Amanda nyeletuk ketus, "Huh, bau rokok!" sambil ngibasin tangannya dengan penuh demonstratif, sembari melempar tatapan menghina kepada seorang laki-laki yang lagi duduk di bangku belakang bersama kami sambil ngebul. Sebenarnya duduknya jauhan sih dari si oknum, tapi ya Amanda nekat juga teriak kayak gitu.

Waktu itu gw takut si pengebul itu akan tersinggung dengan ucapan Amanda, dan kita berdua akan disuruh turun karena ngajak berantem ke orang dewasa, padahal duit saku gw cuman cukup buat naik angkot satu kali.

Semula gw pikir, baik Amanda dan sang supir angkot hanya orang-orang yang rada terlalu pedulian. Nggak semua orang punya wawasan kesehatan sebagus kita, jadi kenapa mesti sewot? Toh tuh paru punya dia sendiri, ntar parunya busuk juga dia yang sakit sendiri, matinya juga mati sendiri. Dan rokoknya juga punya dia sendiri, beli pake duit sendiri, bukan ngembat rokok orang lain. Emangnya Sumitro?

Intermezzo ya, laki-laki pengebul itu bisa diklasifikasiin dalam tiga macem, yaitu Rotali, Rojali, dan Sumitro.
Jenis pertama Rotali, artinya ROkok TAra MeuLI. Itu bahasa orang Sunda, artinya nggak pernah beli rokok. Kalo ngebul pasti maunya gratisan.
Jenis kedua Rojali, artinya ROkok JArang MeuLI. Kadang-kadang bayar kalo lagi kepepet.
Jenis ketiga Sumitro, alias SUka MInta ROkok. Ini yang repot, nggak bermodal!

Tapi baru beberapa tahun kemudian gw sadar, bahwa para pengebul bukan saja tidak sedang mengebiri parunya sendiri, tapi mereka juga membunuh orang lain di sekitar mereka dengan pelan-pelan. Perokok pasif merugi jauh lebih banyak atas asap rokok yang terpaksa mereka isap. Inilah yang dimaksud sang supir angkot dan Amanda. Itu sebabnya ada Hari Tanpa Tembakau Sedunia.

Orang berhak untuk tidak mengisap rokok. Itu sebabnya ngebul di tempat umum hukumnya norak. Amanda menuntut haknya untuk terhindar dari kanker kulit dengan menyindir keras penumpang angkotnya yang ngebul. Dan supir angkot yang gw naikin itu, tidak takut kekurangan penumpang cuma gara-gara mensomasi penumpangnya yang ngebul.

Semenjak itu, gw selalu nolak naik angkot yang ada pengebulnya. Resiko harus cari angkot lain, ya. Tapi membayangkan duit
yang udah gw habisin buat beli segala minyak wangi dan sekarang wanginya ketutupan oleh asap rokok, bikin gw ilfil liat pengebul macam apapun.

Tidak ngisap asap rokok adalah hak asasi semua orang. Sebaliknya, merokok tidak akan pernah jadi hak asasi yang diakui komisi manapun.