Tuesday, February 8, 2011

Plesternya Harus Dibayar..

Ini plester. Warnanya putih, bentuknya modis.

Kesambet apa saya kok sampek iseng nulis plester di sini? Yaa sebagai pengetahuan aja buat para jemaah blog semua. Teman-teman umumnya punya sediaan plester di rumah ya yang standar aja, warnanya cokelat, lebarnya kecil, semacem selotip gitulah. Sekarang banyak dijual plester-plester yang bergambar lucu-lucu, mulai dari gambar dinosaurus sampek gambar benderanya Kompeni. Biasa dipake orang buat nutupin luka setelah sebelumnya diobatin obat merah.

Plester kecil-kecil itu ternyata bisa bikin penderitanya mengeluh panjang pendek. Beberapa orang ternyata ada yang alergi terhadap bahan plester. Akibatnya banyak yang mengeluh lukanya terasa gatel-gatel setelah dibekap plester. Nggak heran, banyak pasien minta lukanya dibedaki dulu sebelum diplester.
Keluhan lainnya adalah terasa nyeri ketika plesternya dicopot. Bayangin plesternya dicabut..kraak! kulit yang terluka terasa perih bukan main seperti baru waxing.

Itulah kenapa saya nampilin gambar plester ini. Plester putih yang saya tampilin ini, nggak bikin alergi. Dan ngelepasinnya pun cukup dilumurin air atau alkohol dulu, dan dia akan copot sendiri. Malah nggak usah cairan atau pun langsung dicopot pun juga nggak akan seperih plester standar.
Plester ini banyak dipakai pada pasien-pasien yang baru mengalami operasi atau baru dijahit. Maka dijualnya terbatas, dan jarang banget dijual di supermarket pasaran.

Masalahnya sekarang, tidak semua orang bisa pakai plester modis ini. Contohnya, pasien miskin yang dirawat di rumah sakit dengan asuransi pemerintah. Asuransi pemerintah sudah menanggung hampir semua alat perawatan untuk pasien, tapi hanya dalam batas-batas tertentu. Item kecil seperti plester misalnya, ditanggung pemerintah hanya berupa plester cokelat yang kadang-kadang bikin gatel itu. Nggak heran, kadang-kadang pasien miskin mengeluh plesternya nggak nyaman, dan ujung-ujungnya bikin dos-q jadi stres sendiri.

Beberapa pasien yang merasa terganggu oleh plester ecek-ecek ini, menyerah dan minta plester putih. Konsekuensinya, mereka rela mbayar sendiri coz plester putih kan nggak ditanggung asuransi pemerintah. Ya nggak pa-pa sih, kalau mereka kepingin nyaman dan rela mbayar, kenapa tidak? Harganya sih relatif terjangkau, masih lebih mahal harga rokok lima bungkus. (Kenapa saya nyantumin rokok sebagai pembanding harga? Soalnya orang miskin itu, lebih stres kalau nggak bisa beli rokok daripada beli nasi).

Siyalnya, isu mengenai "hal-hal yang tidak ditanggung Pemerintah" ini seringkali nggak diketahui orang awam yang nggak ngerti masalah sesungguhnya. Coz sudah diplot dari sononya, orang-orang yang dirawat dengan asuransi Pemerintah, baik itu pakai kartu Gakin atau Jamkesmas, dijanjikan bahwa kalau dirawat di rumah sakit, nggak perlu bayar apapun. Akibatnya, ketika pasien miskin diketahui disuruh bayar karena minta plester putih yang tidak bikin gatel dan tidak perih ketika dicopot, hal ini dipolitisir dengan lebay, seolah-olah rumah sakit memalak kantongnya pasien itu.

Ini memang dilema. Di sisi pasien miskin, kalau dia pakai plester ecek-ecek, dia dapet gratis, tapi mungkin alergi. Tapi kalau dia pakai plester putih, dia memang lebih nyaman, tapi harus bayar.
Buat rumah sakit, kalau dia kasih plester putih, dia mungkin akan ditanyain LSM atau wartawan lebay kenapa dia "morotin" pasien miskin yang katanya mestinya nggak usah mbayar. Tapi kalau dia biarkan pasiennya pakai plester standar yang bikin alergi, mosok dia tega sih membiarkan pasiennya gatel-gatel?
http://laurentina.wordpress.com
www.georgetterox.blogspot.com