Saturday, February 23, 2013

Mispersepsi Penguasa Gaptek

Jadi ceritanya waktu itu saya menikah. Pas saya jalan masuk ke gedung resepsi bareng suami saya, semua orang dengan berbagai blitz berkelebatan motretin kami. Saya senyum ke setiap kamera, sampai kemudian saya terhenyak karena di antara tamu-tamu yang berdiri dengan kamera itu, ada tamu yang berdiri dan menutupi wajahnya dengan buku yang penampakannya mengingatkan saya pada buku menu Starbucks. Saya langsung mbatin, dasar tamu nggak sopan, ada penganten lewat, tamunya malah baca buku!

Ketika saya duduk di pelaminan, baru saya ngeh. Nampaknya itu bukan buku menu S*bux, mungkin sesungguhnya itu adalah Samsung G-note..

***

Kemaren saya ngobrol dengan guru saya dan guru saya itu mendongeng tentang tragedi yang terjadi sekitar beberapa tahun lalu di sebuah rumah sakit pemerintah di Surabaya. Seorang direktur mengadakan rapat dan mengoceh ini-itu. Lalu ada seorang asisten duduk sambil mengetikkan isi ocehan si direktur pada notes-pad-nya di smartphone-nya dengan tekun. Tiba-tiba si direktur berkata, "Tolong saya didengarkan! Jangan SMS-an saja!"

Si asisten terlonjak kaget karena si direktur sudah memelototinya.

Ketika rapat itu, si asisten pergi ke kamar si direktur dan menunjukkan isi ketikannya di notes-pad dalam smartphone-nya tadi. Dia tunjukkan bagaimana pidato si direktur yang sampek berbusa-busa tadi telah terekam sempurna dalam notes pad itu, bahkan batuknya si direktur pun sampai terketik! Si asisten itu telah menjalankan tugasnya sebagai notulen dengan rapi, bukan SMS-an.

Saya mendengarkan dongeng guru saya dan ikut tersinggung mendengar si asisten dimarahi. Notes pad dalam smartphone kita adalah penemuan yang sangat hebat dalam 10 tahun terakhir, bisa muat tulisan banyak, ngirit kertas, dan bisa dibaca sambil pup di WC. Apa maksudnya orang dimarahi gara-gara nyatet isi pidato bossnya di dalam HP??

Guru saya bilang, "Beberapa orang hanya tahu bahwa HP itu untuk SMS-an. Orang-orang macam mereka tidak tahu bahwa barang itu bisa berubah menjadi mesin ketik mini."

Lalu guru saya melanjutkan, beberapa bulan sesudah kejadian itu, si asisten yang rajin, pandai, dan tidak pernah korup, dimutasi ke sebuah kota kecil di luar Surabaya dengan tugas pekerjaan yang tidak pantas baginya sebagai seorang asisten direktur.

Tragedi yang menjijikkan. But yes, it happened.

***

Kadang-kadang kita harus menerima bahwa kita dijahati orang karena persepsi yang salah dari orang lain terhadap kita. Seringkali persepsi yang salah dibangun dari membaca bahasa tubuh yang salah. Kau mencatat pidato gurumu di notes pad di HP, tapi gurumu ngira kau SMS-an. Kau menatap mata orang yang bicara denganmu supaya kau bisa menyimak apa yang dia bicarakan, tapi dia mengira kau sedang menantangnya. Kau melipat tanganmu karena AC ruangan membuatmu kedinginan, tapi mereka mengira kau sedang marah. Lalu karena mereka salah mengira macam-macam, lantas mereka membuat reaksi dengan menghilangkanmu dari radar mereka, manifestasi menghilangkannya dengan bermacam-macam cara, kamu bisa sebut sendiri.

Bukan salah mereka yang salah membaca bahasa tubuhmu. Tapi itu salahmu yang membuat hidupmu jadi bergantung kepada keputusan mereka.
www.laurentginekologi.wordpress.com
www.laurentina.wordpress.com
www.georgetterox.blogspot.com

Monday, February 18, 2013

Definisi Kawan

Suatu hari waktu saya masih remaja dulu, saya pernah ditanyai, "Apa definisi kawan bagimu?"
Lalu saya menjawab, "Kawan adalah orang untuk berbagi suka dan duka."
Saya nggak tahu dari mana saya mendapatkan jawaban omong kosong itu. Mungkin lantaran saya terlalu banyak baca novel.

Menjelang dewasa, saya mulai berhenti baca novel karena nggak sempat. Minat saya berganti menjadi tema-tema kritis anti munafik. Tema itu ikut mengubah cara mikir saya dan cara saya mendefinisikan sesuatu.

***

Keluarga saya punya sahabat berupa keluarga lain. Bonyok saya berteman dengan sepasang suami-istri, sedangkan saya berteman dengan anak-anaknya. Kami merasa senang kalau lagi bersama-sama, setidaknya saya berpikir begitu.

Lalu suatu hari, salah satu anak dari keluarga itu menikah.

Keluarga saya sudah tahu itu, dari bude saya yang juga temenan sama mereka. Tapi sampai resepsi anak itu diadakan, keluarga itu tidak kirim undangan ke rumah keluarga kami.

Bonyok saya kecewa. Karena mereka sudah kadung senang dengan suami-istri tua itu. Saya sendiri senang dengan anak-anak mereka, jadi saya juga kecewa karena tidak satu pun dari sesodara itu yang kasih tahu ke saya kalau mereka mau bikin hajatan. Yang bikin kami kecewa, mereka nggak kirim undangan ke bonyok saya tapi mereka kirim ke bude saya..

Waktu itu saya mengira itu salahnya pak pos. Mungkin undangannya ketelisut di kantor pos, jadi nggak sampek ke rumah saya.

Sekitar 1-2 tahun kemudian, keluarga itu bikin hajatan lagi. Ternyata anak mereka yang lain, menyusul menikah. Dan lagi, nggak ada undangan ke keluarga kami. Bonyok saya nggak tahu ini. Saya tahu justru dari Facebook lantaran lihat beritanya seliweran di news feed. Saya nggak terlalu ambil pusing, coz saya nggak deket-deket amat sama anak yang menikah itu.

Dan satu tahun kemudian, anak mereka yang lain lagi yang menikah. Lagi-lagi keluarga kami nggak diundang. Padahal anak yang menikah itu yang paling deket sama saya di antara sesodara itu! Saya jadi be-te. Mosok undangan dari keluarga itu untuk keluarga saya ketelisut di kantor pos sampek tiga kali??

Saya pun angkat tangan. Saya mbatin, lu mau temenan ama gw ya hayuk. Lu nggak mau temenan ama gw pun, gw nggak akan panuan. Pertemanan itu saya lupakan pelan-pelan, tapi nggak saya putuskan. Saya masih kadang-kadang nyapa keluarga itu, di Twitter, di Facebook, entah itu komenin status atau bilang selamat ulang tahun. Kata Tuhan kan jangan mutusin tali silaturahmi. Jadi saya nggak berhenti berteman, saya cuman "mengurangi intensitas keintiman di antara kita".. (Huek!)

Teruus..beberapa minggu lalu kan saya menikah. Bonyok saya itu niat banget jauh-jauh hari sudah nyusun nama-nama calon tamu yang mau diundang ke resepsi. Nah, keluarga yang bikin hajatan tiga kali tapi lupa ngundang keluarga saya itu, nggak kebagian undangan dari bonyok saya.

Resepsi itu berlalu dan saya pun sibuk bales-bales ucapan selamat yang mengalir ke e-mail saya. Sampek kemudian saya dapet pesen dari keluarga yang tadi itu, dari ayahnya, bunyinya kira-kira gini, kok saya nggak ketiban undangan yah?

Saya mau jawab, "Abisnya Om bikin hajatan sampek tiga kali tapi nggak ngundang eike sih.. Eike jadi sungkan mau ngundang Om.." tapi kok ya nggak tega ngomongnya..

***

Diam-diam, saya selalu penasaran kenapa mereka tiga kali bikin hajatan tapi nggak ngundang saya. Apakah mereka takut saya sebagai tamu akan ngabis-ngabisin makanan sehingga tamu-tamu lain nggak kebagian zuppa zuppa soup? (Padahal saya nggak pernah rakus sama sup itu, tapi kalo ngembat es puter ya saya bisa nambah sampek tiga kali..)

Tapi kemudian terpikir alasan lain oleh saya yang kira-kira lebih sederhana: They're just not that into you.
Saya mungkin teman mereka, tapi nggak sedekat itu. Atau mereka nggak menganggap saya sebagai teman dekat meskipun saya menganggap mereka sebagai teman dekat. Karena itu saya bukan prioritas untuk diundang ke hajatan mereka.

Miris sih bayanginnya. Tapi saya kan harus nerima. Dan saya nggak kepengen patah hati karena itu. Kalau seseorang nggak menganggap kita kawan, kita masih bisa cari seribu orang lain buat kita jadikan kawan kan?

Jadi, saya balik ke pertanyaan tadi. Apa definisi kawan?
Jawaban saya, kawan adalah orang yang mana ingin saya berbagi untuk makan kue bersama..
www.laurentginekologi.wordpress.com
www.laurentina.wordpress.com
www.georgetterox.blogspot.com

Friday, February 15, 2013

Saya Ditonjok di Muka

.. Spontan saya langsung shock dan mundur. Si pasien menatap saya dengan tampang mengancam, sementara tangannya yang sebelah kanan masih mengepal. Spontan saya sembunyi di balik seorang bidan, sementara bidan-bidan lain berdiri mengelilingi tempat tidur si pasien, terus membujuk supaya si pasien mau tiduran dengan tenang.

Dia menangis lagi, histeris. "Kenapa semua orang nuntut gw punya bayi? Bapaknya sudah nggak peduli lagi sama bayi gw! Huwaaaa!"

Kolega senior saya maju, mencoba membujuknya supaya diijinkan periksa vaginanya. Si pasien menolak keras, menghindar dengan menelungkupkan badannya, sambil terus-menerus mengeluh perutnya sakit. Upaya yang gagal karena tentu saja perutnya yang besar membuatnya nggak bisa tengkurap dengan nyaman. Bidan sampai turun tangan, barangkali kolega saya bisa periksa dalam dengan pasien telungkup. Oh bagus, dia akan jadi dokter kandungan pertama dalam sejarah yang melakukan vaginal touching sambil telungkup!

Dia hamil sembilan bulan, kata ibunya yang mengantarnya sambil kebingungan dan terus-menerus menangis juga. Sebenarnya sudah gaduh gelisah semenjak empat tahun yang lalu, sedih setengah mati sejak bokapnya meninggal, lalu kelakuannya jadi tidak normal. Bolak-balik ke psikiater, tapi tidak mau minum obat teratur dan males kontrol juga karena ibunya terlilit utang di pinggang. Sekitar tahun lalu dia tidur dengan teman prianya, lalu mensnya menjadi tidak teratur. Ibunya membawanya ke bidan, dan bidan itu bilang si nonik itu hamil tiga bulan, dan menyuruhnya berhenti minum obat sakit jiwanya karena obat itu bisa bikin janin jadi cacat. Pantesan sepanjang hamil dia kumat melulu.

"Mari kita keluarkan anaknya," kata saya kepada kolega saya. "Sudah aterm ini."
"Masih buka satu," keluh kolega saya. Butuh sedikitnya dua hari lagi supaya anak itu betul-betul lahir. Itu juga kalau memang sudah waktunya. Jangan-jangan lahirnya baru dua minggu lagi?

"Kehamilan ini mengganggu dia. Sudah indikasi itu untuk Sectio," sela kolega saya yang lain.
"Kenapa harus Sectio? Nanti sama Prof ditanyai, kenapa nggak pervaginam aja?" keluh kolega saya.
Saya menggeleng, ogah membayangkan pasien itu histeris nanti sepanjang malam dengan obat perangsang. Ini kamar bersalin, nggak punya kamar isolasi. Kalau si pasien berteriak-teriak nggak karuan terus, dia bisa mengganggu pasien-pasien bersalin yang lain.

Tapi mosok saya harus mengirim dia untuk operasi hanya karena alasan bahwa kegilaan si pasien bisa menimbulkan keresahan masyarakat di kamar bersalin?

"Tunggu dululah," kata kolega senior saya. "Toh kalau mau dioperasi pun nggak bisa sekarang. Si Kakak masih mengerjakan pasien yang lain."
Yang dimaksud "Kakak" itu kolega saya yang paling senior, yang punya hak veto untuk menentukan apakah pasien kami boleh lahir normal atau harus via operasi.

Sementara bidan-bidan menatap si pasien bunting histeris dengan waswas. Dia tidak mau tidur tenang di tempat tidur, kadang-kadang dia lebih milih meringkuk di lantai. Saya takut pasien itu mengamuk dan menerjang lemari tempat kami menyimpan alat-alat bedah kami yang tajam dan mengira bahwa forceps Naegele adalah mainan. Bidan-bidan suruh mahasiswa-mahasiswa kebidanan untuk menghiburnya supaya mau berhenti tiduran di lantai. Mahasiswa-mahasiswa itu malah hompimpah lantaran keberatan disuruh menghibur ibu hamil gila.

Kami menelepon Bagian Psikiatri dan residennya pun datang. Setelah interogasi si pasien, residen itu berbisik kepada kami, pasien itu boleh lahir normal atau operasi, terserah kami saja yang di Bagian Obstetri. Kalau si pasien mengamuk, residen Psikiatri itu akan datang sambil membawa suntikan berisi haloperidol. Saya penasaran apakah pasien itu tidak akan menonjok si residen Psikiatri kalau dokter itu berani menusukkan jarum ke lengannya. Kacamata saya masih bengkok gara-gara tinju si pasien tadi.

Lalu residen Anestesi datang ke kamar bersalin sambil nenteng-nenteng stetoskop. "Mana yang mau Sectio?"
"Tuh!" Saya menunjuk tempat tidur si pasien, tempat si pasien lagi meringkuk dengan posisi ganjil sambil memegang tangan seorang mahasiswa kebidanan sembari minta dibuai.
Spontan muka si tukang bius itu langsung meringis. "Ya ampun.."
Saya menutup mulut menahan ketawa.
"Apakah dia sudah dikonsul ke.."
"Sudah," potong saya. "Dia sudah minum haldol kok pagi ini."
"Ini gimana cara ngebiusnya??" Si residen Anestesi garuk-garuk kepala.
"Nanti aja aku nginfusnya yah. Kalo udah mau naik Sectio. Kakakku masih banyak kerjaan nih," kata saya.
Residen Anestesi itu ngangguk pasrah. "Kabari kalau mau naik yah.."

Jam-jam pun berlalu. Si pasien masih kadang-kadang tersedu-sedan, tapi dia tidak ganggu pasien-pasien lain. Saya dan kolega-kolega saya pun mulai tenang. Kami akan minta senior kami yang tertua untuk mengoperasinya nanti.

Mendadak siang bolong, si eneng berteriak-teriak, "Dok! Anakku mau lahir! Anakku mau lahir!"
Saya menoleh dan mengerutkan kening. Si eneng meloncat dari tempat tidur dan berjongkok di lantai. Seorang mahasiswa mendatanginya dan mengintip kemaluan si pasien. "Ah, belum, Mbaak.."
"Beneraan!" teriaknya.
"Belum, Mbak.. Ayo naik ke tempat tidur lagi yuk!" kata si mahasiswa membujuknya.
"Beneeerr..!"
Dan tiba-tiba.. Byuuuuur!

Air si pasien yang kuning kental keruh pun muncrat ke lantai, menimbulkan genangan yang sangat lebar. Dia terkaget-kaget oleh ketubannya sendiri sampai terkapar di lantai.
Oh no, batin saya. Si bayi inpartu deh.

Saya berjongkok di dekatnya. "Della, saya periksa yah?"
Si pasien mengangguk. "Iya! Iya!" Katanya dengan menatapkan pandangan memohon.
"Naik ke tempat tidur!" seru bidan di belakang punggung saya.
Si pasien ajaibnya manut saat dituntun ke ranjang. Saya ambil sarung tangan, lalu jari-jari saya masuk ke vaginanya pelan-pelan. Dan saya langsung keselek. Glek!

"Partus set! Partus set!" seru saya.
"Hah?? Lengkap??" teriak bidannya.
Spontan semua orang meloncat dari kursinya dan mengambil alat-alat. Saya pasang celemek plastik dan berdiri dengan posisi kuda-kuda di depan si pasien. "Ayo, Della, buka yang lebar! Dorong yang keras!"

Si pasien menangis keras. "Huwaaa..sakiiit! Huwaaa!"

"Iya, Della, sakit! Ayo dorong yang keras supaya sakitnya selesai!"

"Huwaaaaa!" Della pun mengejan sambil berteriak.
"Lagi!"
"Huwaaaaaaaa!"
"Bagus, Della! Kepalanya mau keluar!"
"Huwaaaaaaaaaaaaa!"
"Lagi, Della! Yang keras!"
"HAAAAAAAAAH!"

Lalu kepala si jabang bayi pun melesak keluar. Saya menariknya curam. Lalu tangis si anak pun meledak. Bukan, bukan tangis si Della.

"Yaa..bagus, Della! Lahir deh anaknya!" Saya tersenyum lebar dan menaruh bayi itu di perut si pasien.
Tiba-tiba si pasien teriak, "Jangan! Jangan!"
"Hah?" Saya terkejut. Si pasien nggak mau bayinya??
"Nggak mauu!"
Buru-buru saya sodorkan bayi itu ke bidan. Si bayi malang terbatuk-batuk, antara nangis dengan keselek lendirnya sendiri.

Bayi itu kecil, beratnya nggak sampai dua kilo. Tapi robekan vagina ibunya lumayan, dan saya harus menjahitnya. Saya perlu tiga orang untuk memegangi si pasien supaya dia tidak berontak selama saya jahit. Obat biusnya tidak begitu mempan.

"Ibu, ayo anaknya disayang," bujuk bidan sambil menyodorkan si bayi ke si pasien.
Tahu-tahu si pasien menyodorkan bibirnya ke bayi yang ditolaknya itu. Cup! Kami pun bersorak riang.
"Horee! Ibu sayang sama anak!" seru saya sambil menusukkan jarum jahit saya ke perineumnya.
"Adoooh!" teriak Della.

***

Residen anestesi datang sekitar satu jam kemudian. "Jadi nggak Sectio-nya?"
Saya, yang sibuk bereskan alat-alat, menoleh. "Aduh, maaf, Mbak. Barusan saya pasangin IUD.." kata saya dengan tampang sok menyesal karena telah membatalkan acara operasi.
"Haah? Sudah lahir?" Serunya kaget.
Saya cengar-cengir cengengesan.
Si residen Anestesi tampak ingin menangis bahagia, seolah-olah baru lolos dari lobang jarum.

Della, penderita sakit jiwa yang ditinggal kabur oleh pacarnya yang menghamilinya, kami pasangi IUD segera setelah melahirkan. Kami pernah membaca bahwa penyakit ini sebenarnya bisa dinormalkan kembali, asalkan Della mau berobat teratur. Mudah-mudahan nanti, kalau Della sudah sembuh dan bisa merawat anaknya seperti ibu normal, Della bisa pergi ke dokter kandungan untuk mencopot IUD-nya dan bahkan bisa hamil lagi.

Della bukan nama sebenarnya, tapi dia pasien saya yang saya tolong persalinannya hari ini. :)
www.laurentginekologi.wordpress.com
www.laurentina.wordpress.com
www.georgetterox.blogspot.com

Thursday, February 14, 2013

Perlindungan Sedotan

Suka mikir nggak sih kalau sedotan-sedotan yang disediakan di rumah-rumah makan itu bisa dihinggapin lalat? Beberapa pemilik nggak begitu peduli, mereka biarkan aja sedotan itu dipajang terbuka di atas meja makan.

Pemilik restoran yang satu ini enggak. Nampaknya dia tahu kalau salah satu unsur yang bisa bikin konsumen nggak mau balik lagi ke restoran dia adalah kalau alat makannya nggak bersih. Jadi dia pasang tisu di mulut sedotan-sedotannya.

Sanitatif dan estetik.

Lokasi: Piring Suroboyo, Central Point, Ngagel, Surabaya.
www.laurentginekologi.wordpress.com
www.laurentina.wordpress.com
www.georgetterox.blogspot.com

Thursday, February 7, 2013

Memaksa Ibu Merawat Bayi

Hal aneh yang kadang terjadi di ruang bersalin adalah, ternyata tidak semua ibu yang baru melahirkan, bersedia untuk langsung memegang bayinya.

Saya menghabiskan waktu sepanjang hari ini untuk mendengar keluhan bidan. Ceritanya, bidan di kamar nifas tempat saya bersekolah, sekarang punya tugas baru, yaitu ngajarin ibu-ibu yang baru melahirkan untuk mandiin bayinya sendiri. Tujuannya, supaya kalau ibunya sudah pulang dari rumah sakit, ibu bisa mandiin anaknya di rumah.

Persoalannya, ternyata nggak semua ibu yang melahirkan itu senang dan antusias. Mereka yang masih merasa letoy cenderung males bangun, males pipis, dan pada akhirnya males megang bayi yang baru dia lahirkan sendiri. Megangnya aja males, apalagi mandiin. Akibatnya mereka minta bidan yang mandiin. Bidan jadi resah karena pasien kan jadi nggak mau mandiri.

Ibu-ibu yang baru melahirkan pertama kali ternyata juga banyak yang penakut. Takut menjatuhkan bayinya yang licin waktu dimandiin.

Di saat e-mail saya mulai dibanjiri keluhan sana-sini dari ibu-ibu muda yang mengeluh sering dipaksa pakai susu kaleng untuk bayinya yang baru lahir, saya terenyuh karena ternyata masih banyak ibu yang menolak mandiin anaknya sendiri dan minta orang lain yang mandiin. Apa kendalanya sampek mereka takut ngejatuhin bayinya sendiri? Apakah mereka menyangka vagina mereka begitu rapuh sesudah melahirkan sehingga takut jahitannya buyar kalau mereka bangun sedikit aja? Padahal kata Pak Guru saya, otot kemaluan itu ajaib, biarpun jahitannya miring-miring pun tetap aja hasilnya nyambung. Jarang banget kejadian jaitannya buyar. Membuat saya masih percaya bahwa Allah memang Maha Pencipta, apalagi dalam urusan menciptakan otot selangkangan.

Mungkin karena ini rumah sakit buat orang-orang miskin ya. Sewaktu masih hamil, rata-rata mereka memeriksakan kehamilannya ke bidan atau Puskesmas dengan tarif murah-meriah, mungkin di fasilitas itu nggak dapet kursus Lamaze atau kursus merawat bayi sehingga mereka nggak termotivasi untuk mandiin anaknya sendiri sesegera mungkin. Tapi ide mengaitkan rendahnya motivasi dengan masalah ekonomi itu terlalu naif, memangnya yang males mandiin anaknya cuman ibu miskin doang?

Selama ini saya selalu punya mantra rutin yang saya ucapkan kepada setiap pasien yang baru saya tolong persalinannya: "Bu, nanti anaknya disusuin pake ASI ya. Tidak pake susu kaleng ya."
Mosok saya harus nambahin mantranya: "Bu, nanti anaknya dimandiin sendiri yaa?"
Ada yang punya usulan mantra tambahan? Heheheheh..

Ibu memang seharusnya mandiin bayinya sendiri kan? Nggak perlu sampek dipaksa segala kan?
www.laurentginekologi.wordpress.com
www.laurentina.wordpress.com
www.georgetterox.blogspot.com