Dia menangis lagi, histeris. "Kenapa semua orang nuntut gw punya bayi? Bapaknya sudah nggak peduli lagi sama bayi gw! Huwaaaa!"
Kolega senior saya maju, mencoba membujuknya supaya diijinkan periksa vaginanya. Si pasien menolak keras, menghindar dengan menelungkupkan badannya, sambil terus-menerus mengeluh perutnya sakit. Upaya yang gagal karena tentu saja perutnya yang besar membuatnya nggak bisa tengkurap dengan nyaman. Bidan sampai turun tangan, barangkali kolega saya bisa periksa dalam dengan pasien telungkup. Oh bagus, dia akan jadi dokter kandungan pertama dalam sejarah yang melakukan vaginal touching sambil telungkup!
Dia hamil sembilan bulan, kata ibunya yang mengantarnya sambil kebingungan dan terus-menerus menangis juga. Sebenarnya sudah gaduh gelisah semenjak empat tahun yang lalu, sedih setengah mati sejak bokapnya meninggal, lalu kelakuannya jadi tidak normal. Bolak-balik ke psikiater, tapi tidak mau minum obat teratur dan males kontrol juga karena ibunya terlilit utang di pinggang. Sekitar tahun lalu dia tidur dengan teman prianya, lalu mensnya menjadi tidak teratur. Ibunya membawanya ke bidan, dan bidan itu bilang si nonik itu hamil tiga bulan, dan menyuruhnya berhenti minum obat sakit jiwanya karena obat itu bisa bikin janin jadi cacat. Pantesan sepanjang hamil dia kumat melulu.
"Mari kita keluarkan anaknya," kata saya kepada kolega saya. "Sudah aterm ini."
"Masih buka satu," keluh kolega saya. Butuh sedikitnya dua hari lagi supaya anak itu betul-betul lahir. Itu juga kalau memang sudah waktunya. Jangan-jangan lahirnya baru dua minggu lagi?
"Kehamilan ini mengganggu dia. Sudah indikasi itu untuk Sectio," sela kolega saya yang lain.
"Kenapa harus Sectio? Nanti sama Prof ditanyai, kenapa nggak pervaginam aja?" keluh kolega saya.
Saya menggeleng, ogah membayangkan pasien itu histeris nanti sepanjang malam dengan obat perangsang. Ini kamar bersalin, nggak punya kamar isolasi. Kalau si pasien berteriak-teriak nggak karuan terus, dia bisa mengganggu pasien-pasien bersalin yang lain.
Tapi mosok saya harus mengirim dia untuk operasi hanya karena alasan bahwa kegilaan si pasien bisa menimbulkan keresahan masyarakat di kamar bersalin?
"Tunggu dululah," kata kolega senior saya. "Toh kalau mau dioperasi pun nggak bisa sekarang. Si Kakak masih mengerjakan pasien yang lain."
Yang dimaksud "Kakak" itu kolega saya yang paling senior, yang punya hak veto untuk menentukan apakah pasien kami boleh lahir normal atau harus via operasi.
Sementara bidan-bidan menatap si pasien bunting histeris dengan waswas. Dia tidak mau tidur tenang di tempat tidur, kadang-kadang dia lebih milih meringkuk di lantai. Saya takut pasien itu mengamuk dan menerjang lemari tempat kami menyimpan alat-alat bedah kami yang tajam dan mengira bahwa forceps Naegele adalah mainan. Bidan-bidan suruh mahasiswa-mahasiswa kebidanan untuk menghiburnya supaya mau berhenti tiduran di lantai. Mahasiswa-mahasiswa itu malah hompimpah lantaran keberatan disuruh menghibur ibu hamil gila.
Kami menelepon Bagian Psikiatri dan residennya pun datang. Setelah interogasi si pasien, residen itu berbisik kepada kami, pasien itu boleh lahir normal atau operasi, terserah kami saja yang di Bagian Obstetri. Kalau si pasien mengamuk, residen Psikiatri itu akan datang sambil membawa suntikan berisi haloperidol. Saya penasaran apakah pasien itu tidak akan menonjok si residen Psikiatri kalau dokter itu berani menusukkan jarum ke lengannya. Kacamata saya masih bengkok gara-gara tinju si pasien tadi.
Lalu residen Anestesi datang ke kamar bersalin sambil nenteng-nenteng stetoskop. "Mana yang mau Sectio?"
"Tuh!" Saya menunjuk tempat tidur si pasien, tempat si pasien lagi meringkuk dengan posisi ganjil sambil memegang tangan seorang mahasiswa kebidanan sembari minta dibuai.
Spontan muka si tukang bius itu langsung meringis. "Ya ampun.."
Saya menutup mulut menahan ketawa.
"Apakah dia sudah dikonsul ke.."
"Sudah," potong saya. "Dia sudah minum haldol kok pagi ini."
"Ini gimana cara ngebiusnya??" Si residen Anestesi garuk-garuk kepala.
"Nanti aja aku nginfusnya yah. Kalo udah mau naik Sectio. Kakakku masih banyak kerjaan nih," kata saya.
Residen Anestesi itu ngangguk pasrah. "Kabari kalau mau naik yah.."
Jam-jam pun berlalu. Si pasien masih kadang-kadang tersedu-sedan, tapi dia tidak ganggu pasien-pasien lain. Saya dan kolega-kolega saya pun mulai tenang. Kami akan minta senior kami yang tertua untuk mengoperasinya nanti.
Mendadak siang bolong, si eneng berteriak-teriak, "Dok! Anakku mau lahir! Anakku mau lahir!"
Saya menoleh dan mengerutkan kening. Si eneng meloncat dari tempat tidur dan berjongkok di lantai. Seorang mahasiswa mendatanginya dan mengintip kemaluan si pasien. "Ah, belum, Mbaak.."
"Beneraan!" teriaknya.
"Belum, Mbak.. Ayo naik ke tempat tidur lagi yuk!" kata si mahasiswa membujuknya.
"Beneeerr..!"
Dan tiba-tiba.. Byuuuuur!
Air si pasien yang kuning kental keruh pun muncrat ke lantai, menimbulkan genangan yang sangat lebar. Dia terkaget-kaget oleh ketubannya sendiri sampai terkapar di lantai.
Oh no, batin saya. Si bayi inpartu deh.
Saya berjongkok di dekatnya. "Della, saya periksa yah?"
Si pasien mengangguk. "Iya! Iya!" Katanya dengan menatapkan pandangan memohon.
"Naik ke tempat tidur!" seru bidan di belakang punggung saya.
Si pasien ajaibnya manut saat dituntun ke ranjang. Saya ambil sarung tangan, lalu jari-jari saya masuk ke vaginanya pelan-pelan. Dan saya langsung keselek. Glek!
"Partus set! Partus set!" seru saya.
"Hah?? Lengkap??" teriak bidannya.
Spontan semua orang meloncat dari kursinya dan mengambil alat-alat. Saya pasang celemek plastik dan berdiri dengan posisi kuda-kuda di depan si pasien. "Ayo, Della, buka yang lebar! Dorong yang keras!"
Si pasien menangis keras. "Huwaaa..sakiiit! Huwaaa!"
"Iya, Della, sakit! Ayo dorong yang keras supaya sakitnya selesai!"
"Huwaaaaa!" Della pun mengejan sambil berteriak.
"Lagi!"
"Huwaaaaaaaa!"
"Bagus, Della! Kepalanya mau keluar!"
"Huwaaaaaaaaaaaaa!"
"Lagi, Della! Yang keras!"
"HAAAAAAAAAH!"
Lalu kepala si jabang bayi pun melesak keluar. Saya menariknya curam. Lalu tangis si anak pun meledak. Bukan, bukan tangis si Della.
"Yaa..bagus, Della! Lahir deh anaknya!" Saya tersenyum lebar dan menaruh bayi itu di perut si pasien.
Tiba-tiba si pasien teriak, "Jangan! Jangan!"
"Hah?" Saya terkejut. Si pasien nggak mau bayinya??
"Nggak mauu!"
Buru-buru saya sodorkan bayi itu ke bidan. Si bayi malang terbatuk-batuk, antara nangis dengan keselek lendirnya sendiri.
Bayi itu kecil, beratnya nggak sampai dua kilo. Tapi robekan vagina ibunya lumayan, dan saya harus menjahitnya. Saya perlu tiga orang untuk memegangi si pasien supaya dia tidak berontak selama saya jahit. Obat biusnya tidak begitu mempan.
"Ibu, ayo anaknya disayang," bujuk bidan sambil menyodorkan si bayi ke si pasien.
Tahu-tahu si pasien menyodorkan bibirnya ke bayi yang ditolaknya itu. Cup! Kami pun bersorak riang.
"Horee! Ibu sayang sama anak!" seru saya sambil menusukkan jarum jahit saya ke perineumnya.
"Adoooh!" teriak Della.
***
Residen anestesi datang sekitar satu jam kemudian. "Jadi nggak Sectio-nya?"
Saya, yang sibuk bereskan alat-alat, menoleh. "Aduh, maaf, Mbak. Barusan saya pasangin IUD.." kata saya dengan tampang sok menyesal karena telah membatalkan acara operasi.
"Haah? Sudah lahir?" Serunya kaget.
Saya cengar-cengir cengengesan.
Si residen Anestesi tampak ingin menangis bahagia, seolah-olah baru lolos dari lobang jarum.
Della, penderita sakit jiwa yang ditinggal kabur oleh pacarnya yang menghamilinya, kami pasangi IUD segera setelah melahirkan. Kami pernah membaca bahwa penyakit ini sebenarnya bisa dinormalkan kembali, asalkan Della mau berobat teratur. Mudah-mudahan nanti, kalau Della sudah sembuh dan bisa merawat anaknya seperti ibu normal, Della bisa pergi ke dokter kandungan untuk mencopot IUD-nya dan bahkan bisa hamil lagi.
Della bukan nama sebenarnya, tapi dia pasien saya yang saya tolong persalinannya hari ini. :)
www.laurentginekologi.wordpress.com
www.laurentina.wordpress.com
www.georgetterox.blogspot.com