Tuesday, March 27, 2012

Luka Cantik Seperti Putri

Ponakannya my hunk luka di lututnya, taruhan, dia pasti jatuh pas lagi main. Lalu nyokapnya merawat lukanya dan membalut luka itu dengan plester Princess. Saya nyaris keselek waktu nyokapnya cerita bahwa ada plester namanya plester Princess..

Rasa-rasanya sudah bertahun-tahun lamanya saya ngalamin jatuh pas lagi lari di jalan, waktu itu umur saya lima tahun dan nyokap saya nempelin plester karet warna cokelat di lutut saya. Jaman dulu tuh nggak ada plester gambar-gambaran. Plester bergambar pertama kali diperkenalkan beberapa tahun kemudian, gambarnya bermotif animal print, ada motif zebra, motif macan loreng, motif dalmatian, dan motif satwa entah apa lagi. Sekitar beberapa waktu kemudian, pas jamannya demam bola, ada plester bermotif bendera Inggris, motif bendera Jerman, motif bendera Italia, tapi herannya nggak ada motif bendera Saudi Arabia. Kenapa ya?

Jadi waktu saya dikirimin foto jepretan Elly Silvia ini, saya ketawa ngakak karena baru tahu ada plester bergambar Cinderella. Norak banget sih saya, baru tahu sekarang. Lha saya kan nggak pernah terluka. Saya sendiri kalau ngobatin pasien ya pakai plester dari karet warna cokelat atau putih itu, nggak pernah pakai plester bergambar aneh-aneh. Mosok saya mau plesterin infusnya pasien hamil pakai plester bergambar Putri Salju, wkwkwkwk..

Ngomong-ngomong, apa sih yang diharapkan pabrik plesternya waktu mendesain plester ini? Supaya anak yang nangis waktu luka itu bisa mingkem dan merasa lukanya seperti putri gitu? Dan kenapa gambarnya kudu gambar putri-putri bikinan Disney? Kenapa mereka nggak bikin plester bergambar putri lokal aja, misalnya plester gambar Dayang Sumbi, gambar Bawang Putih, gambar Klenting Kuning, atau gambar Nyi Roro Kidul?

Saya jadi kepingin mendesain plester juga. Saya pingin bikin plester bergambar foto diri saya sendiri. Siapa tahu anak-anak yang terluka dan memakai plester bergambar foto saya, nyerinya bisa reda, karena mereka merasa dengan memakai plester itu, mereka jadi tetap cantik seperti saya..

*dikeplak semua jemaah Georgetterox*

Sunday, March 25, 2012

Nasi Ungu

Saya sudah sering makan nasi kuning. Nasi merah juga sering. Nasi oranye ya lumayanlah. Nasi ijo pernah makan. Nasi item juga pernah ngincipi. Tapi saya belum pernah makan nasi ungu.

Saya nemu ini di pusat kota Ngawi. Nasi ungu sebetulnya nasi putih juga, tapi dibumbuin ketela sehingga warnanya menjadi ungu. Dimakan bareng lauknya, bisa berupa ayam goreng, ikan goreng, atau lauk goreng apapun sesuai selera. Malam ini saya dan my hunk memilih bebek goreng buat nemenin nasi ungu kami.

Rasanya biasa aja sih, nggak istimewa-istimewa amat. Tapi bolehlah buat pengalaman. Nasi ungu ini dibanderol Rp 17k, sudah termasuk bebek goreng, lalap, dan jeruk anget. Yang jualnya ndeprok di depan kantor Dinas Pertanian di kawasan Yos Sudarso.

Setelah nasi ungu, kapan-kapan saya kepingin nyobain nasi warna lain. Saya belum pernah ngincipin nasi biru, nasi pink, nasi burgundy, atau nasi toscha, apalagi nasi fuschia. Eh, ini sebenarnya mau ngomongin warna nasi atau warna lipstik ya?

Saturday, March 24, 2012

Cerita Ruang Tunggu

Suatu hari datang seorang perempuan ke UGD rumah sakit di Ngawi di siang bolong mau periksa kehamilan. Konon mestinya kemaren sudah lahir tapi sampek hari ini si bayi masih belum menunjukkan tanda-tanda mau keluar dari perut emaknya. Si emak pun disuruh masuk ke kamar periksa, sedangkan suaminya dititah buat menunggu di ruang tunggu.

Kami periksa si ibu dan memutuskan sebaiknya si ibu di-Cesar aja supaya anaknya cepat keluar. Operasinya darurat dan harus dilakukan saat itu juga. Jadi kami siapkan si ibu dan si ibu pun setuju saja dioperasi.

Persoalannya..keluarganya mendadak ngilang. Di ruang tunggu nggak ada. Dicari di taman nggak ada. Suster di UGD sampek menjelajah seluruh rumah sakit menanyai setiap penunggu pasien yang nongkrong dengan pertanyaan yang sama, "Bu, panjenengan keluargane Bu Dewi Sekartaji?" Dan tentu saja tidak ada yang mengaku karena ternyata..keluarganya si pasien sudah pulang semua ke rumahnya!

Terus, kami suruh si pasien buat nelfon suaminya supaya balik lagi ke rumah sakit. Maka si emak pun ambil HP-nya lalu pencet nomer suaminya. Eh eh..tiba-tiba terdengarlah ringtone aneh dari tas si emak. Ternyata HP suaminya malah dititipin ke tas pasiennya..

Padahal untuk persyaratan hukum, operasi yang ini pakai operasi bikin mandul, jadi suami harus tanda tangan. Lha sekarang kalau suaminya pulang ke rumah, siapa yang bisa tanda tangan? Mosok kami merekrut satpam buat pura-pura jadi suaminya yang setuju bininya dibikin mandul, hihihi..

Akhirnya, setelah si pasien kalang kabut menelfon semua tetangganya, didapatkan informasi bahwa si suami sudah sampek rumah lalu oleh tetangganya disuruh balik lagi ke rumah sakit. Saat blog ini lagi saya ketik, suaminya sedang dalam perjalanan ke rumah sakit, tidak mengetahui bahwa di sini ada suster-suster yang siap ngamuk ke si suami gara-gara si suami kabur meninggalkan istrinya yang mau melahirkan sendirian..wkwkwkwk..

Orang kadang tidak tahu bagaimana aturannya kalau mengantar keluarganya berobat. Mereka kira dengan menaruh keluarga mereka di rumah sakit begitu saja lantas rumah sakit akan membereskan semua persoalan. Padahal rumah sakit tetap butuh keluarga pasiennya. Buat minta persetujuan atau bahkan pernyataan menolak jika akan melakukan tindakan medis yang berisiko. Buat menyuapi pasiennya kalau pasiennya ngeyel nggak mau makan sup bening yang disediakan suster. Buat dikasih tahu kalau mau plester yang mahal itu nggak ditanggung asuransi. Jadi si keluarga nanti nggak kaget kalau nanti tahu-tahu dikasih kabar buruk, entah itu pasiennya kenapa-kenapa atau sekedar ditagihin biaya segepok.

Saya sih lebih tertarik berpikir gimana seandainya saya berdiri di sepatu suaminya. (Eh eh, suami si pasien ternyata pake sendal ding, bukan sepatunya.. :p)
Saya iseng jalan-jalan ke ruang tunggu dan terhenyak. Hahaha..pantesan si keluarga kabur, lha mereka nggak betah nunggu di ruang tunggu. Ruang tunggunya jauh dari tempat tidur si pasien. Kursinya nggak empuk dan keras, mungkin sengaja didesain supaya nggak ada penunggu pasien yang tergoda buat tidur di situ. Tapi saya duga keras yang paling bikin bosen adalah di ruang tunggu nggak ada tukang jualan makanan..

Coba kalau di rumah sakit tuh ruang tunggunya dibikin menarik supaya penunggu pasien betah nungguin keluarganya yang lagi ditindak.
1. Disediain majalah, kalo bisa majalahnya yang ruwet-ruwet kayak Wall Street Weekly atau Reader's Digest. Dijamin pengunjungnya butuh waktu lama buat ngertiin isinya dan itu cukup buat membunuh waktu selama nungguin pasien.
Sekiranya Wall Street Weekly terlalu mahal dan bikin rumah sakit bangkrut, cukuplah disediakan Jawa Pos atau minimal buku teka-teki silang.
2. Disediain toilet, jadi pasiennya nggak perlu pulang ke rumah buat kebelet pipis.
Kalau perlu, toilet dibikin bisnis sekalian. Pengunjung yang mau pup atau pipis di-charge. Lebih mahal lagi kalau pengunjungnya mandi. Boleh juga jualan sabun bonus sikat gigi yang warnanya bisa milih sendiri. Rumah sakit bisa kaya lho hanya dengan menyewakan toilet. Anda pasti nggak bisa membayangkan berapa persen stok air rumah sakit terkuras gara-gara penunggu pasiennya suka numpang mandi di rumah sakit!
3. Dibikinin playground buat main anak-anak. Syukur-syukur ada odong-odong. Sekali naik satu lagu, di-charge Rp 5k. Bayangkan berapa omzet yang bisa ditarik dari pengunjung pasien yang bawa anak-anak. Charge-nya lebih mahal lagi kalau pakai lagunya Justin Bieber. Turunin dikit harganya kalau pakai lagunya CherryBelle. Sepuluh kali naik odong-odong bonus naik satu kali. Sip!
4. Di ruang tunggu dipasangin foto-foto berukuran poster bergambar artis-artis yang pernah berobat ke rumah sakit itu. Siapa tahu kalau dilihat pengunjung, pengunjungnya merasa dirinya artis karena sama-sama pernah berobat ke situ. Kalau kebetulan rumah sakitnya tipe rumah sakit kabupaten yang nggak pernah disamperin artis, bolehlah diganti dengan foto bupati, anggota DPR, atau minimal ya tokoh masyarakat yang berobat ke sana (sampek sekarang saya masih jijik dengan istilah "tokoh masyarakat". Apaan sih tuh? Kalau saya ngetop di kalangan blogger, boleh nggak saya dibilang tokoh masyarakat?)
5. Tapi yang paling signifikan, mbok dibikin kafe-kafean gitu di ruang tunggu. Bukan rahasia lagi kalau penunggu pasien itu lebih sengsara daripada pasiennya karena mereka kan nggak dikasih jatah makan dari rumah sakit. Kelaparan itu sumber kemarahan, dan kemarahan keluarga pasien adalah sumber masalah yang nggak perlu buat rumah sakit. Jadi supaya keluarga pasien seneng, keluarga harus dibikin kenyang. Makanya di ruang tunggu sebaiknya ada yang tukang jualan makanan. Bisa jualan panekuk atau esgrim. Lumayan kan membuka peluang lapangan pekerjaan? ;)

(Sutralah, Vic, ini mau bikin ruang tunggu rumah sakit atau mau bikin mall?)
http://laurentina.wordpress.com
www.georgetterox.blogspot.com

Sunday, March 18, 2012

Apartemenku Seperti New Orleans

Saya baru pulang dari jaga pagi ini dengan penuh kelelahan lantaran baru saja terbebas dari hari yang cukup berat. Seharian kemaren jagain rumah sakit saya direpotkan ibu melahirkan yang kebanyakan stolsel, ibu dengan bayi cacat yang separuh air ketubannya sukses membanjiri baju saya, ditambah gadis ingusan berumur 16 tahun yang hamil di luar nikah dan semalaman nangis jerit-jerit kepingin ditemani ibunya. Saya nggak kepingin apapun selain pulang, mandi, dan mulet sebentar di kasur. Jadi itulah harapan terakhir saya waktu membuka kunci apartemen dan menemukan..

..Kamar saya kotor, kotor, kotor. Seperti New Orleans diguyur Katrina.

Seperti baru dilimpahi hujan air yang bercampur debu. Mustahil. Saya selalu nutup jendela sebelum pergi kok.

Lalu saya mendongak dan menyadari ambang lobang angin yang biasanya hanya akan tembus air jika badai super lebat. Dan kecil kemungkinannya badai itu terjadi di Surabaya. Surabaya bisa hujan saja sudah hebat, apalagi badai?

Tapi badai macam apa yang mengguyur apartemen saya sampek-sampek saya nggak berani tidur di sprei saya sendiri saking kotornya lantaran kecipratan hujan? Cipratan hujan debu itu mengotori seluruh kamar saya, mulai dari tempat tidur sampek meja tulis. Mendadak saya merasa bersyukur karena saya punya kebiasaan menyimpan sajadah di lemari. Sekiranya saya malas dan menggeletakkan sajadah bekas sholat di lantai begitu saja, pasti sajadah itu kecipratan hujan debu juga dan nggak bersih buat dipakai sholat.

"Bapaak!" Saya mengadu ke concierge yang jagain apartemen saya. "Kenapa kamarku jadi kayak ken Katrina begini??"
Lalu concierge saya bilang bahwa yang kena musibah kamarnya kena badai nggak cuman saya, ternyata tetangga-tetangga di gedung apartemen saya juga kena semua.

Belakangan saya baru tahu se-Surabaya Timur diguyur badai yang sama. My hunk terpaksa menyapu living room di rumahnya lantaran ruangan itu kecipratan badai kotor juga.

Kejadian badai itu terjadi kemaren, Sabtu, sekitar jam 1 siang. Saya bergidik ngeri, membayangkan kalau pas kejadian badai itu saya lagi tidur siang di kamar saya, pastilah badai debu itu menimpa saya dan saya langsung kena pneumonia.

Padahal saya lagi jaga rumah sakit. Dan beberapa hari sebelumnya saya sempat bersungut-sungut bahwa saya dapet giliran jaga rumah sakit hari Sabtu, lagi. Hari sabtu tuh seharusnya orang pergi berkencan, bukan masuk kantor.

Ada gunanya ya sholat itu? Tuhan menyelamatkan saya, lagi. Dia menyelamatkan saya dari badai debu dengan cara kasih saya giliran jaga rumah sakit hari Sabtu.

Saya nulis ini dalam perjalanan ke kuliah profesor. Hari Minggu saya tetap kuliah. Padahal apartemen saya lagi berantakan seperti New Orleans kena badai Katrina. Dan besok saya akan pergi dinas keluar kota sampek dua minggu. Saya tidak tahu kapan saya akan sempat membersihkan kamar saya dari bekas bencana itu..
http://laurentina.wordpress.com
www.georgetterox.blogspot.com

Friday, March 16, 2012

Tanya Suaminya!

Kerjaan saya tiap hari menginterogasi ibu-ibu hamil. Salah satu evaluasi yang mesti saya lakukan adalah memperkirakan kapan perempuan-perempuan ini akan melahirkan. Salah satu metode paling akurat buat memperkirakan tanggal kelahirannya itu adalah menghitung dulu kapan ibunya terakhir kali dapet menstruasi. Tapi ini justru paling susah, karena sebagian besar ibu justru nggak inget kapan terakhir kali mens.

Saya: "Bu, kapan terakhir datang bulan, Bu?"
Ibu (mengelus perutnya yang menggembung bak naga nelan rumah): "Aduh, saya lupa.."
Saya: "Dikira-kira dong, Bu. Bulan apa kira-kira mens terakhir? Agustus? Juli?"
Ibu: "Ngg..kayaknya bulan lima, Dok.."
Saya: "Bulan Mei ya? Tanggal berapa?"
Ibu: "Ngg..tanggalnya nggak inget, Dok.."
Saya: "Coba diinget-inget lagi.. Tanggal belasan? Tanggal 20-an?"
Ibu: "Biasanya sih tanggal muda, Dok.."
Saya: "Tanggal berapa itu? Tanggal 1? Tanggal 5? Tanggal 7?"
Ibu: "Saya lupaa.."
Saya: -__-"

Beberapa ada yang lebih parah. Ini salah satu pasien hamil pertama yang nggak bisa bahasa Indonesia sama sekali dan cuman bisa ngomong bahasa Madura. Terpaksalah pembicaraan ini saya bikin dalam bahasa Madura yang patah-patah.
Saya: "Bu? Hamil, Bu?"
Ibu: "Enggih.." (Iya..)
Saya: "Hamil berapa bulan, Bu?"
Ibu: "Ta' oni.." (Nggak tahu..)"
Saya: (mulai bingung, lalu saya ingat bahwa salah satu metode menginterogasi tanggal mens adalah bertanya dari menikah sampek menyadari hamil itu butuh berapa bulan) "Ibu, Ibu kawin berapa tahun?"
Ibu: "Situng.." (Satu..)
Saya: "Ibu kawin bulan apa?"
Ibu: (diam sebentar sementara terengah-engah, maklum ibunya preeklampsi) "Bulan Rejeb.."
Saya: (nangis darah lantaran nggak apal penanggalan Hijriyah)

Lalu saya teriak ke suster di rumah sakit. "Buu..bulan Rajab itu bulan apa kalo tahun Masehi??"
Suster: (kebingungan dan membolak-balik kalender di ruangan, kalendernya gambar obat-obatan dikasih detailer dari farmasi *a*** Farma) "Dok, di sini adanya tanggalan Cina.."
Saya: "Dasar pedagang imperialis!"

Ibu-ibu hamil ini memang kadang-kadang menjengkelkan. Kontrol kehamilan hampir nggak pernah, dateng-dateng cuman buat minta USG. Giliran ditanya hamil berapa bulan, mendadak amnesia.
"Yakin Ibu hamil sembilan bulan? Atau sepuluh bulan?" tanya saya melirik waswas ke perutnya yang menggembung tanggung. Batin saya, kalo cuman hamil sembilan bulan berarti dia masih oke. Tapi kalo sampek hamil sepuluh bulan dan perutnya kecil gitu, berarti si bayi sudah tua dan terabaikan dengan berat yang kecil di dalam selama berbulan-bulan.
"Sembilan kok, Dok..seingat saya sih.." jawab si ibu ketawa meringis.
"Jadi ibu terakhir mens bulan apa? Mei apa Juni?"
Si ibu diam sebentar. "Lupa.."
Saya pegang meja. Takut pingsan saking gemesnya. Akhirnya saya melirik suaminya dengan tatapan lu-punya-bini-yang-lu-buntingin-tapi-kok-nggak-lu-suruh-periksa-ke-mana-mana-selama-ini-sih.
Suaminya mesem-mesem tengsin, dan akhirnya berkata, "Seingat saya memang bulan Juni itu masih keluar darah, Dok. Belum bersih sekali.."
Saya: "Sampeyan inget soalnya sampeyan yang berkepentingan ya?"
Suaminya: "Hehehee.." (Nyengir)

***

90 persen wanita di dunia ini punya siklus mens yang nggak teratur. Ada yang keluar empat minggu sekali, ada yang keluarnya sampek tujuh minggu sekali. Tidak heran banyak yang tidak menyadari bahwa dirinya hamil. Ada yang terlena dengan absennya sampek tahu-tahu tersadar bahwa dia sudah nggak mens tiga bulan. Tahu-tahu pas periksa ternyata hamil lima minggu.

Lalu saya jadi inget sendiri. Eh, saya terakhir kali mens tanggal berapa ya? Siklus saya rasanya teratur, tapi saya lupa aja persisnya tanggal berapa.

Lalu saya ngomong ke my hunk, "Aku sekarang pikun ya? Kok aku lupa ya mens terakhirku tanggal berapa?"
My hunk (enteng menjawab): "Kamu terakhir kali mens itu tanggal X."
Saya: (kaget) "Lho, kok Mas inget?"
My hunk: "Soalnya tanggal segitu kamu jadi sensi dan bad mood terus.."

Tuesday, March 13, 2012

Cepat Puas dan Bersyukur Itu Beda

Setiap orang punya kedai langganan, entah itu berupa sekedar warung tegal atau warung kopi di pinggir jalan, di mana akan selalu menjadi tujuannya kalau dia lagi mati gaya dan nggak tahu mau jajan apa. Sama seperti saya, yang kemaren memilih makan di sebuah warung dekat apartemen saya, lantaran saya lagi bosen makan di kantin rumah sakit. Saya nggak tahu kenapa saya milih makan di sini, padahal tempatnya panas bukan main, dan si ibu yang jualan di warungnya punya muka yang cukup masam sehingga lebih pantes dijadiin acar. Tapi saya hafal di sini gulenya enak, biarpun nggak seenak gule bikinan nyokap saya di Bandung, atau seenak gule yang dijual di pinggir lapangan hoki depan rumah sakit tempat saya sekolah. Jadi saya ke sana, lagi, untuk makan siang.

Nggak sengaja saya mencatat dalam hati bahwa di antara warung-warung dekat apartemen saya yang sering jadi tempat ngandok saya buat makan siang, pemilik warung yang satu ini nggak pernah bilang terima kasih. Kalau di warung-warung lain tuh, saban kali pembelinya habis mbayar, pemiliknya selalu bilang, "Matur suwun" atau "Terima kasih, Mbak'e.." Nah, warung yang ini jelas nggak pernah. Boro-boro bilang terima kasih, senyum pun tidak pernah.

Memang kalau saya hitung-hitung, si pemilik warung ini juga kayaknya nggak bakalan kehilangan profit biarpun dia tidak menaruh poin senyum atau poin terima kasih dalam SOP pelayanannya. Karena, dibanding warung-warung lain, warung inilah yang menyediakan meja dalam bangunan semipermanen sehingga pembeli nggak perlu takut kehujanan atau kepanasan ketika sedang makan soto di dalamnya. Hidangan jualannya juga terhitung variatif karena pilihan makanannya paling banyak dibandingkan warung-warung lainnya. Praktis dia tidak punya saingan, jadi dia nggak perlu kuatir bangkrut biarpun dia nggak pernah tersenyum kepada pelanggan.

Saya rasa, ini namanya yang disebut "cepat puas". Puas dengan keuntungan stagnan yang dia peroleh setiap hari. Meskipun nggak terhitung berapa banyak pelanggan yang ngedumel gara-gara saban kali pesan susu Milo, Milo-nya selalu disediakan dalam gelas dengan bonus semut berenang.

Saya cuman berharap pemiliknya mau menaikkan standar sanitasinya supaya kaleng susunya ditutup lebih rapat jadi nggak perlu kemasukan semut gajah. Sekiranya itu sulit, saya berdoa supaya pemiliknya mau mengucapkan terima kasih setiap kali pelanggannya membayar dengan uang pas. Jika itu masih susah juga, saya sudah cukup senang jika si ibu pemilik warung itu mau tersenyum sedikit saja.

Karena menurut saya, dengan perbaikan kinerja seperti itu, tanda dia bersyukur bahwa warungnya masih didatangin pengunjung. Bukan sekedar cepat puas karena nasi yang dia tanak semenjak jam tiga subuh bisa ludes sehingga dia sudah bisa tutup warung meskipun jam baru menunjukkan jam tiga sore. Mestinya orang itu jangan merasa cepat puas karena bisa bikin profit tanpa harus bekerja terlalu keras. Mestinya dia putar otak dan mikir gimana caranya bikin warungnya bisa nampak lebih bagus lagi.

*Ah, Vic, kenapa kau harap orang mau berpikir seperti cara mikirmu? Dia mau perbaikin servis warungnya atau tidak, toh orang tetap akan datang. Dan besok-besok pasti kau akan tetap kembali makan di situ dan memesan menu yang sama kan?*

Saturday, March 10, 2012

Pusing Milih Baju Cowok

Alkisah saya pernah nemenin kakak belanja di mal. Setelah puas ngider keliling mal belanja-belanji, mendadak kakak saya nepok jidat karena ternyata waktu sudah hampir sore dan dos-q belum beli oleh-oleh baju buat suaminya. Jadi masuklah kami ke department store yang super besar.

Saya selalu berharap store yang gede dan mewah bisa menyediakan pilihan baju yang beragam, tapi ternyata saya lagi-lagi overekspetasi. Saban kali kakak saya nyodorin pilihan ke saya, "Ky, yang ini bagus buat Mas, nggak?" Saya selalu menggeleng sembari mengernyit.
"Standar," jawab saya. Atau, "Waduh, pasaran."

Lama-lama kakak saya bosen denger jawaban saya dan protes, "Jadi Mas dibeliin yang mana doong?"
Saya ngangkat tangan dan nyerah, "You know what, aku bahkan nggak akan mau beliin my hunk baju motif itu, bagaimana aku tega mau sarankan itu ke suami orang?"
"Ini motif setrip-setrip," keluh kakak saya. Makudnya, bagaimana bisa cowok nggak pantes dipakein motif setrip?
Saya malah menjawab, "Again?" Batin saya, setiap cowok pasti punya baju motif setrip di lemarinya. Karena motif apa lagi yang bisa dipake cowok selain motif setrip-setrip? *pasrah*

Saya baru sadar alangkah beruntungnya saya dilahirkan jadi cewek karena saya bisa pilih motif baju apapun yang saya inginkan. Tapi cowok nggak bisa, mereka cuman bisa bergulat di antara motif setrip-setrip atau motif kotak-kotak. Motif polkadot jelas akan membuat mereka nampak seperti badut, dan kemiripan mereka terhadap badut berbanding lurus dengan diameter polkadotnya. Motif pantai akan membuat mereka nampak seperti mau ke Hawaii, itu sebabnya motif ginian nggak laku dijual oleh Raoul atau Executive 99. Lebih parah lagi kalau cowok sampek pakai baju motif kembang-kembang. Jangankan ditaksir cewek, homo pun ogah mau naksir mereka.

Akhirnya sore itu berakhir dengan kakak saya menyambar kemeja cowok berwarna cokelat setrip-setrip. Dan saya menggeleng, lagi.
"Nggak ada alternatif motif lain," gerutu kakak saya.
"Bukan itu," kata saya. "Mas kan sudah punya baju cokelat garis-garis."
Kakak saya mengernyit. "Tidak mungkin. Dia belum punya."
Jawab saya dengan nada bersumpah, "Sudah. Aku pernah liat kok."
"Kamu gimana sih? Aku tau dia nggak punya kok. Aku kan istrinya?" protes kakak saya.
Lalu saya mulai menyesali daya ingat saya yang tajam tentang baju-baju yang dimiliki teman-teman cowok saya.

Saya harus perluas wawasan saya, tidak hanya berjibaku dengan website-website yang membahas trend make up pengantin, rumah-rumah dijual dengan harga miring, atau ibu hamil dengan penyakit jantung. Saya harus mulai lirik juga website-website yang membahas baju cowok. Sesungguhnya, kekerenan para pria adalah tanggung jawab dari istri-istri atau pacar-pacar mereka. Persoalannya cuman satu, kebanyakan butik-butik cowok yang keren-keren di Surabaya ternyata lebih banyak didatangin oleh para homo ketimbang para hetero..