Saturday, October 31, 2009

Proposal Halloween Indonesia


Halloween yang populer di Amrik, belum begitu populer di Indonesia coz orang Indonesia belum ngeh-ngeh amat dengan Halloween. Halloween sebenarnya berasal dari tradisi orang-orang Celtic kuno di tanahnya Ratu Victoria sana. Mereka percaya bahwa pada tanggal 31 Oktober, batas antara dunia nyata dengan dunia roh halus jadi tipis, sehingga roh-roh halus berdatangan ke dunia manusia. Roh halus itu ada yang jahat dan ada yang baik, dan manusia waspada coz takut roh jahat itu bakalan merasuki manusia. Supaya nggak kesurupan, manusia membentengi diri mereka dengan make topeng sehingga tampangnya jadi mirip roh jahat itu, biar roh jahat yang mau nyurupin manusia ini merasa bahwa manusia ini "masih temennya", jadi nggak usah disurupin. Hm..mungkin tips ini bisa ditiru anak-anak sekolah menengah dan pekerja-pekerja pabrik yang paling sering diberitakan kesurupan. :-P

Pada perkembangannya Halloween nggak dipake lagi sebagai hari buat membentengi diri dari roh jahat. Malah cuman diambil sisi hiburannya yaitu buat pawai keliling dusun pake kostum unik. Kostum yang dulu populer pas Halloween adalah kostum roh jahat seperti kostum setan, nenek sihir, vampir, dan sejenisnya. Sekarang banyak banget orang merayakan Halloween pake kostum Putri Salju, kostum Batman, bahkan kostum tomat. Membuat gw sering sulit membedakan apakah ini Hari Halloween atau Hari Pesta Kostum?

Di Indonesia, Halloween dirayakan di beberapa sekolah yang memang seneng bikin pesta. Sekolah-sekolah ini bikin pesta di hari apa aja, entah itu Valentine, prom night, agustusan, dan entah apa lagi. Di mal-mal kota besar, Halloween dimanfaatkan sebagai momentum buat mendekorasi mal, dan para pengusaha mal memang senang nunggu hari-hari istimewa buat ngedekor mal, entah itu pas Imlek, Natal, Lebaran, dan lain-lain. Tujuannya apalagi kalo bukan buat mendekor mal dan diharapkan bisa mendongkrak omzet mal. Contohnya yang di foto ini.

Foto ini gw jepret di Mal Paris van Java, Bandung, dua minggu yang lalu. Mal ini mendekor plaza tengahnya dengan boneka-boneka penyihir yang digantung di udara. Kenapa di foto ini ada angklungnya? Yup, karena pada malam gw jepret foto ini, di mal itu baru diadain parade angklung, dan pertunjukan angklungnya dipentasin di plaza tempat digantungnya dekorasi boneka penyihir itu. Keputusan yang cerdas, menurut gw, coz pada dua titik pandang yang sama orang bisa melihat dua simbol dari dua budaya yang berbeda, yang satu budaya dari negeri orang dan yang satu lagi adalah budaya dari negeri sendiri.

Sewaktu hari Sumpah Pemuda lalu, gw agak jenuh dengan blog-blog yang sok nasionalis, dalam hal ini yang isi tulisannya mengecam generasi muda yang lebih senang mengagung-agungkan budaya barat. Well, menurut gw, itu sempit banget coz nggak semua pemuda Indonesia kayak gitu, malah cuman segelintir doang yang sok westernisasi. Menurut gw budaya barat itu, atau bahkan budaya utara, selatan, tenggara, atau timur laut sekalipun, nggak masalah kalo diaplikasikan kepada kehidupan sehari-hari kita asalkan memang nggak nyenggol prinsip identitas kita. Malah kalo kita mau kreatif, hasil budaya negeri orang itu bisa kok dimodifikasi ulang dengan budaya kita sendiri. Contohnya aja, kita bisa bikin Halloween a la Indonesia.

1. Pake aja cara mistis a la negeri sendiri, misalnya mal-mal didekorasi pake bau kemenyan.

2. Supaya lebih menghayati Halloween, pegawai-pegawai tokonya disuruh pake kostum pocong, genderuwo, leak, wewe gombel, atau sejenisnya. Kan biar Halloween-nya lebih ng-Indonesia gitu, hehehe..

3. Mal-mal bisa masang booth-booth mistis selama hari Halloween, misalnya bikin stand paranormal, dengan mengundang paranormal tradisional yang suka muncul di tivi-tivi itu.

4. Stasiun-stasiun tivi bisa ikut merayakan Halloween dengan memutar parade film-film horor Indonesia, kalo perlu 24 jam penuh isinya film horor semua. Eneg biar eneg dah!

Selamat Halloween! Bagaimana proposal Halloween a la Anda? ;-)

Friday, October 30, 2009

Jalannya Mbahmu

Temen gw baru cerita ke gw bahwa sekarang dia lebih sering naik angkot ketimbang bawa mobil sendiri. Tadinya gw kirain dia mau sok ikut-ikutan green life gitu, atau mau ngirit bensin, atau lebih parah lagi jangan-jangan mau ngecengin kenek angkot. Tapi ternyata dia menampik semua tuduhan gw itu sambil menggerutukan alasannya yang benar, “Orang-orang krucuk itu ngehalangin jalan gw.”

Jadi gini, teman gw ini, sebut aja namanya Fiona, tinggal di sebuah komplek perumahan di sebuah kota di Indonesia. Rumah sebelahnya rumah Fiona itu kosong blong, udah lama nggak ada penunggunya. Lalu beberapa minggu terakhir ini datanglah segerombolan orang kerja di rumah itu, membenahi beberapa tembok yang mau roboh, genteng yang mau bocor, mengecat ulang tembok, termasuk membangun beberapa ruangan baru. Wah, mau punya tetangga baru nih, batin Fiona.

Lalu, ada yang bikin Fiona, dan juga beberapa tetangga lain yang tinggal di jalan itu, jadi ngegosipin rumah itu. Soalnya kuli-kuli itu membangunnya sembarangan. Maksudnya, gundukan pasir buat mbangun rumah itu, ditumpuk di pinggir jalan, dan tumpukannya meluber ke mana-mana sampai makanin 75% badan jalan. Alhasil, tetangga-tetangga lainnya yang bawa mobil, nggak bisa lewat. Eh, bisa sih, tapi ya kudu liat-liat dengan super hati-hati gitu, supaya mobilnya nggak sampai nyebur selokan, cuman gara-gara menghindari gundukan pasir yang udah mirip gunung-gunungan itu.

“Dikiranya jalannya mbah’e, apa?” ujar Fiona ketus waktu bilang itu ke gw.

Lalu gw bilang sama Fiona, ya bilang dong sama mandornya, supaya tuh pasir bangunan ditata yang rapi biar nggak ngalang-ngalangin jalan. Jadi mobil dia bisa lewat. Tapi, jawab Fiona, “Mandornya yang mana, gw juga kagak tau.” Dan memang tidak ada seorang pun yang tau. Pasalnya, dari hari pertama pembangunan rumah sampai sekarang, tuh pemilik rumah maupun pimpinan proyeknya nggak kulo nuwun dulu sama para tetangga.

“Tau ya, rumah lu ya rumah lu sendiri, tapi jalan depan rumah lu bukanlah punya lu sendirian. Biarpun mbah lu Kepala Dinas PU yang mbangun jalannya! Mbok kenalan gitu sama tetangga kiri-kanan yang tinggal duluan di situ, ‘Permisi..ini saya mau bikin rumah. Maaf ya, kayaknya nanti pasir buat pembangunannya bakalan ngalangin jalan..’ Lhoo..kalo kayak gitu kan lebih elok. Kita juga tau kok halaman rumah kita di kompleks ini sempit-sempit, pasti mau nggak mau bahan-bahan bangunan itu bakalan ngeganggu jalan. Kita juga pasti maklum. Tapi ya bilang-bilang dulu dong sama pemake jalan yang lain. Minimal kenalan dulu gitu, kek!” jawab Fiona berapi-api.

Gw mencoba menghibur Fiona bahwa tidak semua orang itu punya sifat pemberani yang sama seperti kita. Beberapa orang masih malu buat ngajak kenalan duluan ke orang lain, apalagi buat bilang bahwa pasir dia bakalan ngehalangin jalan mereka.. 

Jemaah blog gw mungkin nggak ada yang sebloon kuli-kuli ini ya, yang bisa naruh-naruh pasir sampai ngehalangin jalan. Tapi pasti banyak dari kita yang punya impian kepingin bikin rumah sendiri suatu hari nanti, bukan sekedar beli jadi dari developer. Bikin rumah itu ternyata prosesnya nggak main-main, bukan sekedar milih arsitek atau milih kontraktor yang jagoan bikin rumah artistik yang tahan gempas. Tapi juga kudu milih pimpinan proyek yang punya etika, yang bisa meminimalisir segala kerugian yang harus diderita oleh kepentingan umum, sebagai akibat dari pembangunan rumah itu. Pasir ngehalangin jalan baru contoh kecil. Contoh lainnya:
1. Kalo bikin sumur, jangan sampai nyedot air tanah dari sumurnya tetangga.
2. Kalo bikin ruangan yang ngehimpit ke temboknya tetangga, jangan sampai balok langit-langitnya nyodok ke tembok.
3. Kalo bikin balkon, jangan sampai menghadap ke tamannya tetangga coz itu kesannya mau ngintip rumah tetangga.
4. … (isi aja sendiri)

Barangkali calon tetangga barunya Fiona itu bukan orang terpelajar. Atau setidaknya, nggak lulus pelajaran tata krama, hahaha.. Ah, jadi nyesel nih. Pantesan orang jaman sekarang rata-rata nggak sopan. Lha dulu waktu SD pelajaran PMP-nya juga cuman 2 x 30 menit..

Thursday, October 29, 2009

Pengunjung Gelap

Jika ada yang dongkol tentang gimana seorang bayi yang lagi dirawat bisa hilang di sebuah rumah sakit, barangkali cerita berikut bisa menjelaskannya sedikit.

Alkisah di sebuah bangsal yang khusus merawat orang-orang sakit jiwa, suatu hari pada bangsal inap itu mau diadakan visite besar. Hari itu sudah berkumpul para mahasiswa residen yang lagi belajar buat jadi psikiater, dan para mahasiswa koass yang lagi belajar buat jadi dokter umum, menunggu datangnya seorang psikiater yang akan memeriksa satu per satu kasus pasien yang sudah mereka pelajari sepanjang minggu itu. Perawat berseru kepada semua pasien sakit jiwa yang lagi main di bangsal, “Ibu-ibu, Bapak-bapak, ayo semuanya kembali ke tempat tidur ya. Mau diperiksa sama Pak Dokter!”

Yah namanya juga pasien sakit jiwa, ada yang nurut, ada yang nakal. Pasien-pasien yang nurut mau aja disuruh duduk yang manis di tempat tidurnya. Sementara pasien yang mbandel tetap mondar-mandir keliling ruangan.

Gw pernah berada di situasi seperti itu waktu gw masih jadi koass dulu, dan gw sering ketawa ngeliat mantri-mantri harus main kejar-kejaran sama pasien-pasien sakit jiwa yang seneng main petak umpet. Senior-senior gw yang jadi residen itu nampak stress karena mereka mau dites oleh dosen kami, sehingga kadang-kadang gw susah membedakan yang mana yang lebih waras, apakah dokter residen psikiatrinya, atau malah justru pasien psikiatrinya, hehehe.. Oh ya, kami para koass waktu itu ngga tau yang mana dosen ahli jiwanya, sebab dosen itu sibuk banget dan jarang menemui kami.

Lalu tiba-tiba situasi ruangan itu menjadi hening. Seorang bapak yang bajunya cukup kumal berjalan nyelinap di antara mahasiswa-mahasiswa itu. Seorang mahasiswa koass yang ganteng dan cukup awas matanya langsung berpikir ini pasti satu lagi pasien bandel yang ngga mau duduk di tempat tidur, jadi dia segera menghampiri bapak itu, dan berkata dengan lembut, “Bapak, ayo Bapak ke tempat tidur dulu yuuk.. Biar bentar lagi diperiks..”

Belum selesai ngomong, tiba-tiba koass ganteng itu ditarik oleh residen-residen dan dengan panik residen-residen itu berusaha ngumpetin si koass di antara koass-koass yang lain. “Adek!” desis seorang dokter residen marah sambil berusaha supaya suaranya ngga kedengeran yang lain. “(Bapak) itu dosennya..!”

*****

Stereotype bahwa dokter itu pasti pake baju putih itu ngga selalu benar. Masalahnya, umumnya pasien suka ngeri duluan kalo liat dokter pake baju putih (jadi harus pake warna apa dong?). Belum lagi kadang-kadang rumah sakit tuh suka panas karena kebanyakan pasien, jadi gw sering ngerasain bahwa jas putih itu bikin kegerahan aja. Dokter menyadari hal ini, jadi kadang-kadang mereka mencopot jas putih mereka kalo lagi tugas di rumah sakit. Meskipun kadang-kadang itu tidak bijak. Bahkan kalo nggak pake jas putih pun, gw lebih mirip model ketimbang dokter. :-P

Tentu saja orang-orang rumah sakit sadar ini, tapi siapa sih yang berani marahin dokter yang ngga mau pake jas putih? Sejauh ini gw belum pernah dengar ada orang yang berani ngomong, “Dokter, besok-besok kalo Dokter ngga pake jas lagi, Dokter ngga boleh periksa pasien di sini!” Hahaha..
Makanya orang rumah sakit suka cuek aja kalo liat dokter-dokter berkeliaran di ruang opname tanpa jas putih dan nampak seperti pengunjung biasa.

Ketika gw denger bahwa seorang bayi baru lahir hilang dari perawatannya di sebuah rumah sakit di Semarang tiga hari lalu, gw ngga kaget. Di kebanyakan rumah sakit, orang manapun bisa aja masuk ke ruang-ruang perawatan pasien, ngga jelas apakah dia dokter, apakah dia perawat, apakah dia petugas yang bagi-bagi jatah makanan, apakah dia pasien, apakah dia keluarga pasien, atau apakah dia maling.

Banyak rumah sakit ngga mewajibkan pasiennya pake seragam piyama, padahal itu tanda bahwa mereka adalah pasien yang menjadi tanggung jawab rumah sakit tersebut. Keluarga pasien tidur numpuk-numpuk di sebelah tempat tidur pasien, akibatnya satu ruangan yang seharusnya cuman merawat delapan orang malah jadi dihuni oleh 16 orang. Pengunjung pasien yang membesuk keluar-masuk kamar seenaknya, ngga peduli apakah itu jam besuk atau bukan, padahal bisa jadi itu jam pasien harus tidur siang, pasien harus dimandiin, pasien harus makan malam, dan sebagainya. Memang ada satpam sih, tapi lama-lama seolah-olah satpam itu cuman jadi figur pajangan doang.

Gw memuji kenapa perawat sering dicap galak. Memang beban tugas mereka berat banget. Merawat orang sakit aja udah cukup berat, apalagi sampai ditambah-tambah mengatur keluarga pengunjung pasien yang ngga mau tertib. Gw melihat perawat itu suka bertindak jadi agen ganda, ya perawat, ya satpam, bahkan kadang-kadang jadi tukang tagih.

Mudah-mudahan bayi yang hilang itu buru-buru ditemukan. Kesiyan orangtuanya yang udah ngebet kepingin nyusuinnya. Memang kita masih harus banyak belajar supaya bisa punya sistem yang mengatur mutu rumah sakit dengan tegas, termasuk mengatur keamanannya. Supaya kejadian bayi hilang dari ruang perawatan, tidak terjadi lagi di rumah sakit kita.

Wednesday, October 28, 2009

Generasi Cuek? Kita?

Jika gw menulis blog ini dengan melibatkan kata “politik” pada paragraf pertamanya, dijamin jemaah blog gw langsung kabur tanpa mau repot-repot baca seluruh tulisan. Bagaimana pun juga kata itu sudah bikin banyak orang sepantaran gw alergi atau minimal gatel-gatel. Tapi gw terpaksa menulis ini coz gw cukup terusik dengan artikel jajak pendapat di Kompas, dua hari lalu, “Pemuda Indonesia, Generasi Apolitis yang Optimistis”.

Pada grafik di samping yang mendeskripsikan hasil jajak pendapat itu, dibilang bahwa yang disebut pemuda adalah orang berusia 16-30 tahun. Ini adalah area generasi ABG veteran (rata-rata masih ditanggung orang tua, masih belum tahu mau kariernya jadi apa) dan generasi X (sudah mulai berusaha cari makan sendiri biarpun masih tertatih-tatih, dan sudah bisa membayangkan kepingin bekerja seperti apa). Gw adalah generasi X, dan gw merasa jajak pendapat ini bicara tentang kaum gw, tapi sayangnya gw nggak merasa ini menggambarkan kaum gw dengan tepat.

Apa alasannya generasi pemuda Indonesia dibilang apolitis? Pasalnya dari hasil jajak pendapat ini disuratkan (bukan disiratkan lho..) bahwa, hanya sedikit responden yang bilang tertarik buat jadi anggota berbagai organisasi politik dan sosial. Sesuai yang dilansir di grafik sebelah, tidak sampai setengah responden bersedia jadi anggota organisasi kemasyarakatan, organisasi kepemudaan, dan lembaga swadaya masyarakat. Bahkan tidak sampai 20% yang sudi masuk partai politik apalagi buat jadi anggota parlemen. Selanjutnya pada tabel diungkapkan bahwa yang paling banyak diinginkan oleh pemuda adalah menjadi tajir, jauh di atas keinginan untuk “menjadi pemimpin di komunitasnya”.

Gw nggak tau metode macam apa yang dibikin dalam jajak pendapat ini, yang jelas gw nggak suka kalo dengan kedua hasil di atas maka serta-merta disimpulkan bahwa “pemuda Indonesia itu apolitis”.

Sebelum mulai bilang bahwa kita mungkin apolitis, kita patut nanya, memangnya politis itu apa sih? Apakah bersedia jadi anggota partai politik itu lantas dibilang politis? (Tentu aja, Vic, apalagi kalo tujuannya masuk partai politik itu buat ngincar gaji anggota DPR, iya kan?) Lantas, apakah kalo nggak mau jadi anggota partai politik itu berarti apolitis?

Gw sangat ragu soal itu. Menurut gw, nggak mesti jadi anggota partai politik, organisasi masyarakat, dan sejenisnya itu kalo kepingin dibilang politis. Menurut gw, kalo kita kerja di suatu kantor, lalu berani nanya ke boss kenapa gaji kita nggak naik-naik padahal kita sudah bikin perusahaan kita untung besar, itu sudah bisa disebut politis coz kita sudah berani bersikap kritis terhadap manajemen kenaikan gaji pegawai. Di lingkungan rumah, kalo kita berani bilang enggak kepada petugas kelurahan yang seenaknya mungut biaya perpanjangan KTP, itu juga udah politis coz kita nggak mau disemena-menakan sebagai warga negara yang udah bayar pajak yang mestinya dipake buat bayar pegawai negara. Dan kalo teman-teman gw udah berani bikin petisi di Facebook yang bilang bahwa konstitusi anti pornoaksi itu melecehkan banyak perempuan dan tidak menghargai keberagaman budaya di Indonesia, itu juga udah termasuk politis.

Memangnya kenapa kalo kita nggak mau jadi pemimpin di komunitas? Maksudnya, misalnya jadi ketua Karang Taruna, gitu? Gw nggak tau apakah kelompok-kelompok yang mengira dirinya “organisasi kepemudaan” itu bisa mewakili semangat muda atau enggak, atau cuman sekedar jadi perpanjangan Pak RT buat minta sumbangan pesta Agustus-an doang. Sebagai generasi muda, gw ngaku aja kalo gw maunya berada di situasi kelompok yang mau dengerin gw bicara jujur, bukan sekedar bicara “asal bapak senang”. Gw juga kepingin dengerin informasi masukan dari orang lain yang membangun, bukan sekedar yang bilang “setujuuuhh!” kayak anggota paduan suara, bukan juga kecaman yang nggak jelas bilang “kau masih ingusan, jangan sotoy, sudah nurut aja sama orang tua sini”. Dan gw yakin yang kayak gini nggak cuman gw doang, tapi juga orang-orang sepantaran gw yang lain dari generasi gw.

Memang generasi pemuda kita masa sekarang nggak bisa dibandingin sama generasi yang nelorin Sumpah Pemuda pada tepatnya 81 tahun yang lalu. Tapi nggak adil kalo generasinya Bung Karno dicitrakan sebagai generasi gigih yang membangun bangsa, sedangkan generasi kita cuman dicibir sebagai generasi yang mau ongkang-ongkang kaki dan sibuk Facebok-an doang. Situasi jaman sekarang dengan jaman dulu juga beda. Dulu kita melawan sebuah tirani bernama kolonialisme Belanda, sedangkan kita sekarang melawan kaum konservatif yang katanya mau melawan budaya korupsi tapi nggak jadi-jadi. Dulu generasi muda cuman bisa mengekspresikan paling banter dengan menulis di Koran. Sekarang? Kalo kita bisa internetan di HP, kenapa mesti susah-susah buat mengaspirasikan pikiran? Pemuda jaman dulu ya berpolitik dengan cara terbaik yang bisa mereka lakukan di masa itu, sedangkan pemuda sepantaran jaman kita ya punya cara sendiri buat berpolitik.

Selamat Sumpah Pemuda. Usia boleh nambah, tapi semangat harus tetap muda. Biar gw tanya kepada Anda semua, gimana caranya Anda supaya nggak disebut apolitis?

Monday, October 26, 2009

Bukan Jodohmu


Gw baru mau beli buku kalo bukunya didiskon. Kalo nggak didiskon, gw nggak mau. Untungnya di Bandung banyak juga toko buku yang suka ngasih diskon buat semua buku yang mereka jual. Cuman diskon mereka medit bukan main, cuman diskon 10%. Yaah..paling banter 15%!
(Dasar serakah kau, Vic. Sudah untung dikasih diskon, daripada kau disuruh bayar full?)

Untunglah toko-toko favorit gw di Bandung itu lengkap-lengkap, kita minta judul apa aja, mereka punya. Bahkan kalo stok mereka atas buku yang kita mau lagi kosong pun, kita tinggal nulisin aja di formulir yang mereka sediain, dan mereka bakalan nelfon kita begitu mereka punya stoknya. Akibatnya, gw nggak mau lagi beli buku kalo bukan di toko-toko diskon. Sekali waktu pernah ada pameran buku di Braga dan gw meloncat ke sana buat berburu buku diskonan, tapi gw pulang dengan manyun coz merasa nggak dapet apa-apa. Pasalnya, yang pameran di sana cuman mau kasih diskon 5%! Cih, diskon nggak niat!

Maka, waktu bulan lalu di Bandung dibuka toko buku baru, gw langsung ngebet kepingin ke sana. Posisinya di Jalan Supratman. Ramalan gw, biasanya kalo toko baru buka, produk-produknya didiskon semua. Tapi waktu grand launching-nya, gw belum bisa buru-buru ke sana. Soalnya, gw lagi sibuk banget dan kalo mau ke Supratman itu harus nyediain waktu yang agak kosong coz tempatnya jauh.

Kemaren hari Minggu. Gw dan adek jalan-jalan ke kota. Pulangnya kita lewat Jalan Supratman. Serentak gw ingat toko buku yang baru buka itu. Hey, kita kan belum ke sana semenjak mereka buka? Gw langsung ngomporin adek gw buat mampir ke toko itu, mumpung kita lagi lewat sana.

Ternyata, sampai di sana, kita disambut label di tiap rak yang bilang bahwa tiap buku di situ didiskon.. 30%! Asalkan bawa kartu mahasiswa. Gw langsung menarik-narik rambut gw sendiri coz nyesel, kenapa gw lahir di jaman jebot?? Gw kan udah diwisuda tiga tahun yang lalu, jadi kartu mahasiswa gw udah nggak berlaku lagi, huhuhu.. Apakah mendingan gw sekarang ambil S2 aja ya, biar gw dapet kartu mahasiswa lagi, jadi gw bisa belanja buku diskonan 30%? Hihihi..

Aha! *dengan gaya seolah baru muncul lampu bohlam di jidat*
Apa gunanya gw ke situ bawa adek gw? Kenapa nggak pake kartu mahasiswa adek gw aja?

Jadi gw pun nyikut adek gw. "Nanti aku mau beli buku. Aku pinjam kartu mahasiswamu ya," rayu gw sambil kedip-kedip bak orang kelilipan cacingan.

Lalu kata adek gw enteng, "Aku nggak bawa. Kartu mahasiswaku ada di rumah."

Gw bengong. "Kamu nggak bawa?"

Jawab adek gw, "Enggak."

Gw terdiam. Seolah baru ditonjok di idung. Berikutnya gw berkata, "Udah! Kita pulang aja!"

Dan begitulah. Gw dan adek gw pergi dari toko itu tanpa belanja apa-apa. Gw menatap dengan manyun, spanduk di toko itu, yang nulisin diskon gede-gedean, seolah-olah spanduk itu lagi ngejek gw. Kayak spanduk itu mau bilang, "Diskon gede siih.. Tapi, harus bawa kartu mahasiswa!"

Gw manyun sepanjang perjalanan pulang bareng adek gw dan sibuk merutuki keadaan. Kenapa? Kenapa gw bukan mahasiswa? Kenapa adek gw jadi mahasiswa tapi nggak bawa kartu mahasiswa? Kenapa dia nggak masukin kartu mahasiswanya ke dompet seperti halnya manusia normal? Apakah dia sengaja nggak bawa kartu mahasiswa coz hari itu hari Minggu? Apakah dia memasukkan kartu mahasiswanya ke dompetnya dari Senen sampai Sabtu, lalu mengeluarkannya lagi pada hari Minggu?

Seandainya aja adek gw bawa kartu mahasiswanya, pasti gw udah pegang buku incaran gw sekarang. Dan gw beli dengan cukup harga 70% aja! Huhuhu..

Tentu saja gw bisa ke sana lain kali. Tapi kalo gw tetep ngotot ngejar diskon gede itu, gw kudu bawa adek gw, coz dia yang pegang kartu mahasiswanya. Persoalannya, kapan lagi gw dan adek gw punya waktu jalan-jalan berdua ke Supratman? Kan kita berdua sibuk sendiri-sendiri, jarang pergi bareng.. Kalo gw bawa kartunya adek gw tapi nggak bawa orangnya, petugas kasirnya nggak akan percaya. Kok, muka di foto masih kalah cantik ketimbang muka aselinya ya? Hehehe..

Ini seperti kau menginginkan sesuatu yang pas banget buatmu, tapi kau tak bisa memilikinya. Seperti kau ingin cheese cake yang rendah lemak, tapi kau tak bisa memakannya coz cake terakhir sudah dijual ke orang lain. Seperti kau dapet fasilitas mobil sport gratis dari kantor, tapi kau tak berhak menaikinya coz kau sudah pensiun. Seperti kau sangka kekasihmu selama ini laki-laki yang baik, tapi belakangan kau tak bisa memercayainya karena ternyata dalam hatinya tidak sebaik penampilan luarnya.

Cheese cake itu, mobil sport itu, laki-laki itu, mungkin bukan jodohmu. Sama seperti buku diskonan 30% itu yang bukan jodoh gw pada hari Minggu kemaren.

"Tidak semua hal bisa kita miliki, meskipun kita pikir kita pantas saja untuk memiliki itu. Selalu saja ada ganjalan, dan kadang-kadang kita tidak bisa menyingkirkan ganjalan itu. Persoalannya sekarang, bagaimana kita bisa merelakan bahwa yang kita inginkan itu, memang bukan milik kita?"

Gw sungguh-sungguh kepingin jadi mahasiswa lagi.

Sunday, October 25, 2009

Bintang Gosong

Kedengerannya, manggung itu keren. Tampil ditontonin banyak orang, dielu-elukan. Buat anak-anak, seneng ditontonin bu guru dan maminya. Buat yang lebih gede, seneng disorakin cewek-cewek atau disuitin cowok-cowok. Yang nonton juga ikutan seneng, apalagi kalo yang manggung itu masih konconya sendiri. Tapi nggak banyak yang mikir, bahwa manggung mestinya nggak bikin artisnya jadi menderita.

Foto band Seratus Persen ini gw jepret waktu gw mereka manggung di Festival Bambu Nusantara di Mal Paris van Java, Bandung, hari Minggu lalu. Lihat pemain yang main pung-ketipung (ya ampun, maaf ya, gw nggak tau, apa sih nama alat musik ini?) yang pake kaos item dan kacamata item di tengah itu. Di tengahnya manggung, dia sempat becanda begini, panitia festival sebaiknya tanggung jawab, soalnya gara-gara band ini disuruh manggung di pentas yang posisinya ngadep matahari, mereka jadi pada item semua..

Gw ngakak coz itu benar. Jadi gw ceritain aja, panggung ini berada di lapangan parkir mal, dan posisi panggung ini menghadap ke arah barat. Padahal pas mereka manggung ini, waktu sudah nunjukin jam empat sore, sehingga posisi matahari bersinar terik di sebelah barat. Praktis, band yang posisinya menghadap penonton di arah barat ini, mesti berjuang sekuat tenaga supaya nggak sampai kesilauan. Penonton sih enak, coz mereka jelas-jelas membelakangi arah barat.

Gw yakin, kalo aja manajer band Seratus Persen tau dari awal bahwa mereka bakalan dikasih jatah manggung pada jam empat sore di atas panggung yang menghadap barat, pasti mereka bakal wanti-wanti bandnya supaya pemusik-pemusik itu pake baju lengan panjang semua biar lengan mereka nggak gosong. Pake juga kacamata item, supaya mereka bisa konsentrasi ngeliat ke penonton, bukannya memalingkan muka karena sibuk menghindari silau.

Foto yang ini gw ambil di festival yang sama. Ini anak-anak SMP 2 Bandung yang lagi main angklung di tengah plaza mal. Gw harus setengah mati nyari-nyari posisi yang enak buat motret, soalnya jam dua siang mataharinya persis di atas kepala, bo’. Untunglah plaza itu nggak terlalu lebar, jadi gw masih bisa berteduh di bawah bayangan sebuah toko baju sambil tetap bisa motret anak-anak ini dari jarak dekat (gw make kamera HP yang ketajamannya sangat tidak bisa diandalkan). Tapi yang kesiyan ya anak-anak ini, pasti latihannya sudah berbulan-bulan, ujung-ujungnya malah disuruh pentas di tengah lapangan di bawah panas-panas..

Dalam hati gw bersyukur bahwa anak-anak ini nggak dipakein make-up sama nyokap-nyokap mereka. (Inget jaman dulu kalo anak-anak sekolah mau manggung, pasti nyokapnya yang ribet masangin mereka eye-shadow dan lipstick, hahaha..) Nggak acih banget deh pake make-up dengan kondisi manggung kayak gini, bisa luntur semua nanti..

Jadi, manggung yang enak gimana dong, Vic? Apa kita mesti minta sama panitianya jangan ditaruh manggung di tempat yang panas-panas gitu? Hm..belum tentu juga. Liat aja foto berikut ini.

Ini festival yang sama, tapi kali ini gw ngambil salah satu setting sebuah pertunjukan karawitan karya grup Ronteng di sebuah gedung di mal itu. Nonton begini sebenarnya lebih enak, coz namanya juga di gedung, jadi situasinya lebih adem, bisa sambil duduk-duduk coz buat penontonnya disediain kursi. Artis yang tampil juga bisa pake make-up semenor apapun nggak akan luntur.

Tapi sayangnya, justru karena sesi ini diadakan di gedung tertutup mal itu, jadi nggak banyak yang tau bahwa di gedung ini lagi ada pertunjukan. Jumlah penonton yang datang kemari nggak terlalu banyak, malah masih banyak bangku yang kosong. Dan ternyata setelah gw iseng nanya kiri-kanan penonton yang duduk di sebelah gw, mereka nggak tau mereka lagi nonton pertunjukan apa. Mereka duduk-duduk di situ soalnya, “Ibu teh lagi nontonin cucu Ibu mau nari, Neng..”
Jadi kesimpulannya, penonton yang kumpul di gedung itu cuman sanak-sodaranya para artis itu doang, bukan khalayak ramai, hehehe..

Barangkali, kalo gitu yang paling enak adalah grup Angklung dari Universitas Pendidikan Indonesia ini. Soalnya, mereka tampil strategis di lapangan tengah mal, tapi nggak ada satupun yang takut item. Yah, gimana mau takut item, lha tampilnya juga malem!

Ini pelajaran buat kita. Ternyata bikin seni pertunjukan itu nggak gampang. Mesti mikirin gimana penonton bisa menikmati tontonan dengan nyaman tanpa takut pegel berdiri atau takut kepanasan, dan mikirin juga supaya artisnya bisa tampil tanpa takut item tapi juga nggak sepi penonton. Yaah, pada akhirnya, memang jadi bintang pertunjukan itu kedengerannya hebat. Tapi kalo bintangnya sampai gosong gara-gara tampil, waah..itu lain perkara..

Saturday, October 24, 2009

Tak Ada Phone-A-Friend


Gw pernah ditakutin oleh mahasiswa-mahasiswa kedokteran magang yang jadi anak buah gw di suatu rumah sakit. Waktu itu gw kan jadi dokter yang tugasnya melayani pasien, dan kebetulan tuh rumah sakit jadi tempat magangnya para koass dari sebuah fakultas kedokteran di Jawa Barat. Sebenarnya gw bukan boss yang killer, cuman koass-koass itu suka jiper aja kalo jadi anak buah gw, coz gw suka nyuruh-nyuruh mereka nulis resep.

Memang begitulah dilemanya rumah sakit pendidikan, di satu sisi mereka harus berfungsi sosial dengan menyediakan pelayanan kesehatan yang legal, tapi di sisi lain mereka juga kudu ngajarin koass-koass yang belum legal buat jadi dokter. Karena melayani pasien adalah urusan yang berkaitan dengan nyawa orang, maka koass-koass itu suka nggak pede kalo nulis resep sendiri. Mosok pasiennya mau makin sakit gara-gara minum obat yang diresepin orang yang cuman pura-pura jadi dokter? Tapi kalo tuh koass nggak pernah latihan nulis resep, nanti gimana kalo udah jadi dokter sungguhan? Bisa-bisa pasiennya nggak balik lagi ke tempat dia lantaran dokternya nggak bisa nulis resep.

Akhirnya jalan yang diambil umumnya para dokter di rumah sakit pendidikan adalah, dokternya yang nulis daftar obat yang diperlukan di dokumen medis pasiennya, nanti koassnya yang nulisin resep obatnya, ntie dokternya tinggal tanda tangan kalo koassnya nulis resep dengan benar. Dengan begini caranya tetap legal.

Tapi dengan cara ini, koassnya nggak mikir pengobatan apa yang dibutuhkan pasien itu, coz bukan dia yang mengambil keputusan. Efeknya, koassnya tidak mandiri dalam berpikir. Kalo begini terus-menerus, maka sampai dia lulus jadi dokter legal pun dia tidak akan pernah mandiri buat meladeni pasien, coz dia akan selalu bergantung kepada dokter (mantan) penyelianya. Ini berbahaya. Gw sampai pernah becanda kepada kolega gw yang sama-sama pernah ngajarin koass, bahwa “Kita ini nggak pernah ngajarin koass, kita ini cuman ngajarin juru tulis.”

Maka, kebijakan gw, koass-koass yang kerja di bawah tanggung jawab gw, harus bisa mikirin tindakannya sendiri. Jadi kalo pasien datang, tuh koass yang meriksa, koass itu juga yang ngusulin pengobatan, termasuk koass itu juga yang nulisin resepnya. Gw ngawasin dari sudut ruangan dan ngangguk atau nggeleng tiap kali koassnya bisik-bisik begini, “Boleh saya melakukan ini, Dok?” Tentu saja sebelum gw meng-ACC perbuatan sang koass, gw udah periksa pasien itu duluan. Jadi pasiennya nggak akan merasa dirinya dijadikan “bahan percobaan” mahasiswa.

Kolega-kolega gw yang lain nggak mau repot-repot ngajarin koass yang kerja di tempat itu. Alasannya, dokternya nggak dibayar. Tak ada kompensasi buat dokter untuk ngajarin koass.

Suatu hari, ternyata salah satu koass yang jadi anak buah gw adalah adek gw sendiri. Sebelum masuk ke ruangan gw, dia udah dapet desas-desus bahwa dr Vicky tuh tukang nyuruh-nyuruh koass bikin resep. Jadi pagi sebelum kita berdua ke kantor, dia minta ditentir dulu tentang bikin resep, hahaha. Dan namanya juga orang baru belajar, sebelum ditentir itu, dia nggak tau cara nulis resep yang benar. Setelah kita kerja di ruangan pun, resep-resep pertamanya tetap aja bikin gw kepingin nangis karena malunya. Akhirnya dia gw cuci seperti koass yang lain.

Gw sendiri nggak inget ada berapa koass yang resepnya pernah gw gojlok. Ada yang udah nulis capek-capek, gw coret-coret gara-gara dosisnya salah semua. Ada yang nulis resepnya bener, tapi banyak coretan tip-exnya. Ada yang gaya-gayaan ngusulin obatnya pake obat bermerk dan langsung gw coret coz obatnya nggak dijual di Indonesia. Ada juga yang nampak mau nangis di depan gw coz sudah lima menit berlalu tapi kertas resepnya masih kosong. Koassnya sama sekali nggak tau mau kasih obat apa!

Kemaren, adek gw magang di sebuah puskesmas di Bandung Barat. Dia ditugasin buat pergi berdua aja dengan seorang perawat ke suatu dusun, lalu buka pengobatan sehari di sebuah aula kecil gitu deh. Ada banyak rakyat yang datang buat berobat, paling-paling sakitnya standar pusing-keseleo-masuk angin gitu. Semula adek gw mengira bahwa tugas dia adalah cuman pura-pura meriksa pasien doang. Nah, mendadak tanpa tedeng aling-aling perawatnya nyodorin adek gw blanko kertas resep.

Dia langsung bingung, soalnya dia kan nggak ada dokter penyelianya buat dimintain pendapat kedua. Jadilah dia terpaksa mengingat-ingat lagi obat yang pernah dia pelajarin waktu dia magang di rumah sakit, heheheh. Nggak bisa dia minta bantuan ke dokter yang lebih senior via telepon. Mosok dia mau nelfon sambil ditontonin perawat cuman buat nanya “Obatnya mestinya apa, Dok?”? Memangnya ini sesi Phone-A-Friend di kuis Who Wants to Be A Millionaire?

Percaya deh, pada dasarnya ujian terbesar seorang dokter bukanlah waktu dia UTS atau UAS pas masih kuliah. Ujian yang paling berat adalah saat dia kudu memutuskan apa yang mau dia lakukan kepada pasien. Dan lembar jawaban ujian itu, bernama kertas resep.

Friday, October 23, 2009

Sasakan Abadi

Sebuah iklan sampo di tivi bilang begini, “Setiap pagi para wanita bangun dengan rambut kusut.”

Nah, untuk kasus yang mau gw omongin berikut ini adalah, “Setiap pagi si ibu ini bangun dengan rambut disasak.”

:-D

Waktu itu gw masih kecil pas gw main ke rumah seorang teman. Nggak sengaja ketemu sama nyokapnya si teman itu, lalu tercengang liat nyokapnya si teman. Si tante tuh rambut depannya disasak jadi kayak jambul gitu, padahal kan waktu itu di rumah. Tadinya gw pikir si tante tuh baru pulang dari kondangan (waktu itu udah jam setengah enam sore), tapi gw pikir, pas itu lagi bulan puasa, mana ada orang bikin kondangan pas waktunya bulan puasa?

Lalu bertahun-tahun kemudian, suatu hari gw nggak sengaja papasan sama si tante pas lagi belanja di sebuah swalayan. Karena gw paling payah dalam urusan ngafalin muka orang, maka hampir aja gw pangling, kalo aja gw nggak liat jambulnya. Halah..itu jambul legendarisnya nyokapnya temen gw? Pikir gw, pasti nyokapnya temen gw ini termasuk geng ibu-ibu pejabat gitu, yang sering keluar-masuk acara-acara kondangan. Makanya saban kali ketemu gw pasti rambutnya disasak melulu, hehehe..

Karena temen yang punya nyokap itu nggak akrab sama gw, gw tahan-tahan aja rasa heran gw atas jambul nyokapnya itu. Tapi suatu hari gw tidur dengan kakaknya temen gw itu, dan pembicaraan a la pillow talk itu mulai menyeret ke cerita tentang keluarga masnig-masing. Termasuk soal nyokap mereka, yang ternyata eh ternyata (kayak lagu Project Pop aja deh), emang doyan disasak. Jadi, mau kondangan nggak kondangan, rambutnya tetep disasak. Bahkan tidur pun rambutnya tetep disasak (hebat, pake hair-spray merk apa sih biar nggak pusing?) Malah si tante itu bela-belain ke salon tiga hari sekali, cuman buat memperbaiki sasakannya..

Gw jadi teringat si tante ini pas dua hari lalu gw lagi ngeblog di depan tivi yang lagi nyiarin detik-detik menjelang pengumuman menteri. Malam itu gw deg-degan coz harap-harap cemas lantaran gw kena sindrom AIDS, alias Aku Ingin Ditelepon SBY. Yaah..siapa tau Presiden mau ngangkat gw jadi Menteri Kesehatan gitu. Atau minimal Menteri Ngeblog juga nggak pa-pa deh. Habisnya gw kesel kok orang-orang pada diundang ke acara Cikeas Idol waktu hari Minggu lalu, sedangkan gw enggak. Makanya gw waktu hari Minggu ngambek dan akhirnya milih dugem di Festival Bambu Nusantara, hehehe.. Nah, malam itu stasiun-stasiun tivi itu asik menyiarkan situasi dari para tersangka menteri (waktu itu masih tersangka ya, belum menteri beneran). Terus gw liat ibu-ibu tersangka menterinya (terserah Anda mau mengartikannya si ibu ini mau jadi menteri atau cuman mau jadi bininya mneteri) itu kok penampakannya hampir sama semua, kalo nggak pake kerudung, pasti rambutnya disasak! Padahal waktu itu jam sepuluh malam, logikanya orang udah nggak ada lagi yang kondangan jam segitu, kok rambutnya masih disasak rapi, emangnya mau ke mana?

Kata Little Laurent, “Vic, tuh ibu-ibu disasak bukannya lantaran mau ke kondangan, tapi itu namanya siap-siap. Siapa tau suaminya diumumin jadi menteri, lalu dalam sekejap tetangga-tetangga sebelah rumah akan berduyun-duyun datang kasih selamat, tentu saja si ibu harus dalam keadaan representatif karena sudah jadi ibu pejabat, jadi rambutnya harus disasak!”

Maka serta-merta gw manggut-manggut, mendadak gw ngerti, tidak saja mengerti kenapa ibu-ibu ini rambutnya disasak. Tapi mengerti juga kenapa kok ruang tamu rumahnya sudah digelar karpet, jalan depannya sudah digelar tenda-tenda berikut kursi-kursi, padahal diumumin jadi menteri juga belum..

Yang gw kesiyan tuh, yang gosip-gosipnya orangnya sudah digadang-gadang mau jadi menteri, tapi ternyata pada jam 10 malam Pak Presiden ngumumin nama menterinya bukan orang itu. Padahal bininya sudah capek-capek rambutnya disasak, karpet sudah digelar semua, bedindenya sudah disuruh ngupas bawang buat siap-siap kendurian.. dan emaknya di desa sudah nggelar pengajian ngundang ibu-ibu sekampung sambil nonton siaran langsung pengumuman menteri..

Alangkah tidak enaknya kena sindrom AIDS itu!

Dan sekarang gw ngerti, kenapa sampai hari ini impian gw menjadi ibu pejabat belum juga kesampaian. Bukan, bukan karena gw baru jadi dokter tiga tahun, dan baru ngeblog empat tahun, sehingga belum pantas digadang jadi Menteri Kesehatan atau bahkan sekedar Menteri Ngeblog sekalipun. Penyebabnya sederhana: Karena, gw memang nggak seneng rambut gw disasak!

Thursday, October 22, 2009

Mobil Ilang, Laptop Ilang

Gw pernah ditanya, mana yang lebih berat, kehilangan laptop, atau kehilangan file di dalam laptop? Gw pun jawab, boleh nggak gw milih dua-duanya, hehehe.. Soalnya laptop tuh masih mahal buat gw, dan bikin file di laptop itu juga perlu kerja keras setengah mati.

Gw pernah menghadiri sebuah workshop yang menampilkan pembicaranya seorang dokter ahli paru. Pada ceramahnya dia bilang bahwa kalo para penonton mau nyatet omongan dia, catet aja. Soalnya dia nggak mau nanti orang-orang ngantre mendekatin dia buat minta transfer file presentasi dia di laptop milik dia, ke flash disc masing-masing. Bukannya pelit ya, coz dia sendiri udah nyediain CD yang memuat presentasi dia, nanti penonton tinggal ngopi sendiri sama panitianya. Yang dia takutkan adalah kalo ada orang nggak jelas nyolokin flash disc ke laptop dia, dan ternyata tuh flash disc ada virusnya. Dia takut tuh virus nggak diundang bisa ngerusak laptop dia, padahal di laptop dia itu ada ratusan file yang isinya jurnal-jurnal hasil donlotan dia di internet. Tau sendiri kan, nyari jurnal itu kan susah, ngumpulinnya repot, jadi kalo kita udah nyimpen hasil unduhan itu di laptop truz laptopnya rusak dan semua file jurnal itu ilang, bisa nangis darah kita nanti..

Dari situ kolega gw itu mengajari gw bahwa ternyata kadang-kadang kehilangan file itu lebih berat daripada sekedar kehilangan laptop. Kalo laptop kan bisa beli lagi, tapi kalo kehilangan file berarti kehilangan catatan dari ilmu pengetahuan yang udah kita dapatkan dengan susah-payah. Itulah yang menjadi dasar pemikiran kenapa gw nulis ini, selain juga simpati gw kepada salah satu kolega gw yang baru aja kena musibah.

Kolega senior gw baru kehilangan mobilnya. Mobil itu digondol maling tiga hari lalu, pas kolega gw lagi kerja di Cibabat, daerah Cimohay di Jawa Barat. Padahal di dalam mobil itu, kolega gw nyimpen laptopnya, termasuk flash disc-nya juga. Dan..ini yang bikin gw ikut sedih, bahan-bahan kuliah Ph.D-nya yang berada di dalam situ pun ikutan lenyap.

Saat ini, kolega gw lagi sekolah ngambil S3 di Bandung. Makanya beban hidupnya jadi lebih berat, coz kolega gw sering lembur buat belajar cari jurnal ini-itu buat bahan kuliahnya. Hasil-hasil kuliah itu disimpennya di dalam laptop dan flash disc-nya, dan sekarang kedua barang itu raib bersama mobilnya dibawa maling siyalan..

Mungkin mobil bisa diganti yang baru. Mungkin laptop bisa diganti yang baru. Tapi adakah yang bisa mengganti bahan-bahan kuliah yang udah diperoleh dari sana-sini dengan susah-payah?

Dengan ini, gw mengetuk pintu hati siapapun yang merasa melihat Toyota Altis warna item dengan nomer plat D 1707 MY, itu mobil kolega gw yang dirampok. Tolong segera lapor Kepolisian Resort Kota Cimahi di 022-665-2095, atau di 022-664-0444. Mudah-mudahan Tuhan membalas segala kebaikan Anda. Coz kita semua tau persis, bahwa ilmu pengetahuan yang bermanfaat, termasuk yang berada dalam laptop dan flash disc kolega gw yang hilang bareng mobil itu, adalah amal jariyah yang nggak akan putus pahalanya meskipun yang menurunkan ilmunya meninggal dunia..

P.S. Gambar di atas bukan mobil kolega gw, tapi gw ambil pagi ini dari http://mobil-bekas.net.

Wednesday, October 21, 2009

Dilarang Salah Sebut Nama


Jemaah yang sering baca blog gw pasti udah tau gw kali ini bakalan nyindir tentang siapa, huehehehe..

Tapi sebelumnya gw mau cerita dulu tentang sebuah adegan menarik pas gw nonton Festival Bambu Nusantara tiga hari lalu. Jadi gini, malam itu di Mal Paris van Java, kan show-nya adalah permainan angklung bareng-bareng antara beberapa sekolah sekaligus. Gw sih nggak nonton dari awal ya coz gw telat datang ke situ satu-dua menit, tapi dari layar proyektor yang menyuting satu per satu artis yang main, gw bisa nebak bahwa salah satu sekolah yang lagi manggung menit itu adalah SMP 2 Bandung. Soalnya gw sempat nonton show mereka siangnya dan rupanya malam itu mereka belum ganti kostum.

Nah, lagu berakhir dan pengunjung pun tepuk tangan keprok-keprok. Lalu naiklah MC-nya ke pentas, mengumumkan, “Demikianlah
permainan angklung kolosal yang sekaligus menutup festival, bla...bla..bla..” sementara pemain-pemain angklung yang kira-kira jumlahnya sekitar 100-200 orang itu turun satu per satu dari panggung. Setalah ngomong beberapa kalimat basa-basi, MC-nya sempat terdiam sejenak (mungkin dia noleh ke seseorang di bawah panggung, nampak dari kamera yang menyorot dia dan nyambung ke layar proyektor), lalu berujar di depan mic dengan kalimat yang kira-kira seperti ini.. “Permainan angklung tersebut baru saja dibawakan oleh murid-murid dari..” dia diem dulu lho. “..SMA 2 Bandung..”

Spontan terdengar suara anak-anak teriak, “Es-Em-Pee..!!!”

Gw ketawa geli dari kawasan penonton dan melihat ke layar proyektor. Si MC-nya diem sebentar, lalu dia melanjutkan.. “Juga dimainkan bersama-sama SMP Taruna Bakti dan Universitas Pendidikan Indonesia..” Intinya dia sama sekali nggak meralat bahwa yang main barusan itu bukanlah SMA 2 Bandung yang di Cihampelas itu, tetapi sebenarnya yang main adalah SMP 2 yang di Jalan Sumatera.

Sebagai seorang mantan murid sekolahan yang dulu sering tampil di pentas sekolahan hanya untuk menguji apakah urat saraf malu gw masih utuh atau udah putus, gw pernah ngerasain jadi bagian segala tim seni musik di sekolah, mulai dari paduan suara, tim angklung, sampai
marching band. Jadi gw tau persis bahwa untuk bisa tampil di muka umum mewakili sekolah itu bukan hal yang gampang, tapi perlu latihan berbulan-bulan. Bisa gw bayangin betapa sewotnya anak-anak SMP 2 yang namanya disalahbacakan oleh pembawa acara menjadi SMA 2. Kan nama sekolah yang jadi harum malah SMA 2, bukan SMP 2. Padahal yang udah latihan capek-capek sampai punggung mau putus itu anak SMP 2, bukan anak SMA 2. Apa si MC karbitan nggak tau bahwa SMP dengan SMA itu beda? Lulus es-de nggak sih, Jeng?

Hehehe..jadi inget pelajaran pertama bahasa Indonesia gw di SMA dulu. Pada hari pertama ngajar, guru gw menulis namanya sendiri di papan tulis, lalu berkata, “Perhatikan baik-baik! Ini nama Ibu, dan ini adalah gelar Ibu. Ibu mau kalau kalian menulis nama Ibu harus lengkap seperti ini, komplit dengan gelarnya. Gelar ini diperoleh melalui proses bersekolah dengan susah-payah, jadi Ibu minta kalian menghargai baik-baik gelar pada nama setiap orang. Dan termasuk juga menyebutkan nama seseorang harus dengan lengkap tanpa salah sebut. Karena kalau kalian salah menyebut nama seseorang, salah membaca gelarnya, maka itu sama saja kalian tidak menghargai orang tersebut.”

Pelajaran itu gw ingat selalu sampai hari ini. Maka gw bisa ngerti kenapa kemaren waktu pelantikan presiden, Pak SBY nampak ekspresi mukanya berubah waktu denger namanya berulang kali salah disebut dan gelarnya dibolak-balik nggak karuan. Kata yang mbaca namanya, “Haji Susilo Doktor Bambang Yudhoyono..” Apakah petugas protokoler tidak menulis namanya dengan benar sampai-sampai pembacanya salah sebut melulu?

Terus terang aja, kalo misalnya suatu teks udah diketik dengan benar dan tugas kita cuman tinggal mbaca doang tapi kita salah mbaca melulu, kita harus mempertanyakan validitas mata kita. Barangkali mata kita kena katarak, jadi kudu dioperasi. Atau mata kita kena retinopati diabetik, suatu penyakit pada retina yang terjadi karena komplikasi sakit gula. Dan kalau mau nebak apakah diri kita kira-kira ngidap gula atau enggak, liat aja lingkar perut kita, perut kita ini buncit apa enggak?

Tulisan ini gw dedikasikan buat guru bahasa Indonesia gw, dra. Hj. Zulma Kartini. Terima kasih Bu, sudah mengajari saya pelajaran penting tentang itu. Saya mungkin tidak cukup beruntung jadi pejabat sekarang, tapi saya sangat beruntung sudah menjadi murid Ibu. Setidaknya, sampai sekarang saya tidak pernah salah menyebut nama dan gelar seseorang, seperti segelintiran orang yang saya lihat akhir-akhir ini.

Monday, October 19, 2009

Etno Kontemporer Keren!

Setelah sekian lama nggak pernah liat festival seni kontemporer semenjak Pekan Raya Seni ITB yang rasanya terakhir kali diadakan udah berabad-abad lalu, akhirnya gw nonton festival lagi! Kemaren seharian gw kelayapan di Mal Paris van Java, Bandung, coz di sana lagi digelar Festival Bambu Nusantara. Merasa mencium bau-bau keramaian artistik yang jadi favorit gw, akhirnya gw cabut ke sana dan nyaris nggak mau pulang.

Festival dibuka dengan show angklung selama sekitar setengah jam di lapangan tengah mal yang dimainin oleh anak-anak SMP 2 Bandung. Atau mungkin ini bukan show angklung kali ya, lebih tepat disebutnya show orang nyanyi diiringin angklung. Soalnya angklungnya nggak mainin melodi utama, coz melodi udah diambil alih oleh vokalis yang nyanyi lagu daerah. Alhasil, angklungnya cuman jadi latar doang deh.

Sekitar 80-an mahasiswa UPI menguasai lapangan di depan show angklung itu sambil nari-nari nggak jelas. Liat nih kostumnya, nggak ada yang bener ya, hahaha.. Mereka kayaknya dari semacam klub performance art gitu yang kegiatannya adalah menarik perhatian orang dengan dandanan aneh dan kelakuan nyeleneh. Cuman sayang nggak tersirat pesan yang disampaikan, maksudnya apa ya, mau nyindir atau cuman sekedar jadi karnaval doang. Menurut leaflet yang mereka bagi-bagiin (ya, remaja-remaja gila ini punya leaflet), mereka nyebut klub mereka Garniati, singkatan dari GARing MaNIA sampai MaTI..

Selesai show mereka, gw pun pindah ke sebuah show grup musik karawitan asal Bogor yang namanya Ronteng, singkatannya dari SaRON ditenTENG, hahaha.. (Saron adalah sebuah alat musik yang kalo dipukul bisa nimbulin bunyi-bunyi melodi gitu. Kalo di marching band mungkin namanya marching bell kali ya.) Mereka mainin lagu-lagu Sunda dengan kostum dan alat musik khas Sunda. Tapi yang menarik di sini, mereka nggak mainin musik Sunda yang murni cuman pake set gamelan doang, tapi juga seger coz dilatarin pake instrumen canggih macam drum, bass, keyboard, dan gitar. Jadinya nggak monoton kayak Sunda klasik umumnya gitu.

Selesai dari ngeliatin show musik Sunda, gw turun ke plaza di halaman depan mal. Kali ini yang main adalah band Seratus Persen asal Bali (ini Bali bukan ya? Lha soalnya kostumnya Bali sih) yang mainin musik irama Bali gitu. Sama nih, instrumennya gaya Bali lengkap dengan instrument mereka yang diukir-ukir emas gitu, tapi juga ada hiasan drum dan trompetnya segala. Hiyaa..ini musik gamelan campur ska! Dan seolah-olah kurang lengkap campursarinya, pake dihiasin DJ segala lengkap dengan turntable-nya. Mau nangis darah..I love it! Dan drummernya ganteng.. *slurrpp..*

Nah, show Seratus Persen ini dimasukin juga dua rapper yang konon namanya Ebith Beat A (bener nggak sih nih ngejanya?) yang langsung disorakin penonton. Gw langsung menyadari betapa noraknya gw, coz gw jujur aja, berkat selera gw yang jadul, gw nggak tau Ebith Beat A itu band apaan, hahaha.. Rapper yang satu ini (eh, dua ya? Kan yang nyanyi ada dua) ternyata keren banget dan sukses bikin gw ikutan gedeg-gedeg di tempat gw duduk, biarpun cuman nyanyi dua lagu.

Malamnya, anak-anak angklung SMP 2 manggung lagi di plaza. Kali ini mereka main kolosal bareng-bareng angklung dari sekolah-sekolah lain, antara lain SMA Taruna Bakti dan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Penampil berikutnya band gamelan lagi yang dicampur pake biola, dengan penari-penarinya anak-anak Garniati tadi yang kostumnya kayak karnaval itu. Truz, di tengah-tengahnya main, tau-tau ada sinden Sunda gitu sambil nyanyi-nyanyi sembari jaipongan dengan gaya hot gitu. (Lah, jaipongan mana sih yang nggak hot?) Keren sekali. Tarik, Maaang!

Lalu, panggung istirahat, dan keramaian pindah ke lapangan tengah mal. Kali ini yang tampil adalah grup angklung dari UPI. Sebenarnya mereka mainnya lima lagu, dan gw hampir nggak kenal lagunya satu pun coz itu lagu Sunda, kecuali pas mereka mainin lagu pop yang suka ada di tivi. Tapi ya shownya tetep hidup tuh, mungkin coz yang dimaininnya lagu-lagu Sunda yang nge-beat, jadinya suasana makin angot.

Sebenarnya malam ini ditutup band Balawan asal Bali yang main jazz, tapi tempat gw nggak strategis buat berdiri. Akhirnya gw cuman duduk di kafe depan pentasnya aja dan kudu puas dengan dengerin permainannya yang keren itu dari pengeras suara doang. Pulang dari mal, badan gw mau remuk saking pegelnya. Giling..rebutan tempat buat berdiri sambil motret panggung dan jinjit-jinjit!

Festival yang diadain tiap tahun ini sebenarnya diadain sejak Sabtu lalu. Dari festival ini semua orang bisa belajar bahwa musik etnik Indonesia itu beragam banget, dan musik etnik itu nggak akan nampak kuno seandainya aja pelakunya mau menyesuaikan diri dengan perkembangan musik modern jaman sekarang. Syukur deh acara kemaren berjalan tertib banget, penontonnya juga pada bonafid semua, nggak ada penonton yang ugal-ugalan dan ngacau. Owh..kapan ya ada show seni etno kontemporer kayak gini lagi..?

Saturday, October 17, 2009

Naluri yang Tak Bohong


Kata pria-pria yang gw kenal, berurusan dengan perempuan kadang-kadang bisa jadi sangat menakutkan. Perempuan itu, seakan-akan punya indra keenam, selalu aja tau kapan mereka dibohongi.

Gw pernah mengalami kejadian yang cukup aneh. Waktu itu umur gw baru 19 tahun, dan gw lagi main di warnet. Pas gw lagi browsing-browsing gitu, tau-tau gw merasa dunia sekeliling gw goyang seolah gw bentar lagi mau jatuh. Gw sampai megang meja kompie lantaran takutnya. Gw takut saraf gw nggak beres dan gw ngidap vertigo. Lalu gw melirik orang yang lagi main kompie di sebelah gw, tapi ternyata dia cool-cool aja sambil dengerin earphone seolah-olah nggak ada apa-apa. Gw ngeliat layar kompie gw, tapi nggak ada garis-garis aneh. Layar kompie-nya orang sebelah gw juga baik-baik aja, Pendek kata, tak ada yang aneh. Tapi gw berani sumpah, bahwa barusan itu, lantai warnetnya goyang.

Waktu gw pulang dari warnet gw bilang ke nyokap gw sambil gemetaran, gw berpikir bahwa tadi gw merasa ada gempa. Gw takut gw butuh diperiksa psikiater.

Tapi nyokap gw malah tertegun dan noleh ke gw, dan bertanya dengan getir, “Kowe ngerasanya jam berapa?”

Gw jawab, “Tadi..mungkin sekitar jam 10.30.”

Nyokap gw berseru bahwa tadi nyokap gw juga ngerasa ada gempa. Tapi pas nyokap bilang ke bokap gw, bokap gw bilang bahwa nyokap gw cuman berhalusinasi. Bokap gw nggak ngerasain gempa kok.

Pas sorenya kita nonton berita, baru kita tau bahwa ternyata tadi siang memang ada gempa di sekitar Gunung Ciremai, deket Cirebon sono. Jamnya memang himpitan sama jam saat gw dan nyokap gw merasa tanah goyah tadi. Ternyata kita berdua nggak ngekhayal.

Semenjak itu, hampir tiap kali ada musibah, entah itu musibah fisik maupun musibah psikis, firasat gw nggak pernah bagus. Gw makin jeli melihat tanda-tanda yang terjadi di sekitar gw, dan hampir semua ramalan gw bahwa sesuatu yang buruk sebentar lagi akan terjadi, ternyata terjadi beneran.

Contoh kecil aja, suatu hari sepupu gw datang ke acara keluarga. Dia nampak (berusaha) riang sekali, dan gw liat dia niat banget dandan dan nampak kelebihan aplikasi kosmetik. Suaminya nggak dateng, coz lagi pergi ke luar kota (lagi). Gw berusaha memanipulasi pikiran gw bahwa sepupu gw cuman kena sindrom krisis paruh baya dan cuman kepingin nampak muda lagi, tapi gw punya perasaan jelek, pernikahannya lagi di ujung tanduk.
Baru dua tahun kemudian, gw dapat berita bahwa si laki-laki yang rupa-rupanya kena sindrom minder itu, mengabulkan gugatan cerai sepupu gw.

Pernah juga ada masanya gw sering ditawarin jadi pemeran pengganti di sebuah klinik. Gw agak heran coz gw waktu itu baru beberapa minggu gitu disumpah, tau-tau gw diterima jaga di sebuah klinik kecil di pinggiran kota, padahal pemilik kliniknya nggak pernah ketemu gw. Awal-awalnya sih baik-baik aja, nggak ada masalah. Lalu satu per satu, kolega-kolega gw yang jaga di situ mulai nggak mau ngisi shift lagi. Honor gw mulai telat dibayar. Pemilik kliniknya nggak bisa dihubungin, coz teleponnya selalu sibuk. Akhirnya coz honor gw nggak dibayar dua bulan, gw mulai nolak tiap kali perawatnya nelfon minta gw buat jaga di situ.

Ketika sampai empat bulan honor gw belum dibayar pula, dan ternyata si perawat yang dulu kerja di situ bareng gw ternyata udah nggak kerja di sana lagi, gw mulai curiga. Ternyata, duit kas klinik itu selama ini ditilep oleh si perawat. Sekarang, tuh klinik sudah mau bangkrut coz dana operasionalnya lebih banyak ketimbang pemasukan dari pasiennya.

Semua itu ngajarin gw, bahwa seharusnya gw mempertajam intuisi gw untuk mendeteksi hal-hal yang nggak beres. Mungkin sekiranya sepupu gw mau dengerin suara hatinya dari awal bahwa si suami itu nggak suka kalo penghasilan istrinya lebih gede ketimbang suaminya, dia nggak perlu buang waktu buat kawin sama orang itu dan dia bisa pakai waktunya buat cari laki-laki lain. Dan kalo gw sudah liat satu kali aja gaji gw nggak dibayar tepat waktu, harusnya gw langsung tuntut tuh klinik dari awal tanpa nunggu perawat amatiran bawa kabur gaji gw.

Kemaren, kira-kira jam 5-an sore, gw lagi duduk di lantai kamar gw, merenung kerusuhan apa aja yang udah terjadi pada gw sepanjang beberapa hari terakhir. He’s gone, he’s already gone, dia nggak ada apa-apanya lagi buatmu sekarang, batin gw. Hampir air mata gw netes lagi, kalo aja gw nggak merasa lantai gw goyah. Eh, apa ini? Gw melihat tembok cari gantungan yang mungkin goyang-goyang, tapi semuanya bergeming. Tapi sumpah, lantainya goyah.

Gw lari ke tempat adek gw, “Kayaknya barusan gempa.”
Kata adek gw yang lagi nonton sinetron Korea, “Aku nggak ngerasa apa-apa tuh.”

Tadinya, gw pikir gw yang lagi mood negative. Sampai malamnya gw nonton berita, ternyata Ujung Kulon gempa dengan 6,4 SR, jam 5 sore tadi. Gw ikut simpati. Mudah-mudahan badak-badak itu nggak sampai ketakutan dan kabur dari penangkaran.

Naluri gw, memang nggak pernah bohong. Apalagi karena gw perempuan. Semestinya, gw dengerin naluri gw lebih banyak dan nggak gampang percaya kepada orang yang bahkan nggak pernah gw cium bau badannya.

Friday, October 16, 2009

Penduduk Kesasar


Gw mungkin b*tchy, tapi kelakuan gw selalu baik.

Gw nggak pernah gangguin apalagi sampai malingin ayam orang. Oke, gw mungkin pernah bikin sewot ayam orang, tapi kan bukan salah gw kalo gw lebih sexy ketimbang ayam itu sehingga ayam itu jadi nyinyir sama gw.

Gw mungkin pernah nyelundupin seekor burung dalam sebuah keranjang ke dalam kabin sebuah pesawat terbang. Tapi gw terpaksa melakukannya coz nyokap gw sangat suka burung itu dan kalo kami melapor dulu bahwa kami bawa burung, orang-orang karantina itu akan masukin burung itu ke kargo bagasi dan dia bisa kena pnemonia.

Gw mungkin pernah gangguin seorang nenek yang lagi tidur di sebuah toko souvenir di Jogja. Tapi gw nggak tau kalo dia lagi tidur, lha bajunya yang a la Belanda tempo doeloe bikin gw mengira dia adalah manekin!

Pokoke, betapapun banyak perbuatan gw yang mengganggu orang, gw nggak terima disebut kriminal.

Oleh karena itu, gw sangat nggak ngerti kenapa gw kudu bikin Surat Keterangan Kelakuan Baik alias SKKB.

Sebenarnya SKKB ini dibikinnya di kantor polisi. Sebelnya, polisinya nggak mau bikin kalo nggak ada surat pengantar dari Kelurahan dulu. Padahal gw nggak tau siapa Lurahnya rumah gw. Abis Lurah gw nggak pernah nge-add gw di Facebook sih..

Jadi kemaren pun gw ke kantor Kelurahan buat kenalan sama Lurah. Haiyah, hasrat gw buat kenalan sama Lurah pun pupus coz ternyata Lurahnya belum dateng. Pasalnya, gw dateng jam 8 pagi. Lha emangnya gw mesti dateng jam berapa kalo mau kenalan sama Lurah?

Lalu gw punya salah. Kalo mau ke Kelurahan, kudu bikin surat pengantar dari Ketua RW dulu. Untuk dapet surat dari Ketua RW, kudu bikin surat pengantar dari Ketua RT. Halah..lama bener! Tentu aja gw nodong ke Kelurahan nggak pake ke RT atau RW dulu. Lha gw aja nggak tau Ketua RT-nya yang mana?

Oke, yang ini emang salah gw. Gw harusnya ngajak kenalan sama Ketua RT. Tapi kan gw orangnya pemalu, suka nggak berani ngajak kenalan duluan. Lagian gw suka rada-rada jiper gitu kalo ngajak kenalan sama bapak-bapak, takut gw dicemburuin bininya, ntie gw dikira mau ngerebut suami orang pula..Idih, amit-amit!

Jadilah, karena gw nyerobot prosedur, maka gw kudu basa-basi sama orang Kelurahan supaya mau bikinin gw surat pengantar itu. Dan karena gw yang saklek ini sangat nggak lihai dalam urusan basa-basi, gw minta bokap gw aja yang ngomong sama petugasnya.

Sebenarnya petugas kelurahan itu nawarin sekalian buat bikinin gw SKKB itu di kantor polisi, tapi gw nolak. Alasannya, gw mau belajar kenalan juga sama polisi.
(Oh, Vic, kenapa buat kenalan aja kudu belajar segala sih?)

Lalu karena bokap gw juga jarang banget ke Kelurahan kalo nggak ada urusan genting, maka bokap gw pun ngobok-obok semua inventaris kependudukan keluarga kami di rumah. Ternyata, KTP bokap gw dan adek gw mau abis masa berlakunya tahun ini, jadi mumpung kita ada keperluan di Kelurahan, sekalian aja ngurus perpanjangan KTP.

Dan lagi-lagi, petugas Kelurahannya bilang bahwa buat ngurusin KTP, mestinya ada surat pengantar dari RT/RW dulu. Ngedengernya, gw rasanya mau nangis darah, huhuhu..

Lha habis gimana? Gw nggak tau Pak RT-nya yang mana. Rumahnya yang mana. Nanti ngurusin sama Pak RT-nya berapa hari. Lalu habis dari Pak RT, kudu ke Pak RW segala. Pak RW-nya yang mana, gw juga nggak tau. Nanti suratnya lama di Pak RW pula. Huuh..mau membuktikan diri bahwa gw adalah warga negara yang baik dan nggak pernah malingin ayam aja kok lama bener..

Akhirnya bokap gw mulai membujuk orang Kelurahannya, supaya surat-surat yang kami perlukan bisa beres segera. Petugasnya mau. Surat pengantar SKKB atas nama gw bisa jadi dalam dua jam. Kalo KTP bokap dan adek gw jadinya dua hari.

Kata dia, biaya pembuatan KTP Rp 25.000,-/orang. Terus, "Kalo Bapak baik.." katanya. "Lima belas ribu lagi, Pak.."

Oh, Indonesiaku.

Gimana dengan Anda, Jemaah? Gw mau tau pengalaman Anda dalam ngurus surat-surat kependudukan kayak gini. Pasaran "biaya"-nya berapa sih?

Thursday, October 15, 2009

Gantung


Ternyata, nggak cuman baju yang bisa digantung. Manusia juga bisa digantung. Meskipun dia bukan presiden yang korup, bukan perempuan yang digosipin nyambi jadi tukang sihir, bukan juga pemberontak lokal yang ribut melawan Kompeni.

Asisten pribadi nyokap gw pulang kampung Lebaran lalu. Janjinya mau balik ke rumah gw tanggal 5 Lalu, tau-tau dia ng-SMS molor jadi tanggal 9. Sekarang udah tanggal segini, tapi dia belum balik juga.

Keluarga gw butuh asisten pribadi. Tau sendiri bahwa bokap, nyokap, dan anak-anaknya, sibuk oleh kegiatan sendiri-sendiri. Kalo nggak diurus, rumah bisa kayak kapal pecah.

Tentu aja, ada wacana bahwa udah nggak layak lagi rumah seseorang tergantung kepada asisten pribadi. Rumah milik sendiri, diberesin sendiri, 'napa? Tapi harus diingat bahwa tiap orang punya keterbatatasan waktu buat ngurusin rumah dengan total. Siyalnya, nyokap gw punya standar yang tinggi akan kebersihan, terlalu tinggi malah, dan kalo pun gw dan adek gw kudu ngorbanin kerjaan profesional kami buat gotong-royong bersihin rumah, nampaknya akan sulit mencapai standar yang diinginkan nyokap gw itu. Karena itu, pikir gw, keberadaan seorang asisten pribadi itu wajib.

Semenjak tanggal 9 itu, asisten gw nggak kasih kepastian kapan mau balik. Tepatnya, dia nggak kasih tau apakah dia mau balik atau nggak. Barang-barangnya sih masih ada di rumah gw, tapi gw nggak yakin apakah segala properti itu cukup berharga buat dia.

Nyokap gw berkomitmen, bahkan kalo si asisten ini betul-betul nggak balik lagi, nyokap gw nggak mau punya staf lagi dan mau ngurus rumah sendiri aja. Soalnya males ngajarin orang baru.

Omong kosong, batin gw. Pasti nyokap gw nanti capek. Kalo nyokap gw tuh udah kecapekan, pasti bawaannya ngomel aja. Ngomelin gw, ngomelin adek gw, ngomelin kucing yang suka dateng ke rumah, ngomelin infotainment di tivi..

Gw sih ikhlas asisten gw nggak balik lagi, biarpun gw belum tau gimana gw akan berjibaku ngurusin rumah. Kalo permohonan gw buat sekolah lagi dilulusin, bisa dipastikan gw akan lebih sering tinggal di sekolah ketimbang di rumah. Gw tau asisten nyokap gw itu juga manusia, yang mungkin kepingin berhenti jadi asisten dan lebih suka kawin dengan kumbang desa, ngelamar jadi TKW, atau ngorbitin diri jadi penyanyi dangdut. Tapi mbok ya kalo nggak mau balik lagi ya bilang, biar gw nggak usah nunggu-nungguin dia dan bisa merombak kamar dia jadi gudang anggur. Emangnya enak ya digantung-gantung?

Gw tau jalan keluarnya adalah berhenti menunggu dan mendidik orang baru buat bantu nyokap gw. Tapi nyokap gw nggak mau, coz masih percaya si asisten itu bakalan balik. Si asisten itu udah kerja sama keluarga gw selama 10 tahun, dan gw mempercayai kesetiaannya. Satu-satunya masalah dia hanyalah lemah pada komitmen kerja.

Pernahkah Anda merasa digantung dan nggak bisa keluar? Padahal yang ngegantung itu juga hal cemen. Gw ingin percaya bahwa asisten nyokap gw akan balik buat bantuin nyokap gw, tapi kalo dia nggak kabar-kabari gini, gw malah makin yakin dia nggak balik.

Seperti Fox Mulder di X-Files, yang udah disodori macem-macem bukti FBI bahwa adeknya meninggal, dan Fox sampai bersemboyan, "I want to believe." Lha gimana dia mau percaya, wong semua bukti ilmiah yang dia temuin sendiri malah nyimpulin bahwa adeknya ngilang lantaran diculik alien. Apa FBI yang dipercayainya telah ngebohongin dia secara sistematis?

Asisten nyokap gw anak baik. Tapi gw juga nggak kepingin naif. Dia cuma ngomong doang mau perpanjang kerja, tapi dia belum datang juga buat membuktikan. Ini lip-service doang, nggak ada realisasinya. Dan sekarang, dia menggantung perasaan nyokap gw. Sama aja ngegantung gw juga. Apakah yang ginian bisa dipercaya? Karena buat gw, kepercayaan itu adalah harga mati.

*sigh*

Kenapa minggu ini banyak sekali yang menggantung gw dan ujung-ujungnya beneran ngebohongin gw?

Wednesday, October 14, 2009

Ditolak Itu Berkah


Semua orang ingin kerja di pedalaman Papua. Alamnya bagus. Tantangannya besar. Teman-teman gw kepingin praktek di sana. Teman-teman gw yang insinyur kepingin bikin proyek di sana. Teman gw yang perwira kepingin masuk batalyon di sana. Dan rakyat pedalaman Papua sendiri, yang rata-rata masih ketinggalan dari peradaban maju, ingin didatangi sarjana yang kompeten supaya bisa membantu mereka membangun daerah mereka.

Seorang kolega gw, sebut aja namanya Gwyneth, sudah kerja di pedalaman Papua Barat selama enam bulan bersama suaminya yang juga kolega gw, sebut aja namanya Chris. Sebenarnya mereka berdua betah tinggal di sana dan berencana kepingin memperpanjang kontrak kerja lebih lama lagi. Tapi mendadak, baru-baru ini mereka diberi tahu bahwa niat mereka untuk memperpanjang kontrak itu, ditolak.

Kita semua juga tau bahwa tiap orang butuh dokter, termasuk juga masyarakat tempat mereka kerja. Jadi kalo ada dokter dari daerah lain yang mau kerja di tempat kita, mestinya disambut dengan suka cita. Maka gw nggak ngerti kenapa birokrat lokal menolak niat baik mereka buat kerja di sana lebih lama lagi. Gwyneth sendiri mendengar isu bahwa mereka itu ditolak karena alasan yang maha cemen: Ada perawat setempat yang nggak suka sama kehadiran mereka.

Kita mungkin sering nemu kasus ini dalam kehidupan kerja sehari-hari. Orang-orang di kantor kita itu nggak semuanya baik, pasti ada aja satu-dua orang yang nggak suka sama kita. Tapi seyogyanya itu nggak boleh sampai mengorbankan siapapun buat keluar dari lingkungan kerja itu. Mbok kalau ada masalah itu diselesaikan baik-baik, apa gunanya kita orang timur menganut prinsip musyawarah? Sampai sekarang Gwyneth dan Chris belum ngerti kenapa birokrat lokal nggak nerima mereka buat kerja lebih lama di situ.

Yang lebih gw pertanyakan adalah kadar kebijaksanaan birokrat itu. Gw kasih tau aja ya, nyari dokter buat suatu daerah terpencil itu susah. Kalo cuman sekedar ngirim dokter ke pedalaman Papua sih beres, lha daftar tunggu dokter PTT buat daerah peminatan Papua selalu membludak tiap tahun. Tapi susah nyari dokter yang mau bertahan di sana lebih dari enam bulan, coz tantangannya terlalu berat: Medan yang susah ditembus jalan darat, ancaman malaria yang resisten antibiotik, belum lagi masyarakatnya yang kadang-kadang suka tawuran (Minta maaf buat jemaah blog gw yang di Papua, bagaimana pun ini hanya penilaian kasar gw pribadi berdasarkan yang gw baca dari pemberitaan di media massa tentang pedalaman Papua). Jadi kalo ada dokter yang mau sukarela kerja di sana untuk waktu bertahun-tahun, macam Gwyneth dan Chris yang sudah betah menyesuaikan diri di situ selama enam bulan, mestinya ya jangan ditolak. Apalagi cuman gara-gara perawat sentimen.

Gw mencoba memetakan masalahnya di sini. Tempat Gwyneth dan Chris bekerja, adalah penyedia lapangan kerja alias atasan. Gwyneth dan Chris adalah pegawainya. Atasan butuh sumber daya manusia untuk dijadikan karyawan. Pegawai butuh penghasilan. Sederhana toh?

Memang dalam urusan pekerjaan itu prinsipnya kudu suka sama suka. Kalo pegawai nggak seneng sama kerjaannya, sebaiknya dia nggak usah kerja di situ. Kalo atasannya nggak suka sama hasil atau proses kerja pegawainya, ya pegawainya nggak usah dipekerjakan lagi. Tapi kasus Gwyneth dan Chris kan nggak demikian. Dua-duanya nggak pernah mangkir tugas, dan mereka toh puas dengan situasi kerja mereka di Papua Barat, jadi kalo mereka bisa memenuhi kebutuhan si atasan untuk dijadikan pegawai lebih lama lagi, kenapa kudu ditolak?

Sh*t happens sometimes, kadang-kadang kita nggak bisa ngelak itu dalam kehidupan karier kita. Tak ada yang senang ditolak. Mungkin sebenarnya mereka nggak kerja di sana (medan jelek + malaria + masyarakat tawuran), jadi sebaiknya penolakan perpanjangan kontrak kerja itu harus dianggap sebagai berkah. Chris dan Gwyneth bukan yang pertama kali mengalami ini. Banyak kolega gw yang telah disingkirkan dengan menyakitkan dari tempat kerja mereka yang lama, ternyata mereka lebih sukses di tempat kerja yang baru. Lebih sukses itu nggak melulu harus diukur pake gaji, tapi lebih sukses itu punya tempat kerja yang nyaman, keselamatan kerja yang aman, dan atasan yang kredibilitasnya bisa dipercaya.

Kata gw, nggak bijaksana kalo kamu maksa bekerja untuk orang yang nggak menghargai kerja kerasmu, karena dalam saat yang bersamaan kamu nggak akan bisa mempercayai dia sebagai atasanmu.

Ini adalah sedikit gambaran buat khalayak ramai, yang selama ini punya kesan bahwa upaya pemerataan dokter di daerah-daerah terpencil tidak digarap dengan serius. Pemerintah sudah cukup baik hati mengirim dokter-dokter ke daerah-daerah terpencil, tapi memang ada satu-dua daerah yang menampik pertolongan itu dengan sikap tidak tahu terima kasih. Pegawai nggak boleh jadi pihak yang selalu dimarjinalkan, coz bisa jadi, justru pegawai adalah asset paling penting yang bisa dimiliki tempat kerja mereka. Dan kabupaten yang baru menolak dr Gwyneth dan dr Chris, baru saja melepaskan asset berharga yang pernah mereka miliki.

Tuesday, October 13, 2009

Dan Kau Sebut Itu Saru?

Setiap cerita pengalaman dokter PTT hampir selalu legendaris dan nggak pernah basi buat didengar. Apalagi kalo udah nyangkut culture shock, hah..pasti nggak akan ada abis-abisnya deh. Seperti salah seorang senior gw, nih ceritanya dia dapet penugasan di suatu daerah di pedalaman Papua. Tau sendirilah, namanya kita sebagai pendatang kan kudu menghormati adat setempat. Maka dokter yang satu ini, pada minggu pertama kedatangannya, sibuk lobi-lobi sana-sini supaya dia diterima gitu lho oleh suku pedalaman yang kebetulan masih terhitung primitif itu.

Dan barangkali salah satu lobinya yang paling sulit adalah mendekati kepala suku setempat. Kebetulan Pak Dokter ini supel, akhirnya dia bisa diterima hangat oleh sang kepala suku itu, melalui suatu acara adat khusus. Nah sebagai apresiasi positif kepada Pak Dokter, maka Pak Dokter disambut dengan acara makan-makan a la suku itu. Sampai kemudian sang kepala suku ngumumin, sebagai penghormatan kepada Pak Dokter, maka hadiahnya Pak Dokter dipersilakan untuk.. mengisap gunung kembarnya istrinya Kepala Suku.

Itu adat mereka untuk menghormati tamu.

Kisah itu diwariskan oleh senior gw kepada juniornya, lalu juniornya nerusinnya lagi secara turun-temurun sampai kedengeran oleh gw dan teman-teman gw yang waktu itu masih koass. Tentu saja kami semua terkejut, coz pikir kami waktu itu, kita udah sekolah tinggi-tinggi begini ujung-ujungnya malah disuruh ngisep toket?!
Kalo kata kolega gw yang cowok sih, langsung nanya, “Enak nggak toketnya?”
Gw langsung ngejitak kepalanya dan segera ngeluarin pertanyaan yang lebih kreatif, “Si istrinya itu mandi, nggak? Gelendong mammae-nya itu panuan, nggak?”


Gw nulis ini coz tadi siang gw nonton siaran berita yang rame oleh kisah tentang rencana segerombolan komunitas anti saru aliran ekstremis radikalis buat memboikot kedatangan Maria Ozawa alias Miyabi. Tau kan ya, Miyabi mau diundang ke Indonesia buat diajakin main film berjudul Menculik Miyabi? Nah, komunitas yang berkostum a la orang-orangan padang pasir ini mau memboikot Miyabi dengan cara menutup Bandara Soekarno Hatta di Cengkareng. Yeah, right, kayak yang cuman satu aja jalan buat masuk ke Indonesia. Memangnya bandara internasional di Indonesia ada berapa siiih..?

Lalu diberitakan tentang murid-murid suatu madrasah aliyah di Situbondo, Jawa Timur, yang rame-rame demo menentang kedatangan Miyabi. Gw cuman geleng-geleng kepala aja ngeliatinnya, sambil mbatin. Aduh, Dek, sekolah, Dek! Kalian ini disekolahin mahal-mahal oleh bonyok kalian bukan buat demo di jam sekolah! Lagian, maap ya, bukannya mau meledek, tapi Miyabi itu kayaknya nggak bakalan mampir Situbondo, jadi buat apa kalian ngeboikot orang yang nggak akan dateng ke situu..?

Yang makin bikin gw miris, ketika seorang murid gadis itu berkata keras-keras di depan corong mic, “Kami menentang Miyabi karena porno bukan budaya Indonesia!”

Dasar anak ingusan. Pak Dokter yang disuruh ngisep gunung kembarnya istri kepala suku di pedalaman Papua, itu bukan porno ya? Itu bukan budaya Indonesia ya?

Karena sebal liat berita itu plus sejak kemaren suasana hati gw yang lagi sedih luar biasa, gw pun ganti saluran berharap dapet acara yang lebih menarik. Oh, ada berita nih, tadi di Jogja tuh, ribuan anak SD disuruh membatik di jalan. Kalo gw liat sekilas sih, anak-anak SD pada bawa kapur gitu, terus mereka disuruh nggambar motif batik di atas aspal. Dasar yang namanya anak SD ya, pasti ada aja yang nakalan. Ada beberapa orang yang bukannya nggambar motif batik, tapi malah nulis kata-kata. Gw langsung tergelak begitu salah satu bocah itu malah nulis, “I love Miyabi”.

Sentimen negatif terhadap seseorang hanya akan menaikkan pamor publisitas orang tersebut. Miyabi ditolak di sana-sini, ujung-ujungnya orang malah penasaran dan memburu DVD bajakannya Miyabi di Glodok (dan mengoleksinya!). Padahal jujur aja, sebelum ada acara demo-demo sesat ini, gw nggak tau siapa itu Miyabi. Gw malah ngira miyabi itu nama sejenis makanan Jepang..

Memangnya Miyabi ke Indonesia mau bikin film porno, heh? Apa orang-orang ini nggak pada baca Koran ya, kan menurut Undang-undang Perfilman itu, semua film yang mau diproduksi harus minta ijin Menteri dulu. Kalo Menteri nggak mau ACC, ya filmya nggak boleh dibikin. Dan film Menculik Miyabi itu pasti udah dapet ijin dari Menteri, soalnya kalo bener film ini nanti isinya saru, pasti dari dulu nggak akan dilulusin oleh Menteri. Iya toh?

Apakah Miyabi itu ditolak masuk Indonesia karena dia datang bukan sebagai turis, tetapi sebagai bintang porno? Truz, selain Miyabi, orang-orang mana lagi yang dicap bintang porno dan nggak boleh masuk Indonesia? Ayo bikin daftarnya! Apa definisi bintang porno? Bintang porno adalah bintang yang kalo main film itu nggak pake baju?

Well, kalo kayak gitu caranya, repot nih. Soalnya dari hampir semua artis luar yang gw kenal, semuanya pernah syuting film dan nggak pake baju. Keira Knightley sempat tersingkap branya di Atonement. Kirsten Dunst telanjang total di film Devil’s Arithmetic. Angelina Jolie mandi bugil di Original Sin. Dan Julia Roberts juga ada adegan yang nggak pake baju di film Pretty Woman. Apakah film-film yang gw sebut di atas itu lantas jadi termasuk film porno, dan mbak-mbak yang gw sebut itu lantas menyandang predikat sebagai bintang porno? Berarti mereka juga nggak boleh masuk Indonesia dong? Asal tau aja ya, Julia Roberts mau syuting film di Bali, dalam waktu dekat. Hayoo..siapa berani nutup bandara dari kedatangan Julia Roberts?

Sederhananya, ada orang yang seneng Miyabi, ada yang nggak seneng Miyabi. Kalo nggak suka Miyabi, ya nggak usah nonton. Apalagi sampai nutup-nutup bandara segala. Emangnya bandaranya itu punya mbahmu apaa..?

Sudahlah, daripada polemik ini makin nggak karuan, ganti aja judul filmnya. Wahai Maxima Productions, gw aja yang diajak main film. Judulnya, Menculik Little Laurent. Dijamin, kantor kalian nggak akan dicekal orang-orangan padang pasir itu..!

Sunday, October 11, 2009

Mirip Jualan Kue


Foto ini gw jepret waktu gw ke Martapura, Cali Selatan, tahun lalu. Yang namanya turis kan begitu antusias liat pasar, apalagi di depan pasar perhiasan tuh banyak banget orang jual wadai alias kue-kue khas Cali. Ada yang jual lempok, ada yang jual dodol kandangan, wah pokoke macem-macem deh.

Waktu itu udah siang pas gw nyusurin lapak-lapak wadai itu satu per satu. Seperti yang pernah gw bilang dulu-dulu, gw tuh bukan semangat ngejar produk belanjaannya, tapi gw lebih semangat liat kelakuan penjualnya nawarin kue-kue mereka ke gw.

Ada penjual yang pas gw deketin lapaknya, diem aja, malah asik ngelonin anaknya sambil kipas-kipas. Gw nanya, "Berapa ini dodolnya, Bu?" Penjualnya langsung sebut harga. Gw nawar, "Kurangin dikit ya, Bu?" sambil nyebut harga setengahnya aja, langsung si penjual nyahut, "Kada bisa kurang itu, modalnya ja kada segitu." lalu dia ngelonin anaknya lagi tanpa noleh ke gw lagi.

Beda lagi sama penjualnya yang satunya. Gw deketin, langsung penjualnya nawarin gw dodolnya tanpa gw tanyain dulu. Gw tanyain harganya, penjualnya jawab. Ternyata harga dodolnya sama. Gw tawar setengah harga, lalu penjualnya malah ketawa dan nawarin gw kuenya yang lain yang sesuai harga yang gw minta. Gw bilang nggak mau kue yang lain, gw maunya dodol kandangan itu tapi nggak mau mahal-mahal. Si penjual bilang memang pasaran harganya segitu.

Lagi-lagi, ini masalah promosi. Dua-duanya sama-sama jualan kue, tapi penjual yang kedua mengemas jualannya lebih menarik ketimbang yang pertama.
Penjual pertama sok jual mahal sama gw, belagak seolah-olah nggak butuh dodol dagangannya dibeli oleh gw.
Penjual kedua pertahanin prinsipnya yang nggak mau dodol dagangannya dibeli dengan harga lebih murah. Tapi dia paham kemauan gw sebagai turis yang menginginkan kue khas Banjar, jadi dia nawarin gw kuenya yang lain, yang kira-kira harganya mufakat dengan selera gw.

***

Dalam berurusan sama pembeli, ada beberapa macam penjual kue yang gw tau.

1. Penjual kue yang mau dibeli berapa aja.
Mau dibeli kemurahan kek, mau dibeli kemahalan kek, yang penting kuenya laku.

2. Penjualnya mungkin nggak setuju kuenya ditawar murah. Jadi dia nawarin tester dulu ke pembelinya. Kalo pembelinya seneng testernya, pembelinya bakalan beli kue yang banyak. Kalo nggak suka testernya, pembelinya minggat dan nggak balik lagi. Penjualnya nggak rugi apa-apa selain rugi tester doang.

3. Penjualnya nuntut harga segitu, nggak boleh ditawar-tawar. Prinsipnya, kalo pembelinya nggak sanggup bayar, ya nggak usah beli sama sekali.

4. Penjual yang nggak mau jual kuenya sama sekali. Ditawar murah, nggak mau. Ditawar mahal, nggak mau. Ternyata, penjualnya liat siapa yang mau beli kuenya dan mutusin nggak mau kuenya dibeli oleh orang itu.

***

Diminta untuk bilang "ya", itu rasanya sama seperti jualan kue. Cuman yang bisa kita kasih itu bukanlah kue dodol atau lempok, tapi cinta.

Kalo kita seperti penjual #1, kita mau terima siapapun yang meminta kita, nggak peduli yang memintanya itu cemen atau keren. Kita cuman mau diri kita laku dan punya pasangan.

Kalo kita mirip penjual #2, maka kita memberlakukan masa percobaan sebelum kita menyerahkan diri jadi properti orang lain. Suruh dia mengenal kita dulu, (entah pacaran dulu, ta'aruf dulu, test-drive dulu, terserah deh apa istilahnya menurut nilai yang dianut masing-masing orang), baru setelah itu kita upgrade ke komitmen yang lebih serius.

Dalam posisi #3, tak ada masa percobaan. Kenal, suka, langsung boyong ke Catatan Sipil. Kalo nggak mau diproperti, ya udah!

Posisi #4 jelas paling sok eksklusif. Kita merasa di atas angin, tau yang meminta kita itu di luar kriteria inklusi kita, jadi kita nggak mau sama sekali sama dia. Mau dikasih sesajen berlian kek, dikasih sapi perah kek, dikasih sawah lima hektar kek, pokoke nggak mau.

Gw pikir, serumit-rumitnya jualan kue, masih jauh lebih rumit melibatkan diri dalam complicated relationship. Kalo kue dagangan kita basi, kan tinggal dibuang. Tapi cinta dalam hati kita nggak pernah basi, jadi nggak bisa dibuang. Kata kolega gw dulu, cinta itu seperti kentut: ditahan bikin sakit, dikeluarkan malah bikin ribut.

Solusinya ya, cinta harus diberikan kepada orang lain. Siyalnya, kita nggak pernah tau apakah orang yang mau kita sodorin cinta itu, layak atau nggak nerimanya. Layak dikasih kue dagangan kita atau nggak. Pantas dapet cinta kita atau nggak.

Diterima atau nggak, sama-sama ada konsekuensinya. Kalo kita bilang "ya", kudu siap jadi kekasih yang bertanggungjawab jaga diri dan jagain dia. Kalo kita bilang "nggak", mungkin kita kehilangan kesempatan buat menyayangi seseorang secara maksimal.

Saat ini, gw sedang berpikir-pikir, gw ini mirip penjual kue yang nomer berapa. Untuk pertama kalinya dalam hidup gw, gw resah coz gw nggak tau gw mirip penjual kue yang mana. Dan, saat gw berada dalam posisi menjual kue kepada orang lain, pada saat yang bersamaan itulah gw juga kudu nawar kue yang dijual orang itu..

Saturday, October 10, 2009

Brain-Beauty-Behaviour? Lewaatt..!


Semalam, gw bela-belain bolos nonton Kim Basinger coz gw milih berada di grand final pemilihan Putri Indonesia 2009. Bukan, bukan berarti gw ikutan pemilihan ini lho ya, gw cuman jadi juri doang (lho?). Dan tercapailah cita-cita gw buat jadi juri Putri Indonesia, setidaknya juri dari ruang tengah rumah gw, hehehe..

Untung selamat gw nggak jadi juri beneran. Coz kalo gw liat-liatin pesertanya, ya jujur aja, perasaan yang layak jadi Putri Indonesia itu ya yang dari kawasan Pulau Irian sana.

Apa pasal? Coz, kalo dipikir-pikir, selain cewek-cewek Papua itu, nggak ada satu pun pesertanya itu aseli daerahnya. Maksud gw tuh, biarpun ngakunya bawa nama daerah Sumatra aja misalnya, tapi mesti sekolahnya bukan di propinsinya sana, tapi kuliah di Jawa, atau di Los Angeles atau manalah. Ngakunya asal propinsi di Kalimantan, tapi kalo diliat-liat mukanya kok bukan muka Dayak atau Banjar. Setelah ditilik-tilik, ternyata bapaknya ya ada turunan Jawa. Yee..ini sih bukan putri asal Kalimantan dong..

Membuat gw berpikir-pikir, kalo gw ikutan Putri Indonesia, sah-sah aja dong kalo gw mewakili daerah Jawa Barat biarpun gw bukan orang Sunda, atau mewakili Jawa Timur biarpun saat ini gw nggak tinggal di Jawa Timur, atau bahkan mewakili Kalimantan Tengah biarpun totalnya gw nggak pernah merasa jadi bagian dari budaya sana. Ya soalnya kan gw besar di Bandung, gw berdarah Surabaya, dan gw lahir di Pulang Pisau. Kapok tuh..

*sebuah pemikiran picik dari anak perempuan yang nggak jelas tanah airnya*

Suatu hari gw pernah iseng bertanya, boleh nggak gw ikutan doang Putri Indonesia, tapi nggak usah menang deh. Lho, kenapa kok gw nggak pengen menang? Yaa..soalnya gw cuman kepingin pake kostum pesertanya yang bagus-bagus itu, hahahah..
(Hush! Nggak akan lulus kau jadi finalis Putri Indonesia, Vic. Lha ketawa aja ngakak!)
Eh beneran lho gw suka banget gaun-gaun dan kebayanya semalam. Paling suka gaun merahnya yang dipake pas lima besar, hwaa..bikin ngiri aja!

Truz, ada yang iseng jadi bahan pengamatan gw semalam. Kan sikap putri-putri itu khas banget ya kalo lagi berdiri, tegak di atas hak tinggi, satu tangan dikacak pinggang, senyum tujuh senti. Cuman iseng mau nanya aja, mereka nggak pegel ya berdiri di situ lama-lama? Untung acara siarannya cuman tiga setengah jam, kalo lebih lama dikit aja pasti ada yang merengek minta dipanggilin tukang pijet.
Apakah panitia tidak konsul sama dokter dulu waktu mau bikin acara ini? Kontes ginian bisa bikin betis varises, tauu..!

Dan soal kacak pinggang satu tangan itu, bisa bikin pegel lho, coz berat badannya cuman ditumpu di satu sisi yang dikacak. Idealnya kalo mau kacak pinggang ya dua tangan aja sekalian, nggak usah satu. Tapi kalo kacak pinggang dua tangan kan namanya bukan putri Indonesia ya, tapi itu namanya nge-boss, hahaha..

Dan soal senyum tujuh senti. Apakah mereka kudu tersenyum selebar itu selama berjam-jam? Memangnya giginya nggak kering ya..?
(Nggak dong. Kan di sela-sela jeda pesertanya pasti minumlah..)
*Lho, kalo pesertanya minum, kan lipstiknya luntur, berarti kudu retouch make-up berapa kali dong?*

Cape deeh..

Dan pada akhirnya di tiap kontes Putri Indonesia selalu menyisakan pertanyaan buat gw, apakah setiap pemenang Putri Indonesia kudu ikut Miss Universe? Boleh nggak kita ikutan Putri Indonesia tapi nggak usah dikirim ke Miss Universe? Atau gini ajalah, nggak pa-pa deh kita dikirim jalan-jalan ke Miss Universe, tapi di sana nggak usah ikutan pake bikini..?

Hahaha..gw tau sih tiap Putri Indonesia pasti mau aja dikirim ke Miss Universe, tapi gw juga tau ada lho beberapa orang yang nggak mau ikutan coz nggak sudi pake bikini. Tapi boleh dong ikutan Putri Indonesia tapi nggak mau ikutan bikini Miss Universe? Kan tujuan awalnya ikutan Putri Indonesia ya kayak tujuan gw, cuman kepengen pake gaunnya desainer keren doang, hahaha..

Yah memang tiap tindakan ada konsekuensinya. Mau ikutan Putri Indonesia, kudu rela badan pegel berjam-jam, dengan bobot badan cuman ditumpu di separo badan, sampai gigi kering, dan resiko dikirim ke kontes yang mungkin aja bertentangan dengan adat nilai yang kita anut (jangan salah paham, gw sendiri seneng lho nonton kontes bikini). Termasuk juga konsekuensinya Qory Sandiriova, yang buat ikutan Putri Indonesia aja kudu minta ijin ke gubernur Aceh buat copot jilbabnya. Dan karena Qory yang menang semalam, jelaslah Qory kudu ikutan Miss Universe tahun depan, termasuk menanggung konsekuensi pake bikini..?

(Membayangkan ada warga Nanggroe Aceh Darussalam yang pake bikini untuk mewakili Indonesia. Dan segala kisruh yang siap menanti dengan konsekuensinya. Hm..suddenly I smell blood.)

Siapa bilang isu paling happening di Putri Indonesia kali ini adalah Brain-Beauty-Behavior? Isu itu udah lewat. Isu besarnya tahun ini cuman satu: .."Konsekuensi"!