Wednesday, July 31, 2013

Belajar Tidur Sendirian

Dalam pernikahan, selalu ada yang pertama. Masak pertama. Nyuci baju pertama. Masang antene tv pertama. Browsing rumah pertama. Mandi bareng pertama. Dan entah apa lagi yang pertama.

Ini sudah 10 malam terakhir bulan Ramadhan dan tahu-tahu my hunk bilang kalau malam ini dos-q mau ngumpul bareng temen-temennya. Sesama pria. Saya sih nggak keberatan, tetapi itu jadi persoalan sewaktu dos-q bilang dos-q mau pulang subuh. Saya mengkeret. Soalnya berarti itu konsekuensinya dos-q bakalan di luar rumah dari malem sampek subuh. Berarti saya tidur sendirian dong malam ini?

He's always there beside me.
Now he wants to beside himself for a while.
Bukan saya nggak berani tidur sendirian ya? Semenjak menikah, seumur-umur cuman satu kali saya tidur sendirian di kamar, yaitu waktu my hunk pergi seminggu keluar kota untuk urusan kerjaan. Sisanya bukan saya yang tidur sendirian, tapi saya yang ninggalin my hunk tidur sendirian.. soalnya saya jaga rumah sakit.
Well, saya sendiri nggak keberatan tidur sendirian selama itu urusan cari nafkah atau sekolah, tapi ini kan.. ugh, semata-mata karena dos-q mau kumpul sama temen-temennya.

Saturday, July 27, 2013

PR buat Asuransi Kesehatan

Salah satu poin penting dari perencanaan keuangan ialah bagaimana mengembangkan aset yang ada supaya jadi banyak menghasilkan dan bagaimana melindungi aset yang ada supaya nggak sampek hilang oleh hal-hal yang nggak terduga. Salah satu musibah yang sering bikin kita bangkrut itu adalah kalau kita sakit.

Sebenarnya bukanlah penyakit itu yang bikin bangkrut, bukan juga harga obatnya apalagi biaya dokternya, tetapi rumah sakitnya itulah yang bikin bangkrut. Bahkan penyakit Indonesia yang paling sering bikin mati yaitu serangan jantung, sebenarnya nggak akan menggorok isi dompet penderitanya asalkan pilih dokter yang cerdas di Puskesmas yang tepat, dan obat-obatan yang diperlukan sebetulnya sudah ditanggung oleh Jamkesmas. Jadi nggak benar itu kalau ada pameo “orang miskin nggak boleh sakit”. Yang bener adalah “orang miskin nggak boleh (masuk rumah) sakit (swasta).”

Thursday, July 25, 2013

Takbir dan Mengejan Pun Berlomba

Lebaran itu seharusnya sholat Id bersama keluarga, tetapi tahun lalu saya menghabiskan Lebaran dengan mengurusin orang-orang yang mau melahirkan di rumah sakit.

Saya mahasiswa sekolah spesialisasi kedokteran kandungan dan tahun lalu saya ditugaskan magang di sebuah rumah sakit di Sidoarjo selama tiga minggu sekitar Lebaran. Ini pertama kalinya saya merayakan Idul Fitri tanpa bersama orang tua saya (waktu itu saya masih belum punya suami) dan sekolah saya memang nggak memberikan libur meskipun Lebaran. Waktu diberi tugas itu, saya udah ikhlas aja dalam hati untuk tidak berlebaran sama keluarga, karena saya mikir, “Ah, paling-paling saya masih bisa sholat Id bersama dokter-dokter jaga lainnya di lapangan parkir rumah sakit.”

Pada malam Idul Fitri kamar bersalin saya bersihkan dari pasien dan semua pasien yang masih hamil saya bikin supaya cepat lahir sehingga mereka bisa memperkenalkan anak baru mereka ketika keluarga mereka membesuk mereka pada hari Lebaran. Sungguh aneh malam itu saya tidur nyenyak, dan saya masih sempat menyiapkan mukena plus sajadah plus koran untuk siap-siap sholat Id di lapangan rumah sakit. Jam lima pagi saya bangun dengan perasaan segar dan mandi.

Ketika balik ke kamar tidur sambil mengeringkan rambut habis keramas, feeling saya nggak enak ketika HP saya berkedip-kedip tanda SMS masuk. Ternyata itu dari kolega saya. Isinya simpel sekali. “Pasien baru. Kiriman. Kala dua lama.”

Saya lari ke kamar bersalin dan menjumpai kolega saya dan beberapa bidan mengerubuti seorang ibu yang terbaring pasrah di tempat tidur dengan perut membelendung nampak seperti habis menelan kulkas. Saya mendengar sendiri mulut saya bertanya, “Siapa yang kirim?” padahal sebenernya saya mau ngomong, “Siapa yang menghalangi saya mau sholat Id?”

Tuesday, July 23, 2013

Dua Tahun Minta Pensiun

Setiap kali saya ngeliatin HP, mendadak saya langsung teringat orang yang mau kena serangan epilepsi. Soalnya HP saya senengnya bengong dan nggak mau diajak ngapa-ngapain. Tapi di tengah-tengahnya ada jam pasir. Biasanya saya nunggu satu menit dulu, baru setelah itu HP saya mau kerja. Dan itu sangat mengganggu, karena mobilitas saya dihitung dalam detik.

Saya mau protes, tapi apa daya saya teringat janjinya tukang HP yang dulu ngejual HP saya ini. “Garansinya cuman dua tahun lho, Teh,” katanya. Baru sekarang, kutukan dua tahun itu terasa benar adanya. Setelah dua tahun bersama saya, HP saya mulai nunjukin tanda-tanda geriatri. Lemot, bengong, baru diajak ngebut dikit aja langsung kecapekan.

Saturday, July 13, 2013

Lebih Spesifik Dong..

Ustadz yang berceramah di tarawih yang saya datengin malam ini bertanya, "Bapak-bapak, Ibu-ibu, adakah di antara Anda yang hari ini berdoa, 'Ya Allah, berikan saya detak jantung. Ya Allah, berikan saya oksigen untuk bernafas.'?"

Saya dengan jujur menggeleng. Karena saya memang nggak pernah berdoa minta dikasih detak jantung atau oksigen.

Tadi pagi, saya berdoa sesudah witir. "Ya Tuhan, saya mohon supaya kedua orang tua saya selalu sehat.. Saya mohon bimbing saya supaya saya bisa menjalani sekolah dengan baik."

***

Setelah bertahun-tahun jadi dokter, saya baru menyadari ironi bahwa, tetap bernyawa ternyata nggak selalu lebih baik daripada mati. Saya melihat pasien-pasien tergolek loyo di ranjang ICU, ada yang sudah berada di sana seminggu, ada yang sudah sebulan, hanya ditopang mesin bantu napas (yang dibayarin Jamkesmas alias dana Pemerintah alias pajak rakyat), mereka mungkin saja masih bernyawa tetapi menurut saya mereka nggak hidup.