Saturday, July 31, 2010

Full House di Bandung

Selamat datang di Bandung. Kalau nggak perlu-perlu amat, nggak usahlah ke Bandung weekend begini. Soalnya ke Bandung itu, susah masuk susah keluar. Saya nggak becanda lho, mau masuk ke Bandung dari barat kan mesti lewat Pasteur. Tuh pintu gerbang tol Pasteur aja macetnya bisa sampek sekilo. Lha keluarnya juga susah, soalnya macetnya amit-amit, nggak via barat nggak via utara ya sami mawon.

Beberapa hari lalu saya nyariin hotel buat Mbak Reni Judhanto yang weekend ini mau ke Bandung buat acara di Dago. Jadi saya berusaha nyari hotel di Dago juga. Maka saya bukalah database hotel-hotel yang saya punya, mulai dari Foursquare sampek halaman kuning. Terus saya telfonin satu per satu. Eeh, tiap kali saya ngomong sama resepsionis, mesti njawabnya “sudah penuh”.

Edun, bahkan saat saya putus asa kehabisan hotel bintang empat dan akhirnya mulai nelfon hotel melati, tetep aja resepsionis hotel melati bilang “sudah penuh”. Maka mulailah saya putar otak nelfon hotel yang bukan di jalan Dago, tapi saya cobain ke area sekitarnya seperti Jalan Ciumbuleuit atau jalan Riau. Teteep..aja, jawabnya “sudah penuh”. Dooh..waktu saya nelfon itu kan baru hari Rebo, dan saya minta kamar buat tanggal 30-31. Itu kan tanggal tuwek, mosok udah penuh juga sih??

Tapi pencarian bukannya tanpa hasil. Saya berhasil nemu yang kamar kosong juga, dan ternyata saya dapetnya kamar-kamar bertipe grande macam suite room, executive room, penthouse, dan harganya melonjak di kawasan harga jutaan. Malah ada ynag njawab gini, “Kami masih punya kamar, Bu, berupa kamar tipe honeymoon. Tarifnya Rp 2.4xx.xxx..”

Batin saya, “Gw ketimbang honeymoon buka kamar di hotel Bandung, mendingan gw honeymoon di kamar gw ajah. Masakan nyokap gw lebih enak ketimbang masakan hotel..”

Hehehe..untunglah Mbak Reni ternyata minta channel lain buat nyariin hotel, dan akhirnya dapet sebuah kamar di hotel yang cukup bonafid di Dago.

Ternyata, orang-orang hotel itu kadang-kadang suka main curang juga, suka bilang “sudah penuh”, tapi sebenarnya mereka masih punya kamar kosong kalau cuman satu-dua. Mungkin buat tamu dadakan yang langsung dateng on site. Supaya mereka bisa melambungkan harga ke level yang tidak masuk akal.

Tips buat nginep di Bandung:
1. Tentukan dulu kalau mau ke Bandung tujuannya mau ke mana sih. Usahakan cari hotel yang terarah deket tempat tujuan utama kita. Jangan rencana mau ke Ciwidey tapi nginepnya di Setiabudi. Jauh bo’.
2. Kalau nelfon hotel, resepsionisnya suka nanya duluan, butuh kamar berapa. Jangan pernah jawab satu kamar biarpun Anda memang cuman dateng seorang diri. Bilang aja cari 3-4 kamar, baru dia mau kasih harga yang masuk akal. Nanti kalau udah tercapai harga yang Anda inginkan, baru Anda bilang kalau Anda cuman butuh satu kamar aja.
3. Usahakan pesan kamar jauh-jauh hari, kalau perlu paling telat dari H-7.

Saya taruh foto kopi darat saya dengan Mbak Reni di sini, sebagai bukti autentik bahwa pemilik blog Georgetterox dan Catatan Kecilku memang hidup, hehehe. Mudah-mudahan kita bisa kopi darat lagi lain kali ya. Oh ya, ini pertama kalinya saya kopi darat tapi nggak minum kopi..

Friday, July 30, 2010

Ketika Empet sama Tetangga

Punya tetangga yang rese kadang-kadang bisa sangat menyebalkan, tapi bagian paling menyebalkannya adalah kita nggak bisa memilih mau bertetangga sama siapa, dan situasi mengharuskan kita mesti bertetangga dengan orang itu. Saya kepikiran ini waktu tadi pagi saya baca tweet seorang teman. Dia ini lagi nginep di rumah sakit buat nemenin maminya yang lagi diopname. Dan dia mengeluh bahwa tetangga yang dirawat di tempat tidur sebelah tempat tidur maminya, berisik banget, kalau ngomong tuh kenceng.

Sebagai dokter saya ngerti bahwa ketika seorang pasien mesti diopname, kadang-kadang pasien dan keluarganya frustasi. Mulai dari makanannya nggak enaklah, rumah sakitnya nggak homy-lah, sampek keluhan harus berbagi kamar dengan pasien lain. Saya perhatiin memang tingkat stress pasien yang tidur di satu kamar berisi delapan pasien tentu lebih tinggi ketimbang pasien yang tidur di satu kamar untuk satu pasien. (ya iyalaah..semua orang juga tahu itu!)

Saya jadi inget waktu beberapa tahun yang lalu saya kerja di sebuah rumah sakit, di mana waktu itu saya bertugas ngopname dua orang pasien pengidap TBC. Sebut aja yang satu namanya pasien X dan yang satu lagi namanya pasien Y, dan mereka dirawat pada tempat tidur yang bersebelahan. Pada suatu pagi nyokapnya pasien X mendatangi saya, dan dengan takut-takut dia berkata, “Dokter, maaf, saya mau bawa anak saya pulang.”
Saya memandang si ibu. “Lho, kenapa? Anaknya kan masih sakit perut?” Itu TBC-nya sudah menjalar dari paru ke usus.
Nyokapnya nampak ragu-ragu, lalu akhirnya berbisik, “Iya sih. Tapi masalahnya..anak saya nggak tahan di sebelah orang itu..”
Saya langsung tersenyum, berusaha keras nggak ketawa.

Jadi gini lho, pasien Y itu lagi sakit parah. TBC-nya dari paru, sudah sampek ke otak, sehingga selaput otaknya rusak. Akibatnya sarafnya pun ikutan rusak, sehingga dia nggak bisa mengontrol buang airnya sendiri. Ujung-ujungnya, dia pun nggak sadar kalau dia pup. Siyalnya istrinya nggak bisa pasangin popok dengan benar, sehingga pupnya merembes ke sprei. Baunya itu lho..amburadul nyebar ke mana-mana dan ganggu banget.

Memang sih, ada perawat yang rajin gantiin sprei bekas pup itu. Cuman ya itu aja, kalau ketahuan sama pasien lainnya, kan nggak enak sama baunya, hihihihi..

Untungnya saya berhasil nenangin ibunya si pasien X, supaya jangan bawa paksa anaknya pulang. Saya bilang bahwa saya sudah menjadwalkan pasien Y untuk dipindahkan ke ruang opname lain karena ada prosedur yang harus kami lakukan, jadi malam itu pasien X nggak perlu tidur sebelahan dekat pasien Y lagi. Kesiyan kan, pasien X itu sebenarnya belum sembuh, tapi mosok mau minta pulang cuman gara-gara nggak betah tidur di sebelah pasien lain yang pup sembarangan? :-p

Saya yakin kalau kejadian ini bisa aja menimpa Anda. Kadang-kadang Anda nggak bisa nolak nasib, sakit bikin harus diopname, dan Anda terpaksa tidur berbagi kamar dengan pasien lain. Dan pasien lain mungkin situasinya menyebalkan, entah karena dia berisik, atau dia bau, atau dia kebanyakan penjenguknya, dan lain-lain.

Ada macem-macem cara supaya Anda nggak perlu dirawat bareng pasien tetangga yang rese. Caranya gini lho:
1. Gunakan radio mini, atau kalau Anda punya HP yang ada speaker-nya, boleh dicoba. Putarlah lagu keras-keras, lebih bagus lagi kalau lagunya dari genre music yang nggak disukai pasien tetangga, misalnya lagu Keong Racun, atau lagunya ST 12, atau lagunya Ridho Rhoma.
2. Minta bala bantuan teman-teman buat menjenguk Anda. Jangan barengan, tapi bergiliran. Dan cobalah tiap kali Anda dibesuk, Anda menyambutnya dengan lebay. “Eeh..Jeng Siti, apa kabaar..? Lama deh nggak ketemuuu..! Aduuh, pake bawa oleh-oleh segala, mbok ya nggak usah repot-repoot..! Aduh, aduh, aduuh..ini oleh-olehnya mau taruh mana yaa..? Maap Jeng, lha abis kamar saya sempiit..!”
Tentu saja ada resiko cara di atas bikin Anda malah dimarahin suster karena dianggap bikin gaduh, hihihi.. Jadi kalau Anda merasa cara-cara audio di atas terlalu norak, cobalah pakai cara halus.
3. Bilang gini ke pasien tetangga, “Eh, Pak, tahu nggak, Pak? Kalau dirawatnya di sayap seberang, perawatnya baik lho. Tiap pagi pasti ditawarin mau makan steak atau mau makan spageti, terus tiap sore pasti perawatnya kasih bonus cokelat Kit Kat. Nggak kayak di sini, pagi siang makanannya bubur melulu.. Coba deh Bapak pindah ke sana, pasti Bapak seneng deh..”
4. Boleh juga dengan memberdayakan aroma. Minta keluarga Anda bawa obat nyamuk dari rumah. Lebih bagus lagi kalau obat nyamuk itu pakai aroma yang nyegrak buanget. Malem-malem pas mau tidur, semprot obat nyamuk di seluruh ruangan, termasuk juga sisi tempat tidur pasien tetangga. Nanti kalau pasien tetangga batuk-batuk, Anda tinggal ngeles, “Aduh, maaf ya, Pak, soalnya saya biasa di rumah pake semprot nyamuk, jadinya saya nggak bisa tidur kalau belum pakai obat nyamuk..”

Gambarnya ngambil dari sini

Thursday, July 29, 2010

Bergaya di Tempat Ngadem

Nggak ngerti saya kesambit apa, tapi hari Minggu kemaren pas lagi luntang-lantung di festival jalanan di Braga, saya mutusin buat jalan-jalan ke museum. Ya know, saya bukan penggemar sejarah, terutama kalau itu tidak ada hubungannya dengan hal-hal yang saya suka; saya seneng dateng ke museum karena alasan yang simple aja: cari AC yang gratis. Makanya saya sebel banget kalau saya dateng ke museum yang nggak ada AC-nya, hehehe. Anda sama sekali tidak bisa bayangin, Bandung sepanas apa sekarang.

Betul-betul ironis banget orang-orang macem saya ini, yang cuman memperlakukan museum sebagai tempat buat ngadem. Tapi ya itu nggak lepas dari sikap para pengelola museum, yang umumnya masih setengah hati dalam mengurus museum. Coba Anda pikir-pikir, sebutkan dua kata yang pertama kali terlintas di kepala Anda kalau denger kata museum. Satu, barang kuno. Dua, sarang laba-laba. Tiga, nggak gaul ah. Eh, itu tiga kata.

Nah, untungnya berhubung tahun 2010 ini adalah tahun kunjungan museum, maka para pengurus museum di Indonesia lagi seneng-senengnya promosi sana-sini supaya orang mau dateng ke museum. Ada banyak banget kegiatan yang sekarang lagi diumbar, supaya orang nggak semata-mata dateng ke museum cuman buat ngadem atau buat karyawisata. Beberapa museum sekarang rela ngorbanin beberapa ruangannya buat dijadiin tempat pameran, yang umumnya pamerannya nggak ada hubungannya sama tema museumnya sama sekali. Ada juga yang nyewain ruangan buat dijadiin tempat presentasi software open source. Beberapa bahkan mengkaryakan lapangan parkir buat dijadiin kafe yang jual makanan elite-elite. Kenapa dijualnya dengan harga mahal? Justru kesannya supaya museumnya nampak bonafid.

Museum yang saya sambangin ini namanya Museum Konferensi Asia Afrika. Sebenarnya museum ini nggak melulu nyimpen barang-barang kuno. Malah, kalau saya itung-itung, jumlah barang kuno yang dipamerin di sini nggak sampek 25%-nya. Museum ini sebenarnya malah lebih mirip galeri buat masangin foto-foto peristiwa Konferensi Asia Afrika di Bandung pada wangsa 1955. Batin saya, ini cara murah-meriah buat bikin museum. Suatu hari saya juga mau bikin Museum Vicky Laurentina. Isinya adalah foto-foto saya dari kecil sampek dewasa, lengkap dengan cerita-ceritanya di masing-masing tahun. Tinggal tata foto-foto itu dalam galeri dengan penatacahayaan yang ciamik dan interior yang artistic, maka jadilah museum. Narsis! *wink*

Saya mutusin bahwa kali ini saya nggak akan motret barang-barang di dalam museum, coz kalau mau promosi museum kayaknya udah basi. Tapi sebagai orang yang seneng ngeliatin orang lain, maka saya motret kelakuannya orang-orang yang pergi ke museum. Seperti pada foto-foto yang saya pajang ini. Ada pengunjungnya yang seneng motret display, sampek semua-semua yang ada di dalam museum itu dia potret. Ya bola dunianya, ya mesin ketik kunonya, ya patung-patungnya. Mungkin Anda termasuk jenis orang kayak gini. Sebenarnya motret ginian buat apa sih? Kalau udah sampek rumah, tuh foto hasil jepretan diliatin lagi, nggak?

Saya juga seneng lihat orang ke museum gayanya mulai modis-modis. Nggak melulu anak-anak sekolah dengan seragam sambil nyatet barang-barang yang menurut saya lebih mirip tukang inventaris, tapi saya lihat cewek-cewek sexy dengan hot pants dan sepatu sandal suede dengan tekun melototin setiap foto yang dipasang di galeri. Tahukah Anda bahwa banyak orang seneng pacaran di museum? Perpaduan antara AC yang dingin, interior museum yang elegan, dan bertebarnya barang-barang pamer yang merangsang intelegensia, bikin suasana pacaran makin gimanaa..gitu. Nasehat kecil saya, kalau Anda kepingin nampak intelek di hadapan orang yang lagi Anda pe-de-ka-te-in, ajaklah kencan ke museum. Kalau Anda kepingin kencan di siang hari yang nggak bikin make-up Anda cepet luntur, pergilah ke museum.

Saya juga seneng museum sekarang mulai melengkapi tempat-tempat pamerannya dengan alat-alat canggih. Komputer-komputeran yang dipasangin multimedia di sini bisa kasih pengunjung informasi tentang hal-hal yang menarik yang mungkin sulit diungkapkan dengan barang pajangan. Meskipun menurut pengalaman saya pribadi, kayaknya nggak semua pengunjung tertarik buat ngulik semua informasi yang ada dalam multimedia itu. Tapi cukuplah buat bikin pengunjungnya terkesan. Jaman sekarang, apa yang bisa tampil cuman dengan bermodal mouse atau touch screen, selalu aja bikin pengunjung takjub.

Yang lucu, pas saya lagi motret-motret begini, tahu-tahu terdengar suara dari loudspeaker, “Pengunjung dilarang memotret di area selain area patung!”
Ya oloh..maksudnya supaya nggak ada yang mereproduksi gambar-gambar display-nya museum buat dipasang di media massa ya? Saya kan bukan mau motret display-nya museum, saya cuman mau motret orang-orang yang dateng ke museum aja.. :-p

Wednesday, July 28, 2010

Percuma Dikasih Penari


Satu hal yang bikin saya rada empet nonton kontes-kontes nyanyi di tivi, entah itu Indonesian Idol, Indonesia Mencari Bakat, Mamma Mia, atau entah apa lagi, adalah penarinya. Yang kadang-kadang menurut saya, penarinya itu justru merusak penampilan penyanyinya. Bukan mau bilang penarinya jelek ya, menurut saya sih tariannya itu bagus, penarinya juga cantik, tapi kadang-kadang saya cuman lihat penarinya tuh sebagai tempelan. Alhasil kontestan yang nyanyi, dengan para penari tuh suka nggak nyambung, gitu lho.

Nggak semua penyanyi kontes itu dikasih penari. Biasanya alasan dikasih penari itu untuk mempermanis pertunjukan, bikin gereget suasana, bikin makna lagu menjadi eksis, dan sebagainya. Tujuan awalnya sih itu.

Tapi pada pelaksanaannya, kadang-kadang penyanyi dan penari itu jadi nggak nyambung pas di pentas. Kelihatanlah dari gestur penyanyinya; saat penari berlenggak-lenggok lincah, penyanyi nampak hanya bergoyang a la kadarnya di antara para penari, atau lebih parah lagi, penyanyi pura-pura berjalan menghampiri penonton sehingga meninggalkan penari yang menari di tengah panggung. Ini cukup sering terjadi pada kontes-kontesan, di mana biasanya seorang kontestan cuman dikasih waktu seminggu untuk mempelajari suatu lagu yang akan dinyanyikan. Artinya hanya seminggu buat ngapalin lagu, latihan suara, dan latihan koreografi. Artinya juga cuman seminggu untuk latihan bersama penari-penari yang biasanya sudah diadakan oleh panitia (kan nggak mungkin toh pesertanya bawa penari sendiri dari rumah). Padahal agak sulit kan membangun chemistry dengan penari yang sebelumnya tidak pernah kita kenal, apalagi hanya dalam seminggu?

Saya respek dengan Agnes Monica, Shanty, Dewi Sandra, dan penyanyi-penyanyi lain yang biasa bawa penari sendiri kalau manggung. Nyata dalam tiap performa mereka, mereka sudah nyiapin pertunjukan itu dengan berlatih jauh-jauh hari sebelumnya. Latihan itu juga termasuk bikin gerakan yang serasi antara penyanyi dan para penarinya, sehingga antara penyanyi dan para penari itu terjadi suatu kesatuan. Bukan sekedar menjadikan para penari latar sebagai pelengkap, bukan juga membuat para penyanyi yang aselinya suaranya fals jadi rada "mewah" karena dikasih penari.

Pada kontes-kontes memang sulit mengharapkan kontestan penyanyi rada nyambung sama penari, coz seperti yang saya bilang tadi, susah membangun chemistry antara penyanyi dan para penari hanya dalam tempo seminggu. Makanya saya pikir mendingan kalau kontes-kontes gitu, nggak usah dikasih penari latar aja sekalian. Karena penari bisa jadi senjata pemanis, sebaliknya bisa pula jadi bumerang. Kesiyan kan, penyanyi-penyanyi kontes yang sudah capek-capek nyanyi dengan suara merdu, bisa kurang SMS-nya gara-gara disuruh menari dengan penari yang nggak nyambung dengannya.

Tuesday, July 27, 2010

Merdeka dari Ketergantungan

Seorang teman cerita ke saya bahwa dia be-te berat sama nyokapnya. Jadi minggu lalu dia kan dalam perjalanan panjang dengan sebuah bis bersama nyokapnya, lalu ketika perjalanan di-break buat istirahat, nyokapnya ini turun beliin teman saya nasi padang buat dimakan di bis. Teman saya sebenarnya nggak suka kalau makan nas di bis, dia lebih suka makan roti coz lebih praktis.

Memang kalau dipikir-pikir, ada aja sebagian orang yang naik kendaraan gitu lebih senang beli roti ketimbang beli nasi. Kalau kita makan roti, kan sebenarnya tinggal dipegang pakai tisu atau plastic pembungkusnya, terus digigit deh. Bandingkan dengan orang makan nasi, kan harus pakai sendok, lalu bungkusnya dipegang pakai tangan kiri (singkirkan ide pakai kotak Styrofoam yang mencemari lingkungan!). Bayangin ribetnya kalau mau motong ayamnya harus pakai bantuan garpu. Ini kan lagi makan di bis, di mana sedapat mungkin tangan harus dalam keadaan bersih, coz selama perjalanan tentu saja kita susah nemuin tempat buat cuci tangan.

Ketika denger cerita itu, saya berpikir-pikir kenapa para nyokap lebih milih nas sih ketimbang makan roti. Padahal ditinjau dari segi nutrisi, kalori yang timbul dari nasi sebenarnya sama aja dengan kalori yang dihasilkan dari roti. Lalu saya berpikir bahwa mungkin selera nyokapnya temen saya itu lebih berat ke nasi ketimbang roti. Ya nggak pa-pa sih, saya nggak niat menggugat selera orang, setidaknya sampek beberapa hari lalu saya baca tulisan Zulfikar Akbar di sini.

Negara kita saat ini punya masalah besar dengan yang namanya stok nasi. Terlalu banyak orang di meja makan Indonesia yang harus diisi mulutnya dengan nasi, padahal produksi beras di negara kita makin lama makin seret. Memang para insinyur pertanian Indonesia sudah kerja keras menciptakan bibit-bibit padi yang unggul, yang niscaya bikin padi jadi sering panen dalam setahun, bulirnya lebih banyak, dan kalau dimasak jadi nasi pnu lebih pulen. Tapi ketika bibit unggul ini disodorin ke tangan petani di lapangan, ternyata petani harus bayar mahal; bibit ini cuman tumbuh bagus seandainya dikasih pupuk yang bagus, dan siyalnya pupuk yang bagus susah terjangkau oleh daya beli petani. Bibit ini bisa tumbuh subur asalkan pengairannya cukup, sayangnya berkat penggundulan hutan yang massif, hujan yang malah bikin banjir, petani makin lama makin kekurangan air. Singkatnya, bagaimana padi mau panen yang banyak, dan bagaimana kita mau kasih cukup nasi untuk semua orang di Indonesia?

Sebenarnya kalau mau ditilik-tilik dari sejarah, rakyat kita memang sudah salah kelola isi perutnya oleh negara. Harap diingat, tidak semua daerah di Indonesia senang makan nasi. Daerah Cimahi, Jawa Barat, sebenarnya sudah merasa cukup kenyang dengan singkong. Ajaran masa es-de kita bahwa makanan pokok penduduk Madura adalah jagung juga bukan ngibul. Artinya ada beberapa daerah di Indonesia yang sebenarnya tidak butuh nasi, tapi mereka cukup saja ma’em dengan singkong, jagung, atau sagu. Namun kebijakan Orde Baru yang bercita-cita memproduksi beras sebanyak-banyaknya, telah memaksa petani yang awalnya biasa menanam jagung menjadi menanam padi. Yang bisa menanam singkong sampek surplus, lama-lama dipaksa juga buat meninggalkan singkong supaya menanam padi. Akibatnya potensi bangsa kita untuk memproduksi tanaman-tanaman bukan padi, pun tertekan.

Hasilnya, nampak pada pembentukan selera makan bangsa kita. Banyak dari kita yang mengeluh: belum kenyang, kalau belum makan nasi. Ini anggapan yang menyesatkan, karena sebenarnya perut kita kenyang, kalau jumlah glukosa dalam darah kita normal. Supaya glukosa dalam darah kita jumlahnya normal, ya kita mesti makan makanan yang mengandung glukosa dalam jumlah cukup. Dan makanan yang mengandung glukosa nggak cuman nasi, tapi juga bisa dari roti, gandum, sereal, jagung, atau pun singkong. Jadi, untuk kenyang, nggak mesti harus pakai nasi..

Kita perlu mengubah cara pikir kita yang kecanduan nasi, terutama untuk melatih mental kita supaya lebih fleksibel dan tidak tergantung pada nasi. Contoh kecil ya dalam kasus teman saya di atas, misalnya kalau kita harus melakukan perjalanan panjang, kita nggak perlu ribet nyiapin bekal nasi dari rumah, atau panic di tengah jalan nyari tempat persinggahan restoran yang jualan nasi. Lebih praktis kalau kita bawa roti buat makan, yang bisa dimakan dalam kendaraan tanpa harus cuci tangan. Bisa pilih sandwich isi daging asap, atau isi kulit ayam, lebih seru lagi diselipin daun selada yang dicocolin mayonaise. Kalau dirasa ribet nyiapinnya, bisa beli di toko-toko roti. Kayak roti yang saya foto ini, isinya roast beef dilumurin saos tomat, beli di toko kue paling tua di Braga, bandung. Minggu ini, toko kue yang paling beken di Bandung pada tahun 1930-an dan suka jadi langganan nonik-nonik Belanda ini, jual roti-rotinya sampek turun setengah harga. Cuman sampek 1 Agustus ini. Lumayan, roti ginian 10.000-an dapet tiga, hehehe..

Eh, ini sebenarnya mau cerita pengalaman temen, cerita Indonesia rawan pangan, atau mau ngiklan toko kue??

Sunday, July 25, 2010

Vokalis Bukan Penyanyi Solo

Pas saya nonton Indonesian Idol minggu ini, saya applaus berat buat Gilang Saputra, kontestan yang akhirnya disuruh pulang gara-gara kalah SMS dari dua peserta lainnya yang tersisa. Kepulangan Gilang sebenarnya sudah saya ramalkan dari kemaren-kemaren. Bukan berarti gilang ini jelek lho, dia salah satu dari lima favorit saya, tapi saya sendiri tidak berharap dia yang menang, coz seperti yang saya live-tweet-in tiap minggunya, dari minggu pertama saya udah jagoin Citra Sckolastika. Saya senang sama Gilang soalnya dia nggak cuman nyanyi, tapi dia bisa juga main music. Jarang banget penyanyi di Indonesia yang bisa sekaligus main piano bak Maksim, main gitar seperti Sandy Sundhoro, dan main drum seperti Wong Aksan. Keren kan?

Ada catatan menarik dari komentarnya Anang Hermansyahrini pasca Gilang tampil, “Daripada jadi penyanyi, kamu mendingan jadi seniman aja.” Maksudnya, lantaran kemampuan musikal Gilang yang multiinstrumental itu, maka dia cenderung jadi bunglon buat setiap lagu yang dia bawain. Dalam istilah gw, dia cenderung jadi “mitu” untuk tiap penyanyi, dan susah bernyanyi sebagai dirinya sendiri. Saat dia nyanyi lagunya Gigi, dia jadi mirip Armand Maulana. Saat dia nyanyi lagunya Nidji, dai malah jadi mirip Giring. Saya bertanya-tanya, kalau sekiranya dia disodorin lagunya Geisha, jangan-jangan nanti dia malah jadi mirip Momo.

Menurut saya, nggak salah kalau tiap kali kita nyanyiin lagu seseorang lantas kita jadi cenderung mirip penyanyi asli yang bawain lagu tersebut. Resikonya, kalau penyanyi bunglon gini dipaksain jadi penyanyi solo, maka dia akan cenderung mirip si A, mirip si B, atau mirip entah siapa lagi. Dia tidak akan pernah jadi dirinya sendiri. Solusinya, lebih baik dia tetap jadi penyanyi, tapi jangan jadi penyanyi solo, melainkan jadi vokalis band. Asalkan band itu punya karakter yang kuat, punya lagu sendiri, dan nggak niru-niru band lain, maka penyanyi bunglon gini bisa kasih warna yang khas buat band-nya dan nggak akan dibanding-bandingin sebagai band “mitu”.

Adalah sangat susah buat seorang vokalis band untuk menjadi seorang penyanyi solo. Sama seperti penyanyi solo akan susah kalau harus dikontrak lama untuk main bersama suatu band. (Ini menjelaskan kenapa Ruth Sahanaya rada sedih ketika putus kontrak dengan orkesnya Erwin Gutawa demi mandiri dengan karakternya sendiri.) Jarang-jarang ada yang sukses di Indonesia seperti itu. Dalam generasi saya, saya cuman mencatat Elfonda Meckel, yang nampak prima baik saat dia jadi vokalisnya Dewa (“Roman Picisan”) maupun saat nyanyi solo (“Aku Mau”). Ari Lasso juga oke, dan kita lihat bahwa cara dia nyanyi sebagai penyanyi solo (“Rahasia Perempuan”, “Perbedaan”) jauh banget ketimbang saat dia nyanyi untuk Dewa 19 (“Elang”, “Cinta Kan Membawamu Kembali”). Lain-lainnya, saya ragu-ragu. Saya nggak bisa bayangin seandainya Fadly nyanyi sendirian tanpa Padi, atau Ariel tanpa Peterpan, melihatnya orang mungkin akan terheran-heran dan menyangka mereka malah jadi mirip penyanyi kehilangan teman.

Saya juga mencatat, cukup jarang musisi di Indonesia yang bisa nyanyi dan juga mampu main multi-instrumen. Kita sudah sering nonton gimana Indra Lesmana atau Glenn Fredly bisa nyanyi sambil main piano dan gitar. Gilang sebenarnya bisa nambah daftar yang masih sedikit ini, tapi dengan catatan dia menjadi vokalis band yang tepat. Sejauh yang saya lihat, vokalis band di Indonesia rata-rata baru gape main gitar sambil nyanyi. Ketika vokalis-vokalis ini nyanyi sambil main piano atau main drum, mereka jadi keteteran. Seolah-olah bisa main gitar saja udah cukup jadi syarat wajib kalau kepingin bisa jadi vokalis band. Kalau di luar negeri saya udah kenyang lihat Phil Collins main drum sambil nyanyi untuk Genesis, atau nonton Axl Rose main piano sambil nyanyi untuk Guns n Roses. Atau mungkin referensi saya kurang banyak, barangkali Anda bisa bantu saya kasih contoh yang lain.

Pada akhirnya, ketika saya lihat Gilang pulang dari Indonesian Idol minggu ini, saya ngerti bahwa memang tidak semua kontes cocok buat tiap orang yang kepingin jadi penyanyi. Ambil pelajarannya, apa yang nampak bagus di mata banyak orang, belum tentu cocok buat orang-orang tertentu. Ada karier yang lebih bagus buat para anak berbakat seni seperti Gilang, dan mungkin karier itu bukanlah sebagai seorang penyanyi solo.

Gambar-gambar diambil dari sini, sini, sini, sini.

Saturday, July 24, 2010

Sini, Ta' Ajari Caranya

Mudah-mudahan adek saya nggak baca tulisan ini. Kalau dia sampek tahu apa yang saya lakukan berikut ini, dia pasti bakalan ngamuk-ngamuk sama saya. Dan dia akan menghukum saya dengan cara yang aneh-aneh, mulai dari nggak digorengin cireng sampek nggak boleh nonton DVD Pride and Prejudice punya dia.

Sepupu saya dateng minggu lalu. Dia nggak hamil, tapi dia ngidam sate kelinci. Dan tempat sate kelinci yang cukup representative deket rumah saya adalah di Lembang. Soalnya di sana bisa sambil makan sate bisa sambil melihat panorama dari atas Bandung. (Apaan seh, jelas-jelas yang diliat cuman jurang yang gelap gulita) Lha saya pikir kalau dia cuman kepingin sate kelinci kan tinggal pergi aja ke Puncak, pasti lebih deket dari rumah dia di Bogor. Tapi weekend pasti Puncak macet, jadi dia milih ngungsi ke rumah saya karena pasti kalau nginep di rumah saya gratis. Khas perhitungan orang kapitalis.

Pasalnya, adek saya dari dulu mewanti-wanti saya nggak boleh makan sate kelinci. Alasannya, kelinci adalah binatang yang sangat imut dan lucu, jadi nggak boleh dijadiin sate. Saya pikir alasan itu nggak akurat, soalnya menurut saya, ayam dan sapi juga binatang yang lucu, tapi kenapa mereka laris jadi sate?

Eh, nggak percaya ya ayam itu lucu? Coba Anda pikir, kenapa ayam kalau nyeberang jalan bawaannya ngeliatnya lurus dan nggak tengak-tengok kanan-kiri? Soalnya ayamitu matanya di samping, nggak kayak kita yang matanya di depan.

Dan saya serius waktu bilang sapi itu lucu. Lha kalau saya ada di jalan dan papas an sama truk yang ngangkut sapi, saya selalu ketawa lihat sapi-sapi ngintip keluar lewat celah-celah kandang kayunya. Kadang-kadang moncongnya nongol gitu. Pernahkah Anda sadar kalau sapi itu punya bulu mata yang sangat lentik? Padahal mereka nggak pakai mascara Maybelline.

Mumpung adek saya lagi symposium di Jakarta. Saya tahu adek saya melarang saya makan sate kelinci, tapi kan sepupu saya udah ngoleh-ngolehi saya cokelat dari Oz, jadi saya maulah nganterin sepupu saya ke warung sate kelinci di Lembang. (Oh Vicky, kaugadaikan kesetiaan pada saudara kandungmu dengan sekotak cokelat!)

Di Lembang bejibun banget dijual sate kelinci, tapi saya pilih spot yang ada di tempat yang saya julukin Emen’s Place. Di titik sini berjejer warung-warung yang jualan sate kelinci plus jagung bakar, dan minuman yang paling banyak dipesen adalah bandrek. Kenapa dinamain Emen’s Place? Gini lho, titik ini kan letaknya di jalan raya yang menghubungkan Bandung dan Subang, dan kiri-kanannya adalah jurang berisi kebun teh. Di beberapa tikungan kadang-kadang lampu jalannya irit banget, jadi kendaraan mesti hati-hati kalau jalan di sini. Maka kadang-kadang suka ada kecelakaan yang biasanya melibatkan truk, di mana mungkin supir truknya ngantuk. Meskipun supirnya nggak pernah ngaku kalau mereka ngantuk, sebaliknya saban kali kecelakaan, mereka selalu mengaku lihat seseorang lagi jalan di tengah jalan raya, sehingga mereka kehilangan kendali. Konon, “orang” itu bernama Emen.

Sudah ah cerita hantunya. Intinya saya dan sepupu markir mobil di situ dan saya jalan keliling deretan warung itu nawar-nawar harga. Sate kelinci dibanderol Rp 15.000,- per 10 tusuk dan nggak mau ditawar, bleh. Rata-rata jualan jagung bakar per bonggolnya goceng, tapi saya menawar-nawar dengan kejam sampek akhirnya berhasil dapetin lebih murah 30%. Ini pasti gara-gara sepupu saya nyetir mobil bagus dan ngeliat tampang kami cantik-cantik, jadinya mereka pasang harga mahal-mahal. Halaah..cuman makan jagung bakar aja.

Sengaja saya pesen jagung bakarnya manis keju. ABG-ABG yang mbakar jagungnya betul-betul curang, mereka mipil jagungnya sampek tinggal biji-bijinya doang, lalu naburinnya pakai keju parut. Saya dan sepupu protes, soalnya jadinya asin banget dan nggak ada manis-manisnya. Si ABG mengklaim bahwa tuh jagung udah pakai susu, cuman mungkin nggak keliatan soalnya susunya ada di bawah biji-biji jagungnya. Akhirnya sepupu saya bilang, “Coba bawa ke sini susunya, mau saya tambahin..”

Sama si ABG pun dibawain satu kaleng susu kental manis. Saya nggak nunggu apa-apa lagi, langsung saya siram tuh jagung keju pakai susu yang buanyak sampek banjir. Dan hasilnya memang enak, hehehe..

Berikutnya kita pesen lagi jagung bakar, tapi minta yang rasa manis. Sama si ABG pun dibakarin jagungnya, dan begitu dihidangin di meja, langsung saya sawerin jagungnya pakai susu kental manis lagi. Kata sepupu saya, kesiyan yang punya warung, bisa-bisa dia bangkrut gara-gara susunya kita abisin.. :-p Lha kata saya, kok kayaknya sebenarnya jagungnya nggak enak, tapi gara-gara kita modifikasi resepnya, jadilah jagungnya enak. Lama-lama kok kayaknya jadi kita yang punya warung, hehehe.

Eh, tadi saya cerita sate kelinci ya? Menurut saya satenya nggak enak. Kalau kata sepupu saya yang sebenarnya orang Malang itu, masih lebih enak sate kelinci di Batu..


P.S. Mas Katon, makasih udah motretin gw berlumuran susu itu.. :-D

Thursday, July 22, 2010

Dikejar Utang

Sudah beberapa hari ini status orang-orang di news feed Facebook saya isinya perkara dikejar utang melulu. Bukan, yang ngejar mereka buat bayar utang bukanlah debt collector yang kerjaannya kadang-kadang pakai ngancem-ngancem nggak sopan segala itu (memangnya ada ya yang ngancemnya sopan?). Tapi yang ngejar utang tuh lebih parah lagi, yaitu Raqib dan Atid alias malaikat-malaikat pencatat amal. Gimana nggak merasa dikejar utang, lha bulan depan mau bulan puasa, tapi teman-teman saya yang cewek rata-rata ngaku belum bayar utang puasa.

Seperti yang jamak diketahuin, cewek biasanya puasa Romadon-nya nggak penuh coz pasti mereka nggak boleh puasa kalau lagi menstruasi. Mereka harus bayar lagi lain kali dengan puasa juga. Saya sendiri nggak hafal dendanya kalau sampek Romadon berikutnya tuh puasa belum dibayar juga. Katanya kolega saya sih, utang puasanya bisa membengkak berlipat. Ambil contoh misalnya si Siti nggak puasa karena mens lima hari, maka dia kan mesti bayar puasanya lima hari juga. Kalau sampek Romadon berikutnya nggak dibayar juga tuh lima hari, maka tahun depannya dia mesti mbayar 10 hari.

Perkara denda ini saya nggak tahu bener apa enggak, lha saya nggak pernah nunggak utang lama-lama. Malah buat saya, perumpamaan Idul Fitri sebagai hari kemenangan itu rada kurang cocok. Lha gimana mau menang, kalau puasa saya terpaksa bolong? Buat saya, ketika Romadon berakhir dengan Lebaran, saya nunggu sampek tanggal 3 Syawal atau sesudah saya pulang dari liburan, lalu saya buru-buru bayar utang. Jadi buat saya ya biasa aja kalau sampek pertengahan Syawal saya masih puasa seperti suasana Romadon. Nanti, kalau pas pertengahan Syawal itu saya selesai mbayar utang, baru itu namanya hari kemenangan.

Kebijakan bayar utang buru-buru itu bukan cuma lantaran saya merasa diburu Raqib dan Atid. Tapi juga coz saya pikir saya bisa mati kapan aja, entah tahun depan, bulan depan, minggu depan, besok, atau mungkin malah sejam lagi atau lima menit lagi. Saya ogah banget kalau dalam perjalanan ke akhirat saya ditilang di jalan oleh malaikat, "He, mana kamu kok belum mbayar puasa?"
Mosok saya mau njawab, "Well, ehm..sebenarnya saya rencana mau mbayar bulan depan tapi saya keburu ketiban gempa jadinya nggak sempet mbayar deh.." *sambil cengar-cengir cengengesan dan ditimpuk pecut*

Saya yakin sebenarnya banyak banget temen saya yang udah bertekad mulia buat bayar utang sebelum bulan puasa tiba tanggal 11 nanti. Tapi saya ngerti memang pelaksanaannya rada susah. Saya punya teman pejabat yang susah banget mau puasa, coz kerjaan dia ngelobi orang, dan tiap kali lobi pasti ada aja makanan dan dia harus makan. Ada lagi temen yang tiap kali puasa pasti aja ngiler kalau liat orang rumahnya makan siang. Ada juga temen yang merasa kalau nggak makan seharian maka nafasnya jadi bauk padahal pekerjaannya mesti ngomong dengan banyak orang.

Tapi ada juga temen saya yang ibu-ibu, mau puasa aja nggak bisa lantaran dos-q ini sudah setengah baya, dan bolak-balik keluar darah melulu nggak teratur. (Saya rasa itu perdarahan khasnya orang mau menopause, meskipun saya nggak menampik kemungkinan itu tanda kanker dinding rahim.) Kesiyan bener ibu ini, udah niat puasa tapi tau-tau di celana dalemnya keluar spot. Ya nggak pa-pa sih kalau ini normal, tapi terus kapan mau bayar utangnya?

Mungkin enakan jadi laki-laki, nggak usah mens jadi nggak usah mbayar puasa segala, maka nggak akan merasa dikejar utang. Padahal saya pikir ya, kalau orang udah biasa puasa nyenen-kemis, mbayar utang puasa Romadon itu sepele..

Bisa aja sih pura-pura lupa nggak mbayar utang supaya nggak merasa dikejar-kejar hantu, tapi apa kita bisa bo'ongin diri sendiri bahwa Tuhan ngeliatin kita belagak pura-pura lupa?

Tapi berbahagialah orang-orang yang merasa dikejar utang, coz berarti mereka masih inget dunia akhirat, artinya Tuhan masih sayang sama mereka. Yang repot kalau nggak mau tahu mbayar dan nyepelein Tuhan, haiyaa..alamat nih nanti hidupnya nggak berkah dan rejekinya seret melulu.

Jadi, Ibu-ibu dan Mbak-mbak yang Cantik-cantik, tahun lalu utang puasanya berapa? Moga-moga sudah lunas semuanya..

Gambarnya ngambil dari sini

Wednesday, July 21, 2010

Kenapa Perempuan Dandan

Setiap orang pasti punya baju favorit buat dipakai untuk situasi-situasi special. Saya juga dong. Saya punya baju favorit buat dipakai ke symposium. Buat dipakai ke kondangan. Buat dipakai ke Lebaran. Saya malah punya underwear favorit segala. Simpel aja. Lha namanya aja udah situasi special, jadi saya mesti nyiapin mood terbaik saya untuk situasi itu. Dan jadi mood booster, biasanya saya ngandalin pakaian. Soalnya kalau orang memakai pakaian favoritnya, maka aura positif cenderung terpancar dari dirinya. Iya nggak sih? Iya nggak? Bilang iya dong..

Nah, namanya aja kalau ada baju favorit, berarti ada baju non-favorit dong. Sayangnya yang namanya baju non-favorit suka nggak dipakai, jadinya dianaktirikan. Hm..kesiyan juga ya baju non-favorit? Padahal pasti baju non-favorit juga kepingin dipakai buat acara-acara special, bukan cuman teronggok di lemari nunggu waktunya dipakai ke pasar sayur, hihihi.. *sok ngerti perasaan baju*

Termasuk kemaren, pas saya mau nemenin bonyoknya my hunk jalan-jalan. Jauh-jauh sebelum harinya dateng dan my hunk udah kasih tahu saya bahwa saya diajakin ikut mereka, pikiran saya ya urusan baju. Tahu nyokapnya my hunk itu rada niat kalau dandan, ya saya sebagai pacar putranya juga mesti ngimbangin niat dong. Yang repot tuh kayaknya hampir semua baju favorit saya udah pernah dipakai buat ketemu nyokapnya. Jadi saya kuatir kalau saya cuman pakai baju yang itu-itu aja, ntie nyokapnya ngira saya nggak punya baju lain. Mana my hunk pembuat dokumentasi yang baik, saban kali kita kencan pasti kita foto-foto pakai kamera yang dia sembah-sembah macam berhala itu. Nggak heran saya sampek inget, pas pertama kali ketemu bonyoknya saya pakai baju anu, pas kali kedua saya pakai baju apa, dan kali-kali berikutanya saya pakai baju yang mana pula lagi.

Kadang-kadang saya sampek punya pikiran jahil. Enaknya kapan-kapan kalau saya mau kencan sama bonyoknya my hunk lagi, saya mau ngusulin kita pergi berenang aja. Biar saya nggak pusing mikirin mau pakai baju apa, kan tinggal lepas jubah mandi dan nyebur ke kolam..byur! Tapi pikiran itu urung. Lha kalau saya kencan sama bonyoknya ke kolam renang sampek berkali-kali, jangan-jangan nanti mereka ada yang nanya, “Kok Vicky pakai baju renangnya itu-itu aja dan nggak pernah ganti?” Hihihi..

Kok tahu-tahu saya jadi kesiyan sama para selebritis itu. Lha saya lihat mereka tuh kalau muncul di acara gala-gala dinner, bajunya ya beda-beda. Saya pernah bertanya-tanya apakah baju yang mereka pakai waktu nyanyi untuk acara Harmoni-nya SCTV dipakai lagi buat nyanyi untuk acara Panasonic Awards, misalnya. Soalnya sayang juga kalau baju bagus-bagus dipakai cuman buat manggung satu kali. Kalau dilelang ke orang lain juga belum tentu berguna. Apa ada orang mau beli baju artis buat dipakai lagi?

X: “Bajunya baguus, Jeng. Njahit di mana?”
Y: “Makasih.. Ini baju lelang pernah dipakai sama Krisdayanti waktu nerima award..” :-p

Sekarang saya malah bersyukur pacar saya kalau mau nyambangin saya mesti pakai pesawat dulu. Karena nggak bisa ketemuan sering-sering, maka saya jadi nggak terlalu sering mesti mikirin ganti baju favorit buat dipakai, hahaha. Maka kalau pas ketemuan kan kita berdua pasti foto-foto, dan foto kita biasanya variatif bajunya. Nggak heran saya menikmati setiap kencan kami, dan saya sulit menentukan kencan mana yang favorit. Bahkan saya sudah bisa menikmati setiap kencan itu dari saat saya milih-milih baju buat dipakai kencan, dan justru saat saya milih-milih itulah momen yang paling menyenangkan.

Kayak kemaren, tuh, sebelum dia dateng ke Bandung, beberapa hari sebelumnya, saya udah kelayapan di toko cari gaun anyar. Rasanya seneng banget kalau lihat tampang senyum-senyumnya yang puas lihat saya keluar dari rumah. Saya malah lebih girang lagi kalau saya gandeng my hunk jalan-jalan, dan terus my hunk bisik-bisik ke saya bahwa ada satu-dua orang pria lain yang melirik kita berdua, dan begitu my hunk noleh ke mereka, mata-mata keranjang itu langsung buang muka. Kok kayaknya mereka nggak rela gitu lihat perempuan seayu saya nggandol laki-laki seganteng pacar saya, hahaha.. Dan saya jelas sangat menikmatinya dong. Makin banyak yang cemburu, saya makin seneng, hahahahah..
*ketawa puas dengan tanduk di kepala*

Quote hari ini:
1. “Bikin orang lain iri itu adalah kepuasan tersendiri.”
2. “Women doesn’t dress for impress a man. Woman dress for OTHER women!”

Lho, kok jadi riya’ sih? Kata guru agama saya, riya’ itu adalah syirik kecil, dan syirik itu adalah dosa besar. Berhentilah sok pamer!
*ngibasin rambut, gandeng my hunk lebih erat*

Monday, July 19, 2010

Indikasi Pembohong

Well, saya nggak suka banget ngomongin relationship, coz saya bukan pakar untuk urusan itu. Tetapi saya juga nggak tahu ke mana pertanyaan ini harus diucapkan supaya bisa dapet jawaban yang tepat, dan selain itu juga yang lebih penting lagi, haruskah pertanyaan ini diucapkan?

Seorang kolega saya lagi mabuk kepayang kepada kolega saya yang lain. Laki-laki ini punya penampilan menarik, badan sehat, kerja keras. (kedengarannya mulai mirip iklan lowongan pekerjaan) Mereka baru kenal sebulan, dan selama itu baru kencan dua kali. Saya pikir mungkin mereka bisa kencan lebih sering lagi, tapi karena mereka tinggal pisah kota, jadilah mereka terpaksa cuman ngobrol via telepon. Dari cara kolega saya cerita kepada saya, kedengerannya mereka sudah flirting satu sama lain. Dan, pembicaraan sudah menyerempet ke arah urusan pre-wed segala.

Sampek kemudian beberapa hari yang lalu, yang laki-laki bilang ke yang perempuan, bahwa sebenarnya dia duda.

Yang perempuan terkejut. Saya yang cuman nyumbang telinga buat dengerin cerita, kaget.

Ya know, saya kenal yang perempuan ini. Menurut saya, kalau dia tahu dari awal bahwa yang laki-laki itu sudah pernah punya bini, dia pasti nggak akan mau kencan dengannya. Tapi karena sekarang dia sudah kadung flirting setiap hari, maka standarnya pun turun dan dia pun bersedia jika “long distance flirting” ini dilanjutkan. (Mereka nggak sebut ini “long distance relationship”, soalnya katanya mereka belum “jadian”. Ya ampun, apa bedanya sih?)

Saya kadang-kadang bertanya bagaimana caranya standar seseorang dalam urusan cari pacar itu bisa turun. Saya pernah denger lelucon bahwa ketika seseorang masih berumur belasan tahun, dia akan tanya, “Siapa gw?” Ketika dia mulai berumur 20-an awal, dia mulai nanya, “Siapa elu?” Baru setelah masa itu dia mulai merendahkan intonasi, “Siapa aja deh..” Saya nggak percaya standar itu. Buat saya, calon suami/istri harus bisa bikin bahagia. Titik. Dan untuk kolega saya, saya mulai bertanya-tanya apakah dengan duda itu dia bisa bahagia?

Lalu saya bingung lagi. Memang apa salahnya jadi duda? Memangnya jadi duda itu borok? Kan nggak setiap orang akan selalu beruntung dalam pernikahan. Sepupu-sepupu saya janda, ada paman saya yang duda, dan mereka bilang bahwa proses menuju perceraian itu sangat menyakitkan. Nggak adil juga kalau saya bilang bahwa mereka nggak pantas punya suami atau istri lagi.

Kemudian saya nemu apa yang jadi akar masalah ini. Kan sudah dua kali kencan. Kencan pertama sudah menjurus ngajak pacaran. Kenapa nggak bilang jujur dari awal kencan itu, kalau dia duda?

Pikir saya, mana ada orang mau ngaku di kencan pertama bahwa dia duda? Itu nampaknya sama aja seperti membongkar boroknya sendiri. Karena dia takut, kalau dia bilang dari awal bahwa dia duda, maka selanjutnya tidak akan kencan kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya.

Tapi, kemudian saya berpikir, kalau dari awal sudah nggak bilang bahwa dia duda, bukankah itu berarti dari awal dia sudah nggak jujur? Kalau urusan status perceraian saja sudah nggak jujur, gimana mau jujur untuk urusan yang lain-lain? Bukankah dalam urusan relationship, apalagi kalau mau ngajakin bikin pre-wed segala, komitmen untuk kejujuran dan saling percaya itu nomer satu? Atau jangan-jangan waktu itu cuman mau flirting doang buat coba-coba?

Lalu saya mikir lagi, jangan-jangan buat si laki-laki ini, menjadi duda bukanlah borok. Status perceraian itu hanyalah fakta kecil yang bisa diceritakan “lain kali” atau “kapan-kapan”. Kebetulan aja buat yang perempuan, standar orang buat dikencaninnya adalah yang masih perjaka alias belum pernah punya istri. Tapi karena sekarang sudah kadung dimabuk cinta, maka begitu dikasih tahu bahwa si laki-laki ini duda, standarnya berubah jadi “duda nggak pa-pa deh, yang penting istri yang dulu sudah diceraikan”.

Jadi, Sodara-sodara, kalau Anda seorang duda atau janda, apakah Anda akan bilang pada kencan pertama bahwa Anda dulu pernah menikah? Kalau Anda di posisi kolega saya yang di-flirt-in, apakah Anda sudi digoda oleh janda atau duda? Apakah Anda sudi nurunin standar Anda, kalau Anda sudah kadung mabuk kepayang?

Gambar kaki-kakinya ngambil dari sini

Friday, July 16, 2010

Berburu Bebek


Jauh sebelum Foursquare lahir, paman saya sudah rajin mencatat rapi tempat-tempat makan favoritnya dalam PDA kecilnya yang cuman segede telapak tangan. Termasuk juga kalau dia dengar orang lain ngomongin tempat makan enak, dia langsung catet itu di PDA-nya sebagai salah satu "must visited place".

Salah satu tempat yang ada di daftarnya adalah sebuah tempat jualan bebek goreng di kawasan Kartosuro, Solo. Orang-orang bilang di sana bebek gorengnya paling enak se-Solo dan wajib banget buat dicicipin. Maka saya dan paman mampir sana dalam suatu perjalanan panjang dari Malang ke Jogja pada tahun '03. Jalan menuju tempat bebek itu agak mblusuk-mblusuk masuk gang, dan akhirnya kita nemu tempat itu, sebuah warung besar yang nampak sangat lengang. Pemiliknya, seorang bapak-bapak yang pakai sarung, lagi duduk-duduk di terasnya.

Kami bingung ini orang serius jualan bebek apa nggak. "Jualan bebek, Pak?"
Si bapak pakai sarung: "Iya."
Kok si bapak tenang-tenang aja.
"Ada bebeknya?"
"Sudah abis.."

Pantesan.. Saya senyum-senyum gondok.

Kami mau pergi. Paman saya udah mau muter balik dan tancep gas ke Jogja, tapi tiba-tiba teringat sesuatu. "Eh, biasanya abisnya jam berapa, Pak?"
Jawab Bapak Pakai Sarung, "Abisnya..jam sembilan."
Lho? Saya lihat arloji. Ini baru jam 5 sore kok.
Paman saya bingung. "Tapi ini masih sore kok bebeknya sudah abis?"
Si bapak pakai sarung malah ketawa. "Abisnya jam 9 pagi.."

Gubrakk..

***

Itulah. Sampek sekarang saya masih penasaran sama bebek Kartosuro itu, kok bisa-bisanya bebek paling laris se-Solo habis pada jam 9 pagi. Apa dia jualnya ke orang-orang yang mau jualan bebek lagi? Atau bebek itu saking larisnya sampek-sampek stoknya langsung abis sebelum tengah hari?

Siyalnya kami nggak pernah bisa membuktikan itu, coz kami nggak pernah punya cukup waktu buat patroli di Solo. Kami harus selalu buru-buru ke Jogja, atau ke Malang, jadi nggak pernah bisa berada di Solo pagi-pagi.

Maka sewaktu minggu lalu saya dan bokap jalan-jalan di Tegal, kita lihat bebek goreng cap seorang bapak-bapak haji cabang Kartosuro, maka kita pun mampir situ.

Bebeknya kayak yang saya potret ini, dibanderol Rp 13.500 per potong. Bisa pesen yang empuk, bisa juga yang utuh. Kalau utuh, bebeknya pakai tulang. Sedangkan kalau empuk, bebeknya disajikan suwar-suwir. Saya pesen yang utuh, soalnya mumpung saya nggak lagi ja'im jadi supaya saya bisa ngunyah tulangnya kraus-kraus, hehehe..

Bebek di sini disajikan pakai lalab dan sambel korek. Tempat makannya lega dan nggak sumuk, bangkunya lega, jadi cocok buat ngajakin makan tante-tante yang bokongnya gede-gede. (Maklumlah, saya mikirin bude-bude saya yang rata-rata gemuk-gemuk, hehehe..) Bokap saya seneng soalnya servisnya cepet, kita pesen dan bebeknya langsung disajikan lima menit kemudian, padahal waktu itu pengunjungnya masih rame lho. Dan pelayannya bilang tempat itu biasa tutup jam 9 malem, jadi cocoklah buat nomaden mobile kayak saya yang nggak bisa diprediksi jam berapa ada di kota mana, hehehe..

Jadi, mau nggak berburu bebek sampek Kartosuro? Hm, sik ta' pikir-pikir..

Thursday, July 15, 2010

Milih Hotel via Internet

Lagi, lagi, penyakit bokap saya akan kegemarannya getaway secara impulsive kumat lagi. Orang lain boleh bilang ini namanya holiday, tapi buat saya ini namanya getaway. Holiday itu liburan, artinya kau rehat sejenak dari aktivitas rutin. Saya lebih senang nyebut perjalanan saya ini getaway, coz setiap kali saya mau nanya bokap saya, “Kita mau ke mana?” bokap saya selalu njawab, “Ke mana ajalah, asal bukan di Bandung atau Jakarta.”

Dan kebiasaan ini yang bikin saya selalu senewen setengah mati, coz kekuatiran saya jelas: Kalau kita mau jalan-jalan, malamnya kita mau tidur di mana? Bokap saya menganggap bahwa tidur di pom bensin adalah ide yang seksi, tapi saya dan nyokap nggak suka. Buat saya tempat yang seksi untuk tidur adalah tempat yang ada kamar mandinya dan kamar mandinya mengandung air yang bersih buat dipakai kumur-kumur untuk wudhu dan sikat gigi, plus satu ruangan buat selonjoran kaki tanpa kuatir punggung bonyok lantaran tidur sambil duduk. Oh ya, juga ruangannya cukup lebar buat sujud. Saya benci banget sembahyang di trotoar. Malu ah, lagi ngomong sama Tuhan mosok kelihatan orang lain di jalan?

Bokap saya sudah bilang kita nggak akan ke Semarang atau Jogja, coz nggak kuat nyetir ke sana dengan long weekend sesempit ini. Dengan tujuan utama kami adalah ke Brebes, maka saya perkirakan paling banter kami cuman bakalan tidur di Cirebon, Tegal, atau Kuningan. Persoalannya, hotel manakah yang enak di sana? Karena kami nggak punya teman yang tinggal di sana yang bisa kasih informasi tentang hotel yang cukup sesuai selera.

Kali ini saya akan bagi-bagi step-by-step milih hotel yang berlokasi di kota yang nggak kita kenal dengan baik, dan kita cuman bisa mengandalkan telepon.

1. Gunakan Foursquare
Buka Foursquare.com, lalu ketik lokasi kota yang kita tuju, kemudian ketik “hotel” di search engine. Misalnya saya rencana mau nginep di Cirebon, maka saya ganti lokasi Foursquare saya di Cirebon, terus saya ketik “hotel” di search engine. Nanti keluar daftar nama-nama hotel yang ada di kota itu. Klik satu per satu, catet hotel yang paling banyak pengunjung Foursquare-nya.

2. Gunakan Google
Ambil nama hotel yang nampaknya paling laris, lalu ketik namanya di search engine Google. Nanti keluar hasil pencarian, pilih link-link yang sekiranya mengandung review tentang hotel itu biasanya dari http://tripadvisor.com atau http://travelpod.com). Dengan begini kita akan ngerti pendapat orang-orang yang sudah pernah mengunjungi hotel itu, dan kita bisa menentukan apakah hotel ini sesuai dengan selera kita atau enggak.

3. Telepon ke hotel yang bersangkutan
Dari cara resepsionisnya menjawab telepon, sebenarnya kita sudah bisa memperkirakan ini hotel yang profesional atau cuman hotel ecek-ecek. Yang mesti kita tanyain ya standar aja: Apakah kamarnya ada buat hari nginep yang kita mau? Fasilitasnya apa aja, apa kelebihan fasilitas kamar suite ketimbang kamar superior? Tarifnya berapa?

Lebih bagus lagi kalau ternyata dari hasil googling itu kita nemu bahwa hotel itu terdaftar di situs-situs pemesanan hotel, misalnya Booking.com, Otel.com, atau Agoda.com, coz berarti kita bisa pesan kamar via internet dengan harga yang biasanya lebih murah. Hotel yang banyak diiklanin pakai bahasa linggis, biasanya servisnya lebih mantep. Intinya, makin banyak hasil pencarian tentang hotel itu di search engine, biasanya makin representatif kemungkinan hotel itu buat diinepin. Dan pencarian nama hotel di internet, jelas bikin perjalanan jauh lebih efektif ketimbang datang langsung ke kota dan ngabisin waktu muter-muter kota cuman buat milih hotel yang enak.

Gambar-gambarnya ngambil dari sini dan sini

Tuesday, July 13, 2010

Sate Kambing Muda

Kambing sebaiknya jangan berurbanisasi ke Tegal, coz pasti banyak banget orang mau berebutan ngincer kambing buat dijadiin sate. Tegal kota yang cukup kecil buat saya, dan nggak susah nyari sentra warung sate kambing di sini, coz kayaknya warung sate kambing berjejer di pinggir-pinggir tiap ruas jalan. Yang penting dateng aja siang-siang, jangan pagi-pagi, coz saat itulah tandanya asap mengepul-ngepul dari teras warung, sebagai indicator bahwa sate sedang dibakar.

Sate kambing muda disajikan per piringnya 10 tusuk, dan waktu saya dateng weekend kemaren mereka jualnya sekitar Rp 20 ribuan per 10 tusuk. Bumbunya biasa aja, pakai kecap manis dan irisan bawang merah.

Potongan daging kambingnya sedang-sedang aja, nggak terlalu besar, nggak terlalu kecil. Buat saya yang gigi gerahamnya rada-rada sensi sama daging alot, sate kambingnya agak kurang empuk. Saya malah lebih tertarik sama gajihnya, hahaha..

Harap diingat bahwa harga sate kambing di sini cukup fluktuatif menyesuaikan dengan musim. Saya inget saya dateng ke Tegal tahun lalu, dan mereka membanderol satenya sekitar Rp 30.000,- per 10 tusuk. Saya kaget juga denger harganya semahal itu, apakah memang lantaran waktu itu musim Lebaran, atau karena mereka terkesima lihat tampang saya yang terlalu bling-bling. Kesimpulannya, menawar sate kambing di sini bukanlah dosa. Usahakan waktu nawar kau pakai bahasa Jawa logat Jawa, bukan pakai bahasa Jawa logat Bandung.

Penilaian saya pribadi: Yah, satenya cukup enak. Apanya yang kurang? Hm, dagingnya kurang empuk dan saya nggak terlalu antusias sama bumbu kecap. Saya lebih suka bumbu kacang, soalnya lemaknya lebih banyak. Kalau mau ke Tegal, jangan lupa makan sate kambing muda. Tapi kalau tinggal di Bandung dan cuman kepingin pelesir sambil makan sate kambing, ke Puncak atau Cikampek aja sudah cukup..

Monday, July 12, 2010

Geliat Air Terjun di Guci

Hawanya sejuk, dingin, cocok buat orang yang kepingin ngincipin udara segar. Itu kesan saya waktu jalan-jalan ke Guci. Tidak, tidak, Guci ini bukan nama daerah yang jualan gentong air. Guci adalah area di lereng Gunung Slamet yang panorama utamanya adalah air terjun.

Masuk ke Guci ternyata nggak terlalu sulit. Saya ke sana pakai mobil, dan cukup modal Rp 48.000,- termasuk tiket buat empat orang dewasa. Dari pintu gerbang sampek ke air terjun lumayan masih kudu nyetir 10-15 menitan, di jalan beraspal yang mendaki dan berkelok-kelok nyusurin lereng. Ternyata di dalem area yang digerbangin itu masih ada desa kecil yang buat saya lebih mirip pasar, di mana penduduk local tinggal berjejer sambil nawarin rumah-rumah mereka yang udah disulap jadi losmen-losmen kecil (mereka sebut itu vila).

Agak ke dalam dikit, baru saya nemu air terjunnya. Berupa grojogan, cukup deh buat merendam-rendam kaki. Kalau anak kecil mungkin senang main air, kecipak-kecipak sambil sekalian nyebur. Saya nggak turun ke air, saya sudah puas hanya dengan motret dari pinggir jalan raya aja.

Sebenarnya, turis lebih terkonsentrasi di kolam pemandian artifisialnya, yang lebih mirip kolam renang dengan air panas. Di sekelilingnya ada pasar souvenir yang jualan kerajinan tangan dari manik-manik dan baju batik.

Sebenernya saya berencana nginep di sini Sabtu lalu, tapi ternyata di venue saya nemu banyak banget hotel yang kosong, tapi nggak cukup enak buat ditidurin. Agak anomaly sih mengingat kemaren kan long weekend, di mana hotel di Tegal dan Cirebon aja rata-rata terisi okupansi sampek 100%. Turis-turis rata-rata ke sini cuman buat ke air terjunnya atau ke pemandian umumnya doang, tapi sedikit yang berminat buat nginep. Memang saya lihat losmen-losmen itu kayaknya terlalu berisik, sedangkan hotel-hotel yang ada belum nampak terawat. Agak lucu juga waktu saya dateng ke hotel yang paling besar di situ, dan resepsionis yang menyambut saya ternyata nggak pakai sepatu.

Sejauh ini Guci kayaknya masih populer cuman di kalangan masyarakat Tegal dan sekitar Gunung Slamet sendiri, dan saya belum lihat daerah ini cukup menarik perhatian investor. Bisa aja sih daerah ini dibikin lebih menarik asalkan ada investor yang mau bikin hotel dan mengelolanya dengan profesional. Oh ya, pemerintah daerahnya sebaiknya menggaji orang buat jadi petugas parkir, coz penataan arus kendaraan turis di sana awut-awutan banget.

Tips buat ke Guci:
1. Guci bisa dicapai dengan nyetir dari Tegal ke arah selatan selama sekitar 45 menit. Lebih baik nyetirnya waktu masih ada matahari, coz kalau malem gelap banget lantaran nggak ada lampu jalan.
2. Parkir mobil cukup di depan air terjun, nggak usah nyari-nyari yang deket pasar coz di deket pasar nggak ada tempat parkir.
3. Kalau buat backpacking cocok deh nginep di losmen-losmen itu, tapi yang pecinta hotel dengan sarapan yang nyaman dan pelayanan profesional mesti siap-siap gigit jari.
4. Anyway, kalau cuman kepingin refreshing mencium udara segar dan menikmati panorama gunung berkabut, tanpa menginap, maka jalan-jalan di pinggir lereng gunungnya aja sudah cukup menarik.

Sunday, July 11, 2010

Telor Asin Bakar


Ke Brebes rasanya nggak lengkap kalau nggak beli telor asin, coz memang telor asin itu penganan khas kota Brebes. Di sepanjang jalan utama Brebes jamak banget ditemuin toko-toko yang dagangan utamanya adalah telor asin. Yang saya ambil spotnya ini berada di Jalan Diponegoro yang biasanya dilalui para nomad yang berjalan dari arah Cirebon ke Semarang.

Ada macem-macem telor asin yang dijual, antara lain telor asin isi arwana, telor asin mentah, atau telor asin isi pindang. Favorit saya telor asin bakar, seperti yang saya pasang fotonya ini, yang mana telornya dibakar sampek kulitnya gosong, dan kuning telornya berubah jadi merah. Dibanderol Rp 33.000,- untuk isi 12 butir.

Kadang-kadang mereka jual kuning telornya doang, dijual goceng dapet empat butir. Cuman saya nggak suka ma'em telor asin kalau nggak pakai putih telornya, cuman kuningnya doang. Rasanya buat saya jadi eneg, hehehe.

Saturday, July 10, 2010

Bukan Sekedar "Halaah.."


Musim panas sudah datang, orang mulai senang telanjang di tempat terang. Bukan, ini bukan pantun. Saya kepikiran ini waktu beberapa hari lalu saya jalan di trotoar jalan raya Pasirkaliki, dan saya lihat ada seorang ibu mandiin anaknya di trotoar. Anak itu disiram emaknya pakai gayung yang airnya diambil dari ember, dan diisi pakai kran di tembok pagar sebuah kantor. Pemandangan yang bikin saya tertegun. Anak itu mungkin umurnya baru 1,5 tahun, dan badannya yang telanjang keliatan oleh setiap orang yang lewat Jalan Pasirkaliki.

Mungkin saya lebay, tapi kan bisa aja ada psikopat lewat dan ngeliatin anak yang telanjang itu, lalu kepikiran niat yang jelek-jelek.

Saya jadi inget beberapa minggu lalu saya nonton tivi bareng nyokap. Ada acara reality show di mana seorang seleb lagi mandiin bayinya. Ritual itu dimulai dari mandiin bayi dalam bak bayi, lalu menghanduknya, dan ngebedakin si bayi. Nah, di layar nampak gambar bagian selangkangan si bayi itu dibikin buram oleh stasiun tivinya. Lalu, nyokap saya mencemooh, "Halaah..cuma gambar bayi aja pake dibikin blur segala!"

Sontak saya dan adek saya memprotes cemoohan nyokap itu, dan kami berdua bilang bahwa anak itu sekarang nggak boleh lagi keliatan alat kelaminnya di layar tivi, meskipun dia masih bayi sekecil apapun. Dan stasiun manapun yang masih menayangkan alat kelamin bayi secara terang-terangan bisa kena denda.

Saya tahu agak susah buat orang umum (termasuk nyokap saya sendiri) untuk memahami bahwa anak pun berhak untuk dilindungi alat kelaminnya, bahkan meskipun dia masih bayi. Soalnya balita, bayi, atau anak kecil umumnya kan belum punya akal, jadi dia nggak punya rasa malu. Makanya ajakan untuk menutupi alat kelamin anak kecil biasanya akan ditanggapi dengan cemoohan "halaah.."

Tapi yang tidak diantisipasi banyak orang, melindungi alat kelamin anak dari pandangan orang lain yang tidak berkepentingan, akan mengurangi kemungkinan anak ini jadi calon korban intaian psikopat seks. Anda pernah nggak sih kepikiran bahwa di dunia ini ada orang yang senang mengoleksi foto-foto bayi, tapi hanya foto alat kelaminnya saja?

Tentu saja saya nggak melewatkan alasan kenapa orang masih senang mandiin anaknya di pinggir jalan. Sepupu saya, lebih sering mandiin anak-anaknya yang berumur dua dan satu tahun di halaman depan rumahnya ketimbang di kamar mandinya. Alasannya, seger coz di halaman kan nggak sumpek. Tapi saya sendiri kesulitan ngingetin sepupu saya tentang kemungkinan tetangga psikopat yang seneng ngecengin ponakan-ponakan saya yang lagi telanjang.

Kalau kita bingung gimana caranya kasih pendidikan seks pada anak-anak, sebenarnya mulai aja dari yang gampang-gampang.
1. Jangan mandi di tempat terbuka. Mandilah di kamar mandi yang pintunya ditutup.
2. Tutup alat kelamin anak dari pandangan orang lain yang bukan orangtuanya.
3. Termasuk juga kalau lagi siram-siraman di tempat umum, misalnya kolam renang. Jangan ganti baju di tengah-tengah muka umum.

Itu nasehat yang cukup membumi, bukan begitu?




Fotonya ngambil dari sini

Friday, July 9, 2010

Jumat Rada Pinteran Dong Ah

Hari Jumat, mungkin minggu lalu atau dua minggu yang lalu, bokap saya nutup pintu ruang prakteknya dan siap-siap ke lapangan parkir. Jam sudah nunjukin jam 11.30, dan mestinya sekarang waktunya bokap saya pergi ke mesjid buat solat Jumat. Lalu datanglah perempuan ini, bawa anaknya yang mungkin umur 3-4 tahunan, menghadang bokap saya, bilang gini, “Dok, anak saya mau berobat.”

Haiyaah, this is not the right time.

Pokoknya, ujung-ujungnya bokap saya jadi telat masuk mesjidnya. Pulang-pulang diceritainlah ke saya dan nyokap.

(Interupsi dulu. Eh, sebenarnya kalau dateng sholat Jumat tapi nggak dengerin khotbah sebelum sholatnya, itu sholat Jumatnya sah nggak sih?)

Nyokap saya menanggapi cerita itu dengan ngomong begini, “Itu godaan. Waktunya mau menghadap Tuhan, kita dikasih pilihan, mau mengambil duit yang melambai di depan mata atau mau sembahyang?”
Lalu bokap saya bilang, “Bukan. Ini pilihan, antara sembahyang atau mau menolong orang yang sakit?”
Tapi saya ingat bahwa sakit itu sendiri ada dua macam, sakit gawat atau sakit tidak gawat. Sakit gawat itu adalah sakit yang bisa bikin mati kalau nggak ditolong detik ini juga. Sakit tidak gawat adalah sakit yang tidak akan mati kalaupun tidak ditolong detik ini juga.
Jadi saya kirain, anak ini sakit gawat sampek-sampek dateng ke kantornya bokap saya pas waktunya orang seharusnya sholat Jumat.

Kata bokap saya, ternyata setelah diperiksa, anak ini ngidap dermatitis atopic. Itu penyakit radang kulit berupa gatel-gatel menahun yang biasanya terjadi karena anak ini nggak tahan terhadap debu atau udara dingin. Maka pertanyaan saya selanjutnya, memangnya si ibu nggak bisa nunggu ya sampek sholat Jumat selesai?

Kalau seperti itu, maka pertanyaannya bisa dikembangkan. Kenapa ada orang mau ke dokter karena nganterin anak yang gatel-gatel kena debu, pada waktunya orang mau sholat Jumat? Kalau pakai kemungkinan dia nggak tahu dokternya laki-laki, kayaknya nggak mungkin. Jelas-jelas papan nama di depan gedung praktek bokap saya nunjukin kalau dokternya laki-laki.

“Mungkin ibunya pikir sholat Jumat nggak penting-penting amat dibandingkan prioritas anaknya yang sudah lama gatel-gatel,” kata saya.
Lalu kata bokap saya, “Ibunya pakai kerudung.”

***

Saya nulis ini karena saya mau bilang bahwa kita hidup di negara di mana kebiasaan sebagian besar rakyat adalah menutup kantor-kantor mereka pada Jumat siang karena laki-lakinya mau sholat Jumat. Itu sebabnya saya selalu mikir, kalau mau ke penjual jasa apapun yang sekiranya orang laki-laki, jangan pas waktunya Jumat siang karena itu waktunya orang sholat. Kita mau bilang “gw berhak atas jasa elo karena gw mau bayarin elo” juga nggak etis, coz itu artinya kita melanggar hak seseorang untuk beribadah. Siapa bilang konsumen punya hak untuk tidak punya etika?

Ini hari Jumat, Sodara-sodara. Yuk, coba pada hari ini kita rada pinteran dikit.

Gambarnya ngambil dari sini

Thursday, July 8, 2010

Saya Menantang Anda!

Tantangan hari ini: Tutuplah mata Anda, sebutkan 10 lagu anak-anak berbahasa Indonesia, dan jangan ambil nafas. Bisa?

Saya iseng nyobain ini, lalu mulai nyebut setiap lagu anak-anak yang pernah saya nyanyiin. Satu-satu Aku Sayang Ibu. Pelangi Pelangi. Balonku Ada Lima. Ajaib, saya berhenti setelah nyebut tiga biji, lalu saya terdiam. Mengingat-ingat. Ternyata saya mulai ngaco. Garuda Pancasila? Berkibarlah Benderaku? Itu bukan lagu anak-anak, itu lagu wajib.

Pasti gara-gara waktu sekolah dulu, saya terlalu sering disuruh nyanyi buat upacara bendera.

Apa sih yang salah? Padahal saya ini sekolah TK-nya lama lho, coz saya udah masuk TK waktu umur 3,5 tahun dan baru keluar setelah 6 tahun. 2,5 tahun di TK ternyata nggak bikin saya fasih nyanyi lagu anak-anak.

Kata kakak saya, waktu balita saya suka nyanyi "I Just Called to Say I Love You"-nya Stevie Wonder. Tapi kata bokap, saya senengnya nyanyi theme song-nya "The Sound of Music". Nyokap sayalah yang ngajarin saya "Cicak-cicak di Dinding", dan berusaha ngajarin saya tetap jadi anak-anak, jangan dewasa sebelum waktunya cuman gara-gara saya seneng lagu buat "orang besar".

Jadi waktu saya denger kemaren bahwa Abdullah Totong Mahmud a.k AT Mahmud meninggal, saya agak terhenyak. Apakah saya mesti berduka? Saya nggak hafal lagu anak-anak 10 biji aja, apalagi saya nggak tahu mana lagu anak ciptaan AT Mahmud, mana ciptaan Ibu Soed, mana ciptaan entah siapa. Kalau ada tantangan sebutkan 10 lagu ciptaan seseorang dalam satu tarikan nafas, saya lebih hafal lagu-lagu ciptaan Yovie Widianto, Ahmad Dhani, bahkan lebih hafal lagi ciptaan David Foster atau Babyface.

Cuman satu lagu anak-anak yang paling sering saya nyanyiin. Biasanya saya nyanyiin kalau saya terperangkap di jalan raya, nggak bisa gerak, tapi jalur sebelah kanan saya lengang dan sayup-sayup terdengar suara sirene khas pengawal pejabat kampungan. "Macet lagi, macet lagi.. Gara-gara si Komo lewaat.."

Eh, itu lagu anak-anak juga kan? Tapi bukan ciptaan AT Mahmud, itu ciptaan Kak Seto.

Apakah Anda lebih baik dari saya? Saya menantang Anda. Kalau Anda disuruh nyebut 10 lagu anak-anak dalam satu tarikan nafas, lagu apa aja yang bisa Anda sebutin?

Tolong, tolong jangan jawab, "Mau dibawa ke manaa.. hubungan kitaa..?"

Gambarnya ngambil dari sini

Wednesday, July 7, 2010

Ketika Blogspot Error

Kronologinya dimulai kemaren, waktu pagi-pagi saya nerima e-mail pemberitahuan dari Blogger.com bahwa sudah ada komentar menunggu di kolom moderasi untuk tulisan saya Betina Berani Sendirian berturut-turut dari Mbak Adhini, Debby Silaban, dan Risdania. Maka saya pun buka dashboard Blogger.com saya, buat approve tuh komentar-komentar. Anehnya, di kolom moderasi saya cuman nemu komentar dari Risda, tapi nggak ada komentar Mbak Adhini dan Debby. Ke mana ya?

Tadinya saya pikir ini robotnya Blogger.com aja yang lagi error. Bahwa cepat atau lambat komentar Mbak Adhini dan Debby akan muncul di kolom moderasi, tapi ternyata sampek siang komentar-komentar itu nggak muncul juga. Terpaksa deh saya pura-pura komentar atas nama link URL-nya Mbak Adhini di kolom komentar, dan isi komentarnya saya salin dari e-mail notifikasi. Komentar Debby juga saya perlakukan serupa. Dengan demikian komentar dari kedua orang itu tetap tayang di blog saya.

Siangnya, saya posting lagi, kali ini dengan artikel berjudul Gagap Persalonan. Beberapa saat setelah saya publish, muncul e-mail notifikasi dari Blogger.com bahwa ada komentar menunggu moderasi, dari Christin Ratri. Saya log in ke Blogger.com, publish komentar Christin, lalu saya balas.

Kemudian, muncul lagi e-mail notifikasi bahwa Pak Rawins juga sudah urun komentar. Saya pun buka kolom moderasi, lalu publish komentar Pak Rawins pula. Waktu saya mau balas komentar Pak Rawins di kolom komentar, saya terhenyak. Eh, kok yang ada di sini cuman dua komentar doang, yaitu komentar dari Christin dan Pak Rawins. Komentar yang tadi saya tulis sebagai balasan buat Christin mana?

Maka jadilah saya nulis komentar lagi, satu alinea buat Christin dan satu alinea buat Pak Rawins. Publish. Selesai.

Beberapa saat kemudian, Mas Fahmi komentar pula dan masuk moderasi. Saya approve. Saya buka kolom komentar buat jawab. Ternyata, yang di kolom komentar cuman tiga: dari Christin, dari Pak Rawins, dari Mas Fahmi. Komentar berupa dua alinea yang tadi saya tulis buat Christin dan Pak Rawins sudah nggak ada. Eh?

Lalu jadilah saya tulis lagi komentar saya itu, buat Christin, Pak Rawins, dan Mas Fahmi. Saya sampek bosen lantaran saya udah nulis lelucon yang sama sebanyak dua kali buat Christin. Publish. Selesai.

Terus, e-mail notifikasi saya bunyi lagi. Ternyata ada komentar dari Ninda. Saya buka kolom moderasi. Eh? Komentar dari Ninda mana? Kok kolom moderasi kosong blong?

Saya terpaksa “pura-pura” komentar atas nama Ninda. Jadi komentarnya pakai URL-nya Ninda, tapi isi komentar saya ambil dari e-mail notifikasi. Waktu saya buka kolom komentar di postingnya, ternyata yang di sana juga cuman tiga: dari Christin, Pak Rawins, dan Mas Fahmi. Padahal saya suer deh, tadi saya nulis satu alinea buat Mas Fahmi di kolom komentar.

Sadarlah saya bahwa ada yang nggak beres menyangkut perkomentaran saya (dan mungkin orang-orang lain) di Blogspot. Mbak Adhini masuk berkomentar lagi beberapa saat kemudian, dan ternyata komentarnya juga tidak masuk kolom moderasi.

Bingung? Saya membanding-bandingkan komentar antara Debby, Mbak Adhini, Risda, Christin, Pak Rawins, Mas Fahmi, Ninda, termasuk komentar saya sendiri. Lalu saya dapet benang merahnya.

Ternyata, orang-orang yang tidak muncul komentarnya di kolom moderasi, mereka berkomentar atas nama ID Blogger.com masing-masing. Mbak Adhini pakai nama username IbuDini, sedangkan Ninda pakai nama username Anyindia. Debby juga tidak muncul komentarnya di kolom moderasi karena dia pakai username OpenID Wordpress atas nama Debhoy. Sedangkan Christin, Pak Rawins, dan Mas Fahmi tetap tayang komentarnya soalnya mereka nggak pakai username Blogger.com ataupun OpenID. Christin pakai Name/URL dengan URL pribadinya di domain web.id, Pak Rawins pakai dot com, Mas Fahmi pakai dot info.

Waktu saya ngobrol soal musibah ini di Twitter, ternyata Mbak Reni Judhanto dan Slamet Riyadi juga mengalami masalah serupa. Mbak Reni bahkan ngaku bahwa menurut e-mail notifikasinya dia nerima 7-8 komentar untuk blognya, tapi ternyata komentar itu nggak publish di blognya.

Terpaksalah saya copy paste komentar orang-orang dari e-mail dengan metode Name/URL. Menurut saya ini praktek nggak jujur juga, coz berarti saya malsuin identitas para komentator dan memanipulasi waktu. Ambil contoh aja, kemaren tuh Mbak Fanny Fredlina berkomentar di blog saya jam 5 sore atas nama Sang Cerpenis Bercerita, tapi karena komentarnya nggak muncul di account Blogspot saya, terpaksa saya salin ulang komentarnya dari e-mail notifikasi, sehingga seolah-olah Mbak Fanny baru komentar jam setengah enam. Haiyaah..


Buat para jemaah, untuk sementara kalau mau komentar di sini, tolong ya jangan pakai ID Blogger.com atau ID Wordpress, tapi tolong pakai Name/URL aja dulu. Blogger.com nampaknya lagi maintenance, dan mereka lagi kacau-beliau. Komentar yang pakai Name/URL biasanya nggak ilang, tapi yang pakai ID Blogger dan Wordpress malah ilang. Kemaren postingan saya Betina Berani Sendirian sudah sampek 25 komentar, tapi dini hari ini saya nemuin komentar nyusut tinggal sembilan. Ke mana tuh sisanya?

Mudah-mudahan kerusakan ini segera diperbaiki dari Blogspot sana. Supaya kita nggak usah memanipulasi identitas komentator lagi. Haduh..Blogspot, Blogspot. Ada-ada aja.


Gambar kucingnya ngambil dari sini

Tuesday, July 6, 2010

Gagap Persalonan

Berurusan sama salon jelas nggak jauh-jauh dari perkara fanatisme. Soalnya urusannya sudah sama kepercayaan dibumbuin mitos. Dan saya harus ngaku bahwa perkara salon kadang-kadang bikin saya puyeng sendiri.

Kemaren saya potong rambut. Saya punya jadwal yang saya patuhin, bahwa beberapa bulan sekali saya mesti merapikan ujung-ujung rambut saya yang kering-kering.

Nah, salah satu langganan saya adalah salonnya Pak Joni di sebuah mal di pusat kota. Saya suka tempat itu coz pergi ke sana seperti one-stop-shopping; sehabis potong rambut saya bisa jajan di kedai roti punyanya Pak Joni juga (Pak Joni ini usahanya banyak lho, selain punya salon, dia juga punya toko roti dan toko donat). Kadang-kadang saya suka bingung, sebenarnya saya ini mau potong rambut atau beli roti. Tapi kapan-kapan aja kita ngomongin ini, saya mau ngomongin salon dulu.

Saya punya kepercayaan aneh bahwa cewek lebih pinter motong rambut ketimbang cowok. Soalnya, motong rambut butuh ketelitian, dan dalam perkara ketelitian itu sel-sel otak cewek bekerja lebih keras ketimbang sel-sel otak cowok. Maaf ya, saya bukan seksis, teori ini toh saya baca dari buku-buku kuliah saya. Maka implementasinya, saya lebih percaya kalau cewek yang motong rambut saya ketimbang cowok. Bahkan saya nggak percaya kalau kapsternya banci. Coz menurut buku kuliah saya, banci itu cuman jiwanya doang yang kecewek-cewekan, tapi tetep aja otaknya adalah sel otak cowok.

Nah, maka saya biasa potong rambut di salonnya Pak Joni ini coz mereka punya kapster cewek buat motong rambut. Siyalnya pas saya dateng ke situ kemaren, ternyata kapster yang cewek lagi nggak masuk.

Jadi terpaksa deh saya mau rambut saya dipotong kapster yang cowok. Pas dia nyampirin kain di badan saya, feeling saya nggak enak. Nih orang bau asbak! Haiyaa..saya benci banget sama bau rokok.

Ya udah, mungkin saya perlu rada toleran dikit. Mosok saya batal potong rambut cuman gara-gara saya nggak mufakat sama bau badan kapsternya? Itu nggak adil. Kan ada pepatah, "Don't judge a book by its smell."

Asaall.. Yang ada juga, don't judge a person by its odor.

Nah, belum apa-apa, si kapster udah kasih informed consent, "Rambutnya dibiarkan panjang ya. Belakangnya saya bentuk, jadi nanti ada bentuknya bla-bla-bla.." Dia mulai ngoceh tentang gimana dia mau bikin rambut saya kayak apa.
Saya mengerutkan kening. Batin saya, "Kok lu nggak tanya sih gw mau rambut gw dibikin model apa, tapi lu malah nyodorin ide lu sendiri?"

Saya sih nggak keberatan sama idenya si kapster, coz saya cocok-cocok aja sama ide dia (saya nggak sebut itu saran lho), tapi saya nggak suka kalau nggak ditanyai apa yang saya inginkan atas rambut saya sendiri. Jadi saya catet dalam hati:
1. Kapster yang ini bukan cewek.
2. Kapster yang ini bau asbak.
3. Kapster yang ini nggak nanyain pendapat klien.

Oh ya, satu lagi yang nggak saya suka dari seorang kapster salon adalah kalau dia sok tahu alias sotoy.
"Sering rebonding ya?" tanyanya.
"Nggak pernah," jawab saya. Serius, rambut saya masih perawan. Nggak pernah dikeriting, dilurusin, apalagi dicat.
"Rambutnya kering nih."
Yak, kalo di sepakbola ini namanya kartu merah. Jangan pakai kapster ini lagi deh.

Orang tuh dateng ke salon buat dimanja, bukan buat dikritik. Jadi saya males banget denger kapster ngoceh, "Rambut Anda kering/gampang rontok/mencuat/membulat/bla-bla-bla.." betapapun itu benar. Kecuali kalau ditanya lho, baru kapster boleh kasih pendapat. Saya bahkan jadi dokter nggak pernah mengkritik pasien itu panuan, biarpun pas saya periksa parunya ternyata di punggungnya banyak bruntus-bruntus. Lha dia dateng kan buat ngeluh sesak napas, bukan ngeluh gatel-gatel. Sama kayak klien dateng ke salon buat potong rambut, bukan buat nanya kenapa rambutnya kering.

Saya tahu maksudnya kapster itu baek sih. Tapi saya nggak seneng orang cerewet-yang-nggak-dibutuhin.. (belagak lupa saya habis mbawelin pacar saya gara-gara dia telat makan siang)

Oh iya, saya juga sebel. Jadi di pintu depan tuh tulisnya gunting Rp 21.000, blow Rp 21.000. Pas saya terima bonnya, ternyata saya di-charge gunting Rp 21.000, blow panjang Rp 27.000. Rambut saya panjang, jadi mereka nge-charge saya lebih. Padahal di iklan depannya nggak ada tuh tulisan blow rambut panjang Rp 27.000, yang ada ya blow Rp 21.000. Haiyaa..Pak Joni nggak jujur!

Memang praktek akal-akalan gini udah biasa. Bulan lalu saya creambath di Setiabudi dan di depan tuh ditulisnya creambath-nya Rp X, udah termasuk cuci dan blow. Tapi pas saya bayar di kasir, ternyata mereka nge-charge saya ekstra Rp 5.000. Soalnya di bonnya ditulis bahwa kapsternya nge-blow saya pakai "blow variasi". Padahal saya udah bilang sama si neng itu blow biasa aja asal kering. Lagian rambut saya pasca di-blow juga sama-sama aja tuh, nggak jadi ekstra lurus atau ekstra mbulet. Apanya yang variasi?

Eh, ada yang bisa kasih tahu saya bedanya blow standar dan blow variasi? *maap, gagap persalonan*

Gambarnya ngambil dari sini