Monday, April 27, 2015

Mental Daerah Rumahan

Ini kisah nyata dari seorang kawan jemaah blog saya. Yang struggle untuk mencari nafkah, dan ironisnya perjuangannya dihambat oleh keluarganya sendiri. Atau mungkin oleh mentalnya sendiri.

Kawan saya laki-laki, mungkin umurnya sekitar 30 tahun. Bekerja jadi pegawai negeri sipil, di sebuah kantor dinas di sebuah kabupaten. Dos-q baru menikah, istrinya juga pegawai negeri sipil, bekerja di kantor yang lain di kabupaten itu. Pasangan muda ini punya seorang anak balita yang berumur kira-kira dua tahun.

Mungkin karena kinerjanya bagus, kantor tempat kawan saya ini dianggap berprestasi. Atasan dari kepala kantor ini menganggap lokasi kantornya nggak ideal lagi berada di kabupaten itu, karena kantor ini nggak cuman meladeni urusan sekabupaten itu, tapi bebannya sudah sampai tingkat propinsi. Jadi sang boss pun ambil keputusan, kantor ini mau ditutup dan dipindahkan ke ibukota propinsi. Termasuk pegawai-pegawainya, ya termasuk kawan saya juga, disuruh pindah sekalian ke ibukota.

Nggak tahunya, kawan saya mengerang keluh kesah. Karena istrinya juga mengeluh. Menurut dalih kawan saya, kalau dos-q disuruh pindah ke ibukota propinsi, dos-q harus ninggalin istrinya. Karena istrinya sudah betah bekerja di kabupaten itu, plus di kabupaten itu ada orang tua yang bisa dititipin anak mereka kalau istrinya sedang ngantor. Lha kalau istrinya ngikut kawan saya ke ibukota propinsi, istrinya mungkin harus ninggalin pekerjaannya yang sebagai PNS itu, biaya hidup akan meningkat coz mereka harus siap-siap cari rumah kontrakan, cari pengasuh anak, pokoknya jadi lebih mahal deh.

Tuesday, April 21, 2015

Gawul Ciamik di Stasiun Kereta

Sering ribet sendiri mau beli maem apa kalau mau naik kereta? Well..nggak lagi-lagi deh, coz sekarang ada café yang cozy banget di stasiun. Yupz, bulan ini jadi istimewa coz di Stasiun Gubeng Surabaya ada café yang senyaman café bandara dengan setumpuk kuliner ciamik keren. Namanya Loko Café, dan nongkrong di sini betah banget. Eits..ati-ati bisa ketinggalan kereta nih, hahaha!
Fasad Loko Cafe di Stasiun Gubeng, Surabaya

Loko Café ini adalah gerai tenant kuliner yang ketiga bikinannya PT Reska, anak perusahaannya PT Kereta Api Indonesia. Sebelumnya PT Reska udah buka café di Stasiun Tugu Jogja dan café di Stasiun Poncol Semarang. Café di Tugu berkonsep restoran dine in, sama kayak café yang di Gubeng ini. Sedangkan café di Poncol berkonsep take away. "Di Poncol, orang datang ke café untuk beli minum, lalu langsung dibawa pergi. Di Surabaya ini, kami ingin orang datang ke café untuk makan (di tempat)," jelas Decil Christianto, manajer dari Consumer Business Directorate PT Reska kepada saya.

Friday, April 10, 2015

Berhadapan dengan Si Tunnel Vision

Orang nggak hamil: "Nanti melahirkan di mana?"
Saya: "Mungkin di Rumah Sakit P."
Orang nggak hamil: "Sama dokter siapa?"
Saya: "Nggak tau, gimana dokternya yang piket aja nanti pas saya dateng ke situ."
Orang nggak hamil: "Lho, emang selama ini periksanya sama siapa?"
Saya: "Oh, ganti-ganti. Kadang sama dokter K, kadang sama dokter L, kadang-kadang malah sama dokter M. Yaah tergantung pas saya dateng ke sana adanya siapa yang lagi praktek."
Orang nggak hamil: "Oh bukan sama dokter H*rt*n*?" (Sambil nyebut makhluk beruban paling kejam sekota yang nggak pernah njahit perut pasiennya sendiri setelah Cesar dan selalu nyuruh asistennya buat njahit.)
Saya: "Hahahaa..saya nggak mau sama orang itu!" (Sambil pasang gestur melambaikan tangan dan pasang ekspresi jijik.)
Terus orang nggak hamilnya langsung diem.

Ma'am, saya tahu kalau situ bisa hamil lagi, kamu ingin diberesin sama H*rt*n*. Tapi saya tidak kepingin disentuh sama dia, saya nggak peduli biarpun mungkin situ pikir dia dokter terbaik se-Indonesia.

Ini rahim saya, saya yang menentukan dengan siapa saya ingin mencari pertolongan medis, dan pendapat situ nggak ada nyantolnya sedikit pun di kepala saya. Eh, nyantol ding, setidaknya buat bahan ngeblog.

Belajarlah untuk tidak nyuruh orang lain berpikir seperti caramu berpikir.

Monday, April 6, 2015

Soal Naik-naik Berat Badan Ini

Sudah beberapa bulan terakhir saya terobsesi sama berat badan. Terutama berat badan janin saya. Gini nih repotnya jadi dokter, saya sampai hafal kalau usia janin sudah sekian minggu, berat badannya si janin mesti segini. Sementara kalau usianya sudah nambah lagi, berarti berat badannya si janin harusnya segitu.

Soal Bayi
Siyalnya saya nggak bisa mantau beratnya si janin saban hari, jadi saya cuman bisa mantau trend-nya sebulan sekali pas lagi periksa ke dokter kandungan. Saban kali USG, yang saya tanyain pertama kali pasti "Berapa berat dia sekarang?" (Dan saya nggak peduli sama sekali soal jenis kelamin.)
Kalau dokternya sudah sebut angka berapa ratus gram, saya selalu tanya apakah itu normal untuk usia kehamilan segitu. Kalau beratnya di bawah rentang normal, saya pasti deg-degan kebat-kebit. Tapi kalau beratnya di atas rentang normal, saya deg-degan juga coz takut sama fenomena giant baby. (Giant baby identik dengan keterlambatan perkembangan otak.)