Sunday, November 27, 2011

Cangkruk di Dusun Malaysia

Roti prata adalah jenis panekuk yang dibikin dari bahan dasar bubur dan digoreng di atas panggangan, membentuk roti yang enak dimakan empuk. Roti ini banyak dijumpai di Semenanjung Malaya, biasa jadi makanan kebangsaannya orang-orang Tamil, maklumlah lantaran asal roti ini sebetulnya ya dari India sebelah selatan sana. Di Malaya, roti prata disajikan dengan kuah kari.

Roti prata bisa dimakan secara plain, tapi direkomendasikan buat dimakan  dengan disiram saos kari.
Bisa disajikan dengan kari sapi, tapi kali ini saya minta pakai bumbu kari ayam aja.
Tapi kita nggak perlu jauh-jauh pergi ke Malaysia sana buat ngincipin roti prata. Masakan Malaysia sekarang lagi booming di Indonesia, termsuk roti prata. Restoran-restoran Malaysia berserakan di segala penjuru Surabaya, dan dengan berani mereka bersaing menjual roti prata. Salah satunya ialah Malay Village yang saya dan my hunk datengin kemaren di bilangan Adityawarman, yang mengusung roti prata sebagai appetizer jagoannya.

Milih masakan Malaysia sebetulnya nggak susah-susah amat lantaran cita rasa Malaysia nggak asing-asing banget dengan lidah Indonesia. Malay Village nyodorin macem-macem penganan dengan campuran selera antara Melayu, Cina, dan India, sesuai dengan negara asal makanannya yang memang jadi tempat tinggal suku-suku itu. Saya pun tanpa tedeng aling-aling nyobain semuanya, mulai dari roti prata yang khas India, sambil mengganyang nasi Hainan yang penuh kaldu ayam.

Char siew, cara masak a la Cina (denger-denger sih khasnya daerah Kanton, bener nggak sih?).
Konon, di Cina sana, biasanya yang dimasakin char siew adalah daging babi, tapi di resto ini pakai daging ayam aja.
Yang sempet bikin saya penasaran adalah ayam char siew, coz sepanjang yang saya tahu, char siew adalah daging yang dipanggang setelah dibumbuin madu, kecap kedelai, dan konon disiram sherry. Saya ngincipin juga ayam char siew ini, tapi saya nggak bisa mengidentifikasi apakah di Surabaya ini disiram sherry juga apa enggak. Soalnya saya kan nggak boleh ngincipin sherry, takut besoknya mabok dan tanpa sadar ngoceh yang enggak-enggak :p

Ikan asem manis pesenan my hunk,
dengan latar es mangga di belakangnya.
Es mangganya dicampur podeng, rasanya suegerr!
Galau adalah saat kau tidak tahu
mana yang harus kaulakukan duluan,
menggado ayam panggangnya, makan nasi gorengnya,
atau tersenyum pada kamera.
My hunk sih nggak mau susah, dos-q pilih menu Melayu aja, fillet ikan asem manis plus nasi goreng sapi lada item, hihihi.. Dan ternyata dari semua makanan yang ada di meja, dos-q memang paling seneng ikan asem manisnya. Aih, mungkin lantaran bumbu asem manis memang paling mirip sama lidah Indonesia yaa..

Satu hal yang saya sukai dari tempat ini adalah servisnya cepet tapi masakannya tetep enak. Pesenan saya dateng dalam 10 menit, nggak lama-lama amat lah.

Oh ya, kalau kamu pingin ngincipin masakan Malaysia tapi nongkrong jauh dari Surabaya, Malay Village juga ada di Cilandak lho. Bagi-bagi dong di sini, apa masakan Malaysia kesukaanmu? ;)

Foto-foto dijepret oleh Eddy Fahmi.

Tuesday, November 15, 2011

Sutra, Jangan Pakai Dulu Deh!

Sebagai seorang Event Organizer amatiran, sering banget saya dapet keluhan bahwa penonton nggak bisa denger suara pembicara di mic-nya. Saya nggak bisa mangkir bahwa sebagian masalah itu nongol gegara ketidakbecusan sound-system, tetapi saya menjumpai bahwa kerap kali itu memang kesalahan tidak sengaja oleh pengguna mic-nya.

Salah satu penyebabnya ternyata adalah masalah baju. Lho, kok bisa? Kayak contohnya yang di gambar ini. Mic kini dilengkapi clip on yang bisa dijepitkan ke baju, dan fungsinya adalah supaya suara si pembicara tetap kedengeran oleh seluruh dunia tanpa menghalangi gerak tangannya yang bebas, sehingga tangannya nggak perlu kaku megang mic. Ini keliatannya praktis, tapi ternyata jadi problem kalau bahan bajunya nggak cocok sama mic-nya.

Jika pembicaranya pakai baju dari sutra, dan mic dijepitkan ke bajunya, perlahan-lahan posisi mic akan bergeser karena sutranya licin. Awal-awal memang nggak terasa, tapi kalau pembicaranya banyak bergerak, lama-lama sutra bajunya akan bergesek dan jepitan mic-nya akan bergeser, maka suara pembicara akan pelan-pelan hilang dari pengeras suara. Akibatnya apa yang dibicarakan si pembicara nggak bisa terdengar oleh penonton.

Diperlukan mic dengan jepitan yang cukup kuat supaya nggak sampek ngegeser saat menjepit bahan sutra. Mungkin jepitannya bisa bikin bahannya sendiri jadi sedikit cacat.

Sekiranya kita sering ditodong jadi pembicara, sebaiknya kita belajar tahu sedikit-dikit tentang teknik nampil, nggak cuma tentang cara menyampaikan bahan ke khalayak ramai, tapi juga tentang macam-macam mic dan cara pegangnya supaya pembicaraan kita efektif.