Friday, November 29, 2013

Mari Dihujat Bersama

Sepanjang hari kemaren, saya dan kolega-kolega duduk-duduk di kantor sambil buka internet, baca koran, dan nonton berita. Kami mencari reaksi rakyat setelah ulah kami yang nutup poliklinik dua hari lalu. Hampir semua berita nadanya sama: mengkritik, mengecam, menghujat dokter-dokter karena nekat mogok. Mengata-ngatai dokter mirip buruh saja (dan saya heran kenapa harus demikian, lha memangnya dokter dan buruh itu beda ya?), mencibir seolah-olah kami tidak berperikemanusiaan, dan lain sebagainya yang kira-kira sejenis.

Saya scroll HP saya membaca grup diskusi kawan-kawan alumni se-SMA, dan bisa ditebak, mereka yang bukan dokter sangat menyayangkan kenapa kami harus "mogok". Kawan saya yang kebetulan juga dokter angkat bicara mencoba membela (profesi) dirinya, tapi saya milih diam dan membiarkan anjing mengonggong dan burung berkicau (bukaan..saya bukan bilang teman-teman saya itu anjing atau burung). Para sepupu, bude, berkomentar lebih hati-hati, mungkin ngeri menyinggung perasaan saya dan bokap dan adek dan pakde dan kakak saya yang sudah jelas mendukung demo.

Kawan saya berseru bilang di sebuah koran lokal di Surabaya, salah satu kolega kami yang kemaren ikutan aksi tutup klinik, kedapatan wajah cakepnya menghiasi seperempat halaman koran bak selebritis. Di caption foto itu, tertulis "dokter mogok". Kami tertawa berderai-derai. Wah, wah, ini namanya pencemaran nama baik.

Korps kami sudah mengatur sedemikian rupa, supaya yang tutup hanya klinik saja. Pasien-pasien yang sudah kadung diopname, tidak akan disuruh pulang. Unit gawat darurat tetap buka. Kamar operasi darurat juga tetap buka. Beberapa dokter didistribusikan untuk tetap di dalam rumah sakit, meladeni pasien-pasien yang sudah kadung diopname sebelum terjadi demo. Saya sendiri termasuk yang sudah diplot untuk jaga di gawat darurat sejak sebelum demo sampek tiga minggu ke depan, jadi ada-nggak-ada demo pasti saya tetap masuk kerja. Dokter-dokter yang nggak ada di unit rawat inap dan unit gawat darurat ditugaskan di (parkiran) poliklinik, saya lebih suka menyebut tugas mereka itu sebagai "penghalau massa". Mereka melakukan screening singkat pada pengunjung poliklinik, yang nampak gawat darurat akan disuruh ke unit gawat darurat, sedangkan yang nggak nampak gawat dipersilakan datang besok harinya.

Di poliklinik, sudah jelas banyak orang kecewa karena sudah kadung datang ternyata dokternya nggak nulis resep, melainkan dokternya senyum-senyum di tempat parkir, membagi-bagikan kembang, dan berkata "Besok silakan kembali." Ada keluarga pasien yang geger, dan langsung dihalau polisi supaya tidak sampek timbul kerusuhan.

Kami terus-menerus memantau berita mencari-cari kerusuhan di Indonesia akibat ada Puskesmas/rumah sakit yang menutup pelayanan, tapi tidak ada yang sampek bakar-bakar ban segala cuman gara-gara dokternya nggak masuk kerja. Kolega saya di Pulau Seram malah ngomong di grup diskusi, "Di beberapa kecamatan sini sih, ada nggak ada dokter, nggak ngaruh. Ada dokter, alhamdulillah. Nggak ada dokter, ya udah nasib.."

Dokter mogok baru terjadi kali ini di Indonesia. Di Korea, pernah dokter mogok di seluruh negeri sampek empat bulan. Bandingkan dengan Indonesia yang baru "berani" mogok 24 jam. Itu pun dokternya masih bersedia buka unit gawat darurat. Masih bersedia ditelepon di rumah. Masih sudi jawab konsulan via Twitter..

"Kita dimusuhin, Bro," desah kolega saya waktu duduk-duduk di kantor. "Kita dimusuhin rakyat se-Indonesia."
Saya cuman nyengir. "Nggak pa-pa. Yang dimusuhin juga dokter se-Indonesia kok."
"Setelah kegilaan kasus ini, kira-kira orang masih mau berobat ke dokter nggak ya?" desah kolega saya.
Saya dan dos-q berpandang-pandangan, dan mendadak kami tertawa terbahak-bahak.

Biarin aja kami dihujat di seluruh Indonesia. Nggak urung negara kita sekarang diketawain di luar negeri, karena cuman Indonesia di dunia ini yang nekat memenjarakan dokter gara-gara salah tuduh dikira mbunuh orang. Tambah diketawain karena mereka-mereka yang pernah sekolah dokter dan sekarang jadi anggota DPR, jadi anggota YLKI, dengan sembrono mencemooh sejawat-sejawatnya yang mogok dan demo. Mungkin mereka lupa kalau dulu mereka pernah banting tulang jadi koass sampek punggung rasanya mau putus karena nungguin pasien ngantre ventilator. Atau jangan-jangan mereka mbolos pas stase itu.

Giliran kita ngadu ke pemerintah karena merasa pekerjaan kita dirongrong jaksa brengsek, dengan sembrono pejabat tinggi pemerintah bilang, "Saya tembak kalian pelan-pelan."
Najis. Kerahkan saja semua tentara, memangnya berapa peluru yang kalian punya buat nembak dokter se-Indonesia?

"Kita nggak bisa cengeng, Bro," kata saya kepada kolega saya. "Kita nggak punya waktu buat mengeluh. Kita menghabiskan waktu terlalu banyak buat pasien-pasien kita, sampek-sampek menangis pun tak sempat. Suamiku di rumah selalu ketiduran kalau nungguin aku pulang, saking malemnya."
Mereka yang bukan dokter tidak akan pernah mengerti kita, tidak akan. Karena mereka tidak pernah mengalami shitty days yang kita alami. Dan mereka tidak akan pernah mengerti kenapa kita masih tetap bertahan di profesi ini. Mereka cuman menyangka bahwa kita tetap jadi dokter karena dikiranya banyak duit.. Holifag. Bahkan saya pulang ke rumah pun masih naik bemo.

Pemberitaan di tivi berat sebelah. Dengan licik para anchor menampilkan kaum anti-demo-sok-jadi-korban lebih lama daripada dokternya sendiri. Saya iseng menghitung bahwa dalam wawancara yang menampilkan IDI versus keluarga Matakey, kelihatan bahwa keluarga Matakey dikasih waktu berbicara selama 10 menit, sedangkan dokternya cuman dikasih waktu selama 3 menit.
Orang-orang sok pinter berkomentar di Twitter "daripada demo, mending dokter bikin aksi simpatik dengan pengobatan gratis". Saya ketawa ngakak. Emoh. Ntar kalo obat gratis dari saya bikin syok anafilaktik dan situ mati, ntar saya dimasukin penjara pula..

Biarin aja rakyat ngambek. Nggak urung jumlah pasien yang hari ini dateng berobat ke sekolah saya juga sama aja jumlahnya tuh dengan yang kemaren-kemaren. Lagian saya masih percaya Tuhan Mahaadil. Orang akan lihat Ayu SpOG cuman jadi korban pemerasan, dan keluarga Matakey disetir diam-diam di belakang oleh makhluk-makhluk pemancing air keruh. Kami pasti akan tetap hidup. Dan orang akhirnya akan terpaksa percaya sama kami. Karena kami ngobatin orang pakai logika dan masih pakai rupiah. Sedangkan orang lain ngobatin cuman pakai taneman-taneman berkedok tahayul, atau lebih parah lagi ngobatin pake air ludahnya dukun.

Kapan ya dokter demo lagi? Yang lamaan dikit dong, biar timbul kepanikan skala nasional. Saya mau kok jaga UGD lagi pas demo itu.. Hahahahah.
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Thursday, November 28, 2013

Selamat Datang, Paranoid

Pak Guru: "Anda kalau mau melahirkan pasien secara normal, Anda informed consent nggak?"

Mahasiswa: "Nggak, Dok."

Pak Guru: "Anda kalau mau menggunting dinding vaginanya waktu mau mengeluarkan anaknya, Anda informed consent nggak?"

Mahasiswa (terhenyak): "Nggak, Dok."

Pak Guru: "Menurut Anda, bersalin normal bisa emboli air ketuban nggak?"

Mahasiswa (mengangguk kuat-kuat); "Bisa, Dok."

Pak Guru: "Anda bilang ke pasiennya kalau dengan bersalin normal maka dia bisa meninggal?"

Mahasiswa mengkeret.

Pak Guru: "Nah, mulai sekarang Anda harus bilang, kalau pasiennya mau melahirkan, bahwa dia bisa meninggal. Meskipun hanya dengan bersalin normal. Dan kalau dia mau dioperasi pun, Anda harus bilang ke pasiennya kalau setelah operasi itu pun dia bisa meninggal.."

Saya sikut-sikutan sama kolega di sebelah saya. Gimana ini?

Lalu setelahnya kita ngoceh ke perawat. Susternya mengerang keras. "Dok, kalo kayak gitu caranya pasiennya jadi galau sendiri. Lha mau ditolong pun bisa mati, nggak ditolong pun bisa mati. Lantas dia mau milih jalan penyelesaiannya gimana, kalau semua-semuanya bisa bikin mati?"

Saya cuman cetek-cetek HP, nyari berita tentang reaksi dunia mengenai ulah kami yang menutup poliklinik kemaren. "Ya biar pasiennya milih sendiri, Bu.." kata saya kalem.

"Tapi kan pasien harus dibimbing untuk jalan yang penyelesaian terbaik, Dok? Bukan ditakut-takuti bahwa dia bisa mati!" sergah perawatnya.

Mata saya scroll layar HP dari atas ke bawah. Semua media menghujat kami. Haha. Katanya acara "mogok" kami berakibat pasien terlantar. Haha. Dan itu terjadi di seluruh Indonesia. Haha!

Saya menoleh ke perawatnya. "Bu. Kawan saya itu bertindak Cesar coz dia mau selamatkan janinnya si pasien itu. Tapi dia dipenjara cuman gara-gara nggak bilang sama pasiennya kalau risiko dari Cesar itu pasiennya bisa meninggal."

Maka adegan pun berganti. Pak Guru saya bilang, "Ini namanya defensive medicine. Semua tindakan sekecil apapun harus diberitahukan risikonya kepada pasien. Supaya keluarga pasiennya nggak nuntut kalau terjadi komplikasi tindakan pada pasien itu."

Dalam perjalanan di selasar, saya ngobrol sama kolega saya, "Jadi, kalo ada pasien belum waktunya lahir, tapi pasiennya kesakitan karena kontraksi palsu, terus gw nggak nginfus dia karena ketubannya belum pecah, gw harus bilang gitu ya kalau setiap saat ketubannya pecah dan bila kebetulan Izrail lewat maka air ketubannya nyelonong ke pembuluh jantungnya dan dia bisa tewas?"

"Kalo kayak gitu caranya, nggak ada pasien mau diobatin," seloroh kolega saya. "Karena mereka jadi takut semua. Lahir normal aja bisa meninggal. Lahir operasi pun bisa meninggal. Maju kena mundur kena."

Saya angkat tangan. Suara Mahkamah Agung yang menghukum Ayu itu suara rakyat. Kalau memang tidak-bilang-bahwa-risiko-tindakan-itu-bisa-meninggal menurut hukum adalah salah, berarti ya rakyat memang kepingin dikasih tahu bahwa semua jalan keluar adalah risiko meninggal.

Tuntutan mereka kepada kami ialah jujur. Tapi selengkap apa kejujuran kami yang mereka harapkan itu?

Selamat datang, dunia paranoid. Penyakitmu tetap ada bersamamu, kamu bisa meninggal. Kami mencoba menolongmu pun, kamu akan tetap bisa meninggal. Kalian akan ketakutan karena risiko. Dan kalian akan menuntut kalau kalian tidak diberi tahu risiko. Jadi, menjadi ketakutan adalah pilihan.

Terima kasih, Mahkamah Agung. Mendadak, menolong orang menjadi terdengar seperti kegiatan yang menakutkan.
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Saturday, November 23, 2013

Satu Foto Sehari

Saya punya proyek yang rajin saya lakonin semenjak tiga bulan terakhir, yaitu motret. Yang saya potret bukan sembarangan hal, tapi saya motret orang bergerak. Misalnya orang nyapu. Atau orang lagi masak. Atau orang lagi ngayuh becak. Pokoknya bukan orang yang lagi diam berpose, apalagi selfie.

Saya mematok bahwa setiap hari saya harus dapet satu jepretan. Fotonya saya ambil pake HP aja. Alasan pake HP karena selain handy, juga karena bisa langsung di-upload. Dan upload-nya kudu ke Instagram.

Kenapa pakai Instagram, soalnya secara ajaib saya mengakui bahwa foto sejelek apapun bila tampil di Instagram maka tetap akan keliatan keren, hahahah. Mungkin karena di Instagram ada filter-filter yang bisa meminimalisir cacat setiap foto. Plus Instagram memang untuk mengapresiasi foto, bukan untuk fokus terhadap caption atau komentar.

Proyek ini memang saya fokuskan buat moto orang yang lagi berkegiatan. Nggak boleh foto selfie, coz itu bukan kegiatan (tapi narsis). Nggak boleh foto pemandangan, kecuali kalo di foto itu ada orang yang berkegiatan. Nggak boleh foto benda mati, karena syaratnya memang harus moto orang.

Kenapa kok saya ngeyel moto orang bergerak? Ini sebenarnya terkait dengan masalah pribadi saya juga. Sudah sekitar hampir setahun ini saya didaulat untuk latihan empati terhadap orang lain. Karena saya merasa selama ini saya lebih banyak mendengar diri saya sendiri bicara ketimbang mendengarkan orang lain bicara. Jadi saya mulai pelan-pelan dengan lebih banyak diam dan belajar mengamati dan mendengarkan orang lain.

Semisal kalau saya lagi pesan sushi, saya lihat pelayannya lelet, saya menahan diri untuk nggak minggat, dan saya belajar sabar menungguinya bekerja. Ternyata untuk bikin sushi, dos-q kudu ngambil segepok nasi ketan sepanjang setengah meter yang dalemnya sudah disumpal potongan ikan mentah. Lalu membungkusnya dengan nori seperti membungkus dengan kertas kado licin. Dan memotong-motongnya dengan presisi ketat karena kalau dia motong rada lebihan dikit, dia bisa dipelototin bossnya dan gajinya akan dipotong. Dan menghidangkannya di baki secara cantik supaya pembelinya jatuh cinta dan mau makan di situ lagi.

Saya belajar menghargai proses. Bukan sekedar mendapatkan hasil. Makanya saya mengamati orang memasak, bukan cuman motretin makanannya doang. Saya ngawasin orang nyapu taman, bukan cuman motretin taman yang asri doang. Bahkan saya motretin orang lagi nunggu giliran naik kereta api pun, saya harus dapet ekspresi muka menunggunya. Ada yang resah gelisah, ada yang senewen. Tapi itu semua proses.

Dan itu tidak mudah. Karena bersabar memotretin orang berkegiatan ternyata lebih sulit daripada moto makanan di piring. Karena mereka bergerak, sedang saya maksa pakai kamera HP yang resolusinya pelit, maka fotonya sering kali kabur. Tidak mungkin saya suruh mereka diam sebentar demi menghasilkan foto yang jernih. Alhasil saya terpaksa belajar fotografi juga sedikit-sedikit. My hunk ngajarin saya untuk motret di cahaya terang supaya mengurangi blur. Foto di siang hari lebih ciamik daripada foto di pagi hari. Maka saya pun berkorban, kudu rela iteman dikit demi dapet foto yang terang.

Satu jepretan sehari kadang-kadang tidak mudah. Saya bersekolah di rumah sakit yang kegiatannya ya itu-itu aja. Mosok saya motret cleaning service lagi, atau motret UGD yang nelangsa lagi. Plus saya pake baju jas putih, dan dokter motretin orang sakit dengan kamera HP hanya untuk ng-upload ke Instagram adalah tindakan tidak etis. Praktis saya sering kehabisan ide buat difoto.

Makanya kalau lagi hari libur gitu, saya belain rekreasi ke tempat rame demi dapet foto-foto beragam. Saya senang pergi ke pasar, ke taman ria. Di sana banyak orang lalu-lalang yang menarik untuk difoto, dan pedagang balon tidak pernah marah kalau saya potret meskipun saya nggak beli dagangannya. Beda dengan motretin tukang gei-n-jai di mall sementara saya bukan penggemar gei-n-jai.. :p

Lha ngeblog-nya gimana? Kalau proyek ini cuman sekedar pelatihan-empati, kenapa fotonya cuman diunggah ke Instagram, kenapa nggak ke blog sekalian? Alasan saya adalah, di blog saya ingin tetap nampak banyak bicara melalui tulisan. Sedangkan proyek foto saya bertujuan "foto ini harus lebih banyak bicara daripada seribu kata". Kalau saya maksa ngunggah ke blog, nanti blog saya jadi blog pameran fotografi, bukan blog orang cerewet.. :D

Oh ya, username Instagram saya "vickylaurentina". Tolong dikomentarin ya, foto saya bagusnya di sebelah mana, kurangnya di sebelah mana.. :)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Monday, November 11, 2013

Lagu Wajib Supir Bis

Malam ini ketika saya pulang dari Madiun menuju Surabaya seusai menjalankan tugas sekolah, saya akhirnya milih naik bis. Ini bukan milih sebenarnya, tapi terpaksa, hihihi.. Soalnya karena situasi kerja, maka saya baru bisa pulang malam hari, sedangkan travel yang available kira-kira baru bisa take off jam 12 malam. Kereta baru ada jam 3 subuh. Saya harus mulai sekolah lagi di Surabaya besok pagi, jadi saya nggak mau berlarut-larut nunggu lama-lama di Madiun.

Maka saya naik bis malam. Sendirian. Sambil berdoa di dalam hati, semoga saya nggak dihipnotis orang asing lalu dirampok. Bukan apa-apa, saya bawa berkotak-kotak bluder sebagai oleh-oleh dari Madiun. Jadi kalau sampek bluder saya ikutan dirampok, berarti malingnya keterlaluan..!

Saya ini norak coz saya nggak pernah naik bis. Selain alasan benci macet dan takut rampok, juga karena saban kali saya baca berita, angkutan umum yang paling sering dikabarin kecelakaan adalah bis malam. Makanya saya waswas. Tapi karena saya tahu kita nggak mungkin terkungkung dalam paranoia nggak jelas, jadi demi kewajiban-harus-masuk-sekolah-jam-7-pagi membuat saya menahan ngeri dan naik bis dengan ucapan bismillah. Semoga saya selamat sampek tujuan, dan semoga bluder saya tetap utuh nggak dirampok orang.

Maka saya pun naik bis dari terminal di Madiun. Baru naik bis, feeling saya sudah nggak enak coz bisnya muter lagu dangdut. Jadi di bis itu ada tivinya, dan tivinya muter VCD berisi show pertunjukan dangdut di panggung hiburan manaa gitu. Volume musiknya kenceng banget, sampek saya puyeng. Ingin saya tegor supir bisnya, mbok dia ganti gitu kek musiknya, pake lagunya Bruno Mars atau Katy Perry gitu..

Tapi kemudian saya mikir, mungkin lagu dangdut yang diputer keras-keras itu adalah senjata si supir bis untuk melawan kantuk. Bayangin kalau yang dia putar adalah Norah Jones. Atau Al Jarreau..
www.laurentginekologi.wordpress.com
www.laurentina.wordpress.com
www.georgetterox.blogspot.com

Sunday, November 10, 2013

Berbagi, Pamer, dan Komentar

Bagian yang mencuri perhatian dari setiap profil account social media itu adalah avatar dan cover photo-nya. Baik avatar dan cover photo sama-sama mewakili jatidiri si empunya account, maka wajar kalau di dunia ini ada orang yang bisa mikir sehari semalam cuman demi merancang cover photo profilnya sendiri.

Saya melihat bahwa kalau ada orang baru ganti cover photo atau ganti avatar, pasti ada aja orang lain yang komentar. Mungkin komentar itu datang dari orang lain secara spontan. Tapi ada juga orang-orang yang tertentu yang sengaja ganti cover photo atau ganti avatar hanya karena kepingin dikomentarin. Nah, orang-orang yang "kepingin dikomentarin" ini sebenarnya nggak jauh dari sifat pamer.

Sebetulnya saya nggak pernah merasa terganggu dengan orang-orang yang kepingin pamer ini, meskipun mereka bisa ganti avatar BBM sampek tiga kali sehari. Terganggu sih enggak, tapi kadang-kadang saya kepingin bertanya aja, sebenarnya apa sih modus kalian ganti avatar sampek tiga kali sehari itu? Pesan apa yang ingin kalian sampaikan? Dan yang lebih penting lagi, sebenarnya siapa yang kalian harapkan untuk melihat pergantian avatar itu? Soalnya saya nggak pernah concern sama avatar orang lain, jadi boro-boro ngerasa dipamerin profile picture, ngeliatin avatar orang aja nggak pernah..

Tapi saya lebih geli sama orang yang peduli. Pernah lagi duduk-duduk sama teman di sekolah, sebut aja namanya Morgan, sambil ngawasin pasien mau melahirkan, terus Morgan lagi main HP. Dia celoteh gini, "Si Alexis ini lagi nongkrong di Cafe X ya, kok DP-nya gambar ini?"
Saya ngintipin avatarnya Alexis, terus mengenali interiornya cafe yang cukup happening di Surabaya itu. "Hm.. ya." Lalu saya mbalik lagi mantengin pasien saya yang lagi cemberut di depan saya. Mungkin obat induksinya sudah mulai jalan dan dia mulai kesakitan.
Satu jam kemudian, Morgan celoteh lagi, "Wah, si Alexis sekarang lagi ada di mall Y. Sama dokter Anu."
Saya, karena saya adalah pemberi feedback yang baik, hanya mengangguk. "Hm, iya." Lalu saya balik lagi ke pasien. Bingung kenapa kok obat induksi sudah jalan tapi bukaan si pasien nggak nambah.
Eh eh, satu jam kemudian, si Morgan komentar, "Haiah..si Alexis sudah di Cafe Z! DP-nya udah ganti lagi!"
Dan bukaan si pasien pun masih tetep. Siyalan. Bayinya macet.
Saya noleh ke Morgan itu. Menatapnya heran. Bukan heran sama Alexis yang demen gonta-ganti DP. Tapi heran kenapa Morgan mantengin recent update di BBM melulu. Situ nggak kerja tah, kok HP-an terus?

(Waktu itu saya lupa, dia kan sudah senior. Saya masih junior. Makanya saya yang kerja, dia cuman mikir manajemen resiko kalau kerjaan saya dodol. Oke sip.)

Jadi, mungkin di dunia ini, ada orang-orang seperti Alexis, seperti Morgan, seperti saya.
Barangkali Alexis memang centil suka gonta-ganti avatar. Karena dia ingin berbagi.
Atau sebenarnya Alexis memang kepingin pamer ke orang-orang seperti Morgan.

Barangkali Morgan memang tukang komentar. Karena dia dilahirkan dengan jiwa yang seperti itu.
Atau sebenernya Morgan risih liat orang lain ganti-ganti DP sedangkan dia sendiri nggak bisa gonta-ganti DP. Karena gimana mau ganti DP, tiap kali buka satu aplikasi aja, juwet Kanada-nya langsung kasih gambar jam pasir. (Emangnya HP-mu, Viic?)

Yang siyal itu kalo Alexis kepingin pamer ke orang seperti saya. Because I never give a damn care about other people's over-existency in cyber world.
Morgan juga siyal. Soalnya saya nggak pernah nyambung kalo diajakin ngegosipin orang lain..
Teman macam apa aku ini..

Profile picture/avatar/cover photo adalah perwakilan jati diri kita yang diliat orang dalam satu detik pertama.
Anggap saja orang lain tidak kenal kau apa adanya, lalu dia melihat gambarmu berupa menu ayam panggang, tidakkah dia akan menilai bahwa dirimu adalah seekor ayam..?
www.laurentginekologi.wordpress.com
www.laurentina.wordpress.com
www.georgetterox.blogspot.com