Saya scroll HP saya membaca grup diskusi kawan-kawan alumni se-SMA, dan bisa ditebak, mereka yang bukan dokter sangat menyayangkan kenapa kami harus "mogok". Kawan saya yang kebetulan juga dokter angkat bicara mencoba membela (profesi) dirinya, tapi saya milih diam dan membiarkan anjing mengonggong dan burung berkicau (bukaan..saya bukan bilang teman-teman saya itu anjing atau burung). Para sepupu, bude, berkomentar lebih hati-hati, mungkin ngeri menyinggung perasaan saya dan bokap dan adek dan pakde dan kakak saya yang sudah jelas mendukung demo.
Kawan saya berseru bilang di sebuah koran lokal di Surabaya, salah satu kolega kami yang kemaren ikutan aksi tutup klinik, kedapatan wajah cakepnya menghiasi seperempat halaman koran bak selebritis. Di caption foto itu, tertulis "dokter mogok". Kami tertawa berderai-derai. Wah, wah, ini namanya pencemaran nama baik.
Korps kami sudah mengatur sedemikian rupa, supaya yang tutup hanya klinik saja. Pasien-pasien yang sudah kadung diopname, tidak akan disuruh pulang. Unit gawat darurat tetap buka. Kamar operasi darurat juga tetap buka. Beberapa dokter didistribusikan untuk tetap di dalam rumah sakit, meladeni pasien-pasien yang sudah kadung diopname sebelum terjadi demo. Saya sendiri termasuk yang sudah diplot untuk jaga di gawat darurat sejak sebelum demo sampek tiga minggu ke depan, jadi ada-nggak-ada demo pasti saya tetap masuk kerja. Dokter-dokter yang nggak ada di unit rawat inap dan unit gawat darurat ditugaskan di (parkiran) poliklinik, saya lebih suka menyebut tugas mereka itu sebagai "penghalau massa". Mereka melakukan screening singkat pada pengunjung poliklinik, yang nampak gawat darurat akan disuruh ke unit gawat darurat, sedangkan yang nggak nampak gawat dipersilakan datang besok harinya.
Di poliklinik, sudah jelas banyak orang kecewa karena sudah kadung datang ternyata dokternya nggak nulis resep, melainkan dokternya senyum-senyum di tempat parkir, membagi-bagikan kembang, dan berkata "Besok silakan kembali." Ada keluarga pasien yang geger, dan langsung dihalau polisi supaya tidak sampek timbul kerusuhan.
Kami terus-menerus memantau berita mencari-cari kerusuhan di Indonesia akibat ada Puskesmas/rumah sakit yang menutup pelayanan, tapi tidak ada yang sampek bakar-bakar ban segala cuman gara-gara dokternya nggak masuk kerja. Kolega saya di Pulau Seram malah ngomong di grup diskusi, "Di beberapa kecamatan sini sih, ada nggak ada dokter, nggak ngaruh. Ada dokter, alhamdulillah. Nggak ada dokter, ya udah nasib.."
Dokter mogok baru terjadi kali ini di Indonesia. Di Korea, pernah dokter mogok di seluruh negeri sampek empat bulan. Bandingkan dengan Indonesia yang baru "berani" mogok 24 jam. Itu pun dokternya masih bersedia buka unit gawat darurat. Masih bersedia ditelepon di rumah. Masih sudi jawab konsulan via Twitter..
"Kita dimusuhin, Bro," desah kolega saya waktu duduk-duduk di kantor. "Kita dimusuhin rakyat se-Indonesia."
Saya cuman nyengir. "Nggak pa-pa. Yang dimusuhin juga dokter se-Indonesia kok."
"Setelah kegilaan kasus ini, kira-kira orang masih mau berobat ke dokter nggak ya?" desah kolega saya.
Saya dan dos-q berpandang-pandangan, dan mendadak kami tertawa terbahak-bahak.
Biarin aja kami dihujat di seluruh Indonesia. Nggak urung negara kita sekarang diketawain di luar negeri, karena cuman Indonesia di dunia ini yang nekat memenjarakan dokter gara-gara salah tuduh dikira mbunuh orang. Tambah diketawain karena mereka-mereka yang pernah sekolah dokter dan sekarang jadi anggota DPR, jadi anggota YLKI, dengan sembrono mencemooh sejawat-sejawatnya yang mogok dan demo. Mungkin mereka lupa kalau dulu mereka pernah banting tulang jadi koass sampek punggung rasanya mau putus karena nungguin pasien ngantre ventilator. Atau jangan-jangan mereka mbolos pas stase itu.
Giliran kita ngadu ke pemerintah karena merasa pekerjaan kita dirongrong jaksa brengsek, dengan sembrono pejabat tinggi pemerintah bilang, "Saya tembak kalian pelan-pelan."
Najis. Kerahkan saja semua tentara, memangnya berapa peluru yang kalian punya buat nembak dokter se-Indonesia?
"Kita nggak bisa cengeng, Bro," kata saya kepada kolega saya. "Kita nggak punya waktu buat mengeluh. Kita menghabiskan waktu terlalu banyak buat pasien-pasien kita, sampek-sampek menangis pun tak sempat. Suamiku di rumah selalu ketiduran kalau nungguin aku pulang, saking malemnya."
Mereka yang bukan dokter tidak akan pernah mengerti kita, tidak akan. Karena mereka tidak pernah mengalami shitty days yang kita alami. Dan mereka tidak akan pernah mengerti kenapa kita masih tetap bertahan di profesi ini. Mereka cuman menyangka bahwa kita tetap jadi dokter karena dikiranya banyak duit.. Holifag. Bahkan saya pulang ke rumah pun masih naik bemo.
Pemberitaan di tivi berat sebelah. Dengan licik para anchor menampilkan kaum anti-demo-sok-jadi-korban lebih lama daripada dokternya sendiri. Saya iseng menghitung bahwa dalam wawancara yang menampilkan IDI versus keluarga Matakey, kelihatan bahwa keluarga Matakey dikasih waktu berbicara selama 10 menit, sedangkan dokternya cuman dikasih waktu selama 3 menit.
Orang-orang sok pinter berkomentar di Twitter "daripada demo, mending dokter bikin aksi simpatik dengan pengobatan gratis". Saya ketawa ngakak. Emoh. Ntar kalo obat gratis dari saya bikin syok anafilaktik dan situ mati, ntar saya dimasukin penjara pula..
Biarin aja rakyat ngambek. Nggak urung jumlah pasien yang hari ini dateng berobat ke sekolah saya juga sama aja jumlahnya tuh dengan yang kemaren-kemaren. Lagian saya masih percaya Tuhan Mahaadil. Orang akan lihat Ayu SpOG cuman jadi korban pemerasan, dan keluarga Matakey disetir diam-diam di belakang oleh makhluk-makhluk pemancing air keruh. Kami pasti akan tetap hidup. Dan orang akhirnya akan terpaksa percaya sama kami. Karena kami ngobatin orang pakai logika dan masih pakai rupiah. Sedangkan orang lain ngobatin cuman pakai taneman-taneman berkedok tahayul, atau lebih parah lagi ngobatin pake air ludahnya dukun.
Kapan ya dokter demo lagi? Yang lamaan dikit dong, biar timbul kepanikan skala nasional. Saya mau kok jaga UGD lagi pas demo itu.. Hahahahah.
Powered by Telkomsel BlackBerry®