Mahasiswa: "Nggak, Dok."
Pak Guru: "Anda kalau mau menggunting dinding vaginanya waktu mau mengeluarkan anaknya, Anda informed consent nggak?"
Mahasiswa (terhenyak): "Nggak, Dok."
Pak Guru: "Menurut Anda, bersalin normal bisa emboli air ketuban nggak?"
Mahasiswa (mengangguk kuat-kuat); "Bisa, Dok."
Pak Guru: "Anda bilang ke pasiennya kalau dengan bersalin normal maka dia bisa meninggal?"
Mahasiswa mengkeret.
Pak Guru: "Nah, mulai sekarang Anda harus bilang, kalau pasiennya mau melahirkan, bahwa dia bisa meninggal. Meskipun hanya dengan bersalin normal. Dan kalau dia mau dioperasi pun, Anda harus bilang ke pasiennya kalau setelah operasi itu pun dia bisa meninggal.."
Saya sikut-sikutan sama kolega di sebelah saya. Gimana ini?
Lalu setelahnya kita ngoceh ke perawat. Susternya mengerang keras. "Dok, kalo kayak gitu caranya pasiennya jadi galau sendiri. Lha mau ditolong pun bisa mati, nggak ditolong pun bisa mati. Lantas dia mau milih jalan penyelesaiannya gimana, kalau semua-semuanya bisa bikin mati?"
Saya cuman cetek-cetek HP, nyari berita tentang reaksi dunia mengenai ulah kami yang menutup poliklinik kemaren. "Ya biar pasiennya milih sendiri, Bu.." kata saya kalem.
"Tapi kan pasien harus dibimbing untuk jalan yang penyelesaian terbaik, Dok? Bukan ditakut-takuti bahwa dia bisa mati!" sergah perawatnya.
Mata saya scroll layar HP dari atas ke bawah. Semua media menghujat kami. Haha. Katanya acara "mogok" kami berakibat pasien terlantar. Haha. Dan itu terjadi di seluruh Indonesia. Haha!
Saya menoleh ke perawatnya. "Bu. Kawan saya itu bertindak Cesar coz dia mau selamatkan janinnya si pasien itu. Tapi dia dipenjara cuman gara-gara nggak bilang sama pasiennya kalau risiko dari Cesar itu pasiennya bisa meninggal."
Maka adegan pun berganti. Pak Guru saya bilang, "Ini namanya defensive medicine. Semua tindakan sekecil apapun harus diberitahukan risikonya kepada pasien. Supaya keluarga pasiennya nggak nuntut kalau terjadi komplikasi tindakan pada pasien itu."
Dalam perjalanan di selasar, saya ngobrol sama kolega saya, "Jadi, kalo ada pasien belum waktunya lahir, tapi pasiennya kesakitan karena kontraksi palsu, terus gw nggak nginfus dia karena ketubannya belum pecah, gw harus bilang gitu ya kalau setiap saat ketubannya pecah dan bila kebetulan Izrail lewat maka air ketubannya nyelonong ke pembuluh jantungnya dan dia bisa tewas?"
"Kalo kayak gitu caranya, nggak ada pasien mau diobatin," seloroh kolega saya. "Karena mereka jadi takut semua. Lahir normal aja bisa meninggal. Lahir operasi pun bisa meninggal. Maju kena mundur kena."
Saya angkat tangan. Suara Mahkamah Agung yang menghukum Ayu itu suara rakyat. Kalau memang tidak-bilang-bahwa-risiko-tindakan-itu-bisa-meninggal menurut hukum adalah salah, berarti ya rakyat memang kepingin dikasih tahu bahwa semua jalan keluar adalah risiko meninggal.
Tuntutan mereka kepada kami ialah jujur. Tapi selengkap apa kejujuran kami yang mereka harapkan itu?
Selamat datang, dunia paranoid. Penyakitmu tetap ada bersamamu, kamu bisa meninggal. Kami mencoba menolongmu pun, kamu akan tetap bisa meninggal. Kalian akan ketakutan karena risiko. Dan kalian akan menuntut kalau kalian tidak diberi tahu risiko. Jadi, menjadi ketakutan adalah pilihan.
Terima kasih, Mahkamah Agung. Mendadak, menolong orang menjadi terdengar seperti kegiatan yang menakutkan.
Powered by Telkomsel BlackBerry®