Tuesday, March 31, 2009

Kuburan Indah


Mari kita bicara tentang kematian.
*Hwarakadah..Vic, kenapa lu jadi ngomong yang enggak-enggak gini? Lu pasti udah empet kelamaan di Cali dan kepingin pulang ke Bandung..*

Suami Menteri Kesehatan meninggal kemaren. Gw ikut berduka cita. Kehilangan suami itu tidak gampang. Leukemia sendiri bukan penyakit yang gampang diobati.

Staf kantor gw terheran-heran dengar Pak Supari dimakamkan di Beverly Hills. Padahal gw baca koran, dimakaminnya di San Diego. Terserahlah, pokoknya di tempat itulah, yang pasti bukan di Cikadut, bukan di Tanah Kusir, apalagi di Kreyongan. Yang mengherankan staf kantor gw, "Dimakamkan kok jauh-jauh amat?"

Baru setelah dikasih tau bahwa pemakamannya Pak Supari itu di daerah dekat Jakarta sana, mereka manggut-manggut. "Ooo.." Tapi mereka tetap terheran-heran coz cuman kuburan aja dinamainnya mewah gitu lho.

Gw kasih tau staf gw bahwa pekuburan tempatnya Pak Supari itu bukan pekuburan biasa. Itu tanah milik pribadi seluas minimal sehektar yang dipake buat naruh makam, lalu di sekeliling makam itu dibikin taman yang hijau dan asri, ada pondok-pondokan atau saungnya, malah kalo perlu bisa Anda bikin mainan ayunan atau jungkat-jungkit buat anak. Soalnya kalo kita ziarah ke kuburan bawa anak-anak, kan anak suka cepet bosen soalnya nggak ada mainan di kuburan (ya iyalah..!). Dengan adanya pekuburan macem San Diego ini, keluarga jadi "betah" ziarah ke kuburannya, gitu lhoo..

Ini adalah pengetahuan baru buat staf-staf kantor gw yang asli Pulang Pisau. Soalnya mana ada pekuburan macam ginian di Pulang Pisau? Dari dulu yang namanya kuburan itu selalu terdengar angker dan banyak hantunya. Kok ya ada orang mau bikin kuburan pake mainan ayunan segala..?

Terus terang aja, dibesarin di antara bangsa yang secara tradisional percaya sama klenik, memang bikin kita tersugesti bahwa kuburan itu emang serem. Gw berhasil matahin sugesti ini sekitar 10 tahun lalu. Waktu itu keluarga gw diburu pesawat besok paginya. Satu-satunya kesempatan buat nyatronin makam Grandpa di Kreyongan hanya tinggal malam itu. Dan kita ke Kreyongan cuman 1-2 tahun sekali. Karena kita sudah buletin tekad buat berdoa di pinggir makam Grandpa, jadi malam itu juga, pas jam 6, kita ke kuburan itu. Kuburannya di daerah sepi dan gelap. Bolak-balik gw noleh ke mobil, takut ada maling. Saat itu yang kepikir di kepala gw, kenapa nggak ada orang pasang lampu di kuburan? Kan doa gw jadi nggak konsen gini?

Ini masih mending. Di kota besar, nyari kuburan susahnya amit-amit. Dinas Tata Kota sampai merasa perlu merayu warga supaya kuburannya ditumpangin aja buat hemat lahan. Giliran nemu tanah kosong buat nguburin jenazah, keluarganya yang mengeluh. Tanahnya terpencil di luar kota, gimana mau ziarah, jauhnya itu..rek!

Makanya gw punya usul, kalo kita punya duit lebih, belilah tanah. Bukan buat bangun rumah, tapi buat bikin kuburan. Jadi kalo kita tau-tau meninggal, keluarga nggak kalang-kabut nyari tempat buat nguburin. Lalu usahain posisi kuburan masih deket sama rumah keluarga. Jadi keluarga kalo mau ziarah nggak usah pusing mikirin bensin, taksi, apalagi macet.

Lalu, anak-anak harus diajarin supaya nggak takut sama kematian. Anak bagusnya sering diajak berdoa di kuburan. Soalnya anak yang saleh mendoakan orang tua yang sudah meninggal, doanya selalu didengerin Tuhan. Makanya gw pikir, supaya anak nggak bosen, sekalian aja di kuburan dikasih mainan ayunan gitu.

Tapi yang gw nggak suka adalah kuburan yang gelap. Tempat gelap adalah habitat yang bagus buat persembunyian maling. Gw saranin kalo Anda jadi maling dan bingung mau ngumpet di mana, ngumpet aja di kuburan. Dijamin nggak ketahuan!

Makanya mendingan kuburan dikasih lampu aja yang terang-benderang. Jadi maling bakalan segan ngumpet di kuburan. Yang mau ziarah malem-malem juga lebih nyaman coz situasinya terang. Orang-orang sibuk jaman sekarang, nggak sempet nengokin kuburan keluarganya siang-siang. Sempetnya malem!

Mati itu sebaiknya indah, sama indahnya seperti hidup di dunia. Jadikan tempat tidur abadi kita ini sama enaknya seperti kasur latex di kamar tidur kita..

Monday, March 30, 2009

Supermarket Bencana


Kalo Indonesia bisa dianalogikan sebagai supermarket, dan supermarket adalah toko di mana semua serba ada, maka Indonesia adalah supermarket bencana. Bayangin, segala bencana yang bisa terjadi di dunia, semua ada di Indonesia. Gempa bumi? Ada. Tsunami? Ada. Lumpur panas? Ada. Wabah penyakit? Ada. Malah longsor sampah dan tanggul jebol, itu cuma ada di Indonesia. Mana negeri lain punya kayak gini? Nggak ada! Barangkali kita mesti buru-buru bikin hak paten atas longsor sampah dan tanggul jebol sebagai karya cipta aseli Indonesia, sebelum keburu dijiplak sama bangsa lain.

Yang nyebelin, sudah banyak bencana beragam di Indonesia, tapi bangsa kita masih aja nggak mau belajar. Bukan belajar supaya bencananya tetap lestari (itu sih Indonesia udah jago!), tapi mbok ya belajar menanggulangi bencana supaya nggak tambah repot, gitu. Sekarang aja semenjak tanggul Situ Gintung jebol, penduduk udah kelimpungan lantaran kehilangan keluarga dan harta. Ini diperparah sama kehadiran orang-orang nggak penting di TKP yang berkedok "meninjau" penduduk, tapi sebenarnya cuma mau jadi "turis bencana".

Ribuan orang datang berduyun-duyun, dengan motivasi mau foto-foto di depan Situ Gintung yang udah berubah jadi kota tenggelam. Nggak mikir di situ ada penduduk yang bingung nanti malam mau makan apa, besok mau sekolah gimana, ini badan udah gatel-gatel tapi nggak tau mau mandi di mana. Yang nista caleg-caleg datang cari muka, bagi-bagi sembako sambil bikin posko-posko kesehatan, tapi ujung-ujungnya di tiap bantuan ada tulisan, "Pilihlah saya!"

Dan nampaknya orang-orang yang bagi-bagi sembako ini nggak punya alternatif ide lain selain bagi-bagi mie instan. Aduh, orang lagi susah kok dikasih mie instan? Masaknya gimana, kan kompornya udah kelelep? Mie instan itu nggak ada gizinya. Nanti setelah pembagian sembako selesai, penduduk ketiban penyakit baru: Sakit maag gara-gara cuma makan mie instan!

Mendingan penduduk dibagi-bagiin kupon makan. Kupon yang ada, bisa dituker sama nasi timbel lengkap sama lalapan dan lauk plus air mineral gratis di tenda dapur umum. Di sana ada air bersih yang dialirin pake mobil tangki, bisa dijatahin untuk penduduk buat mandi, wudu, dan buang hajat.

Dan banyak sumbangan yang donasi baju-baju bekas, tapi banyak yang lupa mikirin nyumbang mukena. Penduduk kan perlu sembahyang..? Penduduk kan perlu bungkus mayat pake kain kafan?

Ini masih diperparah orang-orang sok pahlawan yang berlomba-lomba bikin posko kesehatan. Bayangin, cuman modal tensimeter, stetoskop, dan mempekerjakan mahasiswa-mahasiswa kedokteran, plus nyediain oralit, obat penurun panas, obat antigatel, dan vitamin C, maka jadilah posko kesehatan! Nanti kalo korban nggak bisa diobati, korban disuruh pergi ke tenda SAR. Tenda SAR-nya yang mana, orang poskonya juga nggak tau, lha wong bikin posko bencananya dadakan tanpa kordinasi dulu sama Badan Penanggulangan Bencana. Nolong kok nggak dipikir matang-matang?

Dan menyikapi banyaknya turis bencana yang dateng ke situ cuman buat foto-foto di depan penduduk yang udah kehilangan harta dan pekerjaan, gw punya ide, gimana kalo caleg-caleg itu sekalian aja buka landmark di Situ Gintung? Buka tenda-tenda biru, supaya turis-turis bisa "nonton" tanggul jebol tanpa takut kepanasan. Sekalian bikin kafe-kafean tenda gaul supaya penduduk bisa jualan es campur dan soto kudus buat turis yang mampir, lumayan kan buat penghasilan warga yang ketimpa musibah? Sediain juga fotografer keliling dari penduduk buat motretin turis yang kepingin mejeng di lokasi bencana, kalo perlu sediain guide sekalian. Jika turis emang kepingin liat-liat lokasi, mbok sekalian aja disediain perahu karet yang dikayuh sendiri oleh korban bencana. Jadilah ini namanya, Tour de Situ Gintung!

*potret ironis dari kegiatan bersenang-senang di atas penderitaan orang lain*

Mudah-mudahan kita bisa belajar dari negeri supermarket bencana ini, bahwa kita perlu ngompakin penanggulangan bencana lebih baik. Maksud hati kita emang nolong, tapi ya jangan bikin korban makin susah dengan pertolongan kita. Kasihlah bantuan yang sifatnya jangka panjang, bukan yang cepet abis dalam sekejap. Duh, Situ Gintung, sampai kapan nasib mereka terkatung-katung..?

Sunday, March 29, 2009

Korban Menolak Ditolong


Sebenernya gw nabung tulisan ini buat tanggal 21 April atau 1 Mei, tapi setelah gw pikir-pikir, gw nggak mau nunggu-nunggu Hari Kartini atau Hari Buruh buat ngomongin perkara tenaga kerja wanita alias TKW. Itu terlalu lama, kepala gw nggak bisa nunggu selama itu buat diekspresikan.
*Alah..lebay lu, Vic. Heeh, kamu yang anti-feminis! Jangan kabur! Hey, tetap di blog ini, jangan kabur!*

Jadi ceritanya minggu lalu gw baca kolom konsultasi di sebuah koran. Ada seorang eksekutif nulis. Sebagai kepala HRD, dia sering menerima berbagai pengaduan dari para pegawainya. Oh ya, Anda tau kan apa itu HRD? HRD itu singkatan dari Human and Resources Department.
*Oh? Iya ya? Gw kirain HRD itu singkatan dari Hanya Robot Direksi..*

Nah, si eksekutif ini sering menerima pengaduan bahwa para pegawai cewek di perusahaan tempat dia kerja tuh, sering banget nerima pelecehan seksual. Sebagai orang HRD, dan juga coz dia sendiri juga perempuan, udah kewajiban dia dong beresin masalah ini. Masa' mau diem aja?

Ceritanya, sang eksekutif melakukan advokasi ini itu buat para korban pelecehan itu. Eeh..lalu apa yang terjadi? Para cewek korban itu malah musuhin dia. Kata mereka, gara-gara "pertolongan" sang orang HRD, mereka malah jadi terancam kehilangan kerjaan.

Ternyata, nggak selalu niat baik kita dianggap baik oleh orang lain.

Gw bukan pengacara, jadi gw nggak tau bagaimana sebuah pembelaan yang kita lakukan malah dianggap mencelakai hidup orang lain. Gw sendiri cuma mikir, bahwa di sini ada perempuan yang lagi susah, tapi ketika mau ditolong malah ngamuk.

Gimana caranya bisa terjadi pelecehan seksual? Mungkin pria-pria itu tadinya cuma becanda, tapi lama-lama becandanya nggak pantas. Korban nganggap dirinya dilecehkan. Mau ngomong "jangan lecehkan gw" tapi malu. Prianya nggak tau, jadi pelecehan jalan terus. Ya harus ada yang kasih tau si pelaku supaya berhenti. Karena ini masalah kerja, ya harus ditangani dengan profesional. Ini gunanya ada HRD.

Yang lebih menarik, kenapa korban ngeri kehilangan kerjaan gara-gara melapor pelecehan seksual yang menimpa dirinya? Memangnya kerjaan yang pantes buat dia cuman satu doang sampai dia takut kehilangan?

Gw nggak suka kalo pegawai nggak punya posisi tawar dalam kerjaan. Apa pegawai sedemikian rendahnya sampai-sampai mau aja diapa-apain, termasuk pelecehan seksual? Menurut gw pegawai harus bela diri kalo dinakalin. Dan kalo perusahaan nggak mampu bela pegawainya dari pelecehan, lebih baik pegawai itu keluar dari situ, coz perusahaan tersebut punya reputasi jelek.

Gimana caranya pegawai supaya punya posisi tawar yang bagus? Ya kualitasnya kudu oke dong, punya ilmu, keterampilan, dan loyal sama kerjaan. Menurut pelatih karir Rene Canoneo, loyal bukanlah diukur dari berapa lama pegawai bertahan di perusahaan itu. Tapi loyal diukur dari berapa banyak kontribusi yang udah dia kasih untuk perusahaan. Kalo Anda udah kerja 10-20 tahun untuk perusahaan tapi Anda nggak melakukan sesuatu buat perusahaan itu supaya berkembang lebih baik, itu namanya bukan loyal; itu namanya "cuman nungguin pensiun".

Balik ke urusan pelecehan. Masalah seksual masih dianggap tabu, susah kalo nggak diberesin dengan komunikasi baik-baik. Tapi nyembunyiin urusan pelecehan seksual di kantor sama aja kayak nimbun racun di badan. Perempuan mesti peka terhadap pelecehan seksual yang menimpa perempuan lain, coz cuma perempuan yang bisa ngerti sesama perempuan lagi. Mudah-mudahan sang Kepala HRD nggak kapok belain para pegawai cewek itu biarpun udah dimusuhin.

Perempuan harus bersatu. Kalo perempuan udah bersatu, nggak ada yang bisa merobohkan kita. Jika perempuan memang harus roboh karena laki-laki, biarlah roboh di tempat terhormat, dengan cara yang terhormat pula..

Saturday, March 28, 2009

Keringat Tak Berujung


Hai jemaah! Tau kan nanti malem ada Earth Hour?
Tau dong ya, kalo Anda nggak tau, berarti Anda nggak gaul! Earth Hour adalah kegiatan solidaritas sedunia untuk merenungi akibat pemborosan listrik. Caranya, di mana pun Anda berada, mau di Pasuruan, mau di Banjarbaru, mau di Sentani, bahkan kalo Anda di Barcelona sekalipun, antara jam 8.30-9.30 malem waktu tempat Anda, matikan listrik. Cukup satu jam aja, nggak usah lama-lama. Dan selama satu jam itu, kerasa kan, betapa susahnya kita kalo nggak ada listrik? Makanya, jangan buang-buang listrik kalo nggak perlu-perlu amat.

Sabda Little Laurent:
*Hm, Vic..kita nggak perlu ikut Earth Hour itu kan? Tanpa ada acara itu pun, kita udah dipaksa ikut Earth Hour tiap minggu. Seminggu bisa 3-4 kali! Malah, jamnya nggak cuma sejam, tapi lamaa..dari jam 7 pagi sampai jam 5 sore!*

(Itu bukan Earth Hour, Jeng. Itu namanya pemadaman lampu bergilir!)

Di sebuah kabupaten yang nggak usahlah gw sebutin namanya, ada sebuah kantor milik pemerintah yang sebut aja namanya Dinas X.

Kantor ini gedungnya masih baru. Catnya masih cemerlang. Atapnya belum ada yang bocor. Maklum, baru diresmiin beberapa bulan.

Tapi cobalah tengok ke dalam. Anda bakalan nemu pegawainya kipas-kipas coz nggak tahan panas. Mungkin Anda bakalan terheran-heran, kenapa mereka nggak pasang AC? Jangan ucapkan pertanyaan itu keras-keras, bisa-bisa Anda dilemparin kayu ulin. Di sini nggak ada listrik!

Jemaah, bisakah Anda percaya bahwa sebuah kantor Dinas X milik Pemerintah tidak dialirin listrik? Aneh, tapi ini nyata, Jemaah..

Padahal, di sebelah lingkungan kantor Dinas X itu, berdiri markas Polres kabupaten itu. Dan tentu saja kantor polisi itu dialiri listrik. Kalo kantor polisi ikut gelap gulita, bisa-bisa polisinya nggak ngeh kalo ada maling nyatronin kantor polisi.

Kenapa PLN mau menyapa kantor polisi tapi nggak menyapa kantor Dinas X? Begini lho..kabupaten ini kan baru berkembang. Listrik ditonggakin pertama-tama di pusat ibukota kabupaten dulu. Dengan adanya rencana pelebaran kota, maka perlahan-lahan dibangun tiang-tiang listrik ke pinggiran kota. Dulu, pinggiran kota cuman mencakup sampai kantor Polres, makanya listriknya juga cuma sampai ke situ. Tapi sekarang bupati mau kota dilebarin lebih jauh dari titiknya kantor polisi itu, dan di arena pelebaran itu dibangun kantor-kantor baru untuk dinas-dinasnya Pemerintah Daerah, salah satunya ya kantor Dinas X itu.

Ketika gedung kantornya udah jadi, para pegawai Dinas buru-buru disuruh pindah ke situ. Maksudnya supaya area itu mulai rame. Tapi sialnya, pembangunan gedung baru itu nggak dibarengi pembangunan tiang listrik!

Supaya kantor Dinas X itu ketiban listrik, solusinya panjaangg..banget. Dinas X mesti ngajuin anggaran listrik dulu ke instansi di atasnya. Nanti anggaran dipelajari di tingkat atas, lalu nunggu ACC. Kalo anggaran udah turun, baru Dinas X ngajuin permohonan ke PLN Ranting lokal supaya daerahnya dialirin listrik. Dan tunggu sampai PLN setuju buat bikin tiang listrik di situ. Padahal mana ada sih bikin tiang listrik cuman buat satu-dua gedung aja? Nggak efisien dong, PLN pasti maunya tunggu sampai daerah itu banyak gedung penghuni supaya penggunaan listriknya lebih efisien kan?

Ya lama dong nungguin sampai anggaran ACC kayak gitu. Akibatnya, untuk sementara ini, pegawai-pegawai terpaksa bawa genset sendiri buat nyalain kipas angin portabel di kantor itu. Solar buat nyalain gensetnya? Beli sendiri dong pake kocek pribadi. Demi kerjaan profesional. Orang kan mau ngantor, bukan mau kipas-kipas seharian? Kayak di kondangan aja deh kipas-kipas..

Dan nampaknya kalo pun PLN setuju buat ngalirin listrik ke sana, masih lama nampaknya rencana jadi kenyataan. Pasalnya, PLN kabupaten ini belum punya pengaturan beban sendiri. Beban untuk kabupaten ini masih dialirin dari PLN kabupaten tetangga, dan itu pun hanya dikasih beban sedikit. Coz kabupaten ini adalah pemekaran dari kabupaten tetangganya, dan sebenarnya kabupaten tetangga nggak setuju bahwa kabupaten ini memisahkan diri. Makanya mereka seolah-olah mengulur-ulur waktu buat kasih ijin untuk kabupaten baru demi mengelola cabang PLN mereka sendiri.

Itu sebabnya kabupaten kecil ini sering mati lampu. Mesin pembangkit yang udah layak masuk pensiun, dan jatah beban listrik yang terlalu sedikit buat penduduk yang mulai makin banyak. Penduduk dipaksa ketiban pemadaman bergilir. Mau bikin rumah di sini susah banget. Tanahnya yang nganggur sih banyak, tapi apa gunanya kalo nggak ada listriknya?

Apa yang salah di sini? Pemekaran kabupaten yang tidak terencana matang? Birokrasi yang bertele-tele? Sistem tata kota yang nggak karu-karuan? Pemaksaan menempati kantor yang nggak siap fasilitas? Kita nggak tau.

Jadi, beruntung banget kita bisa nge-blog tanpa harus kipas-kipas. Percaya deh, listrik adalah salah satu hal terbaik yang pernah terjadi pada manusia. Yuk, nanti malam kita matiin lampu buat ngerayain Earth Hour..! Jam 8.30, satu jam aja. Jangan lupa ya!

Friday, March 27, 2009

Cinta Kepala Sendiri


Kali ini, gw akan memulai prolog dengan ngomongin macem-macem gegar otak.
*Booo..Vickyy..kita kan udah tau macem-macem gegar otak. Ada yang karena ketiban kelapa, ada yang dijitak nyokapnya waktu masih kecil, ada yang abis panjat pinang, ada yang nabrak pemain lain waktu mau nyundul bola..*
Haah..salah! Salah tuh!

Gegar otak, atau menurut bahasa medisnya adalah trauma kepala, menurut ajaran kuliah gw, ada tiga macam. Gegar otak ringan, sedang, dan berat. Dibedainnya berdasarkan skala koma Glasglow yang perinciannya nggak usahlah gw jabarin di sini coz ngabis-ngabisin byte (dasar pelit!).

Tapi menurut pengalaman gw sebagai mantan mahasiswa magang rumah sakit profesional..
*Vic, magang itu masih kelas jongos! Apalagi masih mahasiswa berarti belum lulus, belum diakui di asosiasi profesi. Jadi nggak bisa disebut profesional..Lu nih bikin kalimat kok nggak efisien..Apa kata guru bahasa Indonesia lu nanti? Ngabis-ngabisin halaman aja..*
(Huuh..cerewet bener sih?!)

Jadi, menurut pengalaman gw sebagai mantan mahasiswa magang rumah sakit profesional, kalo mau dapet pasien gegar otak, mending gegar otak yang ringan aja atau gegar otak yang berat aja sekalian, asal jangan yang sedang.

Orang yang gegar otak ringan paling banter cuman memar, tapi masih bisa ditanyain rumahnya di mana, jadi kita bisa manggilin keluarganya buat nagih biaya..heheh.. Suruh tidur aja dulu di rumah sakit selama enam jam, kalo nggak ada keluhan boleh langsung pulang.

Tapi gegar otak sedang betul-betul nggak asik. Penderitanya nggak bisa ditanyain, tapi masih bisa ngigo bahkan goyang-goyang di tempat tidurnya, sampai-sampai butuh banyak orang buat megangin seluruh badannya supaya dia nggak jatuh dari kasur. Yang rese adalah igoannya yang betul-betul keluar dari lubuk hati yang paling dalam, tergantung tiap individu.
Gw pernah ketemu pasien ginian yang meneriakkan semua isi kebun binatang, mulai dari anjing sampai babi.
Ada juga yang manggil dokter yang ngedeketinnya dengan, "Hideung..! Hideung..!" lantaran kulit dokternya itu item bak sawo busuk.
Pasien gw yang lain bahkan ngigo dengan berteriak, "Pancasila!" Setelah gw investigasi bokapnya, baru ketauan kalo pasien ini baru gagal tes masuk kepolisian.
Tapi ciri khas dari gegar otak sedang ini: Mereka semua nggak sadarkan diri. Biasanya pasien ginian harus buru-buru dioperasi supaya gegar otaknya nggak jadi berat.

Malah mendingan pasien gegar otak berat. Pasien ginian biasanya udah masa depan suram: Kalo nggak meninggal dalam beberapa jam, bisa aja idup tapi cacat. Tapi setidaknya mereka nggak teriak-teriak ngigo atau disko ajeb-ajeb sambil merem di tempat tidur.

Nah, ilham tulisan gw ini muncul pas gw lagi naik motor. Kemaren, pas gw lagi nginep di rumah host gw di Palangka, gw kepingin ke warnet. Pergilah gw boncengan sama anak-anak host gw. Yoga, 24, yang nyetir motornya. Adeknya, Nindy, 12, di tengah. Gw duduk di belakang (ya iyalah, masa' di bawah? Emangnya gw roda?)

Gw make helm, lalu terheran-heran coz kedua bersodara itu nggak pake helm. Lalu jawabnya Nindy, "Kan warnetnya di belakang sini aja.."

Asal tau aja ya, warnetnya emang masih di bagian belakang kompleks itu, tapi jauh kalo jalan kaki, jadi mesti naik motor. Karena jalannya masih sepi inilah, mereka ogah pake helm. Nggak ada polisi yang mau nilang. Mana ada polisi di kompleks rumah? Polisi tidur kalii..

Ini beda banget sama di Pulang Pisau. Di Pulang Pisau, biarpun kota kecil, semua orang yang naik motor wajib pake helm. Kata staf kantor gw, biarpun sampeyan raja sekalipun, tetap aja ditangkep polisi kalo nggak pake helm. Dan berhubung angka kriminalitas di Pulang Pisau terbilang kecil, praktis polisinya rada nggak sibuk. Jadi mungkin kalo ada yang kedapetan nggak pake helm, kayaknya polisinya jadi seneng coz ada kerjaan, heheh..

Makanya di Palangka, ketertibannya jauh lebih jelek. Polisinya nggak patroli di jalan-jalan kompleks, jadi warga seenaknya aja naik motor tanpa helm.

Tapi gw pake helm bukan karena takut ditangkap polisi. Tapi karena gw nggak mau berakhir kayak pasien-pasien gegar otak gw yang teriak-teriak, "Pancasila!" Anda tau nggak, sebagian besar kasus gegar otak terjadi karena kecelakaan naik motor tanpa pake helm.

Maka kemaren tuh jadi lucu. Kita bertiga naik motor, tapi penumpang yang paling belakang aja yang pake helm.

Gw salut buat mal-mal yang motorbike-friendly, dengan cara nyediain tempat penitipan helm buat pengunjungnya yang make motor. Di Pulang Pisau, tukang ojek selalu bawa helm ekstra buat penumpang mereka. Ini beda banget sama tukang ojek di Bandung. Boro-boro mau repot-repot nyediain helm buat penumpang, tukang ojeknya sendiri aja suka nggak pake helm.

Kecelakaan bisa terjadi di mana aja, mau di tempat sepi atau rame. Sekalinya otak celaka dan cacat, susah buat jadi normal lagi. Kepala kita ini mahal lho, jadi harus disayang-sayang. Malah mestinya yang make helm tuh nggak cuma yang naik motor aja, tapi juga yang naik sepeda. Jadi, pake helm yuk..!

Thursday, March 26, 2009

Sayang Anak.. Sayang Anak..


Ada sebuah resto di Kuningan yang jualan utamanya adalah anggur. Oh ya, anggur itu nggak bikin mabuk lho kalo diminum pada jumlah yang wajar. Bahkan pada kadar tertentu minum anggur sangat sehat buat jantung. Berbeda dengan bar kacangan yang cuman bisa jual tontonan rok mini, resto yang punya reputasi bagus akan ngawasin setiap pengunjungnya supaya jangan sampai mabuk cuma gara-gara minum anggur. Kan tiap pengusaha kuliner itu pengennya orang keluar dari rumah makannya sambil senyum-senyum kekenyangan, bukannya sempoyongan lalu muntah di pinggir jalan.

Resto anggur yang gw ceritain ini punya no-child policy yang ketat. Jadi, anak-anak nggak boleh masuk. Waktu gw baca ini, yang kepikiran oleh gw adalah, pengusaha resto ini baru saja mengurangi calon pengunjungnya sampai minimal setengah.

Kalo di negeri kita tuh, restoran masih bersifat sebagai tempat rekreasi. Semua rumah makan boleh disatronin anak-anak. Mungkin jenis resto yang terancam digerebek kalo sampai dikunjungi anak-anak adalah bar dan diskotik. Dari namanya aja kadang-kadang udah bikin curiga bahwa di situ tempat terjadinya hal-hal yang "diinginkan".

Maka untuk resto anggur yang gw ceritain ini, meskipun ini sama sekali bukan bar atau diskotek, tetap aja pelayannya melarang anak-anak masuk. Mungkin mereka takut anak-anak bakalan kejar-kejaran di situ sampai numpahin anggur. Mungkin mereka takut anak-anak ikutan pesan anggur tapi nggak diabisin. Yah, mereka mau jaga supaya para pengunjung di situ tetap tau tata krama makan, nggak norak kayak orang nggak terpelajar.

*Duh, Vicky! Mereka bikin aturan gitu supaya anak-anak nggak sampai mabuk gara-gara minum anggur!*

Sebenarnya mereka bisa aja nggak mencekal anak-anak, toh nggak ada peraturannya dari Dinas Kesehatan untuk resto jenis ini. Tapi gw salut, mereka nggak takut omzet turun karena melarang masuk pengunjung yang bawa anak-anak. Buat mereka, mendingan rugi omzet ketimbang mencederai mental anak-anak. Padahal menu mereka enak-enak lho, ada daging kambing, ada bayam mayonaise, wah..nyam, nyam..

Jadi inget nih, tahun lalu gw pernah menghadiri simposium tentang bedah vagina. (Eh..sebenarnya gw pernah ceritain ini di blog gw di Friendster, tapi biarin deh gw siaran ulang.) Jadi gini ya, kadang-kadang ibu melahirkan, bikin vaginanya robek. Jadi harus dijait, supaya bagus kembali seperti sedia kala.
*Vagina yang bagus itu kayak apa, Vic?*
(Yang pasti nggak dower karena kebanyakan brojol!)
Di simposium itu, diputerin video demonstrasi penjahitan vagina. Untung peserta seminarnya dokter semua. Kalo yang bukan dokter ikutan nonton, pasti muntah-muntah coz prosedurnya mengerikan. Saking ngerinya, mungkin nggak akan mau liat vagina lagi seumur hidup.

Nah, di tengahnya semua dokter lagi konsen nonton video itu, tiba-tiba ada suara anak kecil teriak, "Ayah! Ayoo..katanya hari ini kita mau berenang?!"

Semuanya kaget. Celingukan cari sumber suara. Lalu dari barisan penonton, tiba-tiba muncul seorang laki-laki berumur kira-kira 40-an, dengan muka merah padam, menggandeng anak laki-laki berumur kira-kira 5 tahun, ke pintu keluar.

Tolong jangan tanya gw kenapa ada dokter mau bawa anak balitanya ke seminar yang muterin video cara menjahit vagina.

Tempat macam gini nih yang nggak baik buat anak-anak. Mestinya panitia simposium melarang peserta bawa anak-anak. Mereka nggak kayak rumah anggur yang gw ceritain, berani mencekal pengunjung yang bawa anak masuk. Apa karena dokternya udah bayar buat ikut simposium, jadi panitia takut duitnya diminta balik?

Membiarkan anak masuk ke tempat-tempat yang belum cukup buat umurnya, sebenarnya termasuk kekerasan psikis buat anak. Ini yang nggak pernah disorot oleh Komnas Anak.

Memang jadi orang tua sekarang itu susah. Mesti kerja. Mesti hang-out di kedai anggur. Mesti seminar. Kapan dong ada waktu buat anak? Jadilah anaknya ikutan dibawa-bawa ke mana-mana.

Kita bisa bantu lho supaya anak-anak kita nggak rusak mentalnya oleh aktivitas kita yang segunung. Mulai dari yang kecil-kecil. Anak jangan dibawa ke kantor. Kantor penuh kesibukan, kalo anak main di situ, nanti dia bosan sendiri. Titipin dia di taman bermain, atau di rumah neneknya, sampai Anda pulang dari aktivitas. Kalo perlu Anda yang harus berhenti kerja, supaya anak Anda ada temennya, dan ini nggak gampang kan? Tante gw malah ngikutin anaknya di les ini-itu sepulang TK-nya. Tujuannya bukan supaya anaknya tambah pinter, tapi supaya anaknya ada kesibukan ketimbang ngerecokin orang-orang di kantor maminya.

Dan memang perlu ada aturan tegas buat melindungi anak-anak. Makanya gw respek sama pemilik kantor yang berani menegur pegawainya yang bawa anak-anak ke kantor. Restoran anggur yang gw ceritain di atas juga contoh yang bagus buat menjaga anak-anak. Panitia sebuah simposium di Surabaya bahkan berani pasang tulisan gede-gede di pintu masuknya, "Dilarang masuk untuk anak-anak!" Padahal peserta simposiumnya sendiri adalah dokter anak.

Yok..kita sayang sama anak-anak!

Wednesday, March 25, 2009

Nyusu Nyok!


Anda suka minum susu?
"Suka dong. Saya minum dua!"
Lho, itu susu apa yogurt?
"Eh..serius. Tiap hari saya minum dua kali. Kalo malam minggu malah bisa sampai berkali-kali.."
Wah, anggaran rumah tangga Anda pasti besar sampai minum susu harus berkali-kali.
"Ah..susunya nggak bayar kok. Di mana-mana ASI kan gratis.."
*timpuk!*

Gw pernah cerita ke perawat gw bahwa gw bingung cari susu, lantaran di tiap toko yang gw datengin, stok susunya lagi abis. Dasar, perawatnya malah ngetawain, "Ih..sudah gede kok masih minum susu?"

Gw langsung menatapnya dengan penuh rasa kasihan. Ini dulu sekolah keperawatannya di mana sih kok nggak pernah diajarin nutrisi susu?

Tuesday, March 24, 2009

Bayi Cengeng


Entah kenapa minggu lalu inbox gw penuh dengan pesan dari orang-orang susah. Padahal sudah berkali-kali gw bilang, gw kan bukan caleg. Kalo orang susah mau ngadu, ya ngadu aja ke caleg, jangan ke gw. Sesama orang susah jangan saling mengadu dong, gimana sih?

*Masalahnya Vic, senyum lu hampir semanis senyum caleg yang banner-banner-nya bertebaran ngotorin jalan itu. Wajar kan lu suka dikira caleg?*

Oke, masih inget nggak postingan gw beberapa minggu lalu, Posisi Wuenaak? Tulisan itu diilhami konsul dari kolega gw, Erman, 25, yang mau ngelamar tugas PTT. Dia tuh bingung daerah penempatan mana yang gajinya gede. Dan masih inget kan, gw nyela, diterima kerja aja belum, kok udah ngekhayal minta gaji gede?

Nah, empat hari lalu Erman kirim pesan ke gw. Dia sedih coz ngga diterima jadi dokter PTT. Gw rasa dia milih minta ditempatin di daerah yang basah, yang pasti banyak banget peminat PTT-nya.

Berikutnya, dua hari lalu kolega gw lainnya, Jimmy, 27, nowel gw di Facebook. Lama ngga ketemu, kita saling nanyain kabar. Jimmy masih kerja serabutan di klinik-klinik tanpa surat ijin praktek. Gw jawab aja kalo gw lagi tugas PTT.

Jimmy terheran-heran gw masih nongkrong di daerah terpencil. Kan mendingan jadi PNS? Kita semua tau, sekarang dokter ngga lagi diwajibkan PTT dulu. Jimmy udah daftar CPNS kemaren, tapi ngga diterima. Katanya, mungkin coz dia bukan anak pejabat, jadi "peluru"-nya ngga tembus buat jadi PNS.

Anda nemu kesamaan dari kedua kolega gw ini? Yap, dua-duanya sama-sama pengangguran yang ngga diterima kerja. Dan mengeluh.

Kalo dipikir-pikir, gw nih jahat banget coz make temen-temen gw yang lagi susah buat bahan ngeramein blog gw. Tapi gw mau jadiin mereka hikmah buat jemaah blog gw supaya Anda ngga kayak mereka. Ngejiplak istilahnya Aditya Mulya, gw sebut mereka "cry baby" alias bayi cengeng. Masih bayi, coz baru lulus kemaren sore. Cengeng, coz belum bisa apa-apa udah ngeluh ini-itu lantaran ngga diterima kerja.

Anda percaya, kalo nyari kerja itu susah? Gw ngga percaya. Nyari kerja itu gampang!
*Betul Vic. Tinggal ambil sapu, kain pel, lalu bersih-bersih, jadilah pekerjaan!*
Maafkan Little Laurent yang demen interupsi itu. Dia emang suka ngaco, tapi sekali ini dia bener. Di Indonesia ini gampang banget nyari kerjaan. Yang susah itu, nyari kerjaan yang enak!

Itu sebabnya Erman dan Jimmy nggak dapet kerjaan, coz mereka pilih-pilih. Jimmy ngga mau jadi Pegawai Tidak Tetap alias PTT, dia maunya langsung jadi pegawai tetap alias PNS. Lha memangnya orang bisa langsung diangkat jadi PNS? Dayana Mendoza aja harus diseleksi di antara 100 cewek buat diangkat jadi Miss Universe, apalagi Jimmy yang mesti ngalahin ribuan dokter buat diangkat jadi PNS. Dan apakah dinas negara mau ngangkat seseorang buat jadi pegawainya kalo orang itu ngga pernah punya pengalaman kerja apapun yang cukup bermakna? Wah kalo kaderisasi pegawai Pemerintah kayak gitu, pelayanan masyarakat bisa kacau-beliau.

Orang mau kerja di lapangan apapun, apakah itu dokter, insinyur, pengacara, wartawan, harus mulai dari nol. Kakak gw yang insinyur mulai karier sebagai juru ukur tanah bergaji harian, sebelum dia dapet kerjaan di perusahaan minyak yang mampu bayarin dia apartemen di Kuningan. Teman gw pernah jadi tukang cuci piring, lalu naik pangkat jadi waiter, kemudian jadi bartender, dan sekarang dia manajer restoran Cina di Virginia. Kakak gw yang satunya sekarang ongkang-ongkang kaki jadi arsitek dan ngerancang kantor untuk perusahaan-perusahaan punya bule. Padahal dulu dia cuman juru gambar!

Artinya, semua harus mulai dari nol. Sarjana ngga bisa baru lulus langsung punya gaji seabrek. Mulai dulu dari kerjaan ecek-ecek di tempat kerja yang ecek-ecek, ngelayanin konsumen yang ecek-ecek. Di situlah kita belajar ngembangin kualitas kerja kita yang tadinya kelas ecek-ecek jadi kelas yahud. Nepotisme mungkin terjadi, tapi anak pejabat pasti akhirnya dihina-dina juga kalo kemampuannya masih nol. Memang, mulai dari nol itu ngga enak. Tapi pengalaman kerja keras itu investasi jangka panjang, yang nggak bisa ditandingin dengan IPK 4,00 sekalipun.

Wajar kalo Anda kepingin punya gaji tinggi. Kita kan udah sekolah capek-capek. Ngejar duit itu ngga dosa, tapi cuman ngeharepin duit itu yang jelek. Tuhan ngga pernah suka sama orang serakah. Kalo kita cuman nempatin urusan duit sebagai motivasi kerja utamanya dan bukannya untuk alasan ibadah, tuh kerjaan nggak bakalan berkah buat kita.

Jadi PNS itu bukan cita-cita. Tapi menjadi PNS ialah salah satu alat buat mencapai cita-cita. Kalo ada salah satu alat, berarti ada alat yang lain lagi dong?

Dan kenapa bercita-cita ngejar duit? Bukan kita yang mestinya ngejar penghasilan tinggi, tapi penghasilan tinggilah yang mestinya ngejar kita.

Anda pasti bukan bayi cengeng. Kalo ya, udah dari tadi tulisan gw nohok-nohok Anda.
Susah punya mental kerja keras? Siap-siap aja ke laut. Entah kapan, lusa, esok, nanti. Ih, tadi kan gw niru Aditya Mulya, kok sekarang gw jadi niru Iwan Fals ya?

Monday, March 23, 2009

Bencong Thai


Buat gw, masalah kelamin adalah urusan sensitif. Tau sensitif?
*Tau dong. Itu kan Vic, alat yang buat periksa kita subur apa nggak? Eh, atau alat tes kehamilan ya? Aih, nggak tau ah, gw belum pernah harus make itu!*
Buat gw, masalah kelamin lebih sensitif ketimbang masalah seks.
*Lho, emang beda ya?*

Catet ya, jangan pernah salah nyebut jenis kelamin orang. Apalagi dokter kayak gw, dosa tuh kalo salah nyebut jenis kelamin. Kalo orang dewasa sih gampang bedain mana laki mana perempuan, lha kalo bayi? Jangan coba-coba deh Anda nowel bayi orang truz bilang, "Ih..anak perempuannya lucu Pak.." padahal sebenarnya bayinya cowok. Orang tua mana yang nggak tersinggung anak laki-lakinya dikira cewek?

Gw paling pusing kalo gw mesti bedain jenis kelamin bayi yang baru lahir. Tampang mereka semua sama aja!

Saking pusingnya, gw pernah takut salah nyebut pas gw masih mahasiswa magang dulu. Waktu itu gw mesti nolongin persalinan. Bayinya lahir dan gw tarik. Lalu bidannya bilang ke ibu yang ngelahirinnya, "Anaknya laki-laki, Bu!"
"Oh ya?" sahut gw dan si Ibu barengan.
Si Ibu nampak berseri-seri, sementara gw malah kebingungan. Kok bidannya tau sih anaknya laki-laki?

Gw terlalu sibuk ngurusin ari-ari yang mau keluar, jadi gw nggak banyak nanya. Baru setelah si bayi dibawa buat dimandiin bidan, gw nyusul ke kamar bayi. Lalu gw tanya, "Mana sih tandanya dia cowok?"
Eeh..bidannya nyerocos, "Mbak Koass ini gimana, masa' nggak liat? Itu burungnya dadah-dadah!"
Gw melihat yang ditunjukin sang bidan sebagai alat luar biasa itu yang nongol di sela-sela paha si bayi.
Gw ngernyit. Itu? Torpedonya? Ih..kecil amat..!

Lain lagi waktu gw magang di unit gawat darurat. Jam tugas gw baru mulai, gw baru masuk, dan disambut seorang pasien yang mengaduh-aduh nyeri di atas tempat tidur dorong. Kulitnya sawo matang, rambutnya sebahu, dan raut mukanya mulus, suaranya halus.
Pada pasien itu, gw berusaha menenangkan, "Sabar ya Bu. Sebentar lagi kita suntikin obatnya."
Si pasien malah naik pitam. "Bu?! Saya ini laki-laki!"

Gw syok banget dan serta-merta minta maaf berulang-ulang. Orang secantik ini laki-laki?!

Gw kabur saking malunya dan minta ngurusin pasien lain aja. Mana koass yang ngurusin dia sebelum gw?! Kenapa ngga ditulis identitas pasiennya di ujung tempat tidurnya?

Jadi kemaren tuh, gw kan nge-posting Menerawang Blog Selebriti. Nah, ada yang komentar tuh, manggil gw "Bro".

Gw terperanjat. Hah? Kok dia nyebut gw laki-laki?

Gw buru-buru ngeraba-raba bodi gw. Tidak, gw perempuan. Iya kan?

Coba liat baik-baik foto gw di atas. Gw cewek kan? Gw cantik kan? Hahah.. Kenapa cewek secantik gw masih dipanggil Bro?! Bro itu brother, buat cowok. Nggak ada cowok yang secantik gw. Kecuali kalo cowok itu..bencong asal Thailand.

Gw tau persis bencong-bencong Thai itu cantik-cantik. Liat aja model iklan sampo Clear itu. Gw aja sampai minder dibuatnya.

Satu-satunya alasan yang mungkin kenapa sang jemaah itu ngira gw cowok adalah, dia nggak liat foto gw. Dia baca blog gw pake HP, truz biar hemat bandwidth, browsernya disetel supaya gambarnya nggak ikut loading. Dia bacanya cepet-cepet, jadi nggak liat nama belakang gw yang feminin. Bagaimana pun, banyak laki-laki yang bernama Vicky.

Huhu..mudah-mudahan nggak ada lagi yang salah ngira gw sebagai cowok. Memang kebanyakan blogger tuh jarang diliat dari nama atau fotonya, tapi lebih sering diliat dari gaya nulisnya. Gaya nulis dipengaruhi cara mikirnya. Apakah cara mikir gw seolah-olah mengisyaratkan seperti laki-laki?

Mungkin gw harus ke psikolog. Gw mau tanya kenapa gw mikir seperti laki-laki, tapi gw dapet mens, dan gw seneng sama Brad Pitt. Jangan-jangan..gw ini hombreng bertubuh wanita?

Hahah..!

Sunday, March 22, 2009

Menerawang Blog Socialite


Biarpun bonyok gw udah setengah mati ngegedein gw supaya jadi orang intelek lengkap dengan doktrin-doktrin inteleknya, waktu kecil gw tetap punya hobi yang nggak bisa dibilang bonafid apalagi intelek: koleksi gambar seleb.

Gambarnya biasa gw jarah dari majalah. Semua seleb gw punya gambarnya, baik itu seleb beken maupun yang masih skuter (alias Seleb KUrang TERkenal). Biasanya gw nggak ambil gambar yang bagus; gw sengaja cari gambar seleb pas lagi nggak jaim, misalnya pas orangnya difoto paparazzi lagi gendong bayi, atau orangnya lagi melet, atau pas lagi mabok sambil megang kopi. Pokoknya pose-pose yang nggak banget deh. Tujuan gw satu, ngebuktiin bahwa seleb juga manusia, yang kadang-kadang bisa nampak nggak ada apa-apanya.

Kayak contohnya gambar seleb yang gw comot dari Cosmo di atas. Gw seneng gambar ini coz gambarnya alamiah, catchy, tapi nggak pantes masuk portofolio manapun. Kalo Anda mau di-casting, apa Anda mau mamerin foto di mana Anda habis dicium perempuan di mana-mana?

Sekarang gw ngga koleksi gambar seleb lagi. Hobi gw pun berkembang: koleksi link blog seleb.

Biarpun blog pribadi milik seleb terbilang banyak, tapi jumlahnya masih dikit. (Lho, gimana sih Vic, kok paradoks?) Ya coba dipikir, dengan jadwal seharian yang penuh pemotretan, interview, show sampai syuting kejar tayang, berapa sih yang sanggup nulis blognya? Malah gw kadang-kadang curiga seleb-seleb ini bloon, nggak tau caranya nge-blog. Lha logika gw, kalo orang punya mental lebih baik nulis di internet ketimbang curhat sama reporter infotainment, dia bakalan cari sekolah buat ngembangin otaknya daripada kerja jadi artis yang cuman jual tampang doang. Gw ngga bilang artis-artis itu bego ya, tapi gw harus bilang artis yang pinter di negeri kita cuman dikit. Makanya susah nemuin blognya seleb. Akhirnya demi kelangsungan hobi gw, gw terpaksa melebarkan lingkup definisi seleb gw. Nggak cuma artis yang gw buru blognya, tapi juga pengusaha, novelis, dan bahkan politikus. Pendek kata, socialite deh. Ah, istilah gw ketinggian. Apa ya bahasa awamnya? Oh ya: tokoh masyarakat.

Jadi gw mulai nemu beberapa blognya seleb, dan gw buntutin feed-nya di daftar following gw. Dasar namanya juga seleb, postingannya males-males. Blog jarang di-update, kayaknya masih lebih sering gw ng-update blog gw deh. Tapi baca blognya seleb kayak liat sisi lain yang nggak pernah kita tau dari mereka. Mereka nggak selalu glamour. Ada yang ndhesit coz nggak tau caranya make Blackberry. Ada yang norak coz baru nemuin temen SD-nya di Facebook. Ada yang risau lantaran mau disidang. Gw kalo baca tulisan mereka, suka lupa kalo mereka itu seleb. Abis baca tulisannya, kok kayak baca tulisan orang biasa ya?

Yang menarik, kemaren gw nemu blog milik seorang model. Namanya..sebut aja Lestar. Terus terang aja, gw pernah nyepelein seleb yang satu ini, coz dia pernah pose bugil buat Playboy keluaran Eropa. Waktu itu gw mikir, cuman perek nggak punya otak yang sudi mamerin toketnya untuk konsumsi publik. Tapi baca tulisan blognya tentang pengalamannya di-Cesar, gw seolah nemu image-nya sebagai ibu yang cerdas. Tulisannya terlalu jujur dan nggak dibikin-bikin. Kita para blogger kan udah fasih bedain mana tulisan yang nampak apa adanya dan mana yang cuman jaim palsu doang. Perek bloon nggak mungkin bisa bikin tulisan kayak gitu! Tapi blognya Lestar terpaksa gw acungin jempol. Sayang nih blog si Lestar udah 1,5 tahun nggak update lagi. Mungkin dia kewalahan ngurusin bayinya.

Anyway, gw yakin masih banyak seleb yang punya blog dan belum terjaring di daftar koleksi gw. Gw masih berburu lagi. Gw nulis ini bukan mau bilang bahwa seleb yang nge-blog itu otomatis pinter. Tapi gw mau berbagi perasaan gw, betapa senangnya gw bisa tau sisi lain dari orang lain yang cuman kita pahamin sekilas aja. Karena itu menolong kita mengenal orang itu lebih baik. Dan pada akhirnya, mengilhami diri kita sendiri untuk jadi orang yang lebih baik lagi. Melalui blog, seleb yang selalu nampak keren, bisa juga keliatan dungunya. Tapi itu bukan masalah, coz manusia memang gitu, nggak ada yang jelek melulu, tapi nggak ada juga yang ciamik terus-menerus. Kitalah yang mestinya belajar membedakan seseorang, baik itu saat dia jadi selebriti (baca: pekerja profesional) maupun saat dia jadi dirinya sendiri. Seperti minjam istilahnya Candil.. seleb juga manusia.

Saturday, March 21, 2009

Kesasar di Rumah Sakit


Anda pernah diopname? Gimana rasanya? Pasti rasanya nggak asik. Padahal diopnamenya udah di rumah sakit beken yang mahal, yang namanya udah ada embel-embel "internasional", minta kamar kelas VIP pula, tapi tetap aja rasanya sama: Nggak enak!

Kalo nggak terpaksa banget, gw nggak suka nyuruh opname. Prinsip gw, kalo bisa sembuh di rumah sendiri kenapa harus diopname? Makanya gw pernah bingung lantaran seorang pasien unit gawat darurat gw yang mengeluh sakit maag, udah gw suruh pulang tapi keluarganya malah minta opname. Setelah gw investigasi, ternyata keluarganya capek lantaran si pasien ngamuk melulu di rumah. Ternyata pasien sakit jiwa, hahah!

Nah, rumah sakit itu nggak kayak hotel. Kalo nginep di hotel rasanya dimanja ini-itu dan jadinya suka lupa pulang kalo nggak inget tagihan yang bengkak. Tapi kalo nginep di rumah sakit, nggak usahlah disodorin tagihan, baru lima menit pun pasti udah minta pulang, ya kan? Suka be-te sama pelayanan rumah sakit? Kali ini gw akan jawab keluhan para jemaah yang curhat sama gw tentang susahnya kesasar di rumah sakit.

KENAPA HARUS DIINFUS?
Pasien mesti diinfus kalo:
- perlu cairan dan nggak cukup kalo cuman minum doang
- perlu disuntik berkali-kali. Daripada ditusuk jarum berulang-ulang kan mendingan ditusuk infus sekali kan?
- memang dasar pasiennya aja yang kepingin diinfus. Biar heboh kalo difoto. Kesannya sakit parah banget, gitu. Padahal cuman sakit gatel di bokong.

KOK DOKTERNYA NGGAK KELIATAN?
Yang ada cuman susternya melulu. Alasannya, dokternya pemalu, hehehe. Bukaan!
Cara kerja dokter: Dokter cuman periksa pasien sekali waktu masuk, lalu menentukan diagnosa dan mutusin pasiennya mau ditolong kayak apa. Lalu dokter tulis instruksi ini-itu ke perawat, tinggal perawatnya aja yang sibuk ngerjain. Nanti hasilnya akan ditindaklanjuti oleh dokter besoknya. Itulah sebabnya pasien cuman diliat dokter sekali doang seharinya. Dalam keadaan gawat, misalnya pasien terancam meninggal, dokter bisa ngeliatin pasien berkali-kali dalam sehari.

GIMANA SAYA MAU NANYA SAMA DOKTER KALO DOKTERNYA CUMA DATANG SEKALI?
Pada dasarnya, selalu ada dokter di rumah sakit setiap saat. Anda bisa nanyain dokternya kapan aja, asal jangan pas dokternya lagi ngurusin pasien lain, jangan pas dokternya lagi konferensi pers, atau lebih parah lagi pas dokternya lagi buang hajat. Makanya lebih baik janjian dulu sama dokternya kalo mau anjangsana. Dokter itu seperti Anda, kan Anda juga banyak kerjaan kan?

KOK DOKTERNYA GANTI-GANTI?
Ada dokter yang penanggung jawab, ada dokter jaga. Dokter penanggung jawab Anda ada selama jam kantor. Di luar jam kantor, tugasnya digantikan oleh dokter jaga. Namanya juga jaga kan begadang, kalo bertugas malam ini ya nggak mungkin besoknya bertugas lagi.

KOK SAYA DISURUH MINUMIN OBAT SENDIRI KE ANAK SAYA YANG SAKIT? KAN SUSTER YANG NYUAPIN OBATNYA BIAR DOSISNYA BENER?
Betul, perawat yang mastiin dosis obatnya. Tapi pasien anak nggak kayak orang dewasa. Mereka cuman mau disuapin sama bonyoknya, lantaran takut liat suster yang pake baju putih-putih kayak pocong. Anda boleh tanya ke perawat tentang tata cara pemberian obat. Kalo nggak nanya, ya kesasar.

KENAPA INFUS YANG DICOPOT NGGAK LANGSUNG DIPASANG LAGI?
Jangan masang-masang infus sendiri yang udah copot! Infus bocor ditandai perban yang basah, berarti cairan infus udah kontak dengan udara luar dan nggak steril lagi. Infus harus diganti lagi dengan yang baru.
Tapi tangan yang udah telanjur diinfus kan udah biru bekas infus lama. Maka infus yang baru dipasang di tangan yang lain. Bisa juga di tangan yang sama, tapi beda posisi.
Ada pasien yang butuh diinfus setiap saat, ada juga yang infusnya boleh "istirahat" dulu selama beberapa jam. Ada yang tetesan infusnya kenceng, ada juga yang tetesannya lelet, ada yang nggak netes sama sekali. Anda boleh tanya sama perawat soal perinfusan itu.

KENAPA KALO SAYA NGGAK MAU DIAPA-APAIN SAYA HARUS TANDA TANGAN INI-ITU?
Kan harus ada surat pernyataan bahwa pasien nolak pertolongan medis. Supaya kalo Anda sudah nulis nggak mau disuntik tapi perawat/dokternya masih nyuntik Anda juga, Anda bisa menuntut secara hukum. Tapi kalo Anda udah nulis nggak mau diopname dan rumah sakit udah melepasin Anda, selanjutnya Anda malah nuntut lantaran merasa nggak ditolong dengan benar, bisa dipastikan Anda kalah di pengadilan.

KOK NGGAK DIKASIH TAU SIH DARI AWAL KALO TAGIHANNYA MAHAL BANGET?
Merasa beli kucing dalam karung?
Rumah sakit udah antisipasi ini dari awal dengan minta uang muka di hari pertama opname. Tapi kalo pasiennya lagi sakit gawat dan terancam meninggal, rumah sakit nggak akan minta uang muka. Prinsipnya, pasiennya harus selamat dari maut dulu (bukan sembuh), urusan bayar boleh belakangan. Nggak sopan dong kalo pasiennya meregang nyawa dan rumah sakitnya malah nagih duit?

Intinya, nggak kesasar kalo mau tanya. Anda masih bingung sama rumah sakit? Coba kasih tau, siapa tau kita bisa bantu..

Friday, March 20, 2009

Ukuran Jadi Masalah


Tahu nggak, pejabat-pejabat yang diadili di pengadilan korupsi itu seringkali nampak bego. Kalo ditanya, apakah mereka nandatanganin surat sesuatu tentang penerimaan duit sesuatu yang merupakan tindakan korup, pasti jawaban favorit mereka adalah "Saya tidak menandatanganinya" atau "Saya tidak tahu apa-apa tentang itu". Bikin kita gemas, ya? Jangan keburu sewot. Bisa jadi mereka memang nggak melakukannya. Yah, beberapa kasus memang mereka yang melakukan sendiri, tapi lain-lainnya mungkin tidak. Soalnya yang nandatanganin surat terima duit itu mungkin bukan pejabat yang bersangkutan, tapi orang yang "pura-pura jadi pejabat".

Kemaren tuh, gw nulis selembar surat buat pejabat kementerian. Surat itu resmi, dibikin dengan kop kantor gw, lalu ditandatangani oleh gw. Nah, pas gw mau teken tuh, bolpen gw lagi ada di tas. Gw pinjem bolpen seorang staf, lalu gw oret-oret dulu di kertas buram, maksudnya biar gw ngga kagok gitu tanda tangan surat resmi pake bolpen orang. Ternyata bener aja, tuh bolpen macet di tangan gw, hehehe. Emang kayaknya lebih enak nulis pake bolpen sendiri, coz tuh bolpen udah dijampi-jampi pake tangan gw gitu lho (emangnya lu dukun ya, Vic?). Maka gw cabut dulu, buat ambil bolpen gw di tas.

Pas gw balik lagi ke meja tanda tangan, ternyata sang staf tadi lagi berusaha niruin tanda tangan gw di kertas buram. Gw ngakak ngeliatnya. Beuh, gagal total. Nggak mirip sama sekali!

Lalu gw teken di atas surat resmi tadi. Sebagai informasi ya, tanda tangan gw cukup panjang dan sangat rumit, persis pemiliknya. Hahah!

Lalu sang staf bilang, "Dok, ini saran aja ya. Kalo mau jadi pejabat, tanda tangan sebaiknya yang mudah ditiru. Supaya kalo lagi libur (tugasnya) bisa digantikan oleh orang lain.."

Gw menyeringai. "Berarti saya memang ndak cocok jadi pejabat," kata gw kalem.

Mungkin itu sebabnya duit rakyat gampang menguap di negeri kita. Anggaran terbuang sia-sia oleh surat-surat resmi yang ditandatangani sistematis atas nama pejabat. Pejabatnya nggak pernah baca isi surat itu coz dia memang nggak pernah liat suratnya. Dia nggak liat suratnya karena mungkin dia lagi liburan, cuti, yang intinya nggak ada di tempat kerja. Yang menggantikan tugasnya baca surat adalah anak buahnya, maka anak buahnya yang meniru tanda tangan sang pejabat. Dan duit pun mengalir, tanpa pernah diketahui pejabatnya apa hakekat persisnya tujuan duit itu. Begitulah korupsi berjalan.

Semua itu nggak perlu terjadi kalo nggak ada kasus pemalsuan tanda tangan. Pemalsuan itu udah akrab sama kita semenjak kita masih di bangku kuliah. Ada yang suka titip absen? Hayoo..ngaku!

Memang tanda tangan panjang itu ada manfaatnya. Susah dipalsukan, maksa semua orang buat jujur.

Tapi kalo tanda tangannya pendek, tugas kita lebih ringan coz ada orang yang bisa gantiin tanda tangan kita kalo kita lagi berhalangan.

Urusan tanda tangan asli bisa ruwet. Seorang pegawai pernah batal dapet gaji gara-gara petugas Badan Pemeriksa Keuangan mendapati tanda tangannya di suatu surat kurang satu garis.

Ada lagi seorang perempuan cerita ke gw. Dia mau ambil duit di bank, tapi ditolak gara-gara tellernya curiga, "Ibu kok tandatangannya beda?"
Sang perempuan menyahut ketus, "Sini saya minta kertas kosong. Saya mau tanda tangan sepuluh kali."

Kalo lagi stres, tanda tangan bisa miring ke kanan. Kalo lagi hepi, tanda tangan miring ke kiri. Makanya tanda tangan bisa beda-beda biarpun orangnya sama aja. Itu sebabnya ada orang nggak mau punya tanda tangan yang panjang. Biar nggak dipersulit oleh verifikator tanda tangan.

Apa kamu setuju kalo tanda tangan kamu gampang ditiru? Bisa jadi pejabat lho..

Tapi gw sih ogah. Tanda tangan adalah representasi gw. Kalo gw memang harus jadi pejabat, gw mau tanda tangan surat-surat pake tangan gw sendiri. Biarin gw nggak bisa liburan gara-gara harus tanda tangan. Makanya jadi pejabat tuh jangan lama-lama. Cukup lima tahun aja..!

Thursday, March 19, 2009

Kondangan a la Dayak


Telerr..!

Minggu lalu gw diundang ke pesta pernikahannya orang Dayak. Gw excited banget, bukan lantaran gw bakalan diundang makan-makan gratis, tapi kan ini pesta budayanya orang Dayak, bukan pestanya orang Jawa yang demen saling melempari pisang atau pestanya orang Sunda yang senang menyuapin pasangannya satu sama lain dari belakang leher; dua-duanya adalah event aneh yang takkan terjadi di dunia nyata, selain hanya untuk menyenangkan hati wedding organizer. Gw selalu sebut itu omong kosong, sebab: Gw ngga akan mau melempari dan dilempari pisang oleh suami gw. Gw bukan monyet, dan gw maunya dilemparin surat deposito! Dan kenapa harus suap-suapan dari belakang leher? Memangnya tangannya nggak tau di mana letak mulut?

OK, cukup kisah panjang lebar ngga penting itu. Kali ini gw akan menyoroti pernikahan Dayak Ngaju ini yang jatuh pada hari Kamis. Aneh deh. Kenapa ada orang mau kawin hari Kamis? Malam pertama kok malam Jumat? Nyentrik bener.. Gw sudah dua kali diundang kondangan di Palangka, dan dua-duanya kawin hari Kamis. Malah pernah ada orang kawin hari Rebo dan Selasa. Mungkin kalo diadain resepsinya hari Sabtu atau Minggu, takut pejabat yang diundangnya nggak dateng. Maklumlah, banyak pejabat di Cali yang weekendnya malah liburan ke Jawa.

Dan secara teknis, gw nggak kenal sama pengantennya. Yang punya hajat nih, kakak perempuan dari bapak kost gw. Tapi yang ngundang gw bukan si perempuan itu, melainkan kakak laki-laki dari bapak kost gw, yang tidak lain dan tidak bukan adalah pakde tertua dari sang mempelai perempuan. Bingung? Sama!

Mungkin abangnya bapak kost gw pengen kenalan ama gw, jadi dia kirim undangan ke gw via bapak kost gw. Biarpun bukan dia yang ngunduh mantu, secara teknis dia tetap diitung sebagai yang punya hajat juga, coz dia ada di barisan "Turut mengundang" di undangannya. Tahukah kamu bahwa pada hajatan pernikahan orang sini, yang jadi "Turut mengundang" bisa sampai delapan orang. Kalo diliat dari gelar-gelar para "Turut mengundang" itu, ada haji, ada pendeta, ada S.Sos, ada ST, maka gw tebak, mereka dicantumin sebagai "Turut mengundang" coz ikutan urunan bikin hajatan.

Kawinan mereka untungnya nggak seribet orang Jawa yang upacaranya bisa sampai dua hari dua malam. Acaranya cukup sehari aja, tapi padat. Pagi-pagi mereka kawin secara adat. Lalu ada pemberkatan pernikahan di gereja. Nanti siangnya menikah di catatan sipil. Baru setelah itu resepsi. Gw kasihan sama pengantennya. Malam pertama pasti mereka sakit punggung.

Inti acara kawin adat adalah perjanjian harta gono-gini. Untuk ngedapetin istri, mempelai pria kudu kasih macam-macam sesajen (kayak mau minta proyek sama pejabat aja deh!). Sialnya acara persembahan sesajen itu diadakan dalam bahasa Dayak, jadinya gw ngga ngerti. Pokoknya yang gw tangkep, si cowok kudu ngasih sertifikat properti entah berupa tanah atau rumah, beberapa lembar kain lokal (salah satunya bahalai, biasa dipake perempuan Dayak buat bungkus bodinya kalo abis mandi di sungai), dan tentu saja, duit. Oh ya, kalo nanti sampai terjadi perceraian, menurut mereka, "Pihak yang bersalah harus membayar kepada pihak yang tidak bersalah, ganti rugi sebesar 50 juta rupiah."

Dan jangan dikira kostum kawin mereka cuman pake rompi kayak orang Dayak pemburu jaman dulu. Ternyata mereka pake semacam baju kurung gitu, dan warnanya merah terang, seperti yang gw potret ini, yang malah ngingetin gw sama kostum kawinan Melayu. Waduh, ini sih kurang eksotis menurut gw. Secara umum, pesta mereka terlalu beradab; nggak ada acara nyanyi-nyanyi diiringi gendang, babi guling, atau tuker-tukeran arak seperti yang gw baca di buku-buku Dayak jaman sekolah dulu.
*Vic, lu lagi nyari pesta brutal ya? Vandalism is dead, girl!*

Dan seperti biasa, tapung tawar pun dilakukan pada penganten. Ritualnya kayak posting "Mendadak Dukun" gw minggu lalu, pengantennya dicipratin air beras di jidat dan bahunya sambil didoain. Gw cuman mencemaskan make-up penganten ceweknya. Itu foundation dan bedaknya nggak luntur ya dicipratin air?

Dan kostum adat itu cuman dipake pas acara adat doang. Pas resepsinya mereka pake jas dan gaun putih a la Barat. Hey, kostum adat Dayak nggak laku lho buat resepsi kondangan di sini. Semangat westernisasi mode menggeneralisata bukan semata-mata karena mayoritas orang Dayak pemeluk Kristen. Tapi penganten muslim pun juga pake gaun Barat, bahkan yang berjilbab sekalipun. Entah apa alasannya.

Sayang kesenengan gw jalan-jalan ke kondangannya orang Dayak terganggu oleh tamu-tamu pesta yang nggak diundang. Mungkin lantaran ada beberapa tamu yang rada norak dan ngga terpelajar, jadi mereka ngebul suka-suka di dalam aula resepsi. Tapi yang mencengangkan, sepasukan anak dari sekolah di gedung sebelah masuk dan nyerobot hidangan prasmanan tanpa malu-malu, masih pake seragam lengkap dan tas ransel. Malah ada yang naik ke podium dan salaman segala sama pengantennya. Haiah..kelakuan skanky Indonesia di mana-mana ternyata sama aja..!

Wednesday, March 18, 2009

Tumbangnya Personal Assistant


Gimana reaksi kamu kalo Personal Digital Assistant (PDA) kamu ngadat?
*Nggak masalah, kan ada Blackberry, hehehe..*
Lha jaman dulu belum ada Blackberry, yang ada PDA. Om gw kelimpungan waktu PDA-nya rusak gara-gara keujanan (lha kenapa nggak pake payung sih, Om?). Seolah-olah hidupnya semua tergantung sama PDA itu.

Kita semua mungkin juga punya personal assistant, tapi bukan dalam bentuk digital, melainkan dalam bentuk hidup. Yap, kalian sebut itu namanya pembantu. Istilah personal assistant gw jiplak dari Raditya Dika, yang nyebut pembokat rumah tangga keluarganya sebagai "asisten pribadi ibuku". Itu bener sih. Kita butuh asisten pribadi, buat jaga rumah, buat ngepel, buat cuci baju. Memang sekarang buat cuci baju ada mesin cuci, tapi buat masukin baju kotor aja kita masih nyuruh pembokat. Apanya yang nggak asisten tuh?

Nah, kalo PDA ngadat aja bikin kelimpungan, gimana kalo yang ngadat tuh asisten pribadi yang hidup? Pernah nggak pembokat kamu tumbang karena sakit? Ini sepele, tapi ternyata akibatnya serius. Rumah jadi kapal pecah, nggak ada yang ngasuh anak-anak, halaman pun jadi hutan lantaran rumputnya gondrong. Kalo udah gini baru kerasa, uh, nggak enak ya kalo pembokat sakit?

Karena itu hari ini gw mau flashback ke kisah gw tahun lalu. Waktu itu gw lagi jaga sebuah unit gawat darurat di rumah sakit di Cimahi. Seorang perempuan berumur 36 tahun, sebut aja namanya Lastri, terbaring dengan keluhan demam dua hari. Badannya pendek, tambun, pipinya tembem. Gw periksa dia dan meskipun dia nggak nampak sehat-sehat aja, provokasi gw terhadap lengannya nunjukin kalo dia ngidap demam berdarah.

Buat konfirmasi, gw cek darahnya. 15 menit kemudian, mantri gw memberondong gw dengan hasil lab yang bikin gw nyaris terjengkang dari kursi.

Trombosit 98 ribu. Oke, dia demam berdarah. Tapi Hb-nya 3. Hah?!

Jangan main-main sama anemia. Kurang zat besi bisa bikin penderitanya gagal jantung. Gw pelongin si pasien. Tidak, dia cengar-cengir cengengesan. Masa' sih pasien seger gini kurang darah? Apa petugas labnya lagi ngantuk gara-gara shift 24 jam?

Gw deketin si pasien. "Bu Lastri, Ibu suka pusing-pusing?"
Si pasien muter bola matanya. "Yah, kadang-kadang."
Aha, sahut gw dalam hati. "Sudah berapa lama sering pusingnya, Bu Lastri?"
Pasien itu diam sejenak. Lalu dia jawab, "Bu, saya hamil lima bulan."

Hah?! Gw kaget. Hamil?! Kok nggak ada laporan pasiennya lagi hamil? Olala, gw nggak ngeh. Gw kirain pasiennya cuman gendut doang?

Gw minta ketemu keluarganya.
Mantri kembali beberapa saat kemudian dengan seorang wanita paruh baya.
Gw ajak omong wanita itu dengan tenang, sembari nunjukin hasil labnya yang jelek itu. Lalu gw akhiri penjelasan gw dengan kesimpulan, "Kami harus rawat Bu Lastri di sini. Kami tidak bisa melepaskan pasien demam berdarah yang punya anemia berat dan sedang hamil lima bulan."
Tapi kemudian, wanita itu terperanjat, "Lastri hamil?!"
Gw terhenyak. Lalu dengan begonya gw ngomong, "Ibu tidak tahu keluarga Ibu hamil?"
Wanita itu kaget setengah mati. Lalu katanya pelan, "Lastri pembantu anak perempuan saya. Dia baru ikut anak saya 10 hari. Kami tidak tahu Lastri hamil."
Kok bisa? "Putra Ibu ada? Saya perlu bicara dengan putra Ibu."
Wanita itu menatap gw. "Anak saya ada di Majalaya. Dia nelfon saya begitu pembantunya sakit. Makanya saya bawa ke sini."
Gw baca alamat Lastri di rekam medis itu. Alamatnya di real estate di Cimahi. "Rumah Ibu di mana?"
"Rumah saya deket sini, Dok."

Gw menghela napas panjang di kursi gw. Masalah medis pasien sekaligus masalah rumah tangga sebuah keluarga terhampar tepat di depan gw.

Sebuah pasangan muda yang tinggal di Majalaya baru saja mempekerjakan seorang pembokat. Pada hari ke-10 bekerja, sang pembokat sakit, dan si majikan wanita malah menelepon nyokapnya buat ngurusin sang pembokat. Padahal ibunya itu tinggal jauh banget dari Majalaya. Si majikan tidak memeriksa latar sang pembokat betul-betul sebelum mempekerjakannya, pantesan mereka nggak ngeh bahwa pembokat mereka lagi hamil.

Di mana tanggung jawab para majikan ini terhadap buruh mereka?

Pembokat sakit mbok ya dirawat sendiri tho. Dianterin ke dokter sendiri. Jangan minta mamanya yang nganterin. Ini kan pembokat kamu, bukan pembokat nyokapmu? Memangnya di Majalaya nggak ada rumah sakit ya?!

Hari itu gw dapet pelajaran. Pembokat juga manusia. Mereka layak dapet tunjangan kesehatan seperti majikan mereka.

Bokap gw kirim pesan kemaren. Mbok Yam, asisten pribadi tetangga depan rumah gw di Bandung, meninggal dunia. Mbok Yam nggak punya keluarga. Dia mengabdi seumur hidup untuk tetangga gw dan berlebaran bersama mereka. Keluarga tetangga gw membawanya ke sebuah rumah sakit bereputasi bagus di Dago setelah dia terserang asma dan sakit maag. Begitulah seharusnya majikan merawat kesehatan asisten pribadi yang telah mengabdi untuk keluarga mereka selama bertahun-tahun.

Jangan biarkan pembokatmu sakit. Tanpa mereka, kamu nggak ada apa-apanya. Jasa mereka tiada tara.

Tuesday, March 17, 2009

Ketika Presiden Sakit Maag


Jadi, ternyata Presiden bisa sakit maag.
Tentu saja, kan presiden juga manusia biasa yang bisa sakit maag. Lha kamu sekalian para jemaah apa nggak pernah sakit maag? Gw bisa dengar kalian nge-buzz bahwa sakit maag bisa jadi langganannya para blogger, lebih-lebih mereka yang asyik ngeblog sampai lupa makan. Memang bahaya betul baca blog itu, apa-apa jadi serba nanti. Mau mandi? "Nanti!" Mau tidur? "Nanti!" Mau makan? "Nanti!"

*Jadi gimana, Vic, apa sebaiknya kita berhenti baca blogmu ini supaya para jemaah nggak sakit maag?:-o*

Gw barusan jalan ke http://sigitsusinggih.net. Blog ini mereview ulang siaran konferensi pers presiden negeri kita di tivi, yang menjelaskan apa yang terjadi pada Pak Presiden minggu lalu waktu sakit maag di Makassar. Ini untuk mereduksi gosip-gosip politik yang nggak bener seputar sakit maagnya Presiden waktu itu. Jadi Presiden bilang bahwa Presiden sakit maag, lalu oleh dokter kepresidenan dikasih obat "M". Ternyata maagnya nggak mau ilang. Jadi Presiden bilang ke dokter, kalo selama ini Presiden sakit maag, biasanya sembuhnya pake obat "P". Dan begitulah akhirnya Presiden dikasih obat "P", dan Presiden pun pulih dari sakit maagnya.

Gw nggak mau sebutin merk obatnya, coz gw dokter yang nggak boleh promosi merk. Presiden sudah melakukan itu pada konferensi di atas, secara tidak langsung tentu saja.

Ada yang sangat menarik di sini. Obat "M" yang pertama kali dikasih dokter kepresidenan itu, sebenarnya adalah antasid. Dan itu mengejutkan gw.

Hari gene sakit maag masih minum antasid?!

Lalu gw ingat sebuah simposium yang gw hadiri di Bandung tahun lalu. Enaknya gw kasih tau dulu ya, hari gini jadi dokter tuh banyak banget tuntutannya. Ringkasnya, kami mesti kasih obat yang terbaik buat pasien (bukan yang termahal!). Untuk tahu obat yang terbaik, kami mesti tau perkembangan ilmu kedokteran yang paling baru, terus-menerus. Jadi dokter harus banyak baca, gaul, dan belajar terus. Maka banyak banget dokter yang ngebet ikutan seminar ini itu supaya nggak ketinggalan perkembangan ilmu, termasuk gw yang rajin berburu undangan seminar. Soalnya asosiasi profesi kami sudah memperingatkan, kalo kami nggak mau up-to-date, kami nggak boleh praktek!

Lalu salah satu simposium yang gw hadiri itu, berkicau tentang pengobatan sakit maag yang terbaru. Dokter jaman dulu biasa ngobatin sakit maag pake antasid. Saking banyaknya pasien yang butuh antasid, ujung-ujungnya antasid dijual bebas tanpa resep, dengan berbagai merk, antara lain seperti merk "M" dan merk "P" yang dipake Presiden dan pasti oleh kalian semua.

Penelitian membuktikan bahwa antasid ternyata nggak tokcer banget ngobatin maag. Memang maagnya reda, tapi lambungnya tidak diperbaiki dengan memadai, jadi besok-besok maagnya kumat lagi, apalagi kalo pasiennya nggak disiplin makan teratur. Maka sembuhnya maag jadi kayak bola pingpong, kumat-reda-kumat-reda. Nggak heran antasid jadi tidak efektif.

Karena itu diciptakan obat-obatan maag yang lebih gres, yang bisa memperbaiki maag lebih bagus. Pengobatan maag terbaru saat ini berupa obat-obatan inhibitor pompa proton dan alga yang fungsinya melabrak asam lambung dan melapisi otot lambung supaya nggak gampang perang sama asam lambung. Kombinasi obat ini ternyata lebih ampuh ketimbang minum antasid, dan sembuhnya pun lebih lama. Pendek kata, antasid minggir aja ke laut.

Tapi, kenapa waktu Presiden sakit maag, pertolongan pertama masih berupa antasid? Masih mending dikasih famotidin lho, kerjanya lebih cepat. Apakah stok obat lain yang lebih canggih buat Presiden lagi kosong?

Padahal gw sendiri bercita-cita jadi dokter kepresidenan. (Bukan, bukan supaya bisa diangkat jadi mantu presiden!) Alasannya gampang aja. Presiden kan sering jalan-jalan. Lha kalo gw jadi dokternya kan, gw bisa ikut jalan-jalan gratis..hehehe.
*Dasar lu, Vic! Ada motivasi udang di balik batu!*

Ya itu alasan dungunya. Tapi alasan sebenarnya, gw pengen praktekin ilmu gw dengan kualitas yang terbaik. Gw sering ngobatin rakyat melarat dengan obat yang cuman tersedia kualitas seadanya aja di apotek dusun. Kalo gw ngobatin RI-1, gw bisa bertindak lebih kreatif dan ngusulin obat-obatan yang jauh lebih baik. Kesehatan presiden akan terkelola dengan lebih bagus dan pada akhirnya presiden bisa ngurusin negara lebih baik lagi.
Dan gw, bisa jalan-jalan gratis.. (teteupp..)

Yang lucunya, antasid yang dikasih ke Pak Presiden minggu lalu adalah antasid merk paten yang biasa dipake rakyat. Jadi bingung, kok presiden nggak pake merk generik sih? Kan lebih menghemat anggaran, gitu lho.. Memang, urusan konsumsi merk obat itu masalah cocok-cocokannya konsumen. Tapi kalo presiden bisa ngalamin rasanya minum obat generik, kan presiden bisa tau kualitas kayak apa obat yang selama ini dipake rakyat kita.

Gw nggak nyalahin tim dokter kepresidenan. Mereka kolega senior gw dan gw yakin mereka berusaha bertindak terbaik. Mudah-mudahan Pak Presiden nggak sakit maag lagi. Kayak blogger aja deh..

Sunday, March 15, 2009

Garuk-garuk Tanah


Bokap nyokap gw sebaiknya nggak baca blog gw kali ini, coz mereka bisa manyun kalo bukan mesem-mesem asem alias tersenyum kecut. Bayangin mereka udah sekolahin gw tinggi-tinggi, tapi ujung-ujungnya gw malah kepingin jadi tukang gali.

Gw merancang posting ini di sebuah Innova milik travel yang melaju susah-payah di jalan negara Trans Kalimantan yang melintasi desa Tumbangnusa, Pulang Pisau. Namanya sih keren, jalan negara. Tapi tampangnya gombal kayak yang lagi gw potret ini, penuh lumpur karena aspalnya amblas untuk kesekian kalinya. Tukang gali-galian cuman melapisi jalan dengan tanah dan pasir seadanya, sekedar nolongin beban jalan yang nggak kuat dilindas ribuan kendaraan yang kelebihan beban, setiap harinya. Dinas Pekerjaan Umum cuman dikasih anggaran seadanya buat merawat jalan. Dan buat gw, para tukang gali-gali ini nggak melakukan apapun selain sekedar garuk-garuk tanah.

Ingatan gw melayang kepada mantan gw yang baru terbang dari Jawa dan sekarang lagi kerja di Kotawaringin. Semula gw melonjak senang karena akhirnya dia bersama gw lagi. Well, setidaknya dia ada di Kalimantan Tengah. Paling-paling gw ada di sebelah timur propinsi, dan dia ada di sebelah baratnya. Kita bisa ketemu sewaktu-waktu di Palangka, di tengah-tengah propinsi. Ada jalan negara, kan?

Romantisme itu buyar ketika travel kasih tau gw pagi ini. Posisi mantan gw di Kotawaringin itu bisa dicapai dengan travel dari Pulang Pisau, tapi dalam sebelas jam, tidak termasuk berhenti buat makan. Lalu jalur sebelum Sampit selalu banjir di musim hujan. Akan jauh lebih baik kalo pergi ke sana pake Ranger, bukan Innova. Tak ada jalur lain. Itu jalan negara.

Padahal yang butuh jalan nggak cuman gw yang kebelet kepingin ketemu mantan gw. Yang butuh juga rakyat Kalimantan Tengah. Boro-boro jalan negara bisa dipake buat nyebrang ke Kalimantan Barat. Mau dipake buat jalan dari satu kabupaten ke kabupaten lain aja susahnya amit-amit.

Jalan negara itu dibangun dengan membabat hutan kayu rakyat dan menyulapnya jadi perkebunan kelapa sawit. Jalan itu semula ditujukan supaya perusahaan gampang ngangkut hasil bumi pake truk ke pelabuhan. Yang terjadi malah truk ngangkut kayu-kayu dan kelapa itu dengan beban berlebih. Gubernur udah ngatur supaya truk cuman ngangkut 8 ton supaya jalan negaranya nggak stres. Tapi truk-truk yang bandel malah nyogok aparat dinas supaya mereka boleh lewat dengan beban 15 ton.

Selain ulah truk yang nakal, jalan juga gampang rusak coz anggaran yang disediain buat merawat jalan juga cuman seiprit. Pejabat berwenang cuman mau akhir tahun '09 ini seluruh ruas jalan negara selesai dibikin dan menghubungkan semua ibukota kabupaten. Tapi mereka nggak mau tau bahwa anggaran yang dikit cuman bisa dipake buat bikin jalan kualitas rendah. Akibatnya tiap lima tahun, jalan mesti direparasi ulang coz aspalnya gampang jebol. Nyatanya nggak saban lima tahun, sekarang saban musim hujan aja lumpur naik dan nyampur ke jalan, bikin jalan negara jadi mirip bubur.

Rakyat ngomel, tapi nggak ada gunanya. Mobil-mobil di jalan negara kucel semua coz harus bergulat dengan kubangan di tiap kilometer jalan. Lebih kasian lagi para pengendara motor antar kota. Tampang mereka penuh lumpur, ya badan motornya, ya badan pengendaranya.

Bumi Cali memang kaya, tapi rakyatnya melarat. Hasil bumi yang diangkut pake jalan negara yang udah membabat hutan itu, nggak pernah dinikmati rakyatnya. Pariwisata di Kalimantan Tengah susah berkembang, coz belum apa-apa turis udah eneg sama jalan negara yang lebih mirip kubangan lumpur. Sampit (ibukota Kabupaten Kotawaringin Timur) dan Palangka (ibukota Kalimantan Tengah) sama-sama kota utama, tapi keduanya nyaris nggak bersodara, coz terpisah jalan negara yang banjir saban tahun. Nggak heran, Kotawaringin ngebet pengen bikin provinsi sendiri supaya nggak usah tergantung birokrasi Palangka untuk ngembangin daerahnya.

Menyedihkan, kuli-kuli galian asal Dayak menggaruk-garuk tanah hanya untuk proyek perbaikan jalan yang tanpa ujung, tapi jalan ini nggak cukup memadai buat ngontakin sodara-sodara mereka dari Kotawaringin ke Kapuas, atau dari Sebangau ke Murungraya. Dan menyedihkan, gw ada di tanah yang sama dengan mantan kekasih gw, tapi gw nggak bisa nemuin dia karena kondisi jalan yang penuh lumpur. Padahal gw nggak merindukan apa-apa dari dia selain garuk-garuk punggung dia. Tapi dengan kondisi medan kayak gini, gw terpaksa menekan kangen dan cuman bisa garuk-garuk tanah..:(

Friday, March 13, 2009

Seleb Matre


Akhirnya, gw masuk koran (lagi)!

*Ada apa, Vic, lu sakit maag sampai batal kunjungan kerja di Makassar?*
(Bukan!)
*Apa kampanye caleg lu gagal gara-gara pembagian sembako lu dituduh sebagai politik duit?*
(Bukaan!)
*Jadi kenapa dong? Hah, pasti lu baru konferensi pers ya, bilang bahwa lu nggak sengaja meremas bokong si tante itu di film Pijit Atas Tekan Bawah?*
(Little Laurent, lu pernah ditabok pake gagang sapu, nggak?)
*Jadi kenapa lu masuk koran?!*
(Tulisan gw tentang pencegahan HIV dimuat di situ.)
*Ya elah, gw kirain kenapa gitu. Gitu aja bangga!*
(Gw langsung ngejar-ngejar Little Laurent sambil bawa sapu)

Gw terperanjat waktu gw baca e-mail di ruang tivi hostess gw. Redaksi sebuah koran bertiras paling besar di Kalimantan Tengah, ngabarin bahwa tulisan gw dimuat di edisi hari ini. Bingung, apa yang harus gw lakukan? Mau sorak-sorai, tapi takut hostess gw kaget dan kena serangan jantung. Gw mau lompat tinggi, tapi gw takut langit-langit rumah hostess gw jebol. *Jangan berlebihan dong, Vic. Lu kan kate!* Hwaa..serba salah!

Halaman koran itu mencetak mana nama gw dan nama instansi tempat kerja gw. Bahkan di antara huruf-huruf kecil itu, gw bisa liat wajah orang-orang yang sumringah menatap gw. Bonyok gw, yang nggak pernah ngedukung karier menulis gw. Grandpa, yang sampai meninggalnya masih ngomporin gw buat jadi penulis. Grandpa gw yang satu lagi, yang selalu mengkliping nama cucu-cucunya yang masuk koran gara-gara menang undian. Mantan pacar gw, yang mungkin bakalan berkata dengan ketus, "Tumben kamu nggak nulis tentang putusnya kita buat dimasukin koran?"

Hati gw yang kege-eran, segera ingat siapa aja yang telah bikin gw sirik karena tulisannya di koran. Gw seperti kolega gw Andri Harmaya, yang tulisannya dimuat di Banjarmasin Post. Gw seperti kolega gw Genis Wahyu, yang (katanya) bolak-balik "menulis artikel kesehatan populer di berbagai media cetak". Oh tidak, gw seperti idola gw Carrie Bradshaw, yang nulis kolom Sex and the City di New York Star tiap minggu. Sekarang, gw telah jadi seleb!

Lebih tepatnya, gw adalah selebriti Kalimantan Tengah.

Beuh! Pikiran narsis itu gw tunda dulu. Tidak, gw belum jadi seleb kalo gw belum..

Gw nelfon redaksinya. Lalu gw tanyain apa gw dapet honorarium atas tulisan gw.

Jawab perempuan itu, "Oh, tidak ada, Bu. Itu cuma-cuma. Kami belum menyediakan anggaran untuk itu."

Gw nutup telepon dan ketawa ngakak. Huahauhaha! Gw nggak dibayar!

Lima tahun lalu, gw nulis dan ngabisin 15% dari sebuah halaman di Pikiran Rakyat dan gw dibayar. Nggak banyak, tapi cukup buat beli parfum. Hari ini, tulisan gw ngabisin 30% dari sebuah halaman koran terbesar di Kalimantan Tengah dan gw nggak dibayar. Padahal 25-30% koran itu isinya iklan melulu. Kalo kata orang Jawa, ediann tenaan..!

*Vic, jangan matre,* kata Little Laurent sok bijak. *Lu kan nulis itu buat cari nilai kredit untuk akreditasi dokter. Dan mana idealisme lu bahwa seharusnya tiap profesi nulis di koran untuk membantu mencerdaskan wawasan masyarakat?!*

Saat itulah gw sadar bahwa kalo ada seratus koran aja yang mikir kayak Little Laurent, dunia pers nggak akan maju-maju.

Ada alasan kenapa orang malas baca koran. Karena koran itu harus beli. Jalan satu-satunya merayu orang beli koran, adalah dengan kasih tulisan yang menarik. Apa ada orang mau beli koran yang isinya cuman iklan caleg?!

Kadang-kadang tulisan di koran bikin jenuh. Lha yang nulis orangnya itu-itu aja. Maka selain ada wartawan sebagai penulis tetap, juga harus ada kontributor tidak tetap yang punya ide tulisan yang kira-kira lebih segar. Kontributor ini bisa diundang dari masyarakat pembaca. Persoalannya pembaca mana yang mau nulis buat koran itu?

Terus terang aja, daripada nulis di koran, mendingan nulis untuk internet. Tulisan di koran hanya dibaca sebentar, berikutnya jadi bungkus kacang. Tapi sekali tulisan dimuat di internet, itu dimuat selamanya di direktori Google. Masa depan jurnalisme ada di tangan media online, bukan di tangan media cetak. Kalo koran nggak mau upgrade diri, termasuk kasih stimulan pada kontributor tidak tetapnya, koran itu harus siap-siap gulung tikar.

Dunia menulis tidak dihargai tinggi di negeri kita, setidaknya tidak di tingkat daerah. Bahkan koran dengan pembaca terbanyak di sini pun nggak menghargai kontributor dengan layak. Mungkin mereka nggak tau bahwa tulisan kita itu mahal.

Kalo kamu udah berani nulis di blog, berarti kamu boleh disebut mahal. Karena kamu berani keluarkan ide pikiran kamu dan kamu nggak takut dikomentarin macam-macam oleh orang asing di forum yang penuh orang yang nggak kamu kenal. Mahal bukanlah masalah host blog kita berbayar, atau kamu dibayar untuk menulis sesuatu. Mahal adalah harga pikiran kita yang orisinil.

Tiru Carrie Bradshaw. Dia minta honor 4 sen PER HURUF. Karena dia jual ide, bukan cuman jual nama. Kamu juga kan?

*Vic, dari sekian banyak penulis yang bisa dijadiin idola, lu malah pilih karakter fiktif dari film sitkom produksi Fox?!*

Wednesday, March 11, 2009

Obatnya Setumpuk!


Pernahkah kamu mengeluh lantaran disuruh minum obat banyak-banyak oleh dokter? Ini bukan pertanyaan retorika, coz gw sendiri sebagai dokter nggak pernah tau persis perasaan pasien gw. Tugas gw cuma dua, yaitu nulis resep yang benar dan melegakan perasaan mereka. Sembuh? Itu sih urusan Tuhan.

Makanya makna pasien sembuh itu sangat relatif. Ada pasien yang pembuluh jantungnya udah terseok-seok tapi dia merasa baik-baik aja. Sebaliknya ada juga pasien yang sebenarnya udah nggak berpenyakit tapi masih aja ngeluh pusing kepala. Jadi, sembuh itu apa sih?

Gw kepikiran nulis ini pas minggu lalu gw ngobrol sama seorang teman, petugas pajak berumur 27 tahun di Malang (Mas, umur sampeyan 27 ya? Apa 72..? Saya ndak pernah nanya umur sampeyan, takut shock kalo jawabannya ternyata 17..:p). Ceritanya anaknya sakit, lalu dia bawa ke rumah sakit besar di Malang, dan gw tau rumah sakit itu udah punya cabang di mana-mana di seluruh Jawa. Sang dokter yang meriksa anaknya, ngeresepin obatnya banyak banget. Lalu waktu obatnya ditebus, ketahuan bahwa harga obat yang dijual di apotek rumah sakit itu melebihi harga eceran tertinggi aslinya. Dasar istrinya teman gw itu pinter, dia googling obat-obatan itu satu per satu. Walhasil, keputusan akhir mereka, obatnya nggak ada yang diminumin ke anaknya! Teman gw itu ngedumel, "Saya mbayari dokternya cuma buat nempelin stetoskop, tapi obatnya ngga ada yang diminum..:("

Huahauhaha!

Teman gw itu heran kenapa dokter mesti ngeresepin obat sebanyak (dan semahal) itu. Adakah dokter itu kongkalikong sama detailer farmasi alias tukang obat? Maklumlah dokter mau semelarat apapun, tampangnya selalu aja nampak tajir, hahaha.. Padahal teman gw itu kan tukang pajak, dia hafal kalo dokter mau bayar pajak selalu jawab, penghasilannya kan pas-pasan..

Maka hari ini gw mau tarik dua masalah aja dari pembicaraan penuh banyolan itu.

KENAPA OBATNYA BANYAK SEKALI?
Gw bisa bayangin berapa banyak obat yang harus ditebus orang tua, padahal anaknya paling-paling cuma sakit batuk dan mungkin demam sedikit.

Gw ceritain deh pekerjaan pertama gw sebagai satpam dan pemeran pengganti di sebuah klinik. Seorang anak perempuan masih pake seragam sekolah datang diantar bokapnya ke klinik itu jam dua siang. Katanya, waktu pelajaran matematik tadi, tau-tau anaknya ngeluh pusing. Gw periksa anak itu persis sesuai prosedur yang diajarin kuliah, dan gw masih hapal mati teorinya coz waktu itu gw kan baru lulus. Gw resepin obat, lalu bokapnya tebus di apotek. Eh..nggak taunya bokapnya balik ke ruang praktek dan protes, "Dok, kok obatnya cuma satu? Antibiotiknya mana?"

Jadi, pasien ini ngira bahwa berobat itu harus minum obat yang banyak. Dan harus minum antibiotik. Padahal anak itu pusing cuman gara-gara belum sarapan. Jadi pasien bisa nggak percaya dokter cuma gara-gara dokternya ngeresepin obatnya sedikit.

Bu De gw ceritanya lain lagi. Dia berobat gara-gara kesemutan melulu. Sepulangnya dari dokter itu, dia bawa sekantong besar obat yang gedenya melebihi tas Louis Vitton-nya. Sambil berseri-seri dia bilang bahwa dokternya baik banget dan obatnya tokcer semua. Mau tau obat yang diresepinnya apa aja? Ada obat diabet, ada obat darah tinggi, ada obat pusing, ada obat perangsang nafsu makan, ada vitamin saraf. Ciamik!

KENAPA OBATNYA MAHAL BANGET?
Teman gw sang tukang pajak ngeluh bahwa obat-obatan anaknya ngabisin sampai Rp 200ribu.

Gw pernah didatengin pasien yang sombongnya minta ampun. Ceritanya dia ini sakit batuk, dan dikasih resep. Waktu dia tebus, ternyata harganya obat itu bikin dia ngamuk. Sebagai akibatnya dia pindah berobat ke gw. Pada gw, dia mengultimatum, "Dok, saya nggak mau dikasih obat seperti yang diresepin dokter X itu, yang harga per butirnya cuma Rp 80,-!"

Ternyata kolega gw telah meresepkan obat dan harga eceran generiknya emang nggak sampai cepek. Lihatlah bagaimana kebijakannya meresepkan obat yang ekonomis malah bikin dia dijauhi pasien. Mungkin pasien ini berpendapat, kalo bisa beli obat yang mahal kenapa harus dikasih obat yang murah?

Lain lagi cerita teman gw yang harus nebus obat bokapnya yang stroke. Obatnya mahal banget, sampai sejuta lebih. Gw nawarin buat ganti resep obat paten itu dengan generik aja supaya biayanya bisa dihemat sampai 200 ribu perak. Eh..kata temen gw itu, "Nggak usah, Vic. Yang paten aja. Biar Papa cepat sembuh."

Itulah persepsi umum yang terbentuk. Makin banyak obatnya, makin mahal obatnya, berarti makin sembuh penyakitnya. Dan dokter harus pintar baca persepsi publik, kalau mau prakteknya tetap rame seperti taman ria.

Dokter bukan dukun lho. Kami nggak bisa baca selera pasien, mau yang banyak atau dikit, mau yang mahal atau yang ekonomis (bukan murah). Jadi kalau pasien kepingin obatnya yang generik supaya lebih murah, ya bilang aja. Dan jangan sungkan nanya dokternya, itu obat apa aja yang diresepin, masing-masing gunanya untuk apa. Kalau dokternya nggak mau ditanya-tanya, dengan baik hati gw saranin, cari dokter yang lain aja lah..:)

Tuesday, March 10, 2009

Toilet Mania


Kamu senang pipis? Berapa sehari kamu pipis? Berapa banyak kamu pipis? Lebih penting lagi, apakah pipis itu kegiatanmu setiap saat? Sebaiknya kamu segera berobat. Jangan sampai hobi pipismu bikin orang lain kena getahnya, kayak gw yang ketiban apes ini.

Perjalanan gw dua hari lalu mestinya lebih asik kalo supir travel gw nggak lelet. Yang mestinya jam 11.30 gw udah tiba di Banjar, terpaksa molor dua jam. Padahal gw udah janjian mau ketemu kolega di mal, dan dia nungguin gw sampai kekeringan.. *Maaf ya Ndri, bikin kamu mati gaya selama itu..*

Supir travel gw hobi berhenti di pom bensin tiap jam. Bukannya ngisi bensin, dia malah nyamperin toilet. Entah apa yang dia lakukan di sana, semula gw kirain dia mau pacaran sama penjaga toiletnya. Tapi pada pom bensin berikutnya dia berhenti dan mampir toilet lagi. Playboy aneh, masa' tiap cewek penjaga toilet di tiap pom bensin diapelin? Apa dia nggak punya pacar dari profesi lain?
Baru kemudian gw sadar bahwa gw telah salah mendiagnosa kelakuan supir travel gw yang aneh itu. Dia hobi nyamperin toilet bukannya karena demen sama penjaga toilet.
Apakah dia seneng sama..toiletnya? Mana ada orang ngefans sama toilet?!

Gw lantas teringat jaman kuliah dulu. Mahasiswa dijebak di ruang kuliah selama berjam-jam yang ngebosenin, bikin lapar, dan ngantuk. Begitu pergantian jam kuliah, ada teman-teman gw yang langsung lari ke toilet dan pipis sepuas-puasnya. Lalu kuliah lainnya berlangsung, dan begitu selesai, orang-orang ini lari ke toilet dan pipis lagi. Mereka ini orang-orang yang sama, dan lantaran hobi mereka yang doyan pipis tiap pergantian jam kuliah itu, mereka dijuluki "geng beser".

Pacar gw termasuk geng itu. Dia itu rajin banget pipis, serajin dia motokopi catetan gw. Gw itung kayaknya tiap dua jam dia ke toilet. Malah kalo perlu, di tengahnya kuliah dua jam baru jalan separo, dia udah nyelinap duluan ke toilet. Gw kadang-kadang curiga ada yang nggak beres sama otot detrusornya. Tapi memang pacar gw itu tukang minum. Di mobilnya selalu ada dua botol air mineral yang selalu diisi ulang, dan di tasnya ada satu botol lagi. Dan dia mempraktekkan semua kuliah faal kami dengan baik, dia rajin minum air. Makanya pipisnya banyak! *tau dari mana, Vic?;-)*
Kadang-kadang gw bingung sendiri lho, gw ini pacaran sama cowok ganteng atau sama onta? Untungnya kalo dia lagi pacaran sama gw, dia nggak pernah kebelet pipis sampai berjam-jam sekalipun. Bisa dibayangin di tengahnya lagi asyik-asyiknya tiba-tiba dia bilang, "Vic, lepasin kakiku dulu. Aku mau kencing."

Tapi sesudah gw putus sama dia, anehnya gw kencan sama temen gw yang lain, yang juga sama-sama anggota geng beser itu. Membuat gw bertanya-tanya, kenapa gw selalu terjebak dengan pria-pria yang doyan pipis?

Masalahnya nggak enak aja kalo kumpul-kumpul di ladies night di mana gadis-gadis ngomongin hobi kekasih masing-masing.
Kata Nicole, "Suamiku hobinya main gitar. Yang dinyanyiin lagu country melulu!"
Lalu Marcella nggak mau kalah. "Kalo laki gw hobinya ngebut. Makanya dia jadi pembalap!" pamernya bangga. "Kalo laki lu hobinya apa, Vic?"
Gw berdehem. "Cowok gue sih hobinya...pipis."

Wah, nggak asik banget nih CV-nya.

Normal-normal aja kalo kamu demen pipis kayak pacar-pacar gw. Tapi jangan kebangetan kayak supir travel gw. Gw curiga supir travel gw itu kebanyakan minum kopi atau es teh, minuman khas supir bis yang nggak mau ngantuk kalo nyupir jarak jauh. Pasalnya kopi dan teh itu mengandung kafein yang efeknya bikin peminumnya jadi tukang pipis. Makanya gw pesenin ke kalian semua, kalo mau nyambi jadi supir bis atau travel, janganlah minum kafein. Nanti di tengah perjalanan kalian malah sibuk cari pom bensin atau semak-semak buat dipipisin. Lha kapan sampainya dong?

Kencing yang normal sehari adalah 1,5-2 liter, sesuai jumlah air yang mestinya kita minum. Jumlah itu setara dengan 8-10 gelas minum kamu. Kamu kencing sehari kira-kira berapa banyak? Hayo, jangan diitung pake gelas!

Terlalu sering kencing nggak baik, coz itu ngabis-ngabisin air di toilet. Kencing normal sehari 3-4 kali. Itu dengan syarat nggak minum kafein, obat-obatan, dan tidak berada dalam kondisi yang mempengaruhi sarafmu, misalnya ruang kuliah yang AC-nya terlalu dingin.

Hasrat otot detrusor buat pipis bisa makin naik kalo ototnya udah kendor. Biasanya ini terjadi pada ibu-ibu yang kebanyakan melahirkan. Makanya emak-emak ini jadi tukang pipis.

Akhirnya, pipis nggak normal kalau hasrat pipis sulit dibendung, terutama pada saat-saat di mana kita nggak boleh pipis. Baru nyetir satu jam, udah kebelet pipis. Berhubungan seks lagi orgasme, malah pengen pipis. Lagi enak-enak tidur, terbangun gara-gara kepingin pipis. Kamu terbangun sampai dua kali di malam hari cuma buat temenan sama toilet? Hati-hati, ada yang nggak beres sama saluran kemih kamu.

Airnya pipis itu memang air seni. Tapi kalo pipismu sampai ganggu orang lain kayak supir travel gw, itu bukan nyeni lagi namanya. Nah, sekarang, apa kamu udah kebelet pipis?

Sunday, March 8, 2009

Indonesia Raya-nya Orang Jazz


Ada yang lain di Java Jazz Festival tahun ini. Kebiasaan baru panitianya, saban kali sebelum pertunjukan pertama dimulai, mereka mainin lagu Indonesia Raya dulu. Dan tanpa diminta, penonton pun ikut nyanyi. Semuanya.

Kapan sih terakhir kali kita nyanyi Indonesia Raya? Wah, gw udah lama nggak nyanyi itu. Terakhir kali, waktu upacara bendera pas gw masih pake putih abu-abu. Dan gw belagak kayak tv yang suaranya di-mute, bibir komat-kamit. Ini nyanyi apa jampi-jampi? Beda banget sama kalo gw lagi nonton Bryan Adams. Suara gw kenceng ikutan nyanyi, lengkap dengan joget manggut-manggut ngikutin lagunya Bryan.
*Kenapa mesti joget manggut-manggut, Vic?:-o*
Ya, soalnya kan Bryan itu penyanyi rock. Jadi jogetnya manggut-manggut. Kalo penyanyinya dugem ya jogetnya geleng-geleng..
*Maksud gw, Vic, Bryan Adams aja nggak pernah nyanyi sambil joget. Ngapain lu pake joget segala?*

Kita semua tentu apal lagu Indonesia Raya. Gimana nggak apal, orang kita udah disuruh nyanyi lagu itu saban hari Senen semenjak kita masih pake putih-merah. Masih ingat kan, saban Senen kita mesti ikut upacara bendera buat nyanyi lagu Indonesia Raya. Mungkin itu sebabnya orang dewasa benci hari Senen, coz trauma masa kecilnya dijebak di lapangan tiap hari itu. Gw sih nggak keberatan sama lagunya, tapi Little Laurent nggak suka konsep dijemur di lapangan selama 30-45 menit itu. Tahukah kamu kenapa anak-anak Indonesia kulitnya item-item? Ya itu karena disuruh upacara saban Senen itu. Memang dijemurnya cuman 45 menit, tapi kan pemulihan dari sinar UV memakan waktu sampai 6 bulan! Ilmu yang terakhir ini baru gw dapet justru pada tahun terakhir SMP, setelah sembilan tahun disuruh upacara bendera. Cewek Indonesia waktu gede jadi putih bukan karena kosmetik, tapi lantaran mereka berhenti upacara bendera.

Tau nggak, dari semua negara di bumi ini, kita lho yang punya lagu kebangsaan paling panjang. Lagu karya Wage Rudolf Supratman itu, mirip lagu pop, ada verse-nya, ada pre-chorus, ada chorusnya juga. Bahkan verse-nya sampai tiga biji lho, kamu apal, nggak? Negara-negara lain nggak punya lagu kebangsaan sepanjang ini. The Star Spangled Banner-nya Amerika Serikat juga panjang, tapi nggak sepanjang Indonesia Raya kita. God Save the Queen-nya Inggris bahkan cuman terdiri dari satu bait. Dan yang apal lagu itu nggak cuman orang Inggris asli, tapi yang bukan orang Inggris pun apal. Gw yakin kamu tau juga lagunya, apalagi kalo kamu penggemarnya Queen. Semboyan fansnya Queen, "In Freddie We Trust"..

Masalahnya bukanlah lagu kebangsaan itu mesti panjang atau pendek. Tapi bagaimana sebuah lagu bisa bikin bangsa itu terilhami untuk jadi bangsa yang besar dan nggak malu-maluin. Mari kita perhatikan pada pertandingan bola internasional. Dulu David Beckham boleh aja jadi milik Real Madrid, tapi kalo sebelum pertandingannya Inggris, dia selalu nyanyi God Save the Queen keras-keras. Dan dia main sepenuh hati untuk profesionalitas sepakbola Inggris, bukan buat sekedar dipuji Ratu Elizabeth. Sekarang bandingin dengan tim nasional Indonesia kalo main buat Piala Asia. Pemainnya main habis-habisan, dengan syarat satu, "Nanti setelah ini, saya diangkat jadi pegawai negeri kan?"

Maka gw rada segan kalo Indonesia sampai bertarung di Piala Dunia. Dengan pemain-pemain bermasa depan suram, manajemen PSSI yang bolak-balik dituduh korupsi, dan penonton yang doyan tawuran, bukan tidak mungkin kita jadi tim yang disuruh pulang duluan. Ibaratnya, cuman kebagian sedikit jatah show. Mungkin Supratman udah meramal ini dari dulu. Makanya dia bikin lagu kebangsaan yang panjang, supaya shownya Indonesia sebelum pertandingan jadi rada lama gitu..

Bukannya bangsa kita nggak nasionalis. Masalahnya, manajemennya yang nggak karuan, dan nasionalisme cuman simbol belaka. Upacara cuman kewajiban anak sekolah, tapi waktu dewasa mereka berlomba cari kerja bergaji dolar. Tiap 17 Agustus kita bukannya introspeksi tentang kemajuan kerja kita, tapi malah ribut tentang kemampuan panjat pinang kita. Kita berbondong-bondong daftar CPNS bukan buat meladeni rakyat, tapi karena mengincar jaminan pensiunan hari tua. Apanya yang jadi napas Indonesia Raya?

Band Cokelat pernah mengaransemen lagu Indonesia Raya dengan nuansa rock, tapi idenya ditolak mentah-mentah oleh pejabat. Katanya kalo jadi musik rock, lagunya jadi nggak sakral. Jadi bingung, Indonesia Raya itu lagu untuk semua orang Indonesia, atau cuma buat orang Indonesia yang gemar nyanyi mars?

Maka gw salut buat panitia Java Jazz yang masih setia jadi nasionalis. Jazz bukan produk Indonesia, tapi hebat sekali panitia Java Jazz punya ide buat ngajak penontonnya nyanyi lagu kebangsaannya sendiri, buat ngingetin mereka bahwa mereka masih orang Indonesia. Karena pada dasarnya, orang dateng ke Java Jazz, bukan sekedar buat nonton Jason Mraz, Matt Bianco, atau Swing Out Sisters. Tapi buat melihat, ini lho festival jazz internasional karya anak Indonesia.

Cita-cita gw: main piano lagu Indonesia Raya, aransemen a la jazz.