Ada yang lain di Java Jazz Festival tahun ini. Kebiasaan baru panitianya, saban kali sebelum pertunjukan pertama dimulai, mereka mainin lagu Indonesia Raya dulu. Dan tanpa diminta, penonton pun ikut nyanyi. Semuanya.
Kapan sih terakhir kali kita nyanyi Indonesia Raya? Wah, gw udah lama nggak nyanyi itu. Terakhir kali, waktu upacara bendera pas gw masih pake putih abu-abu. Dan gw belagak kayak tv yang suaranya di-mute, bibir komat-kamit. Ini nyanyi apa jampi-jampi? Beda banget sama kalo gw lagi nonton Bryan Adams. Suara gw kenceng ikutan nyanyi, lengkap dengan joget manggut-manggut ngikutin lagunya Bryan.
*Kenapa mesti joget manggut-manggut, Vic?:-o*
Ya, soalnya kan Bryan itu penyanyi rock. Jadi jogetnya manggut-manggut. Kalo penyanyinya dugem ya jogetnya geleng-geleng..
*Maksud gw, Vic, Bryan Adams aja nggak pernah nyanyi sambil joget. Ngapain lu pake joget segala?*
Kita semua tentu apal lagu Indonesia Raya. Gimana nggak apal, orang kita udah disuruh nyanyi lagu itu saban hari Senen semenjak kita masih pake putih-merah. Masih ingat kan, saban Senen kita mesti ikut upacara bendera buat nyanyi lagu Indonesia Raya. Mungkin itu sebabnya orang dewasa benci hari Senen, coz trauma masa kecilnya dijebak di lapangan tiap hari itu. Gw sih nggak keberatan sama lagunya, tapi Little Laurent nggak suka konsep dijemur di lapangan selama 30-45 menit itu. Tahukah kamu kenapa anak-anak Indonesia kulitnya item-item? Ya itu karena disuruh upacara saban Senen itu. Memang dijemurnya cuman 45 menit, tapi kan pemulihan dari sinar UV memakan waktu sampai 6 bulan! Ilmu yang terakhir ini baru gw dapet justru pada tahun terakhir SMP, setelah sembilan tahun disuruh upacara bendera. Cewek Indonesia waktu gede jadi putih bukan karena kosmetik, tapi lantaran mereka berhenti upacara bendera.
Tau nggak, dari semua negara di bumi ini, kita lho yang punya lagu kebangsaan paling panjang. Lagu karya Wage Rudolf Supratman itu, mirip lagu pop, ada verse-nya, ada pre-chorus, ada chorusnya juga. Bahkan verse-nya sampai tiga biji lho, kamu apal, nggak? Negara-negara lain nggak punya lagu kebangsaan sepanjang ini. The Star Spangled Banner-nya Amerika Serikat juga panjang, tapi nggak sepanjang Indonesia Raya kita. God Save the Queen-nya Inggris bahkan cuman terdiri dari satu bait. Dan yang apal lagu itu nggak cuman orang Inggris asli, tapi yang bukan orang Inggris pun apal. Gw yakin kamu tau juga lagunya, apalagi kalo kamu penggemarnya Queen. Semboyan fansnya Queen, "In Freddie We Trust"..
Masalahnya bukanlah lagu kebangsaan itu mesti panjang atau pendek. Tapi bagaimana sebuah lagu bisa bikin bangsa itu terilhami untuk jadi bangsa yang besar dan nggak malu-maluin. Mari kita perhatikan pada pertandingan bola internasional. Dulu David Beckham boleh aja jadi milik Real Madrid, tapi kalo sebelum pertandingannya Inggris, dia selalu nyanyi God Save the Queen keras-keras. Dan dia main sepenuh hati untuk profesionalitas sepakbola Inggris, bukan buat sekedar dipuji Ratu Elizabeth. Sekarang bandingin dengan tim nasional Indonesia kalo main buat Piala Asia. Pemainnya main habis-habisan, dengan syarat satu, "Nanti setelah ini, saya diangkat jadi pegawai negeri kan?"
Maka gw rada segan kalo Indonesia sampai bertarung di Piala Dunia. Dengan pemain-pemain bermasa depan suram, manajemen PSSI yang bolak-balik dituduh korupsi, dan penonton yang doyan tawuran, bukan tidak mungkin kita jadi tim yang disuruh pulang duluan. Ibaratnya, cuman kebagian sedikit jatah show. Mungkin Supratman udah meramal ini dari dulu. Makanya dia bikin lagu kebangsaan yang panjang, supaya shownya Indonesia sebelum pertandingan jadi rada lama gitu..
Bukannya bangsa kita nggak nasionalis. Masalahnya, manajemennya yang nggak karuan, dan nasionalisme cuman simbol belaka. Upacara cuman kewajiban anak sekolah, tapi waktu dewasa mereka berlomba cari kerja bergaji dolar. Tiap 17 Agustus kita bukannya introspeksi tentang kemajuan kerja kita, tapi malah ribut tentang kemampuan panjat pinang kita. Kita berbondong-bondong daftar CPNS bukan buat meladeni rakyat, tapi karena mengincar jaminan pensiunan hari tua. Apanya yang jadi napas Indonesia Raya?
Band Cokelat pernah mengaransemen lagu Indonesia Raya dengan nuansa rock, tapi idenya ditolak mentah-mentah oleh pejabat. Katanya kalo jadi musik rock, lagunya jadi nggak sakral. Jadi bingung, Indonesia Raya itu lagu untuk semua orang Indonesia, atau cuma buat orang Indonesia yang gemar nyanyi mars?
Maka gw salut buat panitia Java Jazz yang masih setia jadi nasionalis. Jazz bukan produk Indonesia, tapi hebat sekali panitia Java Jazz punya ide buat ngajak penontonnya nyanyi lagu kebangsaannya sendiri, buat ngingetin mereka bahwa mereka masih orang Indonesia. Karena pada dasarnya, orang dateng ke Java Jazz, bukan sekedar buat nonton Jason Mraz, Matt Bianco, atau Swing Out Sisters. Tapi buat melihat, ini lho festival jazz internasional karya anak Indonesia.
Cita-cita gw: main piano lagu Indonesia Raya, aransemen a la jazz.