Wednesday, December 30, 2009

Ditowel Hujan

Apakah Anda percaya sama pawang hujan? Gw nggak. Tapi masih banyak orang, tanpa membedakan dia intelek atau enggak, dia religius atau ateis, merasa kurang sreg kalau mau bikin hajatan tanpa ngundang pawang hujan.

Seperti yang gw tulis di sini, Braga Festival digelar di Bandung selama empat hari, mulai Minggu lalu dan baru kelar sedianya tadi sore. Acara ini sebenarnya menarik sekali, siyalnya diganggu oleh hujan. Gw datang hampir setiap hari (kecuali Senin lalu), dan gw perhatiin tiap siang selalu aja hujan mengguyur sampai sore. Sungguh mengganggu, coz acaranya kan digelar outdoor. Akibatnya gw kesulitan menikmati setiap atraksi yang ada, coz tiap atraksi digelar di panggung, gw susah cari tempat strategis buat motret-motret, tapi gw malah sibuk cari tempat buat berteduh.

Panitia seolah-olah nggak belajar dari Braga Festival tahun lalu. Bukankah tahun lalu juga Braga Festival digelar pada akhir tahun? Semua orang juga tahu kalau bulan yang ada ”ber”-“ber” di belakang namanya ya pasti rawan hujan. Mbok bikin festival tuh jangan pas waktunya musim hujan dong, bikin rusak dandanan penonton aja..

Padahal gw hadir lho di hari pembukaan festival Minggu lalu. Ada pidatonya pejabat gitu deh, pakai upacara resmi segala plus pelepasan burung-burung, dan gw duduk di deretan bangku penonton tapi gw duduk paling pinggir. (Tahu kenapa gw cuman bisa duduk di pinggir? Padahal gw tadinya kepingin duduk di bangku paling depan lho sebagai penonton setia. Tapi entah kenapa gw dilarang duduk di bangku paling depan, soalnya alasannya, bangku paling depan itu buat walikota. Hah, alasan apaan tuh, jelas-jelas walikotanya lagi pidato di atas panggung, lha kalau ada kursi nganggur mosok nggak boleh gw dudukin?)

Maka jadilah gw duduk di pinggir. Nah, tahu-tahu gw lihat ada laki-laki aneh di pinggir jalan. Dia jongkok megang air mineral kemasan gelas plastik. Lalu tiba-tiba dia pecahin gelas plastiknya itu sehingga airnya muncrat ke jalan yang bersih. Gw terhenyak, lho kok air dibuang-buang sih? Setelah itu dia melakukan gerakan aneh dengan kedua lengannya yang panjang, yang mengingatkan gw pada gerakan senam Tai Chi. Lalu dia pergi. Plastik yang sudah penyok, dia buang ke pinggir trotoar.

Gw pikir tadinya dia orang gila yang buang-buang air mineral, coz jaket dan topinya rada kumal gitu. Tapi kalau dilihat dari gerak-geriknya kok nggak kayak orang skizofrenia. Maka gw terpikir, jangan-jangan itu pawang hujan?

Tapi kalau benar panitia sudah menyewa pawang hujan, kenapa selama empat hari festival ini sorenya hujan melulu? Dan kenapa hujannya selalu jatuh pada jam-jam yang sama? Apakah bayaran pawangnya kurang?

Oh ya, hujan ternyata bawa hikmah juga. Sewaktu gw ke festival pada hari terakhir tadi sore, gw cuman bentar aja di situ coz nggak betah sama hujannya. Gw pulang sama kolega gw jam 3 sore, meskipun katanya satu jam kemudian gubernur mau dateng buat menutup festival. (Maaf ya, Pak Gubernur, saya pulang duluan tanpa menunggu Bapak.) Gw pulang ke rumah, sementara kolega gw yang udah kopi darat sama gw dua hari ini, turun di stasiun kereta buat pulang ke Jogja. Ternyata pas dia mau pesen tiket, kereta yang jam 8 malem tinggal nyediain tiket berdiri. Tiket yang duduk ada di kereta yang jam 5 sore itu juga. Hwaduh, untung gw ngajak pulang lebih awal dari festival! Tuhan ada-ada aja ya kalau mau menyelamatkan manusia dari ketinggalan kereta, ck ck ck..

Oke, jadi maaf ya, nggak kayak kebiasaan gw kalau lagi jalan-jalan sambil motret-motret, kali ini gw nggak bisa nampilin banyak foto dari festival itu. Ini ada foto engkong-engkong lagi (heran, kenapa yang gw liput selama festival ini selalu engkong-engkong?) yang mengira dirinya adalah penari ular. Hujan sedang turun rintik-rintik dan gw motret ini sambil payungan, bingung kenapa ada orang senang main-main sama piton dan sanca. Badan ular itu lebih gede dari betis gw, dan moncongnya mangap lebih gede dari mulut gw. Apa orang ini nggak takut dimakan? Pasti sebelum atraksi, ular-ular ini sudah dikasih makan dulu sampai kenyang. Tapi kok ularnya masih lincah ya? Padahal gw kalau udah makan kekenyangan bawannya kepingin molor aja, nggak mau diganggu apalagi disuruh nari-nari, hihihi.. (Itulah sebabnya, Vic, dirimu nggak sama dengan ular.) Oh ya, menurut pembawa acaranya yang bicara diiringi musik kendang Sunda, engkong-engkong penari ular ini bernama Ki Kebo. (It must’ve been incomplete. His middle name must be “Dangerous”.) Bolak-balik pembawa acaranya memperingatkan kepada penonton supaya tidak meniru ini di rumah. Tapi mereka nggak ngusir anak-anak yang nonton, sungguh paradoks. Gw aduin KPI loh!

Mudah-mudahan, tahun depan ada festival lagi di Braga. Mudah-mudahan, tahun depan festivalnya lebih menarik dan promosinya lebih informative lagi. Mudah-mudahan, tahun depan festivalnya nggak ditowel hujan lagi. Dan mudah-mudahan, tahun depan gw masih punya cukup nyawa dan waktu buat dateng ke sana..

Tuesday, December 29, 2009

Dan Seragam Itu Berguna

Sewaktu kecil, gw mikir betapa membosankannya sekolah coz setiap hal yang gw lakukan harus sama seperti yang anak lain lakukan. Misalnya, anak-anak beli sepatu hitam yang ada cap sekolahnya, lalu gw sebaiknya beli (padahal modelnya juga nggak terlalu gw suka). Anak-anak lain ikut les tambahan sepulang sekolah sama wali kelas, dan gw satu-satunya yang nggak ikutan (nilai gw udah bagus-bagus, kenapa gw harus ikut pelajaran tambahan yang “mbayar”?). Lalu, setiap kali pelajaran bahasa Indonesia, tiap halaman buku tulis harus digarisin di sisi kirinya (sampai sekarang gw masih nggak ngerti gunanya garis pinggir itu).

Dari semua itu, yang paling nggak gw suka adalah seragam sekolah.

Mungkin coz dulu sinetron nggak sengetop sekarang, maka tontonan tivi sehari-hari gw adalah film-film bikinan Hollywood, dan di film-film itu gw lihat anak-anak di luar negeri tidak pakai seragam sekolah dan mereka nampak lebih “ekspresif”.

Tentu saja waktu itu gw nggak tahu bahwa tidak semua negara yang maju dalam menegakkan hak kebebasan berekspresinya juga membolehkan murid-murid SD-nya nggak pakai seragam. Gw nggak tahu bahwa anak-anak SD di Inggris dan Jerman pakai seragam. Itu salah mereka, kenapa mereka tidak mengekspor film-film serial mereka ke Indonesia.

Nah, kira-kira minggu lalu, gw lagi jalan di pusat kota, lalu gw melewati SD gw. Gw lihat di depan SD gw, lagi jajan seorang anak kecil berseragam putih merah. Gw perhatikan sekarang murid-murid di SD gw itu pakai seragam berupa rompi merah. Padahal dulu, seragam gw ya standar-standar aja: kemeja putih dan rok merah. Cuman pakai topi dan dasi kalau lagi upacara. Tahu kenapa di kelas nggak pakai dasi? Soalnya kelasnya panas. Tahu kenapa di kelas nggak pakai topi? Soalnya nggak ujan.

Sekitar minggu lalu juga, gw baca di koran, sebuah sekolah setingkat SMA gitu di Jawa Barat yang mewajibkan seragam muridnya pakai blazer. Katanya sih, supaya setelah lulus nanti, alumninya terbiasa bertampang eksekutif. Gw ketawa terbahak-bahak bacanya. Setahu gw, untuk nyuci blazer dibutuhkan lebih banyak air buat ngelarutin deterjennya. Ini akan menuntut penggunaan air ekstra, padahal kita kan mestinya hemat air. Sekolah ini nampaknya nggak ngajarin muridnya peka lingkungan.

Buat gw, pakai seragam aja udah menghalangi kebebasan ekspresif murid sekolah, apalagi ditambah-tambah rompi dan blazer segala yang nggak hemat energi.

Sampai minggu lalu, gw nonton Denias, Senandung di Atas Awan.
(Haiyah..ke mana aja aja kau, Vic? Tuh film ngetop tiga tahun yang lalu.)
*Jangan salahkan gw. Salahkan masa kuliah dan kerja yang mencuri kesempatan gw buat menikmati hidup dan memaksa gw sulit nonton film-film kelas festival.*
Film yang bagus sekali, bikinan Ari dan Nia Sihasale, tentang kisah anak bernama Denias dari suku pedalaman di Mimika, Papua yang setengah mati kepingin sekolah. Karena di desanya nggak ada sekolah sungguhan, maka dia belajar di sebuah sekolah darurat yang cuman berupa saung kecil, yang dimiliki seorang tentara yang diperankan oleh si Ale itu. (Film ini pasti kepingin ngirit sampai-sampai produsernya merangkap jadi aktor utama, hahaha..)

Lalu sampailah gw di adegan ini. Denias dikasih tahu bahwa kalau di Jawa, anak-anak pergi ke sekolah pakai seragam. Lha Denias sendiri kalau pergi ke sekolahnya Ale itu nggak pakai seragam. Suatu hari Ale minta kiriman bantuan berupa seragam sekolah buat murid-muridnya. Bantuan seragam itu akhirnya datang dianterin sebuah helikopter, dan anak-anak itu blingsatan lantaran berebutan seragam. Denias? Dia menangis terharu.

Gw tercengang bagaimana seorang anak bisa nangis cuman gara-gara bahagia dapet seragam sekolah. Padahal seragamnya ya biasa aja, cuman kemeja putih standar, celana merah, dan topi berikut desanya. Nggak ditambah-tambah rompi, apalagi blazer.

Lalu gw menyadari esensi lain dari seragam. Seragam bukan menghalangi kebebasanmu buat berekspresi. Seragam itu bikin Denias nampak seperti murid SD sungguhan. Nampak seperti murid SD di Jawa yang selama ini dikesankan lebih maju ketimbang desanya Denias di Mimika. Kau boleh berbeda lokasi, berbeda warna kulit dan model rambut, tetapi kalau kau pakai seragam itu, kau tidak ada bedanya dengan anak-anak sekolah lain yang berhak dapet pendidikan. Hakmu adalah mendapatkan ilmu. Kewajibanmu adalah datang setiap hari ke sekolah, dari Senin sampai Sabtu, pada waktu yang ditentukan, dan kerjakan tugas dari Pak dan Bu Guru.

Sekarang gw nggak empet lagi sama seragam sekolah. Gw justru bersyukur banget negara kita mewajibkan anak-anak SD-nya pakai seragam. Seragam kemeja dan celana/rok itu bikin kita semua terdidik untuk tidak merasa sombong dan menerima bahwa setiap manusia itu punya derajat yang sama. Karena, kecuali ibumu mencuci kemejamu dengan deterjen yang lebih putih atau dengan air sungai tercemar, kau tidak lebih baik atau lebih buruk dari orang lain dengan seragam itu.

Monday, December 28, 2009

Pertolongan buat Turis

Backpacking adalah fenomena di mana ada orang yang senang pergi ke tempat asing dan menikmati kesasar. Coz dari kesasar itulah dia menemukan pelajaran atas pengalaman baru yang nggak dia peroleh dalam kehidupan normalnya sehari-hari. Dari kegiatan backpacking ini ada jenis orang-orang yang senang membantu orang-orang yang kesasar ini. Mereka nggak kenal betul dengan para backpacker-nya, tapi mereka dengan senang hati bersedia jadi tuan rumah, nunjukin jalan, bahkan mencarikan tempat menginap yang nyaman dan terjangkau oleh kocek.

Hampir tiga tahun yang lalu, gw belajar pergi ke Jogja sendirian. Waktu itu tujuan utama gw adalah menghadiri konferensi dokter di sana, bukan buat jalan-jalan. Kebetulan, gw dapet nginep di rumah sepupu gw di Kaliurang. Ternyata, selama tiga hari gw tinggal, setiap malam sepulang dari konferensi, sepupu gw dan bininya bawa gw keliling-keliling Jogja. Mereka ngajarin gw nyusurin Malioboro, mblusuk ke tempat-tempat batik, dan melintasi kampus Universitas Gajah Mada yang teduh. Sambil nyetir, mereka cerita-cerita tentang Jogja: mana gudeg yang enak, gimana caranya dapet penjual yang murah tapi tetep tersenyum, kebiasaan studio foto orang Jogja yang pelit, sesuatu yang mungkin nggak pernah gw temukan di brosur-brosur resmi biro perjalanan. Itu yang gw sebut, wisata sungguhan.

Pada waktu konferensi, gw ketemu sesama kolega dari Bandung. Dia nginep di hotel, coz dia nggak punya sodara di Jogja. Gw ceritain bahwa semalam gw dan sepupu gw main di taman depan keraton dan berusaha jalan dengan mata tertutup tapi ujung-ujungnya kami selalu nabrak pohon. Konon di situ ada “cerita rakyat”-nya, yang bilang bahwa titik tempat kami main itu ada roh penunggu keratonnya. Kolega gw bilang dia nggak betah di Jogja dan kepingin konferensinya segera kelar. Soalnya yang dia pelesirin cuman mal di Malioboro, yang ternyata nggak beda-beda jauh dari mal-mal di Bandung. Dia pergi ke sana coz dia tahunya tentang Jogja ya cuman Malioboro, dan tempat itu yang satu-satunya dia tahu nggak akan bikin dia kesasar dari hotelnya (waktu itu di Jogja belum ada busway).

Pada hari terakhir konferensi, kolega gw dapet masalah kecil. Konferensi selesai jam lima sore, dan kereta pertama yang akan bawa ke Bandung ada jam sembilan malam. Kopernya ada di hotel, dan hotel minta check-out jam dua siang. Akibatnya kolega gw itu mesti meninggalkan konferensi lebih awal, buat check-out. Lalu dia pergi ke stasiun, duduk di lounge menunggu kereta sampai jam sembilan malam. Karena dia tidak mungkin mengikuti sisa konferensi sambil menggeret-geret koper, bahkan meskipun dia bisa aja minta tolong panitia buat jagain kopernya.

Gw dijemput sepupu gw pas konferensi betul-betul selesai, lalu dia ngajakin gw beli bakpia isi cokelat dan gudeg, dan setelah itu baru gw pulang ke rumahnya buat mandi dan makan malam, sebelum kemudian gw dianterin ke stasiun. Gw seorang peserta konferensi dan turis yang sangat puas.


Semua itu ngajarin gw betapa susahnya jadi seseorang yang pergi ke tempat asing jika kita nggak punya shelter di tempat tujuan. Shelter yang gw maksud adalah kenalan seorang penduduk lokal yang ngerti gimana bikin perjalanan kita yang singkat itu menjadi menarik. Kadang-kadang sebuah perjalanan itu berkesan bukan karena kita menginap di hotel beken atau nyatronin spot yang ada di brosur-brosur Dinas Pariwisata, tetapi nilai tambah akan diperoleh jika kita belajar tentang kehidupan penduduk setempat, dan itu hanya bisa diperoleh jika selama kunjungan itu kita di-escort oleh penduduk lokal. Itu sebabnya enak sekali kalau punya kenalan yang tinggal di tempat itu.

Semenjak itu, gw mutusin buat mendedikasikan diri gw buat dunia backpacking. Bukan berarti gw mau gandol tas punggung segede-gede gaban dan pergi keliling dunia ke tempat-tempat yang nggak jelas, tapi gw nolong orang-orang asing yang jadi turis dengan cara jadi guide bagi mereka yang mau pergi liburan ke Bandung dengan anggaran cekak. Gw nolong dengan ngasih tips gimana caranya ke Bandung, gimana caranya naik angkot sendirian di Bandung, mana hotel yang enak, dan mana spot yang kira-kira cukup menarik buat didatangin, baik buat turis yang orientasi belanja, orientasi sejarah, ataupun orientasi politik. Yang menarik, orang-orang yang gw bantuin ini, umumnya nggak pernah gw temuin sungguhan di dunia nyata alias cuman berkomunikasi via jalur kabel doang. Di sinilah pentingnya mengoptimalkan blog dan jaringan sosial, coz makin sering kita berhubungan dengan sopan dengan orang asing melalui kedua situs itu, makin besar kepercayaan yang timbul meskipun kita nggak pernah bertemu sungguhan di dunia nyata.

Jika nggak ada aral melintang, besok seorang kolega dari Jogja mau liburan di Bandung, dan gw mau nge-guide. Sudah bertahun-tahun gw dan laki-laki ini temenan di blog, dan ini akan jadi pengalaman kopi darat dan escorting yang menyenangkan. Persahabatan di dunia maya itu indah jika kepercayaan terus dipelihara, dan lebih indah lagi kalau diteruskan di dunia nyata.

Sunday, December 27, 2009

Nostalgia Nanggung

“Saksikan berbagai keunikan, romantika, memori, gegap-gempita musik, keindahan Seni, dan berbagai ragam pameran dan pertunjukan, serta menikmati kelezatan makanan dan segarnya minuman di Braga Festival 2009.”

Gw harus mengakui bahwa orang-orang ini pintar berkata-kata untuk bikin orang tertarik datang ke festival ini. Termasuk gw.

Jadi, gw menulis ini sambil kecapekan lantaran jalan sepanjang siang tadi di sepanjang Jalan Braga. Orang-orang panitia itu telah menutup dua pertiga ruas jalan buat diadakan festival. Braga adalah sebuah jalan paling beken di Bandung lantaran menjadi kawasan penuh nostalgia. Seperti yang digambarkan pada salah satu lukisan yang dijual di festival ini, Braga adalah sebuah jalan di mana orang-orang Belanda dulu sering mejeng buat belanja. Umumnya bangunan bekas toko peninggalan jaman Belanda masih dipertahankan sampai sekarang. Festival ini diadakan untuk mengenang Braga sebagai pusat ekonomi kelas atas jaman dulu, makanya banyak pendukung acaranya yang didaulat buat berkostum a la sinyo-nonik Belanda dan mang-mang Sunda yang ke mana-mana suka naik sepeda ontel, coz memang begitulah keadaan Jalan Braga jaman dulu.

Lumayan ada beberapa atraksi yang cukup menarik perhatian gw di festival ini, salah satunya adalah pertunjukan perkusi dari Tatalu, sebuah klub penggemar alat musik pukul dari Universitas Pasundan. Yang unik di sini, kalau biasanya kita nonton orang main musik dengan peralatan snare drum, ketipung, gong, dan semacamnya, maka kali ini alat musik yang dipukul-pukul oleh klub ini adalah barang-barang yang biasa kita temuin sehari-hari, seperti panci, mangkok, tong sampah, kaleng cat, sampai drum yang biasa dipakai buat bak mandi. Ternyata lagu yang dihasilkan oke punya lho, biarpun tentu saja nggak ada melodi do-re-mi-fa-sol-la-si-do-nya, hahaha.. Gw aja bawaannya kepingin joget-joget melulu pas nontonnya, tapi nggak bisa. Lantaran gw kan megang kamera, kalau gw joget-joget ntar motretnya jadi goyang dong..

Sudut yang juga paling banyak ditonton orang adalah engkong-engkong ini. Bayangin, dari pas gw dateng ke venue, sampai gw pulang, nih engkong masih aja tekun menyulap batang pohon jadi patung, tanpa peduli orang-orang udah rebutan motret dos-q. Gw nggak tahu persis sih berapa waktu yang engkong ini perlukan buat menyulap batangan menjadi sebuah patung, tapi bisa diperkirakan dari foto ini. Foto pertama, diambil jam 11.04, sang engkong lagi bikin tangannya. Foto kedua, diambil 39 menit kemudian, sang engkong lagi memahat mukanya. Foto ketiga, diambil hampir dua jam semenjak foto pertama, perhatikan bahwa mukanya udah berbentuk dan sang engkong sedang berusaha supaya patung itu bisa berdiri tegak.

Nanti, hasil akhirnya kira-kira jadinya kayak ini. Ciamik kan? Hihihi..

Gw harus mengakui bahwa festival ini nggak secihui yang dicitrakan di iklannya, coz festivalnya lebih didominasi bazaar makanan dan barang mode ketimbang atraksi seninya. Memang sih kuliner yang dijual nampak enak-enak, tapi yah kalau gw lihat, tempat ini lebih layak disebut pasar kaget berkelas ketimbang parade budaya. Citra Braga sebagai ikon memori Bandung jaman doeloe malah tidak terlalu menonjol, kecuali kalau mendongak ke atas tenda-tenda bazaar dan menyadari bahwa bangunan di kiri-kanan jalan rata-rata udah berusia tua sekali. Nama Braga cuman diusung sebagai lokasi festival, tetapi makna nostalgianya nggak terlalu dioptimalkan. Pindahkan festival ini ke Jalan Cihampelas, maka nama festival ini akan berubah jadi Cihampelas Festival, tetapi hasilnya juga akan sama-sama aja: bazaar lagi, bazaar lagi.

Pameran seni yang dijanjikan ternyata nggak begitu eksis, coz sampai gw tersesat di festival itu, gw nggak melihat ada tanda-tanda ekshibisi barang-barang seni dalam jumlah banyak. Selain itu, biarpun di iklan sudah dijanjikan akan ada beberapa seniman beken yang mau tampil, tidak ada informasi tentang run down acara, tentang siapa yang mau tampil pada jam berapa, atau lebih spesifik lagi, pada hari apa. Padahal, gw kepingin nonton Saratus Persen, Musik Genteng Jatiwangi, dan Panas Dalam.

Akan lebih baik kalau panitia bisa menyediakan guideline buat pengunjung, minimal kasih jadwal acara. Kalaupun nggak sempat nyetak brosur, minimal kan bisa nampilin jadwalnya di website. Ngomong-ngomong, wahai panitia, website resminya Braga Festival ada di mana sih? Saban gw googling tentang keyword ini, kok gw nemunya halaman-halaman dari situs-situs berita melulu deh.

Masih terlalu dini buat menilai apakah festival ini bisa menaikkan pamor industri budaya kreatif di Bandung atau tidak, seperti yang direncanakan oleh panitia sebagai tujuan awal festival ini. Festival ini masih berlangsung sampai Rabu nanti, dan gw berencana ke sini lagi besok buat hang out. Pada akhirnya, meskipun nggak terlalu puas, gw tetap pulang dari festival dengan sumringah karena sudah melihat banyak pemandangan bagus. Biarpun kuping gw jadi agak pekak dikit, soalnya tadi gw berdiri terlalu dekat sama anak-anak pemukul tong sampah itu, hahaha..

Saturday, December 26, 2009

Setan Suster Lagi

Setan + sintal + suster = film horror laris. Siapa sih yang nyiptain rumus ini sampai jadi pedoman suksesnya film horor di Indonesia? Coba Anda ingat-ingat, seberapa banyak film horor yang mengusung setan sebagai tokoh utamanya? Hampir semua. Lalu dari setan-setan itu, berapa persen yang setannya berjenis kelamin cewek? Buanyak. Selanjutnya, dari setan-setan cewek itu, berapa persen yang tampangnya cantik-cantik dan bodinya sintal? Hampir 100%. Sekarang, profesi apa yang paling sering dipakai buat jadi latarnya setan cewek cantik itu? Jawabannya: suster.

Berbahagialah, para penggemar film horor Indonesia. Nanti tanggal 31 Desember, bakalan premiere film horror bikinan negeri sendiri di bioskop-bioskop, judulnya Suster Keramas. Entah apa yang bikin produser filmnya sampai mengusung profesi suster yang lagi cuci rambut sebagai tajuknya. Yang lebih mengagetkan lagi, bintang utama yang memerankan suster keramas ini nanti bernama Rin Sakuragi, bintang film saru (yang lain lagi) dari Jepang.

Kenapa buat bikin film horor yang mengusung cewek bahenol aja, Indonesia mesti mengimpor bintang film saru dari luar negeri? Apakah bintang-bintang film Indonesia sedikit yang pantes buat di-casting untuk itu? Ke mana itu Julia Perez, Rahma Azhari, Sally Marcellina? *referensi jadul*

Kenapa Indonesia begitu ribut waktu dulu Miyabi mau dateng sampai orang-orang berisik itu mengancam mau menutup bandara Cengkareng segala, sementara Rin Sakuragi dateng syuting ke Indonesia malah pemberitaannya adem-ayem sama sekali? Padahal, disinyalir bahwa di Jepang, untuk urusan film saru-saruan, Miyabi masih kalah ngetop ketimbang Rin Sakuragi. Sementara itu, dulu penulis skenario Menculik Miyabi sudah janji bahwa tidak akan ada adegan jorok sama sekali di film yang sedianya akan melibatkan Miyabi itu, tetapi orang-orang berisik tetap aja melarang Miyabi datang. Herannya, di internet sudah banyak beredar trailer film Suster Keramas yang menggambarkan Rin Sakuragi mencopot bajunya waktu keramas (tentu saja disyuting dari belakang, tapi apa bedanya sih?), dan sejauh ini belum ada pemberitaan tentang pemboikotan Rin Sakuragi.

Titik yang menjadi perhatian gw adalah profesi suster alias perawat yang diusung oleh film ini. Gw risih mendengar suster dijadiin obyek film horror. Mulai dari jamannya tokoh Suster Ngesot, sampai Suster Keramas yang ini. Kenapa sih setannya mesti suster? Suster itu perawat, kerjaannya merawat orang sakit. Gw yang dokter aja kalang kabut kalau mau periksa pasien tapi nggak ada perawatnya. Mbok ya profesi perawat itu dijunjung mulia, jangan dijadiin setan.

*Kalau sampai ada orang berani bikin film tentang dokter ngesot atau dokter keramas, awas ya..!*

Coba sekali-sekali pakai profesi lain buat dijadiin setan yang keramas. Apa gitu kek, pengacara keramas, tentara keramas, insinyur keramas, dosen keramas, astronot keramas.. Memangnya filmnya nggak bakalan laku ya kalau yang jadi setannya profesi-profesi itu?

Dan satu lagi: gw bosen lihat trailer film horor Indonesia yang setannya cewek cantik melulu. Mbok sekali-sekali bikin film horror yang setannya berupa cowok yang ganteng, badannya berotot atletis kayak Mr Universe. Pasti laku! :-P

Eh, kalau ada bintang film pria Indonesia buat dijadiin setan film horror, enaknya siapa ya? Ari Wibowo? Tora Sudiro? Nicholas Saputra? Duh, duh, rasanya kok nggak ada yang cocok..

P.S Untuk memeriahkan blog ini, gw nyari gambarnya film Suster Keramas di Google kemaren. Alamak, ternyata hasilnya gw dapet gambar-gambar yang layak disensor semua. Masalahnya blog gw nggak sudi masang gambar-gambar yang kontra edukatif, jadilah gw terpaksa nggak bisa masang gambar suster yang lagi keramas. Gw sendiri nggak mau nonton filmnya minggu depan nanti, Anda mau?

Friday, December 25, 2009

Steak-Steak-an

Malam ini, keluarga kami mutusin buat meliburkan asisten pribadi kami dari tugasnya nata meja buat makan malam. Kita keluar dari rumah, nyetir ke arah kota dan mulai bertikai tentang malam ini mau makan di mana. Nyokap gw kepingin makan bakmi Cina. Adek gw kepingin makan sushi. Gw kepingin makan domba Oz. Bokap gw? Makan di mana aja yang parkirnya nggak susah.

Keinginan bokap gw memang nggak muluk-muluk. Natal ini, Bandung tumpek blek sama kendaraan dari luar kota, dan dominasi mobil pelat B menuh-menuhi jalan. Sebuah situs portal bahkan memberitakan tadi sore bahwa tol Pasteur dirayapi sekitar 1500 mobil setiap jamnya. Ngebayanginnya aja, perut gw udah mual. Tidak heran, semua tempat penuh, apalagi dua tempat favorit gw: toko baju dan restoran.

Kami baru 1,5 kilometer dari rumah, tapi mobil cuman bergerak dengan kecepatan 1 km/jam. Beuh, siput aja masih jauh lebih kenceng (lebay MODE : ON). Hujan turun deras menghajar, macet di mana-mana, dan semua restoran incaran nyokap dan adek gw dan gw sendiri penuh. Baru lihat tempat parkirnya aja udah males, saking penuhnya. Akhirnya kita balik arah, naik lagi ke arah pulang.

Tapi, rencana kita mau dugem (sebutan gw buat DUnia GEMbrot, alias acara makan-makan), harus tetap jalan. Akhirnya masuklah kita ke sebuah kafe yang jualan steak. Gw bilang ini steak-steak-an, bukan steak sungguhan. Dan gw iseng meneliti fenomena steak-steak-an a la orang Indonesia:

1. Steak disajikan di atas meja, dan disediain saos tomat berikut saos sambel. Untung sambelnya cuman bentuk saos, bayangin kalau sambelnya jenis sambel cobek?

2. Steak dateng dalam tempo lima menit, yah paling lelet ya sepuluh menit. Nggak tahu dagingnya dipanggang dari awal atau cuman dipanasin doang.

3. Supaya murah, daging steak dijual rata-rata dengan cara digoreng panir. Mungkin dikiranya sama seperti ayam goreng tepung.

4. Ada menu steak yang satu biasa, ada satu lagi yang special. Bedanya apa? Ternyata, dibandingin yang biasa, yang special ditambahin pakai telor mata sapi. Ini steak atau nasi goreng??

5. Meskipun nama menunya berbau bule macam black pepper, tenderloin, dan semacamnya, tapi musik yang diputer di kafenya adalah musik mehek-mehek a la Melayu.

6. Betapapun orang tahu bahwa makan steak itu mestinya pakai kentang, tetap aja kafenya jualan nasi putih. Dan herannya, tetap aja ada pelanggan yang udah beli steak tapi masih minta nasi.


Anda kepingin makan steak tapi males ngantre parkir di restoran? Gampang, bikin aja di rumah. Sediakan daging panggang, sajikan di atas piring yang sudah dikasih potongan wortel, kentang goreng, dan sayuran. Supaya makin ciamik, penyajiannya jangan pakai piring kaca atau porselen, tapi pakai hot plate berbentuk sapi yang banyak dijual di supermarket. Waktu makan, redupin lampu ruangan, dan nyalakan lilin. Percaya deh, rasanya kayak di kafe sungguhan!


P.S Tips yang terakhir nggak berhasil buat Grandpa gw. Waktu mau makan, Grandpa gw membubuhi steaknya terlalu banyak merica, akibatnya Grandpa gw malah batuk-batuk dan bersin-bersin. Gw bilang ke bokap gw, lain kali jangan pernah lagi bawa Grandpa makan di tempat sok romantis yang lampunya remang-remang.

Wednesday, December 23, 2009

Nonaktif Bikin Masalah

Nonaktif tidak bersodara dengan nona-nona manapun, dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan hiperaktif.

Ini cerita tentang kolega gw, yang sempat musibah gara-gara dia harus menangani sebuah musibah, dan ujung-ujungnya malah menimbulkan musibah yang lebih berantakan dari musibah itu sendiri. *kok gw jadi bingung begini, nulis kalimat kok ribet amat..*

Kolega gw, sebut aja namanya Rachel, tiga tahun lalu lagi jaga sebuah rumah sakit waktu pasien ini diopname di sana dalam keadaan parah. Tibalah saatnya pasien ini kritis dan Rachel sebagai satu-satunya dokter seharian itu harus menolongnya. Ternyata Tuhan lebih kuasa, coz setelah diberi tindakan pertolongan oleh Rachel, pasien itu meninggal. Keluarganya pasien itu ngamuk-ngamuk dan tidak menerima kematiannya, menuduh Rachel melakukan malpraktek, lalu menekan pejabat manajemen rumah sakit supaya Rachel diganjar. Demi menyelamatkan muka rumah sakit tanpa harus mencelakakan karier Rachel, Rachel dibisikin supaya mengundurkan diri atas keinginan sendiri. Mereka bilang ini namanya “non-aktif”, tapi gw bilang itu namanya cara halus untuk memecat orang.

Ternyata, kepergian Rachel yang setengahnya dipaksa itu menimbulkan masalah baru. Pasalnya, selain bertugas sebagai dokter jaga seminggu sekali, sehari-hari Rachel adalah pejabat sebuah poliklinik di rumah sakit itu. Setelah Rachel pergi, posisi kepala operasional poliklinik itu kosong blong tanpa dokter sama sekali. Siyalnya, manajemen rumah sakit yang “menon-aktifkan” Rachel belum mencarikan dokter pengganti baru, akibatnya seorang dokter lain yang merupakan rekan Rachel harus turun tangan buat mengisinya. Padahal sang dokter rekan itu sudah sibuk meladeni ruang rawat inap, jadi bisa dibayangkan dia harus jumpalitan mengurusi pasien-pasien yang diopname pasien rawat jalan sekaligus. Kualitas pelayanan departemen di rumah sakit itu menjadi menurun, dan ujung-ujungnya yang dirugikan tetap saja pasien-pasien yang berobat ke sana.

Di sini kita menarik hikmah bahwa tindakan me-non-aktifkan seorang pegawai kadang-kadang bisa berakibat fatal terhadap institusi itu sendiri. Seorang pegawai biasanya diserahi tanggung jawab untuk mengurusi suatu pekerjaan yang menjadi denyut nadi institusi itu, jadi kalau dia tidak masuk satu hari saja, kegiatan operasional institusi itu berantakan. Apalagi kalau dia diberhentikan dari pekerjaannya, siapa yang akan menggantikan posisinya, dan siapa yang bisa menjamin bahwa orang baru yang menggantikannya akan bisa bekerja secekatan orang lama?

Tindakan penonaktifan terhadap seseorang mungkin diperlukan jika dirasakan bahwa kinerja orang itu mungkin merugikan institusi tersebut. Tetapi sebelum menonaktifkan orang, perlu dipikirkan masak-masak, mana yang lebih besar, manfaat untuk tetap mempekerjakan orang itu, atau malah kerugian yang terjadi jika orang itu diberhentikan? Dalam kasus penonaktifan kolega gw Rachel, satu-satunya manfaat yang bisa ditarik oleh rumah sakit hanyalah bahwa para manajer rumah sakit tidak jadi “benjol” gara-gara diamuk keluarga pasien yang meninggal. Kerugiannya lebih banyak, posisi yang ditinggalkan Rachel tidak diisi dokter yang baru -> dokter yang lain terpaksa bekerja dobel -> terlalu banyak pekerjaan, terlalu sedikit waktu -> pasien-pasien tidak tertangani dengan memuaskan -> pasien pun ngomel-ngomel -> citra rumah sakit sebagai sarana pelayanan medis yang gesit pun menurun.

Fenomena penonaktifan yang cuman berujung pada masalah baru ini pasti nggak cuman terjadi di rumah sakit doang, tapi juga bisa terjadi di lembaga-lembaga lain yang bukan medis. Di kantor Anda, mungkin? Atau mungkin di negara Anda?

Gw menulis ini, karena sekarang lagi ngetrennya kata “non-aktif”. Menuntut untuk menon-aktifkan polisi. Menon-aktifkan menteri. Menon-aktifkan wakil presiden. Seolah-olah gampang aja nyari pejabat-pejabat baru dalam waktu singkat tanpa harus mengorbankan stabilitas aktivitas nasional.

Adakah solusi yang lebih baik?

Tuesday, December 22, 2009

Berkah Tanpa Batas

Seorang teman konsul ke gw kemaren, dia warga negara Jepang yang lagi pertukaran mahasiswa di Bandung, dan dia baru aja beli obat antimalaria coz takut kena. Tadinya gw bilang bahwa malaria udah nggak eksis lagi di Bandung, jadi dia nggak usah minum obat itu. Tapi ternyata dia mau pergi ke Kalimantan dalam waktu dekat, jadi dia pikir sebaiknya dia minum obat itu dan sekarang dia mengkuatirkan efek sampingnya. Gw kasih dia beberapa nasehat medis dan bilang dia nggak perlu kuatir.

Ngomong-ngomong soal malaria, gw jadi inget waktu gw masih kerja di Kalimantan tahun lalu. Gw mungkin sudah beberapa kali nulis bahwa sepanjang setahun lalu gw kerja jadi dokter pegawai tidak tetap di Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Keputusan yang cukup berani yang pernah gw bikin coz selama gw tinggal di sana, gw nggak pernah minum obat antimalaria sama sekali. Dan syukurlah gw nggak pernah kena. Padahal hampir semua teman gw yang kerja PTT di Cali sana pada bawa oleh-oleh malaria di badannya waktu pulang.

Untuk perlindungan gw sendiri, gw menginvestasikan duit gw dengan belanja obat nyamuk buat di rumah dan melumuri bodi gw dengan lotion anti nyamuk sehari-hari. Gw pernah dianjurin buat masang kelambu juga, tapi gw tolak. Soalnya, gw bingung cara nyucinya gimana. Gw malah pikir kelambu itu lebih potensial bikin alergi debu ketimbang melindungi dari nyamuk.

Minggu lalu, gw ketemu seorang kolega gw waktu gw masih di Cali dulu. Dia ini dokter yang sama angkatan PTT-nya sama gw, berangkat dari upacara pelepasan yang sama, kerja di provinsi yang sama. Cuman bedanya, gw kerja di Pulang Pisau, dia kerja di Pegatan, jadi selama setahun itu kita berdua nggak pernah ketemu.

Kolega gw itu ngasih tahu gw bahwa ketika kontrak kerja kami di sana sama-sama berakhir akhir Agustus lalu, dia sendiri baru pulang ke Jakarta pada minggu kedua bulan September. Padahal gw waktu itu kan sudah pulang ke Bandung pada minggu terakhir Agustus. Ternyata, kolega gw itu sudah berencana pulang pas minggu pertama Septembernya, tetapi dia nggak bisa berangkat, coz bandara Cilik Riwut di Palangka ketutupan asap pekat akibat pembakaran hutan. Menunggu dua minggu itu sangat bikin BT, coz uang transport kita sesudah masa tugas berakhir itu kan nggak ditanggung oleh Dinas. Siapa juga sih yang mau nginep di hotel sampai dua minggu cuman gara-gara nungguin kabut asap reda?

Gw jadi inget, pada minggu-minggu sebelum gw pulang itu, gw geregetan coz takut nggak bisa pulang. Pembakaran hutan sudah terjadi sejak bulan Juli 2009, melingkupi sebagian wilayah Kalimantan Tengah. Kalau gw keluar dari apartemen gw subuh-subuh, gw nggak bisa lihat jauh coz ada kabut asap, cuman waktu itu belum parah-parah amat, coz kalau udah lewat jam delapan pagi kabutnya ilang. Tapi menginjak minggu pertama Agustus, staf kantor gw yang kerja di Bandara Cilik Riwut melapor bahwa kabut asap mulai menghalangi pesawat yang mau mendarat ataupun yang mau terbang. Perasaan gw waktu itu, this is not good.

Ketika surat pengakhiran kontrak gw keluar pada minggu terakhir Agustus, gw langsung berkemas dan terbang dengan pesawat pertama dari Palangka ke Jakarta. Ternyata, sehari sesudah gw terbang itu, kabut asap di Palangka makin pekat dan sudah sampai ke taraf mengganggu kegiatan kota. Anak-anak sekolah berangkat lebih siang, coz jalanan sudah nggak kelihatan di pagi hari, sehingga sekolah terpaksa memundurkan jam belajarnya. Bahkan mereka yang berangkat pagi pun terpaksa pakai masker coz sudah mulai banyak yang batuk-batuk. Beberapa hari sesudah gw terbang dari Palangka itu, bandara ditutup coz pesawat-pesawat nggak berani mendarat. Orang-orang yang mau terbang, terpaksa berjuang buat nggandol travel ke Banjar supaya mereka bisa terbang dari sana. Padahal jalan Trans Kalimantan dari Palangka ke Banjar sudah kena kabut juga. Termasuk kolega gw, akhirnya baru bisa pulang ke Jakarta pada minggu kedua September, coz baru pada saat itu pesawat berani beraktivitas di Palangka.

Gw baru nyadar bahwa selama gw kerja di Cali itu gw betul-betul dilindungi Tuhan. Semua kolega gw pulang dari tugas PTT sambil bawa malaria di badannya, tapi gw satu-satunya yang nggak kena, padahal gw nggak minum obat. Kalau sehari aja gw telat beli tiket terbang dari Palangka waktu gw pulang, barangkali gw bisa terkatung-katung lebih lama di sana tanpa kepastian. Hanya Tuhan yang tahu kapan kabut asap itu akan berakhir.

Nggak ada batasnya, berkah yang diturunkan Tuhan itu buat gw. Dan gw sangat bersyukur untuk itu.

Monday, December 21, 2009

Kenapa Perlu Bioskop


"New Moon, Neng? New Moon?"

Mang-mang itu melambaikan bungkusan plastik dengan gambar Robert Pattinson yang gesturnya seolah nggak mufakat melihat Kristen Stewart dipeluk bocah-yang-dadanya-bikin-histeris-tapi-malah-gw-pikir-norak itu. Gw agak heran coz waktu itu New Moon belum diputer di bioskop Indonesia, tapi DVD bajakannya udah beredar di emper-emperan. Dari mana ya pembajaknya bikin versi bajakan itu? Pasti pembajaknya tipe profesional yang langganan film-film dari luar negeri, bukan tipe amatiran yang nyuri-nyuri shooting di bangku belakang bioskop.

Indonesia dikenal sebagai surganya DVD bajakan. Carilah film apa aja, maka Anda gampang nemuinnya dengan banderolan murah-meriah. Yang beginian nggak cuman nyari-nyari di pasar-pasar gelap yang sumpek, tapi bahkan gampang ditemuin di mal-mal yang mewah. Gw bahkan tahu sebuah ruko di Bandung yang bela-belain disewa mahal cuman buat jualan DVD bajakan. Mereka menjual segala film dengan kualitas bagus, cukup Rp 6.000,-/keping. Bahkan beli 10 disc, gratis satu.

Lupakan dulu masalah legalitas DVD bajakan ini. Pertanyaannya, jika DVD bajakan segitu murahnya, di mana pasar untuk bioskop?

Gw terpikir ini waktu tadi pagi baca koran yang menulis bahwa gedung bioskop terakhir di Tasik, Jawa Barat, yaitu Parahyangan Theatre, baru aja ditutup. Artinya sudah nggak ada lagi bioskop di Tasik. Gw bertanya-tanya, apakah penduduk Tasik udah nggak suka nonton film lagi.

Gw pernah ditugasin kerja sebagai dokter di Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, selama setahun. Di sana nggak ada bioskop. Jangankan bioskop, layar tancep aja nggak ada. Itu bikin gw menderita coz saat teman-teman gw ngumumin di Facebook mereka bahwa mereka rame-rame nonton Twilight, gw merasa jadi satu-satunya anak gaul yang nggak tahu betapa seksinya jadi vampir. Untung waktu Natal gw sempat pulang ke Bandung di mana adek gw sudah nyediain Twilight versi bajakan supaya gw tahu bahwa masih cakepan Carlisle Cullen ketimbang Edward Cullen.

Selama setahun itu, gw nggak pernah nyentuh bioskop sama sekali. Palangka sebagai ibukota provinsi, hanya dua jam perjalanan dari Pulang Pisau, tapi di sana juga nggak ada bioskop. Bioskop terdekat ada di Banjar, yang jaraknya sama, tapi menurut gw, tidak logis kalau gw bela-belain naik travel cuman buat nonton bioskop.

Semenjak itu, gw bisa merasakan alangkah pedihnya kalau kau tidak bisa nonton bioskop hanya karena nggak ada gedung bioskop di kotamu.

Tahun '07, kakak gw yang di Malang pernah bikin manyun suaminya gara-gara dia melarang suaminya bawa anak-anak mereka nonton Spiderman di bioskop. Waktu itu ada gosip beredar jarum-jarum suntik bekas narkoba di bangku-bangku bioskop Malang, dan kakak gw jadi penakut. Gw bilang ke suaminya, "Sudah, tunggu DVD bajakannya aja. Paling-paling sebulan lagi udah beredar."

Kata suaminya sebel, "Ah, bulan depan filmnya udah basi. Masak orang-orang sekarang udah pada nonton, sementara gw belum?"

Saat itulah gw belajar bahwa orang-orang masih nonton bioskop coz mereka kepingin aktualisasi diri. Ketika mereka nonton film yang lagi "in" di bioskop, mereka merasa ngikut sama trend, sehingga mereka bisa ikutan nyap-nyap ngomongin film itu. Perasaan aktualisasi diri itu nggak bisa diganti dengan nonton DVD bajakan, sekalipun harga DVD itu empat kali jauh lebih murah. Coz, DVD bajakan yang berkualitas bagus, baru beredar paling cepat sebulan sesudah film aslinya diputar di bioskop. Kalau filmnya belum habis di bioskop tapi DVD bajakannya udah keburu beredar, maka tuh DVD pasti ada aja cacatnya: editan filmnya jelek, suaranya mendam, atau subtitle-nya asal-asalan.

DVD bajakan ada coz orang butuh nonton film. Kalau Pemerintah memang serius mau melarang peredaran film bajakan, ya mesti disediakan jalan yang gampang buat distribusi film yang legal. Misalnya, nggak usah ada biaya pungutan nggak penting buat mengedarkan film, sehingga biaya yang mesti dikeluarin pemilik bioskop buat memutar sebuah film pun bisa dikurangi. Dengan begitu pengusaha bioskop nggak usah masang tarif tiket yang terlalu tinggi hanya buat ngejar balik modal, sehingga orang pun jadi tidak segan buat dateng ke bioskop. Perawatan bioskop juga perlu, mulai dari perbaikan mesin pemutaran film sampai bersih-bersih toilet yang dipakai pengunjung. Kalau bioskop bisa tampil cantik, bioskop nggak perlu tutup segala cuman lantaran takut bersaing dengan DVD-DVD bajakan.

Kota yang bagus adalah kota di mana penduduk bisa menyalurkan kebutuhannya akan aktualisasi diri. Dan salah satu sarana buat mengaktualisasi diri adalah dengan cara nonton bioskop. Oleh karena itu, kalau kepingin disebut mutakhir, sudah selayaknya kota itu memiliki gedung bioskop yang cukup keren di areanya.

Sunday, December 20, 2009

Ditolak Salaman

Ini akibatnya kalau orang nggak punya sopan santun..

Michelle: “Halo, Pak Silvio, apa kabar? Saya istrinya Pak Obama.”

Silvio: “Maap, saya ndak salaman sama cewek yang udah nggak pirang, nggak bahenol, dan nggak umur 18 tahun lagi..”




Obama: (dalam hati) “Nih orang nggak sopan bener sih. Orang diajakin salaman kok nggak mau?”





Pas pulang-pulang, Obama nelfon orang.

“Halo, Cak? Bisa minta tolong, nggak?.. Gini, ada orang cari gara-gara sama gw. Bini gw ngajak salaman, tapi tuh orang nggak mau. Sekarang bini gw gondok setengah mati dan nggak mau keluar kamar..”



“..oh, beres, Boss! Tenang aja nanti ane beresin! Tuh orang emang layak dikasih pelajaran!”




Beberapa hari kemudian..

Silvio: “Dosa apa eike sampai-sampai muka eike bonyok gini dilemparin patung..?”






P.S. Thanx ya, Mi, buat kiriman gambarnya.. :-)

Saturday, December 19, 2009

Cowok-cowok Jelek


Anda pasti pernah taksir-taksiran sama teman. Nggak cuman pas jaman kuliah dulu, mungkin sekarang juga masih. Bahkan kalau pun Anda sudah nggak lajang lagi sekarang, pasti Anda masih ingat teman macam apa yang Anda gebet dulu.

Nah sekarang, mari kita inget-inget, gimana reaksi bonyok Anda waktu Anda nunjukin gebetan Anda dulu. Apa kata mereka?
1. "Hm, kok mukanya kayak pentol korek?" mentang-mentang kepalanya nggak ada rambutnya.
2. "Itu temenmu ya? Kok kucel sih?" padahal memang gaya cowoknya a la gipsi.
3. "Jangan deket-deket! Itu pemuda kampung!" padahal bonyok kan aselinya wong ndeso juga.

Jadi, menurut nyokap gw, waktu nyokap masih a-be-geh dulu, ada seorang temennya yang suka pe-de-ka-te sama nyokap. Orangnya sih, menurut nyokap ya cakep. Tapi kata Grandma gw, tuh temen orangnya juelek banget. Lalu Grandma mengultimatum nyokap gw, jangan deket-deket sama temen nyokap itu, soalnya temen nyokap itu "bla-bla-bla".. (Nggak usahlah gw sebutin detailnya, intinya Grandma nggak mufakat sama warna kulit, model rambut, dan tingkat kecekingan orang yang lagi pe-de-ka-te sama nyokap gw itu, hahaha!)

Jadi pas suatu hari tuh temen nganterin nyokap pulang, Grandma gw berdiri di teras dan manggil-manggil tuh orang, "Sini, sini!" sembari dadah-dadah. Lalu cowok malang itu menyamperin Grandma gw dan Grandma gw mengeluarkan mantra saktinya, "Tidak boleh main-main ke sini lagi!"

Hahaha..gw kesiyan banget sama cowok itu. Aduhaduhaduh, Grandma gw lebih serem ketimbang herder..

Meskipun ada dampak positifnya juga sih. Coba kalau nyokap beneran jadi sama tuh orang, kan nyokap gw nggak bakalan ketemu bokap gw, lalu gw nggak bakalan lahir, dan Anda nggak akan baca blog ini, hahaha..

Maka, kebiasaan sensor-menyensor pacar itu ternyata jadi penyakit genetik. Selama gw sekolah, nyokap gw juga ikutan suka menilai setiap cowok yang gw gebetin, entah itu yang masih statusnya temen atau yang udah naik pangkat jadi pacar. Dan kalau gw pikir-pikir, selalu aja ada bahan celaan nyokap buat nyuruh gw jauh-jauh dari para pria potensi asmara itu (aduhaduh, istilahnya nggak kuat banget!):

Jaman SD: "Kok nggak ranking?"
(Ini tidak adil. Lha gw selalu langganan jadi juara kelas, gimana gw mau dapet cowok yang rankingnya lebih tinggi dari gw di sekolah itu?)

Jaman SMP: "Kok item?"
(Halah, kayak yang bokap gw putih aja)

Jaman SMA: "Pasti dia ngebut!"
(Apa bedanya? Toh gw pulang naik angkot, bukan dianterin gebetan)

Jaman kuliah: "Ibunya kok tukang pamer?"
(Baru juga pacaran. Belum tentu juga mau besanan)

Jaman udah kerja:
"Dia bukan direktur?"
(Kok nggak sekalian aja gw disuruh pacaran sama Aburizal Bakrie??)

Apakah orang tua selalu begitu, merasa berhak mencela pacar-pacar anaknya yang mereka anggap jelek hanya karena orang tua mereka dulu juga begitu? Padahal kita para anak perempuan selalu nganggap cowok kita itu orang paling cakep sedunia yang nggak layak dicela. Biarin deh orang bilang apa, bahwa dia bukan Donald Trump, bukan Fred Astaire, bukan Tom Cruise, tapi kita kan sukaaa banget dan pengen bareng dia terus? Apa karena orang tua itu yang melahirkan kita, lantas penilaian mereka itu pasti benar?

Sekitar beberapa hari lalu, nyokap gw buka foto-foto reunian sekolahnya. Eks gebetan nyokap gw juga ada di situ. Tampangnya masih sama kayak jaman dulu, orangnya sih sekarang udah sukses, tapi.. yah, kata nyokap gw, skor total masih bagusan bokap gw, hahaha.

Lalu gw buka profil mantan-mantan gebetan gw di internet. Gw nggak salah milih mereka dulu, sekarang mereka udah jadi dokter hebat, perwira yang berani, staf perusahaan beken, dosen yang diseganin. Tapi yah, kalau gw pikir-pikir, masing-masing ada kelemahannya: tukang selingkuh nan brengsek, pasrah pada ikatan kerja yang lebih mirip perbudakan, ketinggalan update dari pergaulan, mental konservatif yang kepalanya sempit. Semuanya pernah dicela nyokap gw, dan semuanya kini bikin gw berpikir-pikir, "Kok bisa-bisanya seh, dulu gw mau sama lu?!"

Barangkali selera kita tentang cakep pada jaman dulu itu belum bisa dipertanggungjawabkan, karena sebenarnya pria-pria yang kita anggap cakep itu tidak lebih dari sekedar cowok-cowok jelek. Maka diperlukan penilaian orang tua, coz selera mereka lebih terandalkan. Ini seperti membandingkan penelitian yang dibikin oleh mahasiswa kelas krucuk dengan penelitian bikinan profesor. Mana yang reliabilitasnya lebih baik?

Foto oleh Hadi Cahyono - Cosmopolitan

Friday, December 18, 2009

Mengusir Midnite Sale

Kalau Anda buka toko, Anda pasti kepingin toko Anda banyak pengunjungnya. Tapi pasti ada saat-saat di mana Anda justru kepingin pengunjung buru-buru cabut dari toko Anda secepat mungkin, ya kan? Apalagi kalau sudah waktunya toko tutup.. Sekarang pertanyaannya, gimana caranya Anda ngusir pengunjung dari toko Anda tanpa bikin pengunjungnya be-te sama toko Anda?

Jadi begini, kakak gw baru dateng dari luar kota dan agenda kami adalah ikut acara berduka cita di rumah paman karena istri paman gw baru meninggal dua hari yang lalu. Acara duka cita itu baru selesai malem-malem jam 10-an, dan karena kakak gw jarang banget ke Bandung, maka gw ambil inisiatif buat nganterin dia liat-liat Bandung di malam hari, mumpung mata kami masih segar-bugar. Puter-puter kota dan hasrat kepingin ngemil pun muncul, tapi kan restoran-restoran di kota sudah banyak yang tutup malam itu. Lalu gw inget bahwa sebuah mal di Sukajadi bikin midnight sale, jadi pasti tuh mal buka sampai malem. Makanya pergilah kami ke sana.

Ternyata, biarpun kami sampai di sana baru jam 11 malem, ternyata kami susah banget dapet tempat parkir. Parkirnya penuh banget dan macet. Sudah gitu, semua toko penuh sesak dengan orang-orang yang kepingin belanja. Suami kakak gw sampai bilang dia nggak bisa jalan, saking berjubelnya pengunjung. Hampir semua toko buka dan bikin diskon, mulai dari diskon ecek-ecek yang cuman 10% (diskon kok nggak niat?) sampai diskon yang rada gedean sebesar 50% (diskon yang nggak ikhlas!).

Kita sih cuman liat-liat barang doang, tapi nggak belanja. Apalagi gw, yang lagi nggak nafsu ngabisin duit. Paling-paling gw cuman seneng ngeliatin orang-orang belanja doang. Heran gw, kok begitu ngebetnya orang-orang ini, padahal kalau gw pikir-pikir harganya setelah didiskon pun juga nggak murah-murah amat.

Setelah puter-puter mal itu, kita pun sepakat kepingin duduk-duduk aja di kafe mana gitu sambil minum-minum. Nggak taunya, ternyata kafe-kafe pun menunjukkan gelagat mau tutup, keliatan dari beberapa pelayan yang matanya udah kedip-kedip mulai mirip bohlam lima watt. Yang lucunya gw liat tuh di teras-teras kafenya masih banyak pengunjung yang duduk-duduk ngerumpi seolah-olah nggak kepingin pulang. Padahal jam sudah nunjukin jam 12.15 malem.

Gw mendadak jadi kesiyan sama pelayan kafenya, soalnya gw baca di spanduknya mal itu bahwa midnight sale-nya kan cuman sampai jam 12 malem. Jadi logikanya kan mestinya setelah jam 12 ya tokonya mulai tutup dan pelayannya boleh siap-siap pulang. Tapi kayaknya pengunjung semal itu belum nunjukin gelagat mau pergi. Dan makin larut, pengunjung yang dateng pun makin banyak. Lha gimana, mosok mau pengunjungnya diusir dan dibilang, “Sudah, sudah! Pergi sana! Kami mau tutup!”

Jadi gw mempelajari cara-cara halus mereka ngusir orang-orang yang masih duduk-duduk di kafe:
1. Lampu kafenya dikedip-kedipin, jadi seolah-olah nunjukin listriknya kehabisan energi.
2. Mulai matiin lampu satu per satu. Tadinya cuman lampu di pinggir-pinggir doang, lama-lama mati lampunya mulai ke tengah hingga yang nyala tinggal lampu di meja yang masih ada pengunjungnya.
3. Panggangan mulai dimatiin. Kompor mulai dimatiin, jadi udah tanda-tanda nggak akan nggoreng oden dan takoyaki lagi.
4. Bangku-bangku dinaikin ke atas meja. Lama-lama bangku yang masih turun tinggal bangku yang masih didudukin doang.
5. Pintu-pintu ditutup satu per satu. Lama-lama yang pintu yang masih buka tinggal satu.
6. Pelayan nampak duduk-duduk dan pura-pura nyopot topi seragamnya sambil senam-senam dikit. Kalau diliatin pengunjung, mereka senyum lima senti tapi matanya menyorot judes mengusir.

Paling kesiyan gw kalau pelayannya kerja di suatu kafe dan kebetulan kafenya itu lagi didudukin oleh segerombolan geng yang lagi rame-rame ngerumpi sambil cekikikan. Coba, gimana caranya ngusir orang yang lagi enak-enak ketawa, ngusirnya juga nggak tegaan..

Midnight sale cuman menyenangkan pemilik mal dan yang punya vendor-vendornya. Dan menyenangkan pengunjung yang konsumtif dan senang hura-hura, atau yang seneng observasi orang lain kayak gw. Tapi tidak pernah menyenangkan, buat pelayan-pelayannya yang disuruh lembur..

Tuesday, December 15, 2009

Pengobatan Gratis yang Omong Kosong

Sekarang lagi ngetrend gerakan sejuta-sejutaan. Mulai dari gerakan sejuta Facebookers dukung Bibit-Chandra. Lalu gerakan semilyar dukung Polri (eh, itu masih ada nggak sih? Atau sekarang udah nggak laris lagi?). Ada juga gerakan sejuta dukung jihad Palestina. Gw sendiri bingung dengan gerakan sejuta-sejutaan ini. Gimana cara orang-orang ini ngumpulin dukungan massa online sampai sebanyak itu? Gw sendiri juga udah ikut-ikutan bikin gerakan sejutaan, namanya “Gerakan 1 Juta Facebookers Dukung Vicky Laurentina Jadi Mrs. Brad Pitt”, tapi entah kenapa sampai hari ini belum ada yang mau ikutan ngedukung.. :-p

Semalam, gw baru gabung dukung “Gerakan 1 Juta Dokter Menolak Kepala Dinas Kesehatan Bukan Tenaga Kesehatan!!” di Facebook. (Tadi malem gw dapet notification alert bahwa adminnya gerakan itu baru aja ngeganti namanya menjadi Dukungan Facebookers Menolak Kepala Dinas Kesehatan Bukan Tenaga Kesehatan. Sama aja sih, cuman ganti bungkus.)
Jadi begini, gerakan ini diinpsirasi dari rasa empati kepada dokter-dokter PTT yang dijelek-jelekin sebuah koran di Buton minggu lalu. Diceritain bahwa di Wakatobi, dokter-dokternya sering mangkir tugas, sering nggak ada di tempat, lalu ada yang minta bayaran pengobatan ke pasiennya, hal-hal seperti itulah. Tindakan ini dianggap jelek coz bertentangan dengan program birokrasi daerah setempat, karena menurut mereka, sedang digalakkan program pengobatan gratis.

Sebenarnya, dokter PTT mangkir dari tugas bukan hal yang aneh. Nggak usahlah bicara dokter. Misalnya Anda seorang tukang sapu aja, kalo gajinya nggak dibayar, apa Anda mau terus-menerus kerja nyapu di tempat itu? Tentu tidak. Dokter juga begitu, kalau gajinya telat nggak dibayar oleh Dinas, pasti ujung-ujungnya mangkir. Lha kalau nggak dapet gaji, mau makan apa?

Kenapa dokter sering nggak tinggal di Puskesmas? Sederhana aja. Sering keliatan di daerah-daerah terpencil bahwa Puskesmas itu letaknya di ujung dunia, jauh dari mana-mana. Nggak ada orang jual makanan, nggak ada air bersih, nggak ada kantor pos. Makanya dokter milih tinggal di rumah yang deket pasar, yang air sumurnya nggak cokelat, dan ada sinyal buat SMS-an. Kan kita semua udah diajarin waktu kelas 1 SMP dulu, bahwa ciri makhluk hidup adalah butuh makanan, butuh air, butuh komunikasi. Kalau Puskesmas jauh dari ketiga ciri di atas, lama-lama dokternya bisa tewas di situ.

Kenapa dokter minta bayaran pengobatan ke pasiennya? Oke, ini yang mesti diluruskan. Harus diketahui bahwa kadang-kadang sarana yang bisa diperoleh penduduk untuk berobat hanyalah Puskesmas itu. Siyalnya, obat-obatan gratis yang disediakan di Puskesmas sering banget nggak memadai. Misalnya penduduknya banyak yang sakit jantung, tapi di Puskesmas nggak ada obat darurat jantung. Terus, masih inget kan, dulu gw pernah nulis obat Puskesmas yang kadaluwarsa. Nah, karena dokter harus menolong pasien, maka dokter bertindak sendiri buat ngobatinnya. Cara yang paling sering ditempuh, dokternya jualan obat sendiri, nanti penduduknya tinggal bayar. Harga obat yang dijual dokternya bisa aja terhitung mahal, coz untuk mendapatkan obat itu di kota, dokternya mesti naik sampan tiga kali, terus naik elf dua kali, lalu nginep di losmen satu malem. Lha mau minta dukungan obat gratis dari Pemerintah? Lama. Bisa-bisa anggarannya baru keluar tahun depan, dan pasiennya sudah keburu tewas.

Kata kakak ipar gw, PTT itu Pegawai Tidak Tentu. Gajinya telat, manuvernya sulit, sekolah lagi juga susah. Lha istilah gw, PTT itu singkatan dari Penderitaan Tiada Tara.

Semua itu nggak perlu terjadi kalau pengobatan gratis yang dijanjiin pemerintah daerah ini dikelola dengan baik. Ya mengelola obat-obatannya, mengelola sistem pengobatannya, sampai mengelola manusia-manusia yang disuruh melaksanakan pengobatan gratisnya. Dan itu susah, apalagi kalau pengobatan gratis itu dicanangkan oleh dinas-dinas kesehatan yang kepalanya sama sekali bukan sarjana dari ilmu kesehatan.

Menurut gw, daripada birokrat-birokrat yang minim wawasan pengobatan itu bikin program pengobatan gratis, mendingan bikin program kesehatan gratis. Program kesehatan nggak melulu ngurusin pengobatan, tapi bisa menyentuh sisi pencegahan penyakit. Misalnya mencegah infeksi dengan nyuruh penduduk cuci tangan. Mencegah kematian ibu melahirkan dengan kampanye keluarga berencana. Mencegah kencing manis dengan demo masak menu makanan sehat. Mencegah kecelakaan dengan membagi-bagi helm gratis. Kalau penduduk sudah tau caranya mencegah penyakit, akan makin sedikit penduduk yang berobat, dan biaya pengobatan yang mesti ditanggung Pemerintah juga nggak akan besar.

Jadi, jangan cepat percaya dengan janji-janji calon birokrat manapun yang merayu soal pengobatan gratis. Pengobatan gratis itu omong kosong selama sistem pengobatannya sendiri masih amburadul. Jangankan pengobatan gratis, sama seperti sekolah juga nggak ada yang gratis. Bahkan, di dunia ini nggak ada yang gratis. Boro-boro, kita mau bernafas aja juga nggak gratis. Buat bernafas, kita butuh makan. Buat dapet makan, kita butuh uang. Buat dapet uang, itu harus ada usaha. Jadi, bernafas itu harus usaha, bukan gratis. Lha kalau bernafas yang cuman skala cemen aja nggak gratis, apalagi yang urusan gede macam pengobatan, gimana mau gratis?

Monday, December 14, 2009

Kembalikan Duit Sayah..!


Seorang kolega dibikin malu total gara-gara pada hari ketika dia seharusnya ngunduh mantu, anaknya sendiri yang dia nikahkan ternyata minggat. Padahal tempat akad nikah sudah digelar, penghulu sudah dipanggil, katering sudah dibayar, tamu-tamu sudah diundang. Anak perempuannya itu, ternyata lari sama mantan pacarnya.

*Kok kayak lagunya Project Pop aja yang judulnya Batal Kawin??*

Yang cerita ini adalah kolega gw yang kebetulan datang ke TKP itu. Menurut ceritanya, di kondangan itu ada tamu yang sampai misuh-misuh karena akad nikahnya nggak jadi. Kenapa sampai misuh-misuh? Yaa..soalnya dia merasa rugi coz sudah kadung nyawer di meja tamu! Hahaha..

*Inilah sebabnya kenapa gw lebih senang dateng ke resepsi pernikahan ketimbang ke akad nikahnya. Soalnya untuk mempertimbangkan faktor resiko pembatalan acara. Lha kalo nyawer di resepsi kan berarti pengantennya dipastikan sudah menikah. Tapi kalo nyawer di akad nikah, masih ada kemungkinan pengantennya membatalkan pernikahan toh?*

Gw pikir, ini pengantennya kok ya nggak sopan pake acara mbatalin kawin segala. Bukannya sebel karena dia berubah pikiran ya, tapi sebelnya kok mbatalin kawinnya mendadak. Penganten kadang-kadang suka lupa bahwa orang tuh dateng ke kondangan itu berkorban besar. Ada yang buat dateng ke kondangan itu harus nyari pinjeman jas dulu ke sana kemari, ngutang buat bayar bensin, atau bela-belain nggak sarapan dari pagi supaya pas di kondangannya bisa makan yang banyak. Gw sendiri kadang-kadang sulit dateng ke kondangan coz susah ngatur waktu, soalnya gw kudu wawancara, konferensi pers, pemotretan.. *halah!*

Jadi mbok ya kalo tamu sudah dateng ke kondangan, itu ya dihargain oleh pengantennya, jangan serta-merta dibilang, "Nggak jadi!" terus tamunya disuruh pulang. Masih mendingan kalo ini terjadinya di kalangan sosialita bonafid yang bisa mengendalikan kekecewaan. Kalo ini terjadi di masyarakat kalangan bawah, bisa-bisa terjadi amukan massa coz mereka udah kadung dateng demi menyaksikan suguhan pagelaran dangdut. Kan mereka udah nyawer, maka kalo hajatannya batal dan dangdutnya nggak jadi, mereka bisa bilang, "Kembalikan duit sayah..!!"

Demikian juga kalo pengantennya udah kadung kawin, dan ujung-ujungnya bercerai. Tentu aja ini akan mengecewakan banyak orang, termasuk orang-orang yang dulunya udah dateng buat nyawer di hajatan pernikahan mereka. Coba pikir, kenapa ada orang yang masih lebih suka kasih kado pernikahan berupa panci ketimbang duit? Ya coz mereka berharap tuh panci bisa dipake suami dan istri masak berdua, ketimbang duit yang malah dibagi dua.

Tulisan ini gw persembahkan buat sepupu gw yang gw sinyalir telah bercerai, padahal gw udah belain bolos praktikum segala supaya gw bisa naik pesawat ke kondangan dia tujuh tahun lalu. I didn't skip my school only for watching you split up then, Sista.

Mudah-mudahan semua orang yang mau kawin, sudah mikirin keputusannya masak-masak untuk tidak bercerai di kemudian hari.
Dan mudah-mudahan semua orang yang mau kawin, nggak batalin niatnya di saat-saat terakhir ketika semua tamu udah dateng.
Karena tamu itu, dateng dengan penuh pengorbanan, yang semuanya ditujukan supaya pernikahan itu langgeng seumur hidup.

Sunday, December 13, 2009

Adu Domba a la Blog


Selamat datang di dunia maya. Tempat di mana Anda bisa pura-pura jadi anjing. Tempat di mana Anda bisa bikin orang lain seolah-olah jadi anjing. Tempat di mana tidak ada seorang pun tahu bahwa sebenarnya Anda adalah anjing.

(Siapa sih yang nebarin anekdot beken itu?)

Jadi gini ceritanya. Buat seorang blogger, kadang-kadang karier perblogannya nggak selalu mulus. Kadang-kadang ada batu yang suka menggoda pengen nyandung. Mulai dari koneksi internet yang pas-pasan. Atau susah bagi waktu dengan kerjaan. Atau kadang-kadang, mati ide.

Salah satu kerikil yang tajam itu, bernama fitnah.

Harus kita akuin, memang seorang blogger bukan pribadi yang nggak selalu disukai orang. Biarpun tuh blognya rame trafik, banyak pembuntutnya, tapi pasti juga ada aja orang nggak suka sama pemilik blog itu. Dan kalau orang nggak suka, dia bisa melakukan apa aja buat bikin blog itu jatuh. Atau minimal, citra yang empunya blog jadi jatuh.

Modus yang bisa dipakai adalah modus pemalsuan identitas. Misalnya nih, seorang A komentar di blognya si B. Tapi di komentar itu si A nggak pakai namanya A, tapi pakai namanya C. Kebetulan di blognya si B itu, ditulisnya komentar-komentar jorok yang nggak sopan. Akibatnya apa? Orang jadi nganggap si C ini netter jorok, lalu si B bisa sewot kepada si C, dan si C bisa dikucilin dari dunia perblogan. Padahal yang salah kan si A, sedangkan si C malah nggak tau apa-apa.

Siyalnya, kadang-kadang sulit buat si B untuk membedakan apakah si C yang komentar di blognya adalah si C sungguhan atau si C palsu. Untuk memastikan keaslian identitas si komentator, bisa diliat dari URL-nya. Kalau URL-nya nggak valid, alias si komentator cuman nyantumin nama tanpa URL, maka besar kemungkinan si komentator yang nyatut nama si C ini adalah scammer alias penipu.

Ada juga scammer yang nyantumin URL si C, sehingga mengesankan bahwa yang berkomentar jorok ini memang si C. Ini lebih berbahaya, coz bisa menjatuhkan citra si C di muka publik.

Jadi gimana dong kalau blog kita didatengin komentar jorok dari penontonnya? Nah, kuncinya adalah selalu berpegang pada prinsip bahwa internet adalah tetap dunia maya. Waspada scammer, termasuk waspada kepada orang-orang yang memfitnah orang lain dan berkomentar nyolot demi tujuan penjatuhan citra.

1. Jangan pernah percaya komentar jorok di mana komentator nggak nyantumin identitasnya. Nggak jelas fotonya, nggak ada URL-nya. Orang macem gini cuman berani nyolotin orang lain, tapi sendirinya nggak berani disolot balik.

2. Jangan percaya juga kalau Anda dapet komentar jorok dari penonton yang nyantumin URL. Lihat IP address-nya, apakah betul itu alamat dia.
Gw bisa aja ngaku diri Angelina Jolie dan nyantumin URL website resminya, tapi IP address kan nggak bisa bo'ong?

3. Kalau memang betul itu URL-nya asli, IP address-nya asli, dan komentarnya jorok, langsung konfirmasi ke penonton yang bersangkutan itu via jalur pribadi dan tanyakan, "Hei, apa betul sampeyan barusan komen di blog eike dan nyebut eike sodaranya Miss Piggy?"

Tips supaya Anda sebagai blogger nggak rawan difitnah:

1. Milikilah identitas yang valid. Pakai nama asli, bukan nama alias. Kalau memang harus pakai nama alias, patenkan nama aliasnya itu di blog Anda supaya nggak gampang ketuker dengan orang lain yang punya nama sama. Misalnya Anda punya nama Mrs Pitt, maka sebaiknya di blog Anda ada badge Facebook atau badge Twitter atas nama Mrs Pitt juga.

2. Selalu nyantumin URL kalau komentar di blog orang lain. Jangan males!

3. Lebih baik punya Gravatar. Jadi tiap kali komentar di blog orang, pasti foto kita muncul di situ. Maka kalau ada komentar jelek atas nama kita tapi nggak ada gravatarnya kita, maka orang akan meragukan identitas komentar itu.

4. Berteman dengan para blogger via jalur pribadi, baik via Yahoo, Twitter, Facebook, atau Friendster. Jadi kalau timbul pertengkaran di blog, bisa diselesaikan baik-baik tanpa harus diketahui publik. Kan ada orang yang senengnya provokatif di blog, tapi kalau di e-mail orangnya sopan?

5. Jadilah blogger yang sopan. Berkomentarlah yang elegan seperti orang terpelajar, bahkan meskipun Anda menyatakan ketidaksetujuan kepada pihak tuan rumah. Boleh aja nyolot, tapi serangan ditujukan kepada isi tulisan, bukan kepada penulis blognya. Hindari pemakaian kata-kata kasar, obral tanda seru, dan matikan caps lock. Cuman orang norak yang nggak ngerti netiket.

Kita ini blogger, jangan mau disamain dengan domba. Domba nggak bisa ngeblog. Jadi sebagai blogger, jangan pernah sudi diadu domba.

Saturday, December 12, 2009

Asyik Sih, Tapi..


Pada tahun kedua kuliah, gw ditanyai teman-teman, kayak gini, "Vicky, Vicky, Vicky, besok gede, mau jadi (dokter) apa?" sambil nanya a la nyanyi Susan n Ria Enes.
Gw jawab dengan mantap, "Aku mau jadi dokter ahli forensik."

Cita-cita itu disambut dengan "Booo..!" oleh teman-teman gw. Alasannya, kalau gw beneran jadi dokter forensik, beneran gw nggak bisa ditumpangin berobat gratis oleh teman-teman gw. Dokter forensik itu kan dokter spesialis jenazah?

Padahal, gw kepingin jadi dokter forensik lantaran terpesona kenangan akan Dana Scully di X Files yang suka gw tonton dulu. Dana Scully itu salah satu pahlawan favorit gw: dia dokter, cantik, dan senyumnya irit. Dia memesona gw pada banyak adegan, antara lain waktu dia ngoperasi darurat orang di kamar mandi apartemen yang banjir, waktu dia ngotopsi dengan pakai kacamata pilot, dan waktu dia jadi saksi ahli di sidang FBI dan bilang bahwa tersangka pembunuh itu malsuin rekam medisnya. Dialah inspirasi gw buat masuk kuliah kedokteran, dan gw kepingin seperti dia.

*Inilah akibatnya kalau a-be-geh kebanyakan nonton science fiction*

Ada beberapa alasan dulu gw nganggap forensik itu seksi. Kerjaannya dokter forensik itu ngapain, gini nih bayangannya:

1. Pimpin otopsi alias membedah mayat. Misalnya mayat akibat kecelakaan, bencana, atau pembunuhan.

2. Identifikasi DNA. Banyak dipakai buat identifikasi bayi yang nggak jelas siapa bokapnya. Sinetron banget ya? Hahaha!

3. Pimpin penggalian kuburan. Misalnya buat kasus pembunuhan yang mayatnya harus diselidiki ulang, jadi mayat yang dikubur mesti digali lagi. Nah, kasus ginian sering jadi sasaran liputan media massa. Bisa sering masuk tivi, bo'!

4. Kalau ada pembunuhan, dokter forensik diundang ke TKP. Dia lihat sendiri mayatnya posisinya gimana, nyungsep atau telentang, melet atau nyengir, biru atau bersimbah darah. Nanti dia yang nentuin mayatnya matinya gimana. Seru!

Dari sini keliatan kalau waktu itu gw mengira kedokteran forensik itu identik dengan infotainment, hahaha..

Sewaktu gw jadi koass, gw mulai menyadari bahwa pada kenyataannya kedokteran itu tidak seindah yang gw bayangkan. Lebih spesifik lagi, kedokteran forensik itu nggak seindah seperti yang dicitrakan Dana Scully. Waktu gw tugas koass di forensik, gw pun mengalami masalah empot-empotan yang bikin gw meragukan alasan di atas yang sempat bikin gw ngira bahwa forensik itu seksi. Antara lain:

1. Otopsi ternyata mesti temenan sama formalin. Gw tau mayat itu mesti dibalurin formalin biar awet. Tapi gw nggak ngira formalin itu sebau itu! Baunya nggak mau ilang dan uapnya pedih. Huh, masih mending ngupas bawang merah setumpuk deh.

2. Permintaan otopsi terjadi kapan aja, termasuk malem-malem saat dokter mestinya tidur. Sebut aja gw irasional, tapi gw sebel kalau gw lagi enak-enak molor dan tiba-tiba gw dibangunin buat disuruh meriksa orang mati.

3. Sedikit orang Indonesia yang minta diperiksa DNA anaknya. Jadi kurang seru, gitu lho.

4. Menggali kuburan itu seru. Tapi nggak seru kalau pekuburannya panas dan nggak ada pohonnya buat berteduh. Kok kemayu banget kalau Bu Dokter mimpin penggalian kuburan sambil pakai payung cuman gara-gara takut item!

5. Nggak ada ceritanya gw ikut dosen forensik gw ke TKP pembunuhan. Di negara kita, mayat pembunuhan ditemukan di TKP, digotong polisi dulu ke rumah sakit, baru otopsinya belakangan. Padahal kalau dokter forensiknya diundang sendiri ke TKP saat mayatnya masih tergeletak, akan banyak sekali petunjuk perkara yang bisa ditarik di situ.

Tapi dari semua itu, yang jadi perhatian gw adalah kenyataan bahwa dokter forensik sering banget dipanggil oleh kepolisian. Permintaan otopsi biasanya dateng dari polisi yang minta keterangan apakah korban pembunuhan itu dibunuh dengan sengaja atau memang bunuh diri, dibunuh dari jarak dekat atau jarak jauh, pokoknya kayak gitu deh. Sama sekali bukan masalah kalau tugas dokter hanya cerita apa adanya. Tapi jadi nyebelin kalau kita ditowel oleh oknum-oknum siyalan yang request-nya jelek-jelek, misalnya:
1. "Dok, jangan ditulisin ya kalau pelurunya 9 mm."
2. "Dok, jangan ditulis kalau korban ditembak dari jarak jauh."
3. "Dok, jangan ditulis kalau lengan korban yang megangin pistol ke kepalanya itu, nggak kaku."
4. "Dok, jangan ditulis kalau luka tembaknya sebenarnya ada dua."
5. "Dok, anaknya sekolah di SD Ibu Pertiwi, kan? Nurut aja sama permintaan kami ya."

Gw nggak kepingin lagi jadi dokter forensik. Gw sangat salut kepada kolega-kolega gw yang mau jadi dokter forensik, coz mereka bersedia jadi saksi kunci untuk kasus-kasus hukum pidana yang njelimet. Mudah-mudahan mereka nggak diteror oleh mafia-mafia jahat yang takut mereka ngomong jujur. Karena, dokter itu, harus berkata apa adanya.

Friday, December 11, 2009

Koin Ngedhen


Apakah Anda senang menabung? Pasti waktu kecil Anda pernah punya celengan. Mulai dari yang kelas sederhana seperti celengan dari kaleng susu, sampai yang kelas "nyeni" macam celengan ayam dari porselen. Gw kadang-kadang nggak ngerti kenapa pengrajin porselen bikin celengan bentuk ayam, bentuk kodok, sampai bentuk semar. Apa ada orang mau nyelengin duit di situ? Kan kalo mau ngambil duitnya harus mecahin celengan dulu, kan sayang patung semarnya kalo dipecahin?

Nah, waktu kecil gw punya celengan dari plastik. Gw tuh rajin banget nyimpen koin dari bonyok gw, mulai dari yang nominalnya kecil sampai besar. Dulu kan nggak ada tuh koin Rp 1000,-, adanya juga cepek, dan itu pun kalau gw dapet, gw langsung melonjak-lonjak. Kalau ada koin cuma Rp 5,- pun gw juga seneng-seneng aja tuh buat gw celengin. Aje gile, duit Rp 5,- buat apa yah? Eh, jangan salah lho, dulu harga Rp 5,- udah bisa beli kripik di kantin sekolah. Itu tahun '88.

Singkat cerita, pas pertengahan masa gw jadi anak SD, tuh celengan akhirnya penuh juga dan gw pengen bawa duitnya buat ditabung di bank. Tapi gw bingung gimana caranya nanti orang banknya buka celengan gw, coz mereka belum tentu punya obeng. Apakah gw harus bawa obeng dari rumah buat buka celengan di bank? (Dari sini sudah ketauan sifat gw yang nggak mau ngerepotin orang lain, hehehe..) Jadi akhirnya setelah mengadakan perundingan dengan bonyok gw, dipastikan gw akan buka celengan gw pakai obeng sendiri di rumah, lalu biar nggak berat, nanti duit koinnya dituker lagi pakai duit kertas dari nyokap. Jadi nanti orang banknya cukup ngitung hasil tabungan gw duit kertas aja, nggak usah duit logam. Saat itulah gw nanya ke nyokap, kenapa nggak dari dulu-dulu aja gw dikasih duit kertas buat celengan, tapi malah dikasih duit logam? Kan kalau nyelenginnya duit kertas, hasil tabungannya lebih banyak? *ini Little Laurent mulai matre*

Maka gw bukalah tuh celengan pakai obeng. Dan keluarlah itu koin-koin sampai bunyinya krincing-krincing muntah. Dasar namanya juga anak SD, mata gw berbinar-binar bahagia melihat koin-koin hasil tabungan gw bertahun-tahun, bak Ali Baba lihat duit emas di sarang penyamun.

Lalu mulailah gw numpukin satu per satu menurut pecahannya. Ada Rp 5,-, ada Rp 10,-, ada Rp 25,-, ada Rp 50,-, ada Rp 100,-. Lalu gw itungin satu per satu di tiap pecahan. Ngitungnya manual lho, pakai kertas buram dan pensil, coz waktu kecil itu kan gw belum bisa pakai kalkulator. Adek gw yang waktu itu masih balita, udah gw larang deket-deket. Soalnya gw takut adek gw ngambil duit koin gw, terus duitnya dia pakai buat main pasar-pasaran..

Dan saat itulah gw ngerasain, yang namanya ngitung koin itu sampai ngedhen lantaran pusing karena ngitung koinnya satu per satu. Belum lagi punggung pegel-pegel coz ngitungnya sambil mbungkuk di lantai. Alhasil, setelah selesai ngitung koin sesorean itu, gw merengek-rengek ke asisten pribadi nyokap gw buat minta dipijitin!

***

Oleh sebab itu, gw berdoa mudah-mudahan Rumah Sakit Omni yang nuntut Prita Mulyasari sampai Rp 204 juta itu udah nyediain tukang pijat. Prita nggak akan bayar sendiri, dia udah ditalangin pakai duit koin-koin yang dikumpulin dari seluruh Indonesia.

Gw bayangin, Prita betul-betul bayar denda Rp 204 juta itu dalam bentuk koin. Akan ada tumpukan koin yang sangat bejibun, digotong rame-rame ke gedungnya Omni. Dan Omni boleh ngitung koin itu sendiri kalau nggak percaya jumlahnya, sampai ngedhen, sampai lidahnya melet dan punggung mau putus. Eh, nggak ada yang bilang duitnya harus ditransfer, kan? Duitnya boleh dibawa setangan, kan?

Setiap satu sen itu berharga, nggak cuman sepele. Duit Rp 204 juta itu berharga besar buat rakyat kecil yang buta hukum dan miskomunikasi basa-basi macem Prita. Gw sendiri dokter, dan gw sangat bersimpati kepada dokter-dokter yang merasa nama baiknya dicemarkan dalam kasus ini, dan gw setuju mereka berhak minta nama baiknya direhabilitasi, tapi menuntut sampai ratusan juta gini terlalu berlebihan. Omni bisa aja dapet 204 juta sebagai ganti rugi pencemaran nama baik. Tapi kerugian yang harus ditanggung lantaran udah kadung dicap jelek masyarakat sebagai rumah sakit yang arogan, jumlahnya jauh berlipat dari sekedar angka Rp 204 juta. Dan duit itu nggak akan bisa diperoleh instan, tapi akan memakan kampanye promosi yang perlu waktu bertahun-tahun.

Coba sesekali, berhenti mikir a la duit kertas, apalagi mikir a la duit transferan. Sekali-kali kita mesti mikir a la duit koin, yang kalo mau diitung mesti sampai ngedhen. Dan kita akan menyadari, ada satu hal di dunia ini yang nggak akan bisa dibeli pakai uang, dan hal itu bernama "kepercayaan".

Turut berduka cita buat para pegawai Omni yang terancam dirumahkan, coz berkat pemberitaan media yang terlalu berat sebelah, kini gw meramalkan dengan sedih bahwa rumah sakit itu akan gulung tikar. Dan kali ini, gw sangat berharap bahwa ramalan gw sangat salah.