Tuesday, December 1, 2009

Stigmata Lengket

Sudah hampir tengah malam waktu itu dan gw menguap kuat-kuat di ruang unit gawat darurat yang lagi gw jagain. Sudah nggak ada lagi pasien malam itu, dan gw lagi siap-siap mau tidur ketika pasien ini dateng.

Dia pemuda tanggung, dianter kakak perempuannya dengan keluhan yang sangat tidak spesifik, “Merasa berdebar-debar.”

Mantri gw ngukur tekanan darahnya dan gagal nemu angkanya, sehingga dia buru-buru masang kabel monitor buat ngitung denyut jantungnya. Rasanya seperti mimpi buruk. Gw baru aja ketiban pasien syok kardiogenik yang denyut jantungnya lebih cepat daripada pelari marathon dikejar herder. Seumur-umur baru kali ini gw denger denyut pasien yang nadinya 300 lebih per menit.

Penyakit jantung macam apa ini? Pasien ini baru berumur 22 tahun!

Lalu kata si madam yang nganter itu, adeknya itu memang biasa ke dokter, tapi adeknya nggak pernah bilang bahwa adeknya sakit jantung. Adeknya biasa cerita bahwa katanya dia “sakit paru-paru”.

Bosen denger cerita si madam yang cuman serba “katanya” itu, gw akhirnya nanya adeknya itu ke dokter siapa, truz obatnya seperti apa. Barulah si madam bilang bahwa adeknya itu ke klinik bernama Klinik Teratai di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung, dan semestinya besok pagi itu jadwal adeknya kontrol ke sana, tapi entah kenapa malam ini adeknya itu malah mengeluh berdebar-debar.

Untung pengantar kontrolnya dia bawa. Gw baca kode-kode rahasia yang ditulis kolega gw di situ, dan gw langsung sadar bahwa adeknya ini menderita HIV. Gw melihat muka si madam dan menyadari, nampaknya keluarganya ini tidak tahu apa-apa masalah per-HIV-an adeknya.
Gw minta keluarganya keluar sebentar.
Lalu diam-diam gw hampirin si pasien, pura-pura notol-notol stetoskop di dada kanannya dan bertanya dengan lembut, “Kerja di mana?”
Jawabnya, “Nggak kerja.”
Gw pindah ke dada kirinya. “Suka ngerokok?”
“Jarang.”
Gw turun ke dada bawah. “Suka nyuntik?”
“Iya.”
I got it. Langsung gw berhenti notol-notol stetoskop dan minggat.
“Dok!” serunya tiba-tiba.
Gw berbalik badan. “Ya?”
Katanya ragu-ragu, “Saya nggak pake suntik.”

Gw tersenyum datar. Berbohonglah semaumu, Nak.

Gw tau gw harus bertindak cepat, coz pasien ini bisa meninggal setiap saat dengan jantung lari-lari macam begitu. Mungkin beberapa jam lagi. Mungkin beberapa menit lagi. Dan gw satu-satunya dokter yang ada di rumah sakit itu. Ya Tuhan.

Malam itu gw telfon ke boss gw yang spesialis penyakit dalam dan melapor ada pasien HIV masuk dalam keadaan syok kardiogenik. Obat HIV nggak ada di rumah sakit kita. Lalu kata boss gw, beresin dulu itu syok kardiogeniknya, nanti urusan HIV-nya belakangan. Yang penting tuh pasien malam ini harus hidup.

Jadi gw oper telfonnya ke boss gw yang spesialis jantung. Dia merestui gw buat melakukan terapi kejut.

Si pasien pun dipasangin infus.

Berikutnya gw DC shock dia. Nadinya turun ke level 200-an.
Gw shock-in lagi. Nadinya sekarang 100-an. Oh syukurlah. Gw benci banget sama bunyi monitor itu, mengingatkan gw ke stasiun NASA yang baru diinvasi alien Mars.

Gw telfon lagi ke boss gw. “Udah nggak syok lagi, Dok. Pasiennya merasa lebih nyaman, tapi nadinya masih di atas 100.”
Boss gw bilang, “Oke, kalo belum stabil gini, masukkan ke ICU. Besok pagi saya liat.”

Gw bilang ke keluarganya, minta maaf coz adeknya harus gw tahan di ICU sampai jantungnya stabil. Setelah si keluarga ngerti, gw minta keluarganya ngurus administrasi dulu.

Setelah mereka pergi, gw bilang ke si pasiennya,”Kamu harus dirawat. Mau?”

Pasien itu nampak ragu, lalu berujar, “Dokter, saya punya HIV, tapi keluarga saya nggak tahu..”

Mantri UGD gw blingsatan lantaran berantem sama suster di ICU. Bilang ke suster ICU, jangan bilang-bilang sama keluarga pasiennya kalo pasiennya punya HIV. Suster ICU panik dan bilang nggak mau ruangannya dimasukin, alasannya pasiennya penuh. Mantri UGD marah coz tau si suster ICU cuman pura-pura kepenuhan, padahal pasiennya di sana stabil semua dan udah bisa dipindahin ke kamar biasa. Ini ada pasien yang butuh ICU, ya harus jadi prioritas tinggi.

Malam itu juga, pasien syok jantung itu masuk ICU. Gw denger di sana dia tidur dengan nyenyak.

Besoknya, dan sepanjang sisa minggu itu, perawat-perawat geger semua coz ICU dimasukin OHIDA. Termasuk boss gw ngamuk ke gw coz dia nggak sadar bahwa kode yang gw laporkan semalam adalah kode untuk penderita HIV. Menurut kemarahannya yang nggak karuan itu, orang kalo punya HIV tuh jangan dirawat di tempat kita, tapi harus langsung dirujuk ke rumah sakit pusat malam itu juga.

Gw marah sekali, coz menurut gw, malam itu pasien itu nggak boleh dilempar ke rumah sakit lain. Dia syok jantung, demi Tuhan! Jadi harus dimonitor ketat! Apa gunanya dirujuk ke tempat lain kalo di perjalanan ambulans tau-tau dia tewas gara-gara syoknya belum stabil? Kalo kita punya ICU yang bisa merawat pasien syok kardiogenik sampai stabil, kenapa harus kita tolak merawat pasien itu cuman gara-gara dia punya HIV?

Lalu gw menyadari bahwa kemarahan orang-orang itu lebih karena factor sosial: Mereka panik karena nggak siap ICU tempat kerjanya dimasukin penderita HIV.

Sudah hampir dua tahun peristiwa itu berlalu, dan gw sudah keluar dari tempat itu, tapi gw masih mengingatnya dengan jelas. Masalah besar seorang penderita HIV ternyata adalah stigma yang mengusir mereka dari kehidupan normal sebagai manusia. Pasien yang gw urus malam itu ternyata bekas pecandu narkoba, dan bisa jadi lewat situlah dia ketularan HIV. HIV itu nampaknya bikin badan dia jadi nggak beres, sehingga dia jadi lebih gampang sakit paru-paru. Makanya dia berobat ke Klinik Teratai, sebuah klinik khusus penderita HIV, supaya bisa dapet obat antiretroviral buat ngilangin HIV-nya itu. Dia sengaja nggak bilang ke keluarganya bahwa dia ngidap AIDS, mungkin coz dia takut dijauhi keluarganya.


Perjuangan untuk melepaskan stigma jelek yang nempel dengan lengket di dada penderita HIV, ternyata masih dapet tantangan dari kaum medis sendiri. Banyak dokter dan perawat yang paranoid kepada HIV, sehingga mereka bahkan tidak mau merawat penderita yang cuman butuh infus sekalipun. Padahal penderita HIV juga sama seperti pasien-pasien lain yang butuh pengobatan.

HIV hanyalah virus. Kalo kita tau cara menghindari penularannya, kita nggak akan pernah ketularan. Sekarang yang jadi problem, kalo rumah sakit aja masih pilih kasih kepada penderita HIV, lantas orang mana lagi yang bisa dipercaya buat merawat mereka?

Ditulis untuk Hari AIDS Sedunia, 1 Desember 2009.