Tuesday, December 29, 2009

Dan Seragam Itu Berguna

Sewaktu kecil, gw mikir betapa membosankannya sekolah coz setiap hal yang gw lakukan harus sama seperti yang anak lain lakukan. Misalnya, anak-anak beli sepatu hitam yang ada cap sekolahnya, lalu gw sebaiknya beli (padahal modelnya juga nggak terlalu gw suka). Anak-anak lain ikut les tambahan sepulang sekolah sama wali kelas, dan gw satu-satunya yang nggak ikutan (nilai gw udah bagus-bagus, kenapa gw harus ikut pelajaran tambahan yang “mbayar”?). Lalu, setiap kali pelajaran bahasa Indonesia, tiap halaman buku tulis harus digarisin di sisi kirinya (sampai sekarang gw masih nggak ngerti gunanya garis pinggir itu).

Dari semua itu, yang paling nggak gw suka adalah seragam sekolah.

Mungkin coz dulu sinetron nggak sengetop sekarang, maka tontonan tivi sehari-hari gw adalah film-film bikinan Hollywood, dan di film-film itu gw lihat anak-anak di luar negeri tidak pakai seragam sekolah dan mereka nampak lebih “ekspresif”.

Tentu saja waktu itu gw nggak tahu bahwa tidak semua negara yang maju dalam menegakkan hak kebebasan berekspresinya juga membolehkan murid-murid SD-nya nggak pakai seragam. Gw nggak tahu bahwa anak-anak SD di Inggris dan Jerman pakai seragam. Itu salah mereka, kenapa mereka tidak mengekspor film-film serial mereka ke Indonesia.

Nah, kira-kira minggu lalu, gw lagi jalan di pusat kota, lalu gw melewati SD gw. Gw lihat di depan SD gw, lagi jajan seorang anak kecil berseragam putih merah. Gw perhatikan sekarang murid-murid di SD gw itu pakai seragam berupa rompi merah. Padahal dulu, seragam gw ya standar-standar aja: kemeja putih dan rok merah. Cuman pakai topi dan dasi kalau lagi upacara. Tahu kenapa di kelas nggak pakai dasi? Soalnya kelasnya panas. Tahu kenapa di kelas nggak pakai topi? Soalnya nggak ujan.

Sekitar minggu lalu juga, gw baca di koran, sebuah sekolah setingkat SMA gitu di Jawa Barat yang mewajibkan seragam muridnya pakai blazer. Katanya sih, supaya setelah lulus nanti, alumninya terbiasa bertampang eksekutif. Gw ketawa terbahak-bahak bacanya. Setahu gw, untuk nyuci blazer dibutuhkan lebih banyak air buat ngelarutin deterjennya. Ini akan menuntut penggunaan air ekstra, padahal kita kan mestinya hemat air. Sekolah ini nampaknya nggak ngajarin muridnya peka lingkungan.

Buat gw, pakai seragam aja udah menghalangi kebebasan ekspresif murid sekolah, apalagi ditambah-tambah rompi dan blazer segala yang nggak hemat energi.

Sampai minggu lalu, gw nonton Denias, Senandung di Atas Awan.
(Haiyah..ke mana aja aja kau, Vic? Tuh film ngetop tiga tahun yang lalu.)
*Jangan salahkan gw. Salahkan masa kuliah dan kerja yang mencuri kesempatan gw buat menikmati hidup dan memaksa gw sulit nonton film-film kelas festival.*
Film yang bagus sekali, bikinan Ari dan Nia Sihasale, tentang kisah anak bernama Denias dari suku pedalaman di Mimika, Papua yang setengah mati kepingin sekolah. Karena di desanya nggak ada sekolah sungguhan, maka dia belajar di sebuah sekolah darurat yang cuman berupa saung kecil, yang dimiliki seorang tentara yang diperankan oleh si Ale itu. (Film ini pasti kepingin ngirit sampai-sampai produsernya merangkap jadi aktor utama, hahaha..)

Lalu sampailah gw di adegan ini. Denias dikasih tahu bahwa kalau di Jawa, anak-anak pergi ke sekolah pakai seragam. Lha Denias sendiri kalau pergi ke sekolahnya Ale itu nggak pakai seragam. Suatu hari Ale minta kiriman bantuan berupa seragam sekolah buat murid-muridnya. Bantuan seragam itu akhirnya datang dianterin sebuah helikopter, dan anak-anak itu blingsatan lantaran berebutan seragam. Denias? Dia menangis terharu.

Gw tercengang bagaimana seorang anak bisa nangis cuman gara-gara bahagia dapet seragam sekolah. Padahal seragamnya ya biasa aja, cuman kemeja putih standar, celana merah, dan topi berikut desanya. Nggak ditambah-tambah rompi, apalagi blazer.

Lalu gw menyadari esensi lain dari seragam. Seragam bukan menghalangi kebebasanmu buat berekspresi. Seragam itu bikin Denias nampak seperti murid SD sungguhan. Nampak seperti murid SD di Jawa yang selama ini dikesankan lebih maju ketimbang desanya Denias di Mimika. Kau boleh berbeda lokasi, berbeda warna kulit dan model rambut, tetapi kalau kau pakai seragam itu, kau tidak ada bedanya dengan anak-anak sekolah lain yang berhak dapet pendidikan. Hakmu adalah mendapatkan ilmu. Kewajibanmu adalah datang setiap hari ke sekolah, dari Senin sampai Sabtu, pada waktu yang ditentukan, dan kerjakan tugas dari Pak dan Bu Guru.

Sekarang gw nggak empet lagi sama seragam sekolah. Gw justru bersyukur banget negara kita mewajibkan anak-anak SD-nya pakai seragam. Seragam kemeja dan celana/rok itu bikin kita semua terdidik untuk tidak merasa sombong dan menerima bahwa setiap manusia itu punya derajat yang sama. Karena, kecuali ibumu mencuci kemejamu dengan deterjen yang lebih putih atau dengan air sungai tercemar, kau tidak lebih baik atau lebih buruk dari orang lain dengan seragam itu.