Tuesday, December 15, 2009

Pengobatan Gratis yang Omong Kosong

Sekarang lagi ngetrend gerakan sejuta-sejutaan. Mulai dari gerakan sejuta Facebookers dukung Bibit-Chandra. Lalu gerakan semilyar dukung Polri (eh, itu masih ada nggak sih? Atau sekarang udah nggak laris lagi?). Ada juga gerakan sejuta dukung jihad Palestina. Gw sendiri bingung dengan gerakan sejuta-sejutaan ini. Gimana cara orang-orang ini ngumpulin dukungan massa online sampai sebanyak itu? Gw sendiri juga udah ikut-ikutan bikin gerakan sejutaan, namanya “Gerakan 1 Juta Facebookers Dukung Vicky Laurentina Jadi Mrs. Brad Pitt”, tapi entah kenapa sampai hari ini belum ada yang mau ikutan ngedukung.. :-p

Semalam, gw baru gabung dukung “Gerakan 1 Juta Dokter Menolak Kepala Dinas Kesehatan Bukan Tenaga Kesehatan!!” di Facebook. (Tadi malem gw dapet notification alert bahwa adminnya gerakan itu baru aja ngeganti namanya menjadi Dukungan Facebookers Menolak Kepala Dinas Kesehatan Bukan Tenaga Kesehatan. Sama aja sih, cuman ganti bungkus.)
Jadi begini, gerakan ini diinpsirasi dari rasa empati kepada dokter-dokter PTT yang dijelek-jelekin sebuah koran di Buton minggu lalu. Diceritain bahwa di Wakatobi, dokter-dokternya sering mangkir tugas, sering nggak ada di tempat, lalu ada yang minta bayaran pengobatan ke pasiennya, hal-hal seperti itulah. Tindakan ini dianggap jelek coz bertentangan dengan program birokrasi daerah setempat, karena menurut mereka, sedang digalakkan program pengobatan gratis.

Sebenarnya, dokter PTT mangkir dari tugas bukan hal yang aneh. Nggak usahlah bicara dokter. Misalnya Anda seorang tukang sapu aja, kalo gajinya nggak dibayar, apa Anda mau terus-menerus kerja nyapu di tempat itu? Tentu tidak. Dokter juga begitu, kalau gajinya telat nggak dibayar oleh Dinas, pasti ujung-ujungnya mangkir. Lha kalau nggak dapet gaji, mau makan apa?

Kenapa dokter sering nggak tinggal di Puskesmas? Sederhana aja. Sering keliatan di daerah-daerah terpencil bahwa Puskesmas itu letaknya di ujung dunia, jauh dari mana-mana. Nggak ada orang jual makanan, nggak ada air bersih, nggak ada kantor pos. Makanya dokter milih tinggal di rumah yang deket pasar, yang air sumurnya nggak cokelat, dan ada sinyal buat SMS-an. Kan kita semua udah diajarin waktu kelas 1 SMP dulu, bahwa ciri makhluk hidup adalah butuh makanan, butuh air, butuh komunikasi. Kalau Puskesmas jauh dari ketiga ciri di atas, lama-lama dokternya bisa tewas di situ.

Kenapa dokter minta bayaran pengobatan ke pasiennya? Oke, ini yang mesti diluruskan. Harus diketahui bahwa kadang-kadang sarana yang bisa diperoleh penduduk untuk berobat hanyalah Puskesmas itu. Siyalnya, obat-obatan gratis yang disediakan di Puskesmas sering banget nggak memadai. Misalnya penduduknya banyak yang sakit jantung, tapi di Puskesmas nggak ada obat darurat jantung. Terus, masih inget kan, dulu gw pernah nulis obat Puskesmas yang kadaluwarsa. Nah, karena dokter harus menolong pasien, maka dokter bertindak sendiri buat ngobatinnya. Cara yang paling sering ditempuh, dokternya jualan obat sendiri, nanti penduduknya tinggal bayar. Harga obat yang dijual dokternya bisa aja terhitung mahal, coz untuk mendapatkan obat itu di kota, dokternya mesti naik sampan tiga kali, terus naik elf dua kali, lalu nginep di losmen satu malem. Lha mau minta dukungan obat gratis dari Pemerintah? Lama. Bisa-bisa anggarannya baru keluar tahun depan, dan pasiennya sudah keburu tewas.

Kata kakak ipar gw, PTT itu Pegawai Tidak Tentu. Gajinya telat, manuvernya sulit, sekolah lagi juga susah. Lha istilah gw, PTT itu singkatan dari Penderitaan Tiada Tara.

Semua itu nggak perlu terjadi kalau pengobatan gratis yang dijanjiin pemerintah daerah ini dikelola dengan baik. Ya mengelola obat-obatannya, mengelola sistem pengobatannya, sampai mengelola manusia-manusia yang disuruh melaksanakan pengobatan gratisnya. Dan itu susah, apalagi kalau pengobatan gratis itu dicanangkan oleh dinas-dinas kesehatan yang kepalanya sama sekali bukan sarjana dari ilmu kesehatan.

Menurut gw, daripada birokrat-birokrat yang minim wawasan pengobatan itu bikin program pengobatan gratis, mendingan bikin program kesehatan gratis. Program kesehatan nggak melulu ngurusin pengobatan, tapi bisa menyentuh sisi pencegahan penyakit. Misalnya mencegah infeksi dengan nyuruh penduduk cuci tangan. Mencegah kematian ibu melahirkan dengan kampanye keluarga berencana. Mencegah kencing manis dengan demo masak menu makanan sehat. Mencegah kecelakaan dengan membagi-bagi helm gratis. Kalau penduduk sudah tau caranya mencegah penyakit, akan makin sedikit penduduk yang berobat, dan biaya pengobatan yang mesti ditanggung Pemerintah juga nggak akan besar.

Jadi, jangan cepat percaya dengan janji-janji calon birokrat manapun yang merayu soal pengobatan gratis. Pengobatan gratis itu omong kosong selama sistem pengobatannya sendiri masih amburadul. Jangankan pengobatan gratis, sama seperti sekolah juga nggak ada yang gratis. Bahkan, di dunia ini nggak ada yang gratis. Boro-boro, kita mau bernafas aja juga nggak gratis. Buat bernafas, kita butuh makan. Buat dapet makan, kita butuh uang. Buat dapet uang, itu harus ada usaha. Jadi, bernafas itu harus usaha, bukan gratis. Lha kalau bernafas yang cuman skala cemen aja nggak gratis, apalagi yang urusan gede macam pengobatan, gimana mau gratis?