Friday, July 31, 2009

Nyonya Sinterklas

Riwayat bolak-balik naik pesawat ternyata nggak bikin gw makin keren, tapi malah makin norak. Gw sangat berharap nggak ada paparazzi iseng yang mengenali gw naik-turun pesawat sambil menjinjing, atau lebih parahnya lagi menggendong gembolan yang nampaknya lebih gede ketimbang perutnya Sinterklas. Bahkan Sinterklas nggak akan bawa hadiah sebanyak itu.

Jadi sekarang gw lagi ngemas-ngemasin barang buat boyongan dari Cali bulan depam. Masalah kecil pun muncul: Nampaknya koper nggak cukup. Wah, gaswat nih. Alamat gw kudu memberdayakan tas-tas kanvas cap merk obat yang numpuk di apartemen gw. Kayak gini jelas nggak mungkin masuk bagasi pesawat, pasti kudu gw bawa sendiri ke kabin.

Gw mungkin nggak pernah didenda karena kelebihan bobot bagasi, tapi gw mestinya didenda karena kelebihan barang bawaan di kabin. Semua orang juga tau kalo orang naruh barang di kabin tuh nggak boleh lewat dari tujuh kilo untuk tiap orangnya. Tapi gw selalu cuek bebek, bawa gembolan gw di bahu.
Gw pernah diprotes sama petugas bandara, "Ini harusnya masuk bagasi, Mbak!"
Tapi gw ngeles a la emak-emak cerewet, "Duuh..itu isinya kripik semua. Nanti ancur kalo masuk bagasi!"

Lha gimana, tas gembolan tuh nggak bisa dikunci. Ntar kalo gembolan gw dibongkar maling-maling norak di cargo pesawat, kan malu. Mending kalo kripiknya doang yang dicolong, lha kalo mereka ambil barang-barang gw yang lain di situ? Daster, panties, rol rambut, pembalut..

Cita-cita gw adalah keluar masuk bandara dengan elegan kayak pramugari. Pramugari tuh cuman ngegeret koper satu biji dan nyangklong tas tangan satu aja. Tapi cita-cita gw niru-niru pramugari nggak pernah jadi kenyataan. Betapapun gw selalu berusaha ngirit bawaan, pada akhirnya penampakan gw selalu sama: satu perempuan, satu koper, satu gembolan, dan satu oversized bag. Kadang-kadang gw bersyukur Tuhan cuman kasih gw dua tangan aja. Kalo gw dikasih satu tangan lagi, mungkin gw akan tergoda buat bawa satu gembolan yang lain lagi.

Gw jadi bertanya-tanya, apakah pramugari itu nggak pernah bawa gembolan?

Maka kandaslah impian gw melangkah naik-turun pesawat bak pramugari. Tampang gw jelas lebih mirip turis backpacker asal Armenia saking polosnya. Lha gw sendiri juga nggak mau dandan kecentilan kalo naik pesawat. Bisa-bisa gw dikira TKW baru pulang dari Hongkong.

Imagologi Anda akan nampak ketika baru keluar dari ruang kedatangan bandara Cengkareng dan orang-orang asing mengerubutimu.
Kalo Anda dikira bule jutawan, mereka bilang, "Limousine, Ma'am? Kemang? Menteng? Kelapa Gading?"
Kalo Anda dikira TKW, mereka bilang, "Travel, Teh? Cipatat? Padalarang? Garut?"
Paling gondok kalo mereka bilang, "Neng, ojek, Neng?"

Ah, siyalan. Besok naik pesawat, dan bandara Cilik Riwut nggak ada belalainya pula. Alamat nih gw kudu manggul gembolan segede-gede gaban ke dalam kabin, naik tangga seng yang anaknya sempit-sempit itu. Apa gw ini, ibu hamil di punggung? Tampang gw, persis Nyonya Sinterklas..

Thursday, July 30, 2009

Minta Cerai

"Kekasih, terbacakah tulisan hatiku, saat langkah mulai tak sejalan?"

Saya menulis ini, mungkin dengan penuh etika, tapi ada makna yang tersirat biarpun tidak tersurat.
Dulu kamu menginginkan saya. Saya juga menginginkan kamu. Tapi sekarang nampaknya kita tidak saling menyayang lagi.

"Suratku itu lukisan luka di hati."

Bahkan di sebelah kiri atasnya, sudah tersirat di situ, saya minta cerai.

"Jangan kauhempas, meski tak ingin kausentuh."

Saya tahu kamu akan suruh pembantu kamu saja yang baca surat saya, tapi sebaiknya kamu baca dulu sampai selesai.

"Kutahu pasti hatimu tahu walau tak baca suratku."

Meskipun kalau kamu tidak membacanya pun, kamu sudah mengerti apa yang saya mau.

"Kekasih, masih kuingat janji di suratmu."

Kan dulu waktu kamu minta tentara bayaran kiriman dari Menteri, kamu janji akan piara tentara-tentara bayaran itu dengan baik.

"Mengapa kini kauingkari janjimu?"

Tapi ternyata, kenapa kamu malah sia-siakan semua tentara kiriman itu dan membiarkan mereka jadi kurus, bosan, dan kesepian? Termasuk saya?

"Suratku itu lukisan luka di hati."

Tahukah kamu, ketika saya menulis di surat itu bahwa saya hanya disuruh bersama kamu setahun, artinya setahun itu 12 bulan, dan jangan lebih karena saya kebelet sudah nggak tahan kepingin pulang?

"Jangan kauhempas, meski tak ingin kausentuh."

Saya percaya kamu tidak ingin diingatkan tentang itu, karena tentara-tentara bayaran selalu datang dan pergi. Tapi tidak inginkah kamu tahu kenapa mereka selalu pergi?

"Kutahu pasti hatimu tahu walau tak baca suratku."

Kamu pasti bisa menebak, mereka tak tahan karena karier di bawah "comfort zone"-mu tak akan pernah berkembang. Menjadi pegawai tetap tidak lebih menggiurkan ketimbang menolong pasien dengan kualitas pelayanan yang lebih baik.

"Tak ingin kusesali seluruh cintaku, walau kini ternyata ku melangkah tanpamu, kasih."

Saya tidak menyesal pernah datang kemari. Saya menyerahkan seluruh kemampuan saya di sini. Tapi kini saya harus meninggalkan kamu. Meskipun kamu tempat tumpah darah saya, di tanah kamulah saya lahir, dan untuk itu, saya sangat menyayangi kamu.

"Suratku itu lukisan luka di hati."

Saya menyesal kamu belum bisa menghargai tentara bayaran macam saya dengan baik. Karena itu saya minta pergi, dan tidak mau memperpanjang jabatan saya lagi.

"Jangan kauhempas, meski tak ingin kausentuh."

Terimalah permohonan diri saya, jangan kamu tolak.

"Kutahu pasti hatimu tahu walau tak baca suratku."

Dan kamu pun tahu, saya sangat berterima kasih, jika kamu mengabulkan surat pengunduran diri saya ini, sesegera mungkin.

***

Pagi ini, ajudan gw nganterin gw ke Dinas Kesehatan Kabupaten Pulang Pisau. Sepanjang perjalanan, gw terus-menerus nyanyiin lagu Yovie Widianto ini. Gw baru berhenti nyanyi pas gw ketemu pegawai bagian Kepegawaian buat nyerahin surat pengunduran diri gw sebagai dokter PTT, coz kontrak gw selesai bulan depan.

Sewaktu gw keluar dari kantor itu dan nggak sengaja melirik cermin di situ, gw tercengang liat bayangan Little Laurent tersenyum ke gw.
Gw lupa, kapan terakhir kali Little Laurent sesumringah itu.

Wednesday, July 29, 2009

Bini Teladan: Jeng Carla

Ada kuis nih. Pertanyaannya, apa persamaan Vicky Laurentina dengan Carla Bruni? Pilih jawaban yang benar di bawah ini:
a. Sama-sama cantik
b. Sama-sama bohay
c. Sama-sama ngidap older complex
d. ... (isi sendiri)

Jawabannya? (d). Sama-sama kepingin suaminya sehat.

*Booo..! Salah tuh, Vic!*

(Lho, kok salah sih? Bener lho gw pengen itu..)

*Ya salah jawabannya tuh. Soalnya, lu kan belum punya suami, Jenngg..!*

Hehehe, jadi gara-gara nurutin bini, Nicolas Sarkozy, presiden Perancis yang udah bangkotan itu, sampai tepar dan kudu diopname. Apa pasal? Jadi gini yah, Carla Bruni, bininya Sarkozy tuh, pengen suaminya itu sehat. Indikatornya sehat ya antara lain, suami tuh jangan gemuk-gemuk, nanti cepet sakit. Lagian punya bini bohay mantan model kayak Carla, mosok suaminya jelek kayak Datuk Maringgih?

Maka, karena sayang sama istri (atau malah termasuk suami takut istri?), Sarkozy rela diet ketat, cuman makan puding dan buah. Nggak boleh makan cokelat, padahal kita semua tau kan cokelat dari Perancis enak-enak? Yang lebih repot lagi, Sarkozy dipasangin pelatih olahraga segala oleh Carla, supaya Sarkozy rada rajin jogging gitu.

Memang sih ada efeknya. Gw liat Sarkozy sekarang rada kurusan, hehehe. Berarti Carla berhasil melaksanakan tugasnya sebagai istri dong?

*Untuk ukuran seorang komentator amatir yang cuma ambil referensi dari internet, lu termasuk sotoy, Vic..*

Sampai hari Minggu lalu, pas lagi jogging, mendadak Sarkozy semaput. Blek! Haah, ada apa ini?! Akhirnya dilarikanlah Sarkozy ke rumah sakit. Suruh opname, untung cuman sehari.
*Halaah..paling cuman observasi doang..*
Kata dokternya nggak pa-pa kok, hehehe. Paling cuman hipoglikemia yak?

*Makanya dong, Paak..sebelum jogging tuh, makan dulu..*

Hehehe, gw sih nggak niat menyalahkan diet ketat yang diberlakukan Jeng Carla terhadap suaminya, tapi gw bisa ngerti maksudnya baik. Gw dan Carla sama-sama ngidap older complex, tergila-gila sama kekasih yang jauh lebih tua, dan dalam hal ini tak ada yang lebih menakutkan kami berdua (ceilee..!) selain satu hal: Gimana kalo kekasih kami mati duluan karena sakit tua dan kami terpaksa jadi janda muda yang cantik jelita?

Beruntunglah para pria yang memiliki bini cerewet yang kepingin suaminya sehat. Makanan terjaga, diabetes pun ogah menyapa. Memaksa suami tetap rajin olahraga supaya suami tetap sexy di atas ranjang.

Jadi inget pasien gw yang udah bangkotan dan bilang ke gw, "Saya sekarang udah nggak merokok lagi di rumah, Dok. Asbaknya dibanting sampai pecah sama istri saya di rumah. Dia teriak sambil marah-marah, 'Ini nih yang bikin sakit!'"

Huehehehe.. Kan gw bilang juga, tak ada yang lebih membahagiakan para istri selain bangun pagi dan liat suaminya tidur di sebelahnya, looks peaceful, handsome, healthy, and alive. Cheers buat Carla Bruni, cheers buat gw, cheers buat para bini yang mecahin asbak suaminya..

http://georgetterox.blog.friendster.com
www.georgetterox.blogspot.com

Tuesday, July 28, 2009

HP Banyak Tuntutan

BlackBerry bikin gw pusing lagi. Bukan karena mereka baru bisa nyediain service center di Indonesia mulai 26 Agustus nanti, gara-gara mereka baca desakan tulisan gw beberapa minggu lalu. *Emangnya kaukira siapa dirimu, Vic?* Bukan juga karena sampai detik ini gw belum beli BlackBerry juga. Tapi karena BlackBerry baru merilis variannya yang murah-meriah, dinamain BlackBerry Gemini padahal nggak ada tanda-tanda kembar di smartphone yang satu itu. *Adakah yang bisa menjelaskan ke gw, kenapa sih Gemini itu lambangnya kembar?* Dan harganya nggak tanggung-tanggung, dibanderol cukup US$ 130. Artinya dengan kurs rupiah yang sekarang lagi bagus-bagusnya pasca Pemilu, cuman Rp 1,3 juta?!

Lupakan pencicilan gaji buat beli BlackBerry. Gw menatap berita itu dengan curiga. Yupz, ternyata varian BlackBerry yang satu ini cuman ngangkut fitur "standar" seperti IM, SMS, MMS, Facebook, dan MySpace. Cuman?

Gw jadi mikir, betapa waktu telah mengubah banyak mengenai apa yang gw inginkan dari sebuah HP. Dulu tuh gw pertama kali dibeliin HP tahun '00, supaya gampang dicariin kalo gw ilang di pasar. HP itu bertahan lama di tangan gw, dan baru gw lepas setelah enam tahun kemudian gara-gara batrenya uzur. HP kedua punya unggulan, ada kameranya (nggak usah ketawa!). Waktu itu gw udah merasa puas dengan HP gw itu.
(Membuat gw sadar bahwa gw sudah gampang puas dengan hal-hal yang sederhana aja, hehehe..)

Dengan seringnya gw bernarsis-narsis ria dengan kamera HP gw bikin gw sadar bahwa gw kepingin HP yang kalo dipake motret, fotonya tajam dan statis. Cuman gw bingung kalo mau beli HP baru, nyari spesifikasinya kayak apa. Mosok gw bilang ke tukang HP-nya, "Mas, saya mau beli HP yang kalo dipake motret pacuan kuda, pas kudanya lari, gambar kudanya tajem dan nggak goyang!"

Pasti dikiranya gw udah gila.

Ketika gw dipanggil Negara buat kerja di Cali, yang gw pikirkan ialah gimana caranya supaya gw tetap ngeblog tanpa bantuan Telkomnet yang belum masuk (semua) desa. Jadi gw ngobok-obok semua iklan HP, nyari HP yang ada sinyal 3,5G-nya. Gw pikir dengan naif, kalo HP yang jagoan 3,5G pasti jagoan GPRS juga. Jadi gw lepas HP gw yang lama, dan gw pun beli HP ketiga.

Sebenarnya gw udah cocok aja sama HP gw yang ketiga ini, sampai-sampai gw dapet masalah baru. HP gw ini batrenya cepet abis. Sehari minta di-charge dua kali. Dan yang paling bloon, ternyata, gara-gara sering dipake online, HP gw kena virus!

Bulan lalu, si HP terpaksa gw lepas dan gw dikirimin HP yang ada di rumah gw di Bandung. HP yang keempat ini konon generasinya di tahun yang sama dengan HP ketiga, cuman beda merk doang. Ternyata setelah gw pake selama beberapa minggu terakhir, gw jadi nyesel. Kok yang ini katanya 3,5G tapi nggak bisa push e-mail sih?

Gw jadi pusing setengah mati. Jadi sebenarnya HP yang bagus itu kayak gimana seh? Apakah BlackBerry itu paling bagus? Gw curiga BlackBerry Gemini yang murah-meriah ini ada kelemahannya juga, dan gw baru sadar kelemahannya justru setelah gw beli.

Gw kangen ada di posisi nyokap gw dalam urusan milih HP. Nyokap gw cuma minta satu hal kalo beli HP, "Saya mau HP yang suaranya keras!" Soalnya nyokap gw suka nyemplungin HP di tasnya yang mirip kantong Doraemon. Hanya Tuhan yang tau apa isi tasnya para ibu. Sisir, parfum, bon, terasi..

Bokap gw masih mending. Kalo milih HP, bilangnya gini, "Saya mau HP yang kecil di tangan." Sampai hari ini, HP favorit bokap gw adalah HP yang modelnya tipe flip, karena ukurannya nggak makan tempat. Tapi kalo baca SMS, bokap gw selalu sebal, "Ini SMS kok panjang banget sih? Kan jadi mesti di-scroll berkali-kali.."
Batin gw, bukan SMS-nya yang panjang, Pops. Tapi hurufnya yang gede-gede dan makan tempat di layar..

Mertua kakak gw paling parah. Sementara anaknya udah bolak-balik ganti HP, si Om masih setia dengan N 5110-nya. Nggak pernah dipake SMS-an. Tuh HP cuman dipake buat ngomong, "Haloo?"

Jadi inilah syarat yang gw inginkan kalo mau beli HP baru:
1. Ada service center resminya.
Gw udah cukup muak dengan barang-barang gw yang rusak dan harus ngapalin alamat tukang servis.

2. Batre tahan lama.
Gw pengen kayak tahun-tahun dulu, batre HP baru dicharge tahan ampe seminggu. Sekarang? Baru dipake chatting tiga jam aja, batrenya udah tinggal separo. Emangnya idup gw cuman buat nge-charge, apaa?

3. Push e-mail
Biar kalo ada komentar masuk, gw bisa langsung follow-up. Jadi Jemaah penonton blog gw nggak perlu gelisah nungguin ledekannya diledek balik.

4. Motretnya tajam dan cepat.
Gw mau kameranya bisa motret muka gw dengan kualitas sama dengan foto cover Cosmopolitan. Apalagi gw paling seneng motret burung terbang, bukan burung diam. Berasa kayak fotografer National Geographic gitu, hehehe. Itu istilahnya apa ya?

Gimana, Jemaah? Anda tentu beli HP nggak asal-asalan, kan? Sudah puaskah Anda dengan HP Anda?

Monday, July 27, 2009

Gerakan Anti Kesepian

Satu hal yang paling dicemaskan manusia adalah saat dia jadi tua dan kesepian. Satu per satu teman-teman sebayanya meninggal dunia, dan satu per satu anak-anaknya meninggalkan rumah bikin keluarga sendiri. Nggak heran banyak orang jompo minta masuk panti wreda dengan sukarela. Teman gw belum jompo, tapi dia udah depresi duluan lantaran kesepian.

Namanya Lally, sebut aja gitu. Seumuran ama gw. Waktu kami kuliah semester dua, Lally pacaran sama teman kami yang bernama sebut aja Petruk. Ke mana-mana dua anak itu lengket kayak prangko. Gw heran kenapa mereka nggak kawin aja sekalian. Kan lumayan, bisa hemat ongkos kost-kost-an dan hemat nyuci sprei?

Ternyata Tuhan lebih ngertiin mereka ketimbang gw. Pada waktu Lally semester sembilan, Petruk ketangkap basah nikung. Mereka putus. Lally depresi.

Masalahnya, Lally nggak pernah gaul sama orang lain selain Petruk. Dulu dia punya geng yang suka jadi teman ngegosip, tapi semenjak pacaran sama Petruk, dia nggak pernah main sama siapa-siapa lagi. Ketika mayoritas dari kami tamat kuliah sarjana di semester delapan, Lally tetap tinggal di kampus menghadapi semester sembilan barengan Petruk. Akibatnya Lally jadi banyak ketinggalan pelajaran. Dan saat kami semua lulus dokter dan mulai bergerilya cari kerjaan, Lally masih bekutetan di rumah sakit menyelesaikan magang yang nggak selesai-selesai, sendirian. Kesiyan, batin gw. Makan tuh cintamu pada Petruk!

Gw pikir, Lally mestinya nggak perlu jadi kayak gini kalo dulu dia nggak mengisolasi diri bareng Petruk. Omong kosong dunia itu cuman milik berdua. Harusnya bagi waktu, kapan pacaran, kapan gaul sama teman-teman.

Bersyukurlah ibu-ibu yang suka kumpul arisan dan bapak-bapak yang suka mancing bareng. Biar hidup itu nggak melulu berumahtangga, tapi juga ada sosialisasi dengan orang lain. Di rumah gw di Bandung, sekompleks itu isinya janda semua. Yang punya suami cuman tiga orang, termasuk nyokap gw. Bayangin kalo mereka nggak suka arisan tiap bulan. Bisa-bisa tuh emak-emak sendirian di rumah masing-masing meratapi kekasih hati mereka yang udah duluan meninggal.

Kemaren weekend, hari yang gw benci coz kantor libur. Praktis gw tinggal sendirian di apartemen gw mengganyang buku kedokteran yang setebal bantal sembari ngeblog. Rasanya buoseen..banget. Kan di apartemen gw nggak ada tivi. Laptop gw lagi ngadat, jadi nggak bisa puter musik.

Biasanya gw buka chatroom, tapi entah kenapa orang-orang yang biasa ngobrol sama gw lagi pada offline semua. Apakah hari ini setiap orang lagi balik ke dunia nyata masing-masing?

Lalu gw buka Facebook gw. Baru gw sadar, jumlah friend gw membengkak sampai 500 dalam 11 bulan terakhir. Dan yang menarik, gw jarang ngobrol sama separuh dari mereka. Lha nama mereka nggak ada di contact list Messenger gw.

Gw liat 10 orang yang baru update status dalam 30 menit terakhir. Gw cek ID Yahoo mereka di Vizgin.com. Delapan orang offline, dua orang lagi available. Yang dua, gw add di Messenger. Beberapa menit kemudian, request gw di-approve.

Lalu gw kirimin instant message. "Lagi apa?"
Yang satu lagi seneng, coz Test Pack-nya positif. Yang satu lagi berduka, coz ditolak masuk sekolah spesialisasi anak.
Dan obrolan pun mengalir. Gw tercengang coz nggak tau temen gw daftar sekolah lagi. Dan gw lupa bahwa temen gw yang satunya udah punya suami baru.

Itulah kabar-kabari. Ngasih tau kabarmu kepada teman lama, sambil nanyain kabar teman lama. Jadi hidupmu nggak melulu sempit coz ngobrol dengan orang-orang yang itu-itu aja. Suatu hari kekasihmu akan meninggalkanmu, entah karena dipanggil Tuhan atau karena dipanggil orang lain. Dan nggak ada yang bisa nemenin kamu selain teman-teman lamamu.

Menumpuk stok teman nggak sama kayak numpuk stok beras. Beras bisa kadaluwarsa, atau dimakan tikus. Tapi teman nggak pernah kadaluwarsa apalagi dimakan tikus.
Jadi jangan pernah lupakan mereka, meskipun belum tentu mereka ada buat kamu setiap saat.

Ayo buka Twittermu, Facebookmu, Friendstermu, Multiplymu, apa sajalah. Buka blog pengunjung lama, ada kabar apa mereka sekarang?

Sunday, July 26, 2009

Jangan Matikan Tivi Buat Anak!

Sengaja gw rilis tulisan ini buat menyanggah kampanye "Matikan Tivi Buat Anak" yang digelar hari ini di Indonesia. Kampanye ini punya agenda utama yang mengimbau para bonyok buat nggak nyalain tivi, satu hari aja, dan make hari ini buat main sama anak. Dasarnya adalah karena anak Indonesia, seharinya, ngabisin waktu dua kali lipat di depan tivi ketimbang di sekolah. Ini yang bikin anak sekarang punya masalah macem-macem, mulai dari nilai pelajaran yang jeblok sampai gantung diri.

Gw nggak pernah suka istilah mengimbau coz itu nggak saklek. Artinya boleh dipatuhi, boleh enggak. Gw pikir kalo mau kampanye efektif, ya nggak usah mengimbau, tapi memerintahkan aja sekalian. Artinya suruh semua stasiun tivi hari ini nggak muterin acara anak-anak, dan sebagai gantinya pasang siaran Manchester United vs Korea Selatan, hehe.. Stasiun yang tetep mbandel, cabut ijin operasionalnya, beres kan?

*Lu pikir hidup di negara mana lu, Vic? Irak??*

Oke. Rada tidak nyambung. Dalam profesi gw, tivi (dan kompie) dituding sebagai penyebab 50% keboloran pada anak. Banyak anak (dan mungkin Anda juga, termasuk gw) terpaksa make kacamata gara-gara kedapatan bolor nggak bisa baca tulisan Bu Guru di kelas.

Kasus kecil masih gw inget waktu gw magang di klinik khusus anak rumah sakit mata di Bandung. Kliniknya penuh banget sama anak-anak, dan usianya cilik-cilik, paling banyak antara 4-7 tahun. Umur segitu rata-rata minusnya udah gede, minimal 2. Kami para dokter mewajibkan anak pake kacamata kalo minusnya udah minimal 1,5.

Seorang ibu dari pasien nampaknya nggak terima anaknya bolor. "Nggak mungkin, Dok. Anak saya ini saya minumin jus wortel sampai enam gelas setiap harinya!"

Gw berusaha keras nahan tawa dengernya. Lebay ah. Mana ada anak mau minum jus wortel enam gelas? Yang ada malah eneg kalee..

Boss gw lebih dewasa dari gw dan nggak ketawa. Katanya, "Bu, mau anaknya dikasih jus wortel sampai lima liter pun, itu nggak akan bisa memperbaiki matanya yang tidak bisa membaca dengan jelas..!"

Itu kan di Bandung. Nah, sekarang gw tinggal di Pulang Pisau dan gw hampir nggak pernah liat anak-anak kecil seumuran tadi yang udah pake kacamata di sini. Apa sebabnya?
1. Mungkin memang nggak ada yang bolor.
2. Mungkin ada anak yang bolor, tapi bonyoknya belum memperbaikinya. Soalnya di sini kan nggak ada dokter mata.

Apakah benar tivi adalah penjahat utama buat keboloran anak? Ya, bisa jadi. Gw sering liat anak tuh seneng banget nonton tivi deket-deket. Gw nggak mempersalahkan mereka. Situasi rumah di Indonesia membuat para keluarga bikin rumah dengan ruangan yang sempit-sempit. Termasuk jarak kursi ke tivi di depannya pun ikutan sempit. Akibatnya sinar biru yang memancar dari tivi langsung masuk ke mata penonton dan merusak mata.

Jadi gimana dong? Yaah, makanya ini pe-er buat para bonyok, mumpung anaknya masih balita, dibiasakan jangan nonton tivi dekat-dekat. Balita masih belum bisa baca, jadi mereka nonton tivi hanya buat liat gerakan, warna, dan dengar suara doang. Beda pada anak yang lebih gede, mereka terbiasa nonton dekat, jadi saat mereka pengen baca tulisan yang kecil-kecil di tivi, mereka cenderung beringsut mendekati tivi. Akibatnya mata mereka makin rusak. Itulah sebabnya, lebih susah mencegah rabun pada usia SD ketimbang usia balita.

Ada tips lain buat mencegah mata bolor pada anak. Memang betul orangtua yang punya bakat bolor, akan nurunin gen kebolorannya ke anaknya. Tapi gen ini tidak perlu jadi bolor beneran kalo anak nggak niru kebiasaan orangtuanya baca koran deket-deket! Ayo mulai sekarang, kalo Anda baca buku, jarak buku dan mata paling dekat hanya 30 cm, syukur-syukur lebih jauh. Bisa, nggak?

*Ya susah, Vic, kan buku hurufnya kecil-kecil kayak semut..*

Grandpa gw ngasih rahasia jitu sebelum meninggal. Grandpa gw waktu muda nggak pernah pake kacamata. Paling-paling pake baru pas udah tua, itu juga kacamata plus. Padahal Grandpa tuh kutu buku berat. Ini karena Grandpa cuma mau baca buku di tempat yang lampunya terang-benderang..

Jadi, kalo memang Anda mau ngirit kacamata buat anak Anda, mulailah semenjak dia masih balita. Kalo nonton tivi, dudukkan dia jauh-jauh. Kalo kepingin suaranya kenceng, ya pakelah remote control. Kalo perlu, di depan tivi dikasih genangan air yang buanyak, jadi anak Anda ogah duduk di situ.. :-P

Dan ini juga berlaku buat komputer.

Tivi tidak bersalah atas keboloran mata anak Anda, jadi jangan dimatikan. Temani anak Anda waktu nonton tivi, itu baru langkah yang lebih cerdas.

Yok, nonton tivi yook..!

Saturday, July 25, 2009

Manuver Menolak Cewek

Cuma ada dua macam reaksi perempuan jika ditolak laki-laki yang disukainya:
1. Tidak gentar, terus mengejar pria itu sampai hatinya luluh.
2. Berbalik jadi benci, dan mencoret nama pria itu dari daftar undangan high tea-nya.

Laki-laki tau ini, karena itu mereka takut nolak. Sialnya, mereka juga takut nerima. Lha namanya juga ndak seneng, mosok mau dipaksa pura-pura demen?

Jadi gw nulis ini supaya pria-pria nggak perlu lagi nolak cewek dengan pura-pura jadi playboy, anak mami, atau fobia komitmen. Menolaklah dengan elegan!

1. Begitu si cewek nelfon HP Anda, buru-buru Anda cari tempat yang rame buat angkat telfon. Syukur-syukur di tepi jalan yang rame, atau di restoran yang gaduh. Kalo ada tivi, nyalain volumenya yang kenceng. Jadi Anda punya alasan buat bilang, "Halo? Halo? Keira ya? Aduh, suaramu nggak jelas..!"

2. Siyal, Keira berhasil ngajak Anda nge-date. Oke, ladeni. Turutin dia minta makan di mana. Suruh dia pesan menunya. Sementara Anda sibuk pencet-pencet HP. Kalo dia tanya Anda SMS-an sama siapa, jawab aja, "Biasalah, nih si Winona sama si Gisele ngajak chatting gw melulu, nggak mau berhenti.."

3. Dia bingung juga Anda mau pesan apa, sementara dia udah siap milih antara udang saos tiram atau steak barracuda. Anda jawab aja, "Gw pesan Aqua aja deh!" sambil tetep pencet-pencet HP. Kalo Keira nanya kenapa Anda nggak pesen makan, Anda jawab aja, "Gw udah makan tadi, masih kenyang. Si Gisele mampir dan ngedrop brownies yang uenaak banget. Jadinya gw makan sedikit, eeh..akhirnya gw malah makan semuanya, hehehe.."

4. Mulailah pura-pura bosan nungguin makanan yang belum dateng, dan liat sekeliling restoran. Liat ada keluarga yang bawa anak-anak yang berisik. Dan mulailah bilang begini, "Gw pusing deh kalo ngadepin bayi tuh. Nangis melulu, suka pup sembarangan, susunya mahal. Ya ampun, jangan-jangan gw nggak bisa tidur kali kalo ada bayi di rumah gw.."

5. Akhirnya pesenan makanan datang. Oke, waktunya cari bala bantuan. Pencet ringtone, dan tiba-tiba Anda bilang, "Ups. Sebentar ya, ada telfon.." Sebelum Keira bilang silakan, Anda udah lari ke ruangan lain buat nerima telfon dari entah siapa. Nah, pura-puralah nelfon yang luamaa..sementara Keira duduk sendirian di meja yang penuh makanan.

6. Kembalilah ke meja makan. Liat Keira menghadapi steak barracuda sambil mulai be-te, Anda pun ikutan lapar. Panggillah pelayan, kalo bisa yang cewek. Tanyain, "Mbak, di sini ada petai, ndak? Saya minta sepiring penuh."

7. Anda makan petai dan mulai menikmati kencan itu. Sementara Keira mulai bingung apakah dia kudu ilfil atau juga ikutan pesen petai. Mari kita bicara masa depan. Katakan begini, "Aku kayaknya selepas kuliah ini mau masuk militer. Jadi nanti bisa jalan-jalan ditugaskan ke pedalaman Kalimantan, atau ke Digul, atau mungkin Ambalat. Tiap tahun pindah tugas, ke daerah-daerah terpencil."
Atau kalo Anda masih anak SMU, bilang gini, "Aku mau sekolah pilot ah. Biar jalan-jalan gratis terus-terusan. Paling pulangnya cuman setahun sekali, hehehe.."
Jika Anda tipe eksekutif muda, bilang begini, "Kayaknya bos gw mau promosiin gw buat naik jabatan. Jadi dia mau pindahin gw ke kantor cabang ke luar negeri. Mungkin ke Angola, atau ke Zimbabwe, atau ke Ethiopia, atau ke.." (pilih negara sesuka Anda sendiri, lebih disukai yang banyak perangnya, atau minimal ada wabah koleranya). Jangan lupa tanyain Keira, "Mau ikut?"

8. Tunjukkan Anda pria tampan yang muji cewek cantik. Mulailah ngoceh, "Rambut kamu baru dilurusin ya? Kemaren gw juga abis creambath di Ruby's. Gw langganan creambath di sana sama si Scarlett. Wah, pijetannya mantep! Tapi kalo motong sih bagusan si Megan. Dia sih mau minta model apa juga bisa. Nah, kalo yang nyuci gw biasanya minta dicuciin si Tyra. Yang ngeblow bagusan si Natalie, cocok tuh sama rambut gw. Kalo pengen mani-pedikur, biasanya gw minta sama Mariah.."
Percaya deh, Keira nggak akan ngira metroseksualitas bisa mengerikan begini.

9. Dan akhiri obrolan dengan begini, "Pulang nanti kita mampir pet shop yuk? Gw mau liat ular kuning belang cokelat pesenan gw udah dateng apa belom. Gw udah siapin kandangnya di rumah sih, siapa tau bisa langsung gw beli hari ini."

10. Tinggalkan kesan pada kencan dengan ciuman. Dengan mulut Anda yang penuh bau petai, cium si dia tepat di idungnya. Dijamin dia nggak akan pernah lupa sama Anda!

Ngerti kan sekarang? Jangan pernah nolak cewek, coz itu akan melukai harga diri mereka. Sama seperti Anda para pria, ogah ditolak cewek kan?
Jadi, kalo nggak demen, buatlah perempuan itu mundur perlahan-lahan dari Anda, jangan buat mereka benci Anda.

Guys, jika semua cara di atas tidak berhasil bikin perempuan angkat kaki dari Anda, saatnya keluarkan senjata pamungkas. Katakan begini, "Keira, kamu perempuan paling cantik dan hebat yang pernah saya kenal. Tapi saya ingin kamu tau satu hal. Kalo saya disuruh milih antara Jennifer Aniston dan Angelina Jolie, saya akan pilih.. ehm, Elton John."

Semoga penolakan Anda menyenangkan! :-)

Friday, July 24, 2009

Facebook-mu Bukanlah Dirimu

Facebook ngambek. Sasaran ngambeknya kali ini orang-orang yang nggak suka ngurusin accountnya sendiri. Tau sendiri, di Indonesia banyak banget orang punya account Facebook tapi nggak diurus. Mungkin karena nggak ada waktu, tapi lebih banyak karena gaptek. Boro-boro inget passwordnya Facebook, nyalain kompie aja kudu teriak-teriak panggil anaknya.

Contoh kecilnya tante gw. Umurnya kira-kira 60. Punya Facebook, dibikinin anaknya. Dasar udah lansia nggak tau caranya main internet, jadi kalo mau buka ya dibukain sepupu gw. Mau bales Wall-to-Wall ya nunggu dibacain sepupu gw. Mau nge-add orang ya nunggu intervensi sepupu gw. Gw jadi bingung, ini yang punya Facebook siapa, si Tante atau si Mbak, seeh?

"Lha buat apa punya Facebook, Tante?" tanya gw.
"Ya kayaknya semua orang punya FesBuk, jadi Tante ya mau sekalian," jawab tante gw. Mungkin dikiranya punya Facebook itu sama pentingnya dengan punya HP.

Nah, alasan ini yang menggelikan dan jadi bahan ketawaan gw hari ini. Tadi pagi gw baca Detik.com, Facebook telah memblokir account seorang politikus di Indonesia. Alasannya, si politikus itu nampaknya nggak ngurusin accountnya sendiri, tapi orang-orang lain yang mengurus itu untuknya. Terang aja Facebook marah. Facebook ini kan buat ajang pertemanan, bukan buat ajang beken-bekenan. Hahaha!

Emang kalo dipikir-pikir, gw liat semenjak musim Pemilu nih, banyak banget caleg yang rame-rame bikin Facebook buat memopulerkan diri. Add sana, add sini. Mungkin dipikirnya kalo dia bisa ngumpulin 1000 friend, berarti dia dapet 1000 suara. Olala..it's so dutch!

Masih mending kalo yang nge-add itu emang calegnya beneran. Lha kalo yang nge-add itu bukan calegnya, tapi tim suksesnya doang, males banget dah. Apa nanti si caleg tinggal bikin pesenan buat tim suksesnya, "Tolong bikinkan saya account Facebook yang punya temen sampai 10.000!"

Sindrom niru-niru Obama ini yang kayaknya dijiplak mentah-mentah oleh para politikus. Mereka rame-rame nyuruh tim sukses mereka bikinin account Facebook atas nama si politikus. Mungkin di tim suksesnya sendiri ada sekretaris khusus Facebook. Dia yang bikinin account, dia yang nge-add friend, dia yang bales Wall, dia yang bales message, dan lain-lain. Kalo perlu, atas nama si politikus, sekretaris ini yang ngedaftarin buat ikutan Pet Society, nembak orang di Mafia Wars, nulis comment di Cause-nya Bebaskan Prita!, termasuk juga jawabin undangan kuis "Artis Mana yang Cocok Jadi Pembokat Lu?"

Lha si politikusnya sendiri? Dia nggak tau siapa-siapa aja yang udah "dia" add buat jadi friend, dia nggak tau bahwa seorang rakyat telah nulis Wall buat dia, dia nggak tau doggynya di Pet Society udah disuntik KB, dan dia nggak tau bahwa artis Dewi Peach cocok banget buat jadi pembokat dia..

Ini yang bikin gw empet banget nerima undangan request friend dari orang-orang bangkotan asing yang seumuran bonyok gw. Gw nggak percaya mereka emang nge-add gw. Gw curiga anak mereka yang nge-add gw. Firasat gw, "Facebook-mu bukanlah dirimu".

Facebook sebal banget dengan fenomena ini. Mereka mencurigai jika anggotanya punya "terlalu banyak" teman, misalnya sampai 5000 aja, maka si pemilik accountnya bisa jadi bukan orang beneran. Maka ketika ada pengaduan bahwa account yang terlalu rame itu ditengarai palsu, Facebook buru-buru memblokir.

Dan ini bisa menimpa caleg atau politikus manapun. Untuk tujuan jahat mungkin? Cukup nulis surat ke Facebook, "Dear Facebook, nama saya Budi Nasution. Seseorang telah membikinkan account palsu atas nama saya dan account itu kini punya 67.000 friend. Para friend itu merasa berteman dengan saya padahal saya nggak tau-menau. Saya merasa jati diri saya dicuri habis-habisan. Bisakah Facebook menolong saya?"

Dan Facebook pun memblokir account "asli" yang dikira "palsu" itu. Tapi di dunia nyata, Budi Nasution yang asli sama sekali nggak tau caranya ikutan Facebook..

Jadi ini buat jemaah penonton blog gw. Apakah account Facebook atas nama kita itu emang dikelola sendiri oleh kita? Atau untuk pekerjaan itu kita nyuruh "tim sukses" kita, misalnya anak, suami, atau sekretaris kantor?

Tapi ada pertanyaan lain yang lebih penting lagi. Apakah jati diri kita itu bukan sepenuhnya milik kita lagi, sampai-sampai kita harus memberikannya kepada orang lain buat bikinin Facebook atas nama kita?

Thursday, July 23, 2009

Mal-icious

"Dok, kalo ke Bandung enaknya jalan-jalan ke mana?"

Wah, gw merasa seneng banget ditanya gitu, apalagi kalo yang nanya adalah orang Banjar atau orang Dayak yang jarang keluar kota kalo bukan demi tujuan rapat dinas. Minggu lalu gw ditanyai itu oleh Pak Ahmad yang ditugasin pergi ke Bandung buat rapat. Katanya diinepin di hotel, rapatnya kan cuman sampai siang, lha sore-malemnya kan sayang kalo nggak dipake jalan-jalan. Cuman repotnya kan dia statusnya di sini lost in translation, nggak ada guide yang bisa bantuin dia nyasar ke tempat-tempat aneh di Bandung.

Padahal sayang lho, coz Bandung tuh punya banyak sudut-sudut yang menarik. Gw kalo lagi jadi guidenya tamu, paling seneng bawa tamu ke Jembatan Pasupati. Kenapa Jembatan Pasupati? Coz gw mau bilang, "Liat nih. Jembatannya megah, tapi persis di bawahnya penduduk Balubur tinggal berdesak-desakan dengan kumuh, nggak punya sumber air bersih, dan sulit keluar dari kemiskinan.."

Hehehe..kalo mau minta bimbingan gw buat pelesir ke Bandung, ngomong yang spesifik ya. Minta wisata belanja? Gw bawa ke Factory Outlet di Riau. Minta wisata kultur? Ke saung angklung Padasuka aja. Mau makan enak a la alfresco? Ke Pascal. Mau kencan yang nakal tapi bonafid? Ke Cihideung. Mau wisata politik? Ya ke Sungai Cikapundung, hehehe..

Jadi akhirnya gw bilang ke Pak Ahmad, udah ke Bandung Supermal aja. Pikir gw, biar orang Pulang Pisau nih liat mal deh. Soalnya nggak ada mal kan di Pulang Pisau. Adanya cuman pasar pinggir sungai..

Seminggu kemudian, Pak Ahmad balik. Kemaren Pak Ahmad cerita ke gw, seneng banget akhirnya bisa jalan-jalan liat mal di Bandung. Gw tanya, mal yang mana? Jawabnya, itu mal deket Pasar Baru yang ada Matahari-nya. Gw bengong. Itu mah bukan mal, itu plaza.

Sering kita bengong dengan istilah-istilah retail jaman sekarang. Emang mal dan plaza itu beda ya? Gw inget jaman '80-an tuh, orang masih akrab dengan istilah toserba alias toko serba ada. Tahun '90-an, kota-kota mulai tren bikin plaza. Baru tahun 2000-an, booming mal di mana-mana. Suatu kota nampaknya belum dianggap elite kalo belum ada malnya.

Sialnya, ternyata nggak semua mal pantes disebut mal. Yang ada tuh, gedung isi lapak yang jual barang kualitas ecek-ecek dan dijagain mbak-mbak jutek dan bujang-bujang kucel, maka itu pun disebut mal. Jauh banget dari mal-mal pionir yang dulu berdiri pertama-tama di Indonesia, generasinya Mal Pondok Indah dan Lippo Supermal, di mana konsumen langsung merasa berada di nirwana belanja ketika baru masuk pintu geser. Lantai marmer yang mengilap, barang-barang yang displaynya mengundang, pramuniaga berseragam yang lebih wangi ketimbang parfum jualannya sendiri, dan jaminan one stop shopping di mana semua yang kau cari ada: lingerie, kursi goyang, tinta printer, pizza, dingdong, bioskop, sampai tempat buat creambath.

Di mal, kita liat orang kumpul dengan keluarganya, dengan pacarnya, dengan geng arisannya. Semua orang ingin melihat, dan dilihat. Bahkan biarpun kau cuma window shopping sekalipun, kau sudah puas dengan melihat display barangnya saja. Kau rela diperdaya pelayan kafe untuk merogoh duit 20 ribu cuman buat makan panekuk yang ditimpa es krim vanila ditaburin bubuk Oreo dan dikasih cherry di atasnya, tapi kau puas karena kau makan itu di mal, bukan di warung pinggir jalan!

Tak ada yang seperti itu di Palangka, apalagi di Pulang Pisau. Di Palangka ada mal, tapi gw nggak tega menamainya mal. Mal buat gw mestinya seperti Taman Anggrek atau Senayan City di Jakarta, dan gw tau standar itu udah terlalu rendah sekarang coz udah ada FX dan Mall of Indonesia. Gw terheran-heran kenapa pengusaha properti di Palangka ini menyebut gedung ini Palangka Raya Mal. Apakah tidak sebaiknya para perencana kota itu membakukan definisi tentang mal supaya orang nggak sembarangan menipu rakyat yang bermimpi punya mal dan pada akhirnya malah dibikinin mal palsu? Kenapa jaman sekarang gampang banget bikin "mal" padahal itu sebenarnya bukan mal?

Saking boomingnya embel-embel mal di tiap pusat belanja, orang mulai jenuh dengan kata mal. Maka para pengusaha properti pun mulai menciptakan kosakata baru: town square, trade center, junction, dan entah apa lagi. Di Malang ada yang namanya Malang Town Square. Di Bandung bertebaran trade center, mulai dari Bandung Trade Center sampai Metro Trade Center. Di Jakarta ada Cibubur Junction. Padahal tampangnya masih itu-itu lagi: "mal".

Apa ini salah? Nggak, nggak ada yang salah di sini.

Gw cuman iba, orang yang jarang liat mal, seperti Pak Ahmad misalnya, cepat terkagum-kagum melihat plaza ecek-ecek di dekat Pasar Baru dan menyangka itulah mal. Gw iba lihat Palangka, yang katanya punya mal, tapi gw liat tempat itu masih kalah bagus ketimbang Pasar Baru. Dan gw tercengang liat betapa bangganya orang Palangka punya mal, sementara orang Bandung mendengus kalo liat mal. Betapa besar kesenjangan antara penduduk Cali dan penduduk Jawa. Tidak cuma kesenjangan wawasan, tapi repotnya juga kesenjangan selera.

Wednesday, July 22, 2009

Update Doong..

Gw iseng perhatiin daftar bahan kandungan di belakang kemasan sabun Lux. Lalu gw iseng bandingin sama produk sabun Pond's. Lalu gw terhenyak. Eh, kok isinya sama ya?

Gw nemu tiga bahan yang sama-sama disebut di situ: asam miristat, propilen glikol, potasium hidroksida. Oke, ada banyak bahan lain yang membedakan, tapi sama-sama aja golongan kimiawinya, cuman beda rantai cabang doang. Dan paling-paling beda bahan "basa-basi". Yang satu ditambahin beads buat nimbulin sensasi scrub, yang satu lagi dipakein aroma whipped. Bikin gw menarik kesimpulan yang sangat dangkal, kalo kau pengen bikin sabun yang laris, cukup bikin dari bahan-bahan kimiawi yang udah gw sebutin tadi, lalu tambahkan bahan basa-basi. Mau bikin sabun dengan aroma duren, mungkin?

Lalu gw mikir, kalo bikin sabun begitu gampangnya, kenapa tiap tahun Lux dan Pond's selalu ngeluarin iklan baru seolah-olah mereka baru bikin produk baru? Padahal kalo dipikir-pikir, bahan sabunnya itu-itu aja, yang beda cuman pewanginya doang. Sekarang kalo mereka nggak ngeluarin produk baru, apakah sabun-sabun lama mereka tetap laris, dalam artian mereka bisa mempertahankan kurva penjualan mereka pada garis target?

Dan akhirnya gw mikir, yang bikin sabun mereka laris itu bukanlah karena mereka memperbaharui kandungan sabunnya, tapi karena satu: Mereka rajin bikin iklan.

Filosofi ini yang gw simpulkan kepada aktivitas kita di internet.

Seorang teman pernah nanya ke gw, ngapain sih gonta-ganti status di Facebook, kayak orang kurang kerjaan aja. Teman gw ini kebetulan bukan jemaat Facebook. Waktu itu gw mau jawab, supaya orang lain tau apakah brownies yang lagi gw panggang udah bantet apa belom, hahaha..
Tapi gw akhirnya jawab, orang rajin update status coz seluruh teman itu pengen tau kabar kita.

Lalu kata temen gw itu, orang kan kalo pengen tau kabar kita ya tinggal pencet aja blog kita atau profile kita, di situ keliatan jelas. Batin gw, iya kalo kita punya blog, gampang orang ngecek kita. Sekarang aja gara-gara gw ngeblog tiap hari, gw merasa hidup gw kayak reality show, orang tau gw lagi ngitung hari menjelang cabut dari Cali, orang tau gw baru dikerjain kantor pos, orang tau gw mangkir dari Pemilu, dan lain-lain. Kalo di status Twitter atau Facebook, ketauan kita lagi bikin brownies, lagi nahan-nahan buat nggak makan cokelat, lagi ngambek sama pacar, dan lain-lain. Pertanyaannya, apakah kehidupan kita begitu penting buat "diiklankan" di daily blog atau status Twitter?

Gw dapet jawabannya hari ini.

Tau yang mengeksekusi bom bunuh diri di Marriott kemaren? Kata orang-orang, konon namanya Nur Hasbi, asal Temanggung, Jawa Tengah.

Gara-gara dia nih, sekarang bokapnya, Natsir, dalam kesulitan. Polisi menjemput Natsir subuh-subuh, buat diambil DNA untuk dicocokin dengan mayat yang ditemukan di Marriott. Kalo betul DNA-nya cocok, akan ada teka-teki yang kudu dijawab, ngapain Nur Hasbi berkeliaran di restorannya Marriott pada Jumat celaka itu?

Adakah yang mikir perasaan Natsir? Dia nggak ngerti kenapa anaknya disangkutpautin dengan bom ini. Natsir cuma tau, sudah lima tahun anaknya pergi dari rumah dan nggak pernah update kabar ke dia.

Lalu gw pikir, kalo aja Nur Hasbi mau kirim kabar aja ke bokapnya seminggu sekali, tentu Natsir nggak perlu kebingungan ditanyain polisi. Orang yang dikit-dikit ngabarin buat bilang, "Pak, minggu ini saya dapet order nyabut rumput di halaman Bank Indonesia" nggak akan mungkin dituduh jadi teroris.

Ingat kasus David Widjaja yang meninggal di Singapura? Dia dituduh bunuh diri setelah berencana membunuh dosennya sendiri di Nanyang. Teman-temannya nggak sedikit pun percaya David melakukan itu. Mana ada orang bunuh diri tapi satu jam sebelumnya masih sempat chatting sambil main video game?

Kasus lain, gw punya seorang teman bernama Riza yang nggak pernah update apa-apa di profil Friendsternya. Lalu tahun lalu, gw kirim pesan buat bilang selamat Lebaran. Beberapa hari kemudian, datang pesan balasan dari Riza. Tapi yang nulis bukan Riza, melainkan pacarnya. Gw kaget waktu gadis itu bilang, Riza sudah tewas beberapa bulan sebelumnya, dalam sebuah kecelakaan mobil.

Itulah sebabnya orang perlu mengiklankan diri dengan update status. Dalam skala tahunan, orang yang nggak update kabar rentan dituduh ikut sekte aliran sesat pendukung teroris. Dalam skala bulanan, orang yang update kabar akan cepat ketauan kalo dia meninggal. Dalam skala harian, orang yang update status yang isinya senang-senang melulu akan sulit dipercayai berencana bunuh diri.

Iklan sabun juga begitu. Sebenarnya isinya Pond's dan Lux itu dari dulu ya itu-itu aja. Tapi karena mereka rajin bikin iklan yang selalu baru, orang jadi nggak cepet bosen sama produk mereka. Itu bikin produk mereka tetap laris, dan pada akhirnya, eksis.

Jadi, sudahkah Anda update status Anda hari ini?

Kalo Anda bingung mau nulis apa, biar gw tanya Anda, "Kamu lagi di mana? Ngapain? Sama siapa?"

Tuesday, July 21, 2009

Flirtsy vs Slutty

Beberapa perempuan senang dinaikkan egonya karena dipuja, bikin mereka lebih sexy ketimbang seorang Dewi Venus sekalipun. Tapi nggak banyak yang tau bahwa dipuja dan dilecehkan itu bedanya tipiss..banget.

Ada seorang teman gw, sebut aja namanya Gwen, seorang surveyor di perusahaan minyak. Gwen ini orangnya cukup menarik, kalo nggak mau dibilang cantik. Mungkin nggak cukup cantik buat jadi bintang iklan sabun mandi, tapi cukup menariklah buat jadi bintang iklan sabun cuci. Mungkin tidak cukup buat jadi cover majalah Vogue, tapi cukup menjual deh buat jadi cover Good Housekeeping.

Nah, Gwen punya pacar bernama sebut aja Gavin, seorang fotografer yang sangat artistik. Gavin ini jagoan banget, misalnya orang yang tadinya jerawatan, kalo difoto Gavin jerawatnya bisa nampak raib. Terus orang yang tadinya mukanya item, bisa oleh Gavin dibikin jadi putih. Keren, kan?

*Vic, itu semua orang juga bisa. Kan sekarang udah ada Adobe Photoshop..*

Dari semua model potretannya, nggak ada yang lebih Gavin sukai selain motret pacarnya sendiri. Gwen lagi chatting, difoto. Gwen lagi ngerujak, difoto. Gwen lagi ngupil, difoto. Dasar pria penuh cinta. Anehnya, difoto Gavin kayak apapun, Gwen yang biasa aja bisa jadi nampak cantik.

Lalu suatu hari pas gw buka Facebook, gw liat di profilnya Gwen udah ada foto baru. Wah, fotonya keren banget! Gw langsung telfon Gwen, "Foto lu bagus banget, Gwen. Kayaknya lu cocok jadi model lingerie Victoria's Secret."
Gwen malah bingung. "Foto apa?"
Gw: "Ituu..foto yang baru di-upload di FB lu. Mosok lu lupa seh?"
Eeh..Gwen langsung tutup telfon. Pas beberapa jam kemudian, gw liat di Facebook, foto flirtsy itu udah nggak ada lagi. Lhoo?
Gw telfon Gwen, "Kok dihapus sih fotonya?"
Lalu Gwen marah-marah. Katanya, foto itu telah menyeret dia dalam chaos besar.

Ternyata foto itu dibikinin Gavin pas Gwen lagi leyeh-leyeh di kamar. Oleh Gavin, fotonya di-upload ke Facebook, truz di-tag nama Gwen di situ. Gwennya nggak tau. Tentu aja seluruh friend Gwen di Facebook bisa liat, kan? Dan kita tau gimana suatu foto bisa dipersepsi macem-macem oleh yang ngeliatnya. Termasuk gw yang bilang, Gwen pantes jadi model underwear dengan foto itu.

Nah, ternyata di caption foto itu, Gavin nulis, "Darling, what a great sex bomb you are to me.."
Mampus.

Mulailah di bawah foto itu ada komentar macem-macem dari jemaat Facebook. Ada yang muji, ada yang meledek. Tau-tau ada yang komen begini, "Lonte, berapa tarif kamu semalam?"

"Whaat??!" teriak gw waktu Gwen cerita itu.
"Iya, Vic, gw dibilang gitu," keluh Gwen. "Gw ngerti sih maksud Gavin mau bilang dia bangga punya gw sebagai ceweknya. And I like him so well. Tapi entah kenapa dengan cara itu, it makes me like a whore."

Setelah kita analisa baik-baik, kita sepakat bahwa di foto itu sebenarnya Gwen tidak keliatan slutty. Sexy sih iya, flirtsy mungkin, tapi nggak slutty. Namun kita rasa, insiden lonte-berapa-tarif-kamu-semalam itu nggak akan ada kalo Gavin nggak pake acara nulis "sex-bomb" segala.

Kalo kita nggak alert, orang bisa aja nulis yang nggak-nggak tentang kita, biarpun itu nggak sengaja. Dan itu bisa terjadi di manapun, di Facebook, di komentar blog, di Flickr, dan lain-lain. Itulah gunanya ada moderasi di blog.
Tapi foto yang di-tag seseorang atas nama kita, mana bisa dimoderasi?

Gavin bengong waktu gw bilang kalimat "sex-bomb"-nya itu udah jadi bom waktu. Tanyanya polos, "Emangnya cewek nggak suka ya dibilang sex-bomb?"

Gw menghela nafas. Akhirnya gw bilang, "Lu lebih suka yang mana, punya pacar kayak Gwyneth Paltrow, atau punya pacar kayak Pamela Anderson?"

Kita semua memang kudu belajar melihat dua sisi dari apa yang kita lakukan. Karena, memuja dan melecehkan itu, bedanya tipiss..banget.

Monday, July 20, 2009

Mas dan Mbak Hari Gini?

Anda dipanggil apa oleh adek Anda di rumah? Mas? Bang? Kang? Koh? Mbak? Teh? Cik?

Sebaliknya di kantor, Anda dipanggil apa oleh orang kantor? Apakah seperti orang rumah manggil Anda? Atau cukup manggil Anda "Pak" atau "Bu" saja?

Gimana kalo Anda masih kuliah, junior manggil Anda apa? Apakah senioritas masih bikin Anda dipanggil "Kakak"? Atau jangan-jangan semua produk feodal itu udah ngga ada lagi dan mereka manggil Anda langsung pake nama aja?

Tapi yang lebih penting lagi, dengan segala panggilan itu, Anda lebih senang dipanggil apa?

Gw kepikiran ini waktu Wijna komentar di blog gw minggu lalu. Gara-gara Wijna ng-Ospek di kampusnya tapi lebih berperan jadi senior yang baek-baek, maka junior-juniornya manggil dia langsung nama dan ngga manggil dia "Mas". Mungkin adek-adek itu lebih nganggap dirinya teman ketimbang sebagai senior. Gw pikir, nampaknya di kampus Wijna sudah mulai terjadi pergeseran cara pandang dari junior terhadap senior. Dadah feodalitas, halo kesetaraan.

Kakak gw yang kerja di pabrik makanan, manggil bosnya "Pak". Sementara si boss manggil dia langsung nama aja.
Gw inget di kantor gw sendiri gw selalu dipanggil "Dok", minimal ya gw dipanggil "Bu". Ngga ada yang panggil gw langsung nama.
Sebaliknya di kantor banyak perawat yang umurnya lebih muda dari gw, tapi gw tetap panggil mereka "Bu", sementara mereka manggil yang lebih tua di antara mereka "Kak".
Nampaknya feodalitas di kantor ditentukan oleh kedudukan seseorang. Tapi yang kedudukannya sama, feodalitas hanya berlaku ditentukan umur aja.

Di rumah, gw manggil kakak-kakak sepupu gw "Mbak" dan "Mas". Dan adek-adek juga manggil gw "Mbak". Memang para orang tua kami yang ngajarin kami begitu. Ini bukan feodal, tapi ada rasa menghargai yang lebih tua.

Lalu suatu hari kakak sepupu gw, sebut aja namanya Cristiano, seorang eksekutif BUMN, bawa pacar barunya ke pesta keluarga di rumah gw. Gw membatin bahwa gadis itu, sebut aja namanya Paris, nampaknya asik dan pecicilan kayak kami. Gw inget pertama-tama kita kenalan, yang kita omongin pertama adalah urusan tempat makan yang enak-enak. (Gw selalu menghindari topik tentang pekerjaan pada obrolan pertama.) "Iya Vic, di situ kan mereka jual croissantnya enak-enak, kapan-kapan liat sendiri deh, Vic."

Nah, pas makan malam, saat gw berhasil berdua aja sama Mas Cristiano, gw sikut dia.
"Mas, dapet tuh perempewi di divisi mana? Marketing apa customer service?" olok gw.
Mas Cristiano terkejut. "Dia masih kuliah."
Gw keselek. "What?!"
Akhirnya Mas Cristiano memberi tahu fakta yang nampaknya tidak penting buat dia tapi cukup penting buat gw. Paris, cewek cantik yang jadi pacarnya itu, ternyata belum 21 tahun.
Jadi dengan hati-hati gw tanya, "What does she call you?"
Mas gw mengernyit. "Cristiano."
Gw menutup bibir rapat-rapat, berusaha tidak mengkritik kenapa sepupu gw membiarkan gadis kecil itu manggil dia nama aja, bukan pake "Mas" atau "Kak" atau apalah gitu. Pantesan si Neng Paris itu langsung panggil gw "Vic". Lha orang dia panggil pacarnya aja juga langsung nama.
Catetan: Waktu itu gw hampir 25 tahun. Cristiano sendiri, udah 32 tahun.

Kadang-kadang ada culture gap yang cukup signifikan, di mana kita kudu luwes menyadarinya. Pertama-tama Cristiano datang di pintu rumah gw sambil ngenalin pacarnya itu, dia hanya sebut, "Kenalin nih."
Gw menyambut gadis itu dengan hangat. "Saya Vicky, yang punya rumah."
Gadis itu menyalami gw dengan erat. "Paris."
Gw: "Ayo masuk. Udah makan?"
Paris: "Udah, tadi kita sempat jajan croissant sebentar."

Mungkin skenarionya akan beda kalo pembicaraannya gini:
Sepupu gw: "Kenalin, ini Paris. Paris, ini sepupuku. Ati-ati, dia baru lulus. Dan sekarang bawaannya kepingin nyuntik melulu."
Gw: "Aduh, Mas, jangan bilang-bilang napa?" (pura-pura marah kepada sepupu gw, lalu nyengir ke cewek itu) "Saya Vicky. Sekantor sama Mas Cristiano ya?"
Paris: "Ooh..ngga, Mbak. Belum kerja.."
Gw: "Oh ya? Masih kuliah? Ambil S2?"
Paris: "Mm, belum. Masih S1.."
Gw: "Ooh..aku kirain udah master. Ayo masuk dulu yuk..sendalnya dipake aja.."

Nah, kalo dialognya kayak gitu kan lebih luwes. Ada informasi penting yang dikomunikasikan. Siapa kakak, siapa adek. Paris akan bisa memposisikan dirinya sebagai calon adek ipar yang baik. Gw bisa jadi calon kakak yang melindungi. Soalnya di keluarga tertentu, itu penting.

Sepupu gw dan Paris sekarang udah putus. Tante-tantenya keluarga gw ngga terlalu menyambut pacar Cristiano itu. Gw pikir, mungkin Paris masih perlu banyak belajar tata krama tidak tertulis di keluarga kami. Dan gw rasa, sedikit banyak Cristiano mestinya bertanggungjawab buat ngajarin dia.

Keluarga, sekolah, ataupun kantor punya tatakrama sendiri-sendiri dan itu menentukan bagaimana kita kudu bersikap. Itu sebabnya kudu ada orientasi di tiap lingkungan baru, supaya orang lama bisa ngajarin orang baru buat beradaptasi. Dengan demikian ngga ada lagi yang bingung, manggil Mbak atau Mas itu penting, nggak sih?

Sunday, July 19, 2009

Musim Kawin

Gw curiga sekarang musim kawin. Soalnya mendadak burung-burung di halaman apartemen gw jadi lebih ceria. Mereka bersuwit-suwit sepanjang hari dan nebar kotoran di mana-mana. Tanda khas di mana cinta bisa bikin makhluk mana pun jadi bego. Berterima kasihlah kepada endorfin.

Tapi bukan cuma burung, kayaknya manusia sekarang juga lagi musim kawin. Soalnya banyak banget undangan nikah dari temen-temen gw yang dateng ke gw weekend ini. Aneh, batin gw. Kenapa nikah aja ngundang-ngundang, tapi kalo kawin nggak pernah ngundang-ngundang?

Yang bikin gw pusing, kenapa yang kawin weekend ini sampai tiga, gitu lho. Dan semua resepsinya barengan. Kok mereka ini nggak empati sama gw sih? Lambung gw cuman satu, mana muat buat makan-makan mereka bertiga?

(Bikin gw kadang-kadang pengen jadi orang Itali aja. Orang Itali tuh, kalo bikin pesta pernikahan bisa sehari semalam. Jadi gw bisa nyicipin kambing guling selama dua jam di pesta pertama, lalu pergi ke pernikahan yang lain buat melahap ayam taliwang selama dua jam. Perut kenyang, dan gw bisa doain berkah buat semua pasangan yang menikah. Kan gitu seharusnya, Jemaah?)
*Vic, Vic, nggak ada orang Itali kawin sambil menjamu pake kambing guling atau ayam taliwang..*

Gw jadi inget, kira-kira beberapa hari lalu gw ngobrol sama seorang teman. Kayaknya sih, dia nggak seneng kalo orang tuh kirim undangan cuman via SMS atau via internet. Kesannya nggak ada tatakramanya gitu. Dia emang agak mirip bonyok gw, yang percaya bahwa yang namanya undangan tuh sebaiknya dikasih setangan, minimal ya dikirim via pos. Pokoknya undangannya dicetak. Ada nama pengantennya, ada nama bonyoknya, ada peta venue-nya. Jadi orang tuh nggak kesasar nyari lokasi.

Nggak efisien, pikir gw. Tau nggak, hari gini tuh susah banget mau kirim undangan ke temen-temen kita. Dikiranya nyetak undangan itu murah, ya? Satu eksemplar undangan yang bagus aja dibanderol goceng. Gimana kalo yang diundang ada 500 orang? Temen kita aja banyak, belum lagi temen bonyok dan mertua. Bisa-bisa anggaran cekak cuman buat urusan undangan.

Itulah gunanya diciptakan SMS dan e-mail. Mengirit waktu, duit, dan jumlah pohon yang kudu ditebang buat bikin undangan.

Lalu jawaban atas debat gw dan teman itu dateng weekend ini. Tiga orang teman sekaligus ngundang gw ke kondangan mereka. Yang satu di Jakarta, dua lagi di Bandung. Mana bisa gw mondar-mandir ke tiga tempat itu cuma dalam durasi antara tiga jam?

Nah, solusinya gampang. Gw kan lagi di Cali, jadi nggak bisa dateng ke tiga-tiganya. Maaf..

Ternyata soal belum beres. Bisa aja gw nggak dateng, tapi kan bonyok gw di Bandung kudu dateng. Soalnya dua dari ketiga temen yang menikah itu, bonyoknya kenal sama bonyok gw.

Lebih tepatnya gini. Temen gw yang di Bandung, nyokapnya pernah duduk sama nyokap gw di rapat sekolah kami. Itu mungkin satu-dua kali aja mereka pernah ketemu, selebihnya nggak pernah lagi.
Lalu temen gw yang di Jakarta, itu lebih parah. Bonyoknya tuh sohiban sama bonyok gw. Lalu sesodaranya temen tuh, temenan sama gw dan adek gw. Jadi ini judulnya sobat keluarga.
Jemaah, menurut Anda, bonyok gw dateng ke kondangan temen gw yang mana? Ke kondangan yang di Jakarta, dong?

Salah.

"Keluarganya nggak kirim undangan kok ke rumah kita. Vicky tau dari mana dia menikah?" tanya nyokap gw kaget waktu gw ng-SMS nyokap gw dua hari lalu. Gw tadinya mau bilang, ati-ati kalo mau dateng ke kondangan temen gw di Jakarta itu, soalnya Kuningan baru dibom.

Gw bilang, gw tau si temen itu menikah di Jakarta coz dia woro-woro di Facebook. Tau kan, pake application Event yang buat ngirim undangan massal itu. Gw bengong, mungkin keluarganya nih lupa nyelipin nama bonyok gw di daftar undangannya.

Nyokap gw milih dateng ke undangan temen gw di Bandung. Soalnya, temen gw yang itu nganterin sendiri undangannya ke rumah bonyok gw.

Lalu gw teringat pembicaraan gw tentang undangan cetak vs undangan elektronik tempo hari. Mendadak gw memahami esensialnya.

Sebutlah ini kuno, tapi dalam setiap undangan cetak ada pengorbanan dari pengirimnya. Ada duit buat cetak undangan, ada bensin buat ngirim undangan. Undangan itu mahal, jadi kalo si pengundang ngirim 500 undangan, berarti memang dia kepingin 500 penerima undangan itu dateng semua. Itu bikin penerima undangannya setidaknya merasa DIHARAPKAN kehadirannya.
Adapun undangan elektronik yang dikirim massal, itu copy-paste. Si pengundang bisa aja ingin ngundang 2000 orang temennya di Facebook, tapi kalo dari 2000 orang yang diundang itu nggak bisa dateng, ya nggak pa-pa. Malah, kadang-kadang si pengundang tidaklah terlalu mengharapkan kehadiran yang dikirimin undangannya. Nulis undangan itu sebenarnya cuma bentuk lain dari woro-woro, buat bilang, "Eeh..gw kawin lhoo..!"

Amanda, blog hari ini buat kamu. Terima kasih udah minta gw ng-SMS-in nama bokap gw lengkap dengan gelarnya buat ditulis di undangannya ya, Jeng. Mudah-mudahan kamu bahagia dengan suamimu yang baru.

Saturday, July 18, 2009

Cara Gampang Menyelundupkan Bom

Jika Anda kepingin nyelundupin bom di suatu tempat umum tapi Anda nggak tau caranya supaya nggak ketauan satpam, maka Anda wajib baca tulisan ini. Tidak masalah Anda seorang amatiran dogol atau belum pernah direkrut oleh organisasi teroris mana pun. Nggak perlu repot-repot belajar sama Azhari (gw sengaja mengabaikan gelar Dr-nya), coz yang namanya Azhari itu udah koit. Mau belajar sama Nurdin M. Top juga nggak mungkin, lha wong sampai sekarang orang-orang juga nggak ada yang tau idungnya nongkrong di mana, padahal udah ada hadiah jutaan rupiah buat siapapun yang bisa membawa kepalanya.

Suatu malam gw dan bokap bermobil dari Bandung ke Jakarta, dan gw begitu lelahnya sampai-sampai ketiduran di bangku belakang pas tuh mobil lagi lari di jalan tol. Tau posisi tidur gw waktu itu nggak manis deh, ujung kepala di dekat pintu kanan, ujung kepala di dekat pintu kiri. Tiba-tiba gw dengar pintu kanan tuh njeblak terbuka, spontan gw terbangun, dan seseorang nyinarin muka gw pake senter. Gw mengerjap-ngerjap kaget, dan orang itu nutup pintu dekat kepala gw lagi. Lalu gw merasakan bokap gw menyetir mobilnya lagi.

Ternyata mobil kita tuh baru tiba di hotel tujuan kita, dan yang barusan bangunin gw itu adalah satpam di pintu basement hotel. Satpam itu mengecek penumpang mobil buat liat siapa tau kira-kira mobil bawa buronan. Nah, ngeliat yang ada di dalam mobil itu cuma seorang pria yang mirip Paul McCartney (ini kata bokap gw lho ya!) dan seorang gadis bernama Little Laurent yang kalo lagi tidur mirip sleeping beauty, maka mobil itu pun dibiarkan lewat.

Lain kali gw di parkir mal di Bandung, gw liat sebuah BMW di jalur itu distop oleh satpam. Buka tiap pintu mobilnya, liat orang-orangnya. Terus mereka ngedadahin sejenis pentungan gitu yang katanya sih ada scannernya dan seluruh bodi mobil di-scan oleh pentungan itu. Nah, si satpam itu mau buka bagasi, tapi gagal coz dia cuma mencet kenop bagasi doang. Dan si satpam membiarkan BMW masuk. Si satpam nggak tau, kalo mau buka bagasi BMW, kan mesinnya kudu dimatiin dulu.

Pas gw mau masuk ke pintu masuk mal, dan yang jaga tuh segerombolan satpam lagi-lagi dengan pentungan ajaib. Di depan gw ada serombongan anak baru pulang sekolahan gitu, disuruh naruh backpack mereka yang segede-gede gaban di meja satpam. Sang satpam membuka ritsleting backpack mereka, melongok sebentar ke dalam tasnya, ngedadahin pentungan ajaib itu di atas tas, lalu anak-anak sekolah itu pun boleh masuk. Nah, giliran gw mau masuk, gw udah siap melambaikan clutch kecil gw, lalu gw menatap si satpam sambil memamerkan senyuman maut gw. (Ya senyuman yang kayak Anda liat di foto sebelah kanan atas blog inilah..) Si satpam langsung nyuruh gw masuk tanpa periksa-periksa gw. Gw agak tersinggung. Gitu doang? Tas gw nggak digeledah? Apakah dia nggak menggeledah karena tas gw kekecilan buat bawa bom atau karena muka gw yang cantik? Kalo alasannya yang nomer satu, gw maklum. Tapi kalo alasannya yang nomer dua, itu pelecehan!

Oh ya, sekitar lima tahun lalu gw pernah jalan-jakan sama geng 11 orang ke mal pake mobil temen. Pas tuh mobil Taruna mau masuk ke mal, kita udah senewen duluan liat satpamnya melakukan prosedur pemeriksaan itu pada mobil-mobil di depan kita. Nah, begitu tiba gilirannya mobil teman gw, si satpam melihat ke dalam mobil melalui jendela yang transparan, dan liat kita semua pasang muka merengut sambil duduk berjejalan dan kepanasan. Pikir satpamnya, "Wah, kalo nih mobil pintunya dibuka, bisa-bisa semua penumpangnya njeblak dan tumpah keluar." Akhirnya mobil itu pun dibiarkan lolos dan kita semua bersorak riang. "Thank God..!"

Maka dengan begini kita bisa belajar bahwa memang kontrol terhadap barang bawaan pengunjung di tempat-tempat umum itu lemah banget. Orang bisa aja lho ngumpetin bom di balik bra seorang cewek cantik yang lagi molor di bangku belakang mobil. Bom tuh sekarang canggih-canggih, nggak mesti segede-gede TNT yang suka kita liat dulu di film He-Man, tapi cukup kecil aja diumpetin di dalam mesin HP. Para pengelola tempat umum mestinya waspada ini, jadi nggak alasan buat nggak cek tas clutch seorang pengunjung cewek biarpun resikonya perempuan itu cerewet kayak bebek. Lebih-lebih lagi kalo mereka nggak memaksa penyetir mobil untuk membuka bagasi mobilnya sendiri. Termasuk kalo mobilnya itu mengangkut penumpang a la keluarga Indonesia? Berjejalan semua, ada ayah, ibu, aa, teteh, kakek, nenek, dan tante-tante yang suka nyimpen klepon. Eh, ngomong-ngomong, pentungan ajaib itu sebenarnya ada gunanya nggak, sih? Atau cuma kosmetik satpam doang?

Mau gimana lagi? Masa' kita nggak mau masuk mal atau hotel cuman gara-gara nggak percaya sama cara satpam meriksa bawaan penumpang? Tak ada lagi yang bisa kita lakukan sekarang selain berdoa. Mudah-mudahan Tuhan masih mau menyayangi kita dan mencegah kita berada di tempat yang salah, dan pada waktu yang salah pula..

Friday, July 17, 2009

Setan Diusir Setan

"Perhatian, perhatian! Besok Mas-Mas dari Manchester United mau datang. Mercon-mercon harap disingkirkan."

Gw menatap alinea pertama tulisan gw itu dengan hati hancur. Draft itu udah siap buat dirilis malam ini. Tulisan sebanyak 5000 karakter pas, ditulis dengan sepenuh hati, dan gw baca berulang bikin gw cengar-cengir sendiri. Ini tulisan gaya gw banget: Nyindir, provokatif, ngepop. Jemaah penonton pasti suka.

Tapi tulisan itu batal rilis. Terpaksa!

Firasat gw udah jelek dari tadi pagi. Ada apa sih? Cuaca cerah aja. Sambungan internet nggak rewel. Bokap dan nyokap? Nampaknya sehat. Si adek? Lagi sibuk, alias seksi kebluk. Darling? Oke, lagi banyak kerjaan, tapi masih sempat nge-mail gw pagi-pagi. Cuma satu yang rada nggak beres. Kok Detik.com dan Kompas.com nggak bisa diakses ya?

Lalu gw buka Facebook. Seorang temen ngomelin pengebom entah mana lagi. Oh, temen gw ini emang seneng ngomel. Dan dia pengomel kelas internasional. Apa aja diomelin, Palestina, Cina Barat, Swatt, Myanmar, semua bangsa yang lagi perang sodara di bumi ini dia omelin. Gw angkat bahu. Kali ini ajalah, gw lagi nggak mau urusin dunia yang nggak gw kenal.

Baru pas gw nge-Twit, gw sadar apa yang terjadi. Ada bom di Jakarta. Ritz Carlton kena. JW Marriott kena juga, lagi.

Gw terperanjat. Lalu gw terpikir draft gw tentang MU vs Indonesia All Star yang udah siap rilis nanti malem. Tidak. Jangan katakan..

Gw refresh halaman Twit gw. Temen gw, Rieka di Trans TV, baru nge-Twit, "Budi Ga Jadi Main Bola".

"NOOOOOOO!!!!!" Little Laurent menjerit.
Tidak keluar suara. Nggak mau menarik perhatian ibu kost gw.

Manchester United membatalkan kunjungannya ke Indonesia gara-gara bom brengsek itu.

Padahal gw udah capek-capek nulis draft blog demi menyambut Mas-Mas Setan Merah itu. Tapi ternyata Setan Merah kalah oleh setan lain bikinan Indonesia sendiri yang psikopat!

Apa kunyuk-kunyuk najis ini mau mengusir Manchester United dari Indonesia?!
Kalo nggak seneng sepak bola, ya jangan hotelnya yang dibom!

Tolong katakanlah ini cuma lelucon. Tolong katakan ini hanya konspirasi bloon supaya tim PSSI bisa menang telak melawan MU. Gw berusaha mencari sisi humor gw, tapi kemarahan melingkupi gw nggak karuan.

Gw marah, kalo gw udah bikin tulisan, tiba-tiba tulisan itu batal gara-gara ada momentum yang menjungkirkannya!
Gw marah, kalo Indonesia udah bagus-bagus nembak mati Amrozy dan Imam Samudera, tau-tau ada lagi Amrozy jenis lain yang nggak punya hobi lain selain bikin bom bunuh diri dan meledakkan hotel yang mayoritas penginapnya adalah warga negara asing!
Gw marah, kalo satu-satunya seleb olahraga kesukaan gw mau dateng ke Indonesia, terpaksa batal ke Indonesia gara-gara takut liat calon hotel yang diinepinnya itu dibom!

Terkutuklah orang-orang yang ngebom tempat itu sampai membunuh banyak orang. Gw nggak berharap mereka mati bunuh diri ataupun ditembak regu eksekusi Departemen Kehakiman. Gw harap orang-orang itu kena stroke, lumpuh, dan sulit mati supaya mereka bisa hidup sambil menderita. Tak ada yang lebih menyakitkan selain hidup segan tapi mau mati juga susah.

Gw berduka buat semua korban yang merugi jiwa, material, dan psikis akibat bom di Marriott dan Ritz Carlton Jakarta. Paman gw termasuk yang merugi coz dia juga udah beli tiket buat nonton MU di Senayan dan sekarang MU nggak jadi dateng.

Dan operator 3 harus bikin iklan baru. Ayo kita belajar bahasa Indonesia bareng-bareng.

"Ini Budi.
Budi batal main bola.

Mau??"

Ya Tuhan. Ekstremis radikalis, mudah-mudahan kalian semua ditimpa sifilis.

Thursday, July 16, 2009

Selamat Datang di Neraka

Gw belum pernah ke surga, gw berharap suatu hari nanti gw akan ada di sana tanpa harus mampir neraka dulu (amit-amit!). Tapi pada hari yang gw ceritain ini, gw nggak kepingin berada di tempat selain gw berada saat itu. Waktu itu umur gw 15 tahun, itu hari pertama gw masuk SMA, ketakutan sekaligus antusias nggak sabar nungguin kejutan di sekolah baru gw. Senior-senior gw menyambut kami semua dengan ramah, dan seperti setiap freshman yang pernah ada di muka bumi, gw begitu ngiler kepingin nyoba semua klub ekstra kurikuler yang ada. Setiap hari adalah ketawa, dengan teman baru yang asik-asik. Pada hari terakhir masa orientasi sekolah, gw diangkat jadi orang #3 di kelas dengan posisi sekretaris (orang #1 dan #2 adalah KM dan wakilnya, gw ogah melamar untuk posisi itu coz gw pikir KM itu = Kacung Murid, sedangkan dengan posisi #3, gw praktis jadi ketua cewek dh kelas, so isn't it cool, huh? Dasar politikus oportunis!)

Tiap masa orientasi sekolah harusnya kayak gitu, di mana setiap anak sekolah sama antusiasnya seperti baru pertama kali liat Dufan. Maka gw kaget kalo gw curhat sama teman-teman dari sekolah lain, di mana mereka selalu cerita bahwa masa orientasi sekolah adalah minggu terburuk dalam hidup mereka tahun itu. Seolah-olah sesekolahan bersekongkol menyambut murid baru sambil membentangkan spanduk lebar-lebar bertuliskan, "Selamat Datang di Neraka".

Masa orientasi sekolah itu cuman istilah hari gini, tapi isinya nggak pernah jauh-jauh dari murid-murid senior yang bebas memelonco anak-anak baru. Bentuk-bentuk intimidasi itu beragam, mulai dari mendamprat sampai menabok.

Jaman tante gw baru masuk sekolah barunya dulu, sekitar tahun '70-an, rambutnya kudu dikuncir 17 biji. Gw nggak ngerti kenapa jumlahnya kudu 17 biji, memangnya kalo rambutnya nggak dikuncir nggak boleh masuk sekolah? Padahal kalo nggak boleh masuk sekolah yo wis kebeneran, kan enak bisa santai-santai di rumah. Apa nanti kalo udah lulus sekolah, ada ijazahnya bertuliskan, "Lulus menguncir rambutnya sendiri sebanyak 17 biji selama enam hari"?

Teman gw pernah cerita bahwa perpeloncoan SMA-nya di Jakarta parah banget. Kan ceritanya kakak kelasnya bacain pengumuman keras-keras sambil buru-buru, "Besok bawa tugas berupa satu kodok, pisang satu sisir, tiga tahu berbentuk segilima.." dan entah apa lagi yang nggak jelas. Nah, si teman ini pinter, dia bawa semua barangnya, satu ekor kodok dalam sebuah toples plastik, tiga tahu yang dia potong sendiri bentuknya, satu buah pisang, dan satu buah sisir plastik. Ada temennya satu lagi, dia malah bawa pisang segepok yang dia beli di pasar, tau kan, yang jumlahnya sekali beli bisa sampai 15-20 buah itu.
Nah, siangnya, si kakak kelas yang galak mengomando, "Yak! Sekarang makan pisang yang kalian bawa dalam satu menit! HARUS DIHABISKAN!"
Temen gw dengan entengnya ngabisin pisangnya yang cuman dia bawa satu buah itu, sementara temennya yang bawa pisang segepok terpaksa makanin semua pisangnya yang belasan itu dalam semenit!

Memang kalo dipikir-pikir, semua perpeloncoan ini cuman lelucon kalo diceritain ke anak-cucu nanti. Cuman sandiwara doang dari kakak kelas sebagai penyambutan terhadap adek kelasnya yang baru. Katanya ini buat mempererat hubungan antar angkatan. Dan yang lebih penting lagi, melatih mental.

Melatih mental gimana, heh? Gw nggak lihat efek perbaikan mental dari menguncir rambut sebanyak 17 biji dan menangkap kodok yang nggak akan pernah dipake buat pelajaran biologi. Inikah yang dimaksud orientasi itu?

Mungkin mereka kepingin memiliterisasi anak baru. Istilah Maduranya "Dim-meKodim", artinya pura-pura jadi orang Kodim. Dulu tuh ada lelucon, tentara suka pura-pura nakut-nakutin rakyat kalo ada rakyat yang berani "macem-macem" sama tentara. Kenapa istilahnya Kodim? Soalnya yang biasa melakukannya itu orang-orang sok dari kesatuan-kesatuan militer kecil level Kodim ke bawah, yang pangkat serdadunya juga masih belum tinggi-tinggi amat. Jadi sekarang kalo ada orang ecek-ecek macam anak SMA yang baru berumur 16-17 tahun, belum ngerasain berdarah-darahnya jadi mahasiswa, tapi sudah berani sok nakut-nakutin anak baru dengan belagak memplonco ala militer, itu namanya "Dim-meKodim".

Dipikirnya intimidasi menciptakan rasa disiplin, disiplin menciptakan mental yang kuat. Tapi menurut gw intimidasi nggak menghasilkan apa-apa selain rasa takut yang berlebihan dari anak-anak baru. Ini sebenarnya bentuk lain dari "bullying", cuman dibungkus sedemikian rupa dengan nama "masa orientasi sekolah".

Untung SMA gw nggak pernah meng-ACC perpeloncoan buat anak-anak baru. SMA gw membuktikan bahwa menggojlok mental bukan dilakukan melalui perpeloncoan dari senior kepada anak baru, tapi seharusnya dilakukan dengan ngasih soal ujian mahasiswa sebagai soal ulangan SMA saban minggunya. Mental gw sukses dibombardir selama SMA itu.

Sekolah baru seharusnya menyambut ramah seperti Hawaii, bukan menindas seperti Camp Auschwitz.

Wednesday, July 15, 2009

Recehan Merepotkan

Orang tuh suka bingung minta maaf kalo cuman bisa ngasih duit recehan. Gw pernah tuh beli bawang mestinya dapet kembalian Rp 9.000,- dan penjualnya minta maaf coz "cuman" bisa kasih sembilan lembar 1000-an. Gw terheran-heran kenapa dia kudu minta maaf. Emangnya dia salah apa? Apakah dia minta maaf karena cuman punya sembilan lembar duit 1000-an atau dia minta maaf karena bikin gw terpaksa ngendon lebih lama di depannya buat ngitung ulang kembaliannya? Bagaimana pun, ngitung sembilan lembar kertas 1000-an jelas butuh waktu lebih lama ketimbang ngitung selembar 5000-an dan empat lembar 1000-an.

Kalo pun itu kesalahan, gw heran kenapa itu hanya terjadi pada orang jualan. Hari ini, petugas kantor pos yang nyerahin gaji gw, tidak minta maaf karena dia udah bikin gw repot.

Jadi, Departemen Kesehatan ngebayarin gaji dokter Pegawai Tidak Tetap gw melalui Kantor Pos. Kalo gw mau ambil gaji gw, gw tinggal dateng ke kantor pos di Pulang Pisau dan nyodorin surat-surat yang diperlukan. Lalu orang-orang kantor pos itu akan kasih gaji, dan gw pun tinggal terima beres. Tolong jangan tanya gw kenapa Depkes nggak bayarin gaji gw via bank aja biar lebih aman. Beberapa orang masih berpikir bahwa kalo ada sesuatu yang bisa dipersulit, kenapa mesti dibikin gampang?

Tapi hari ini, gw mendapati gaji gw dalam keadaan lain. Petugasnya nyodorin gw segepok duit, berupa duit 10.000-an sebanyak ratusan lembar dan duit 5000-an sebanyak ratusan lembar. Kedua set gepokan itu diikat dengan label bertuliskan nilai nominal gepokan tersebut. Kata petugasnya, "Silakan dihitung lagi, Dok."

Gw menatapnya seolah dia udah gila. Masa' gw pegawai yang mau ambil gaji jutaan disamain kayak orang mau ambil BLT? Pasti nih kantor pos baru ganti kebijakan. Orang bulan-bulan kemaren kalo waktunya gajian, gw tinggal ngambil duit 100 ribu yang banyak kok, eeh..kok sekarang gw disuruh ngitung 10.000-an dan 5000-an sebanyak ratusan lembar? Gw curiga, jangan-jangan bentar lagi Indonesia nggak akan lagi punya duit pecahan 10 dan 5 ribuan, jadi juru cetaknya mengalokasikan gajinya PTT buat "cuci gudang" produk cetakannya yang terakhir.

Tapi karena pegawai kantor pos itu hanyalah seorang frontliner kecil, jadi gw urung mau mensomasi dia. Ya udah, akhirnya gw itung ulang aja tuh duit ratusan lembar di depan hidung dia. Hari itu udah siang bolong, nggak ada nasabah lain selain gw di kantor itu, dan petugasnya salah tingkah karena terpaksa nontonin gw komat-kamit ngitung duit. Bahu gw pegel, dan gw bersumpah dalam hati bahwa kalo gw jadi presiden, gw akan memerintahkan semua gaji pegawai disetorin aja via rekening bank, supaya pegawai-pegawai kecil macam gw nggak setengah mati ngitung angka satu sampai 10 sebanyak puluhan kali. Aneh, nggak kayak tukang bawang yang minta maaf karena "cuma" bisa kasih gw recehan sebanyak delapan lembar, petugas kantor pos yang ini nggak minta maaf ke gw karena kasih 5000-an sebanyak ratusan lembar. Lha biarpun nominalnya jutaan, tapi kalo dikasih duitnya berupa lembaran 5000-an kan itu juga recehan namanya?

Gw jadi bertanya-tanya apakah menteri juga ngambil gaji dia dengan cara kayak gini? Ambil contoh aja kalo gaji dia misalnya lima juta, apakah dia kudu ngitung duit 10.000-an sebanyak 500 lembar?

Dan gw langsung bisa ngerti perasaan orang-orang yang nerima BLT itu. Pantesan saban kali ada pembagian BLT selalu aja ricuh. Kalo nominalnya BLT itu Rp 300 ribu, siapa juga yang mau disuruh ngitung ulang duit 5000-an sebanyak 60 lembar yang disodorin petugas kantor posnya? Pasti dia didesak-desak orang yang nggak sabaran ngantre di belakangnya sambil teriak-teriak, "Buruan! Cepetan! Udah langsung ambil aja duitnya! Ngitung duit aja kok lambreta bambang seeh?!"
(Emang ada ya orang nerima BLT sambil teriak "lambreta bambang"?)

Belum lagi kalo tau-tau penerimanya salah ngitung dan mengira duitnya yang diterima itu kurang dari nominal yang udah diumumkan, pasti makin ricuh aja tuh pembagian duit karena memperpanjang waktu antrean. "Katanya saya dapetnya 300 ribu?! Ini duitnya kurang 5.000!"
Kata petugasnya, "Sudah benar uangnya, Bu. Dari Bank Indonesia uangnya memang dikemas begitu."
"Ya udah! Nih, saya itung lagi! 5 ribu..10 ribu..15 ribu.."
Petugasnya mengelap jidat yang keringetan pake saputangannya yang udah kucel. "Cape deeh.."

Pelajaran penting buat gw. Kalo mau ambil gaji PTT di kantor pos, jangan sekali-kali berbarengan dengan orang yang mau ambil BLT.

Tuesday, July 14, 2009

Investasi Kebun Binatang

Bukan berarti kita semua terlalu sibuk buat nyuci baju masing-masing. Masalahnya, banyak di antara kita yang males melakukannya setiap hari. Bisakah Anda bayangin, ketika bangun subuh-subuh yang pertama kali dilakukan adalah mengucek baju yang udah direndam deterjen semalaman (itu juga kalo malemnya nggak lupa merendam saking capeknya pulang dugem), lalu menggenanginya dengan pewangi, lalu berjuang menembus hawa dinginnya pagi yang nusuk tulang, untuk menjemur bajunya? Dan kita bosan melakukan ini, setiap hari?

Kondisi ini yang bikin beberapa teman gw mutusin nggak mau nyuci tiap hari. Alasannya macem-macem. Baju yang dipake dalam sehari umumnya hanya beberapa potong, nanti aja nunggu kalo baju kotornya udah banyak. Mesin cuci tuh lebih awet kalo sekali jalan bisa nyuci baju berkilo-kilo, bukan cuman satu-dua potong doang. Ibu tukang cuci tuh dibayarnya sekali datang, jadi biar hemat, kalo mau ngasih baju kotor ke ibu tukang cuci langsung satu kantong gede yang isinya baju kotor selama dua-tiga hari. Bisa dibayangin, penghuni apartemen kost-kost-an itu gemar banget numpuk baju kotor sampai berhari-hari.

Pertanyaan gw cuman satu, celana dalam kotor ditumpuk juga, nggak? Pasti YA. Maka pertanyaan gw berikutnya, berapa lama? Gw nyaris semaput waktu baca blog seorang blogger bahwa dia numpuk celana dalam kotornya sampai seminggu. Aduh, lamanya!

Celana dalam kotor adalah kebun binatang yang jauh lebih meriah ketimbang Ragunan. Cobalah iseng ambil cotton bud, torehkan korek kuping itu di celana dalam kotor Anda. *Seterusnya gimana, Vic?* Lalu usapkan korek kuping itu di kuping Anda.. *Yiakks!* Ya enggaklah. Usapkan korek kuping itu di atas kaca obyek, tetesin NaCl, lalu taruh di bawah mikroskop. Akan keliatan di sana, ada beragam bakteri, jamur, dan warga-warga lainnya yang males banget gw sebutin di sini.

Sekarang bayangin kebun binatang di celana dalam Anda itu ditumpuk seminggu. Dijamin populasinya sukses melebihi populasi seluruh kebun binatang di Indonesia dijadikan satu. Jadi kesimpulannya, numpuk celana dalam kotor sampai seminggu itu jorok!

Seorang teman gw becandain gw, itulah kenapa diciptakan teknik make celana dalam a la side A dan side B. OMG! Ini ngirit deterjen atau mau investasi kebun binatang?

Nyatanya, nyuci celana dalam tiap hari belum jadi kewajiban pribadi buat banyak orang. Masih mending lho, ada juga yang nggak ganti celana dalam bersih sampai berhari-hari. Gw inget sih, kakak-kakak gw yang dulu kuliah di ITB juga pernah cerita, bagaimana Ospek menyiksa mereka lantaran mereka disuruh tinggal di alam terbuka selama berhari-hari dan nggak boleh ganti celana. Waktu itu gw merinding, soalnya kakak-kakak gw itu cowok semua. Gw kuatir kalo salah satu senior mereka itu ada yang cewek dan cantik banget, kesiyan cowok-cowok itu kalo sampai ejakulasi ngeliatnya. Gimana mereka mau bersihin cairan tak diundang itu kalo mereka nggak boleh ganti celana? Udah badan bonyok lantaran disiksa habis-habisan, nelangsa karena nggak bisa menyalurkan rasa horny, sekarang gatel pula selangkangannya karena nggak boleh ganti celana. Betul-betul kombinasi yang tidak menyenangkan!

Gw bisa maklum kalo kita semua punya kebiasaan numpuk pakaian kotor sampai berhari-hari. Tapi itu tidak berlaku buat celana dalam. Sedapat mungkin, begitu nemu air bersih dan tempat nyuci dan jemur yang representatif, buru-burulah nyuci celana dalam kotor Anda. Jangan tunggu sampai seminggu! Maka Anda tidak akan sampai beternak kuman di celana dalam situ.

Memang deterjen yang kita pake akan membunuh kuman-kuman itu, tapi itu juga sangat bergantung pada kelihaian kita mengucek celana dalam. Sekarang masih seumur muda kita begini tangan kita masih lincah mengucek, tapi nanti makin berumur maka tangan kita akan makin lelet mengucek, sehingga hasil ucekan deterjen tidak maksimal. Celana dalam yang nggak dicuci dengan bersih adalah investasi yang bagus banget buat infeksi saluran kemih. Dan kelanjutan dari infeksi saluran kemih itu macam-macam, mulai dari gatel di tempat pipis, ginjal rusak, sampai mandul.

Gw harus kirim surat nih ke Dirjen Perguruan Tinggi, supaya mereka membredel Ospek dan acara apapun yang melarang pesertanya nggak ganti celana dalam lebih dari 24 jam. Kalo perlu semua mahasiswa yang baru di-Ospek kudu diperiksa alat pipisnya, dan yang kedapetan infeksi saluran kencing kudu masuk program rehabilitasi. Sarjana macam apa yang ngakunya kepalanya intelek, tapi bagian bawahnya jorok? Nggak banget ah..

Monday, July 13, 2009

Listrik Dulu, Baru Tivi..!

Suhei, bapak dua anak yang nggak ingat berapa umurnya sendiri, kebingungan waktu Rebo lalu disuruh dateng ke lapangan kecil di Pulang Pisau buat milih presiden. Dia nggak tau kenapa dirinya kudu milih presiden, dia nggak tau bahwa dia kudu nyonteng gambar orang yang disukainya di antara tiga macam pilihan, dan dia nggak tau siapa-siapa aja orang-orang yang gambarnya di kertas itu.

Jadi Suhei nanya ke Ryhen, ketua KPPS yang nyuruh dia dateng buat nyontreng. "Pak, memang presiden kita sekarang siapa?"

"Presiden kita sekarang namanya SBY, Pak," jawab Ryhen dengan sabar.

"Oh, yang mana gambar orangnya, Pak?" tanya Suhei.

"Gambar orangnya yang nomer dua, Pak," jawab Ryhen sambil nunjuk gambar presiden RI saat ini di contoh kertas suara.

Lalu kata Suhei kemudian, "Oh, ya sudah. Saya pilih yang itu ja."

Jreeengg.

***

Ryhen dan Suhei bukan nama sebenarnya. Suhei kemungkinan besar nggak tamat SD, jadi dia nggak tau apa itu politik. Dia nggak tau apa bedanya gubernur dengan bupati. Tapi dia tau berapa harga bawang kalo beli di tengkulak dan dijual lagi di pasar Tingang Menteng yang letaknya 500 meter dari apartemen gw. Suhei nggak pernah nonton tivi, jadi dia nggak tau bahwa empat minggu terakhir tivi bikin muak coz isinya cuman capres dan capres melulu. Jadi kalo disuruh milih mana yang bagus antara Mega, SBY, dan Jusuf Kalla, Suhei angkat tangan. Suhei nggak kenal. Baik Mega, SBY, maupun Jusuf, nggak pernah main ke rumah Suhei di Pulang Pisau kok.

Peta aliran politik rakyat di Kalimantan Tengah terbilang unik dan beda sendiri. Pada Pemilu parlemen lima bulan lalu, Demokrat yang menang di seluruh Indonesia, nggak laris di Kalimantan Tengah. Kalimantan Tengah cuma manut sama warna merah. PDI ngantongin suara paling banyak di kabupaten mana-mana. Ini nggak kaget, coz gubernurnya aja elitenya PDI, dan hampir semua posisi strategis di kursi Pemda provinsi dan DPRD provinsi didudukin orang-orang PDI. Nggak heran Mega begitu percaya diri bakalan menangin Pilpres di Kalimantan Tengah. Gedungnya DPP PDI di Palangka aja, katanya disebut-sebut sebagai kantor DPP PDI cabang provinsi yang paling megah se-Indonesia. Apanya yang nggak kurang merah coba provinsi ini.

Kurang merah, jelas. Soalnya ada satu-satunya kabupaten di Kalimantan Tengah yang suara terbanyaknya nggak dimenangin PDI. Kabupaten yang lain sendiri itu adalah.. Pulang Pisau, tempat gw berada.

Pulang Pisau lebih demen warna kuning. Di Pulang Pisau, Golkar lebih ngetop. Bupatinya orang Golkar, dan kursi DPRD kabupatennya juga kebanyakan orang Golkar. Dan itu bikin gw sempat mikir, kayaknya Jusuf Kalla bakalan paling banyak dapet pemilihnya di Pulang Pisau.

Ternyata, nasib bicara lain. KPU belum selesai ngitung suara, tapi quick count sudah memperkirakan SBY meraih sekitar 60% suara di seluruh Indonesia, sedangkan Mega dapet sekitar 25%. Kalla? Paling-paling cuman 12%.

Dan Kalimantan Tengah, ternyata membuktikan bahwa mereka nggak merah-merah amat. Sementara SBY mimpin dengan susah-payah, angkanya 49%, sementara Mega lumayan dapet 42% berkat pendukung PDI yang sangat fanatik. Pulang Pisau yang katanya kuning banget, bahkan ternyata lebih banyak milih SBY ketimbang Kalla.

Kenapa hasil pemilihan presiden di Kalimantan Tengah apalagi di Pulang Pisau bisa bertolak belakang dengan hasil pemilu parlemen? Gampang aja. Kalimantan Tengah paling miskin di peta ekonomi Cali. Rakyat yang miskin, nggak mau susah-payah mikir mana capres yang paling pantes jadi presiden. Buat mereka, yang penting perut mereka dijamin selalu terisi, beres lah. Itulah sebabnya mereka nggak tertarik buat kepingin presiden baru.

Bukannya rakyat nggak mau kritis. Masalahnya mereka nggak kenal sama capresnya. Jangankan capresnya, tim suksesnya aja nggak pernah tuh nongol di Pulang Pisau. Mana Rizal Mallarangeng, Yuddy Chrisnandi, Puan Maharani pernah nongkrong di Pulang Pisau? Nggak ada tuh. Mengharapkan rakyat tau visi-misi capres via tivi juga nggak mungkin. Boro-boro punya tivi di rumah, mau masang listrik aja susah banget.

Dengan banyaknya rakyat kecil macam Suhei yang nggak mau susah-payah mikir dan jumlahnya sampai 80% se-Indonesia, kita bisa ngerti kenapa SBY menang telak dengan hasil suara sampai 60%. Lain kali ada pemilihan presiden lagi, tim sukses capres kudu berjuang sampai level akar rumput dan nggak boleh ngandalin mesin partai politik doang. Jangan cuman kampanye di tivi. Di mana-mana kudu ada ayam dulu baru ada telor. Kudu ada listrik dulu baru ada tivi. Kalo semua orang udah punya tivi, silakan kampanye di tivi sampai eneg. Makanya betulin tuh PLN!

Gw bersyukur, untung aja gambar gw nggak ada di surat suara. Soalnya kalo gw yang jadi Ketua KPPS-nya, gw bakalan jawab pertanyaan Suhei, "Presidennya sekarang Little Laurent. Gambarnya yang cantik ini."

Dan Suhei langsung mencontrengnya dengan sukarela. Puas...!

Sunday, July 12, 2009

Kita Butuh Playboy

Gw percaya bahwa "you are whom you mix with". Kalo biasa gaul sama orang pinter, niscaya kita ketularan pinter. Kalo biasa gaul sama orang gila, kita bisa ikut-ikutan gila. Sama seperti kalo biasa nongkrong sama para perokok, lama-lama kita juga ikut-ikutan ngebul. Termasuk kalo biasa gaul sama orang dusun, mentalmu juga lama-lama ikutan dusun.

Jadi tulisan gw "Si Cantik dan Si Jelek" dua hari lalu dapet reaksi besar di Facebook. Dua orang kolega gw yang pernah dipekerjain di tanah terpencil di Papua bahkan bilang bahwa mereka juga nyaksiin hal yang sama menimpa kolega mereka di sana. Kasus yang sama, di mana kolega-kolega cewek kami itu juga akhirnya kepincut sama pria lokal, yang katanya ecek-ecek diliat dari segala sisi (ijazah, dompet, dan tampang). Mungkinkah ini sebagai efek samping dari dipekerjakannya para sarjana di tempat-tempat gersang, yang saking terisolirnya sampai-sampai kesulitan cari hiburan, sehingga akhirnya milih berkencan dengan produk lokal yang "nggak" banget?

Memang kudu gw sadari bahwa kolega gw sampai kepincut mantra itu juga karena setengahnya dipaksa keadaan. Di daerah tempatnya kerja itu nggak ada bioskop, tempat ajeb-ajeb, atau layar tancap. Mau senang-senang gimana, coba? Akibat nggak ada warmet, dan nggak semua orang tau caranya nyetel GPRS di HP, kolega gw jadi nggak pernah gaul dengan orang-orang selain di tempat dia berada. Orang-orang yang bisa diajak bicara hanyalah orang-orang di rumah sakit tempat dia berada, yaitu segelintir dokter yang juga berjuang sendiri-sendiri mengatasi kesepian masing-masing, serta para perawat yang jarang baca koran bermutu. Segala macam defisit wawasan itu bikin kolega gw sangat kesepian, sulit berkembang cari pekerjaan yang lebih prospektif, dan pada akhirnya menyerah pada godaan seorang mantri yang prestisenya "di bawah standar".

Ini bukan cuman kesulitan yang terjadi di pelosok yang nggak tersentuh peradaban hedon, tapi juga terjadi di kota besar. Sebagai contoh teman gw June, 26, pekerja pabrik pesawat terbang XX. June ini perempuan, dan sebagian besar koleganya adalah cowok. Nggak ada bahan cuci mata, coz Mas-Mas yang kerja di situ udah pada punya bini. Gimana nggak kurang gersang coba tempat itu, tak ada teman buat ngegosip atau sekedar dikencani?

June sampai dapet sial gara-gara kondisinya ini. June cerita di blognya, bahwa suatu malem, ia dikirimi SMS gelap yang seingat gw isinya gini, "Kamu June ya? Yang kerja di XX? Coba ya, jangan suka ganggu suami orang."
Wuaks! Kesiyan June, udah kesepian di tempat yang kebanyakan cowoknya, pake dituduh mau ganggu suami orang pula. Sahut June kesal, "Emangnya saya di rumah nggak punya tipi aja, sampai-sampai mau melirik Mas-Mas di XX?!"

Membuat gw sadar pesan samar June itu, kalo kau pengen punya selera pria yang oke, kau harus banyak-banyak nonton tivi.

Nah, karena sebagian besar pembaca blog gw adalah orang-orang perantauan yang jauh dari rumah dan membujang, maka gw akan kasih saran supaya Anda nggak sampai kepincut produk lokal yang ecek-ecek cuman gara-gara kelamaan belagak jomblo.

1. Rajin-rajinlah nonton tivi, terutama berita, apalagi infotainment. Infotainment ngajarin pemirsanya buat punya tongkrongan bagus, pake baju keren, dan mengencani pria ganteng atau cewek cantik. Suka tidak suka, itu akan mendorong kita untuk bercita-cita nyari kehidupan yang lebih baik.

2. Rajin-rajinlah baca majalah bagus, jangan cuman baca koran kabupaten yang nggak memuat berita apapun selain bupati baru meresmikan jalan darat dan skandal poligami PNS. Kolega gw, Tanto, 27, bilang bahwa untuk mengatasi kegersangannya waktu kerja di Fakfak, dia langganan majalah pria dewasa, yang dianter tiap bulan ke Fakfak pake kapal PELNI. Membaca majalah pria dewasa membuat para pria yang membujang tidak menjadi gay, plus bonus menyalurkan fantasi dengan cara yang sehat. Itulah sebabnya gw nggak pernah setuju Playboy Indonesia dibredel.

3. Isilah daftar kontak chatroom Anda dengan ID-ID pria-pria ganteng dan gadis-gadis cantik. Jika Anda perempuan, sediakan waktu buat mengobrol dengan pria ganteng, minimal satu orang setiap hari. Kalo nggak seneng chatting, ganti dengan e-mail. Percayalah, kalo temen ngobrol Anda itu keren, niscaya selera Anda juga ikut-ikutan jadi kelas premium. Akibatnya kambing-kambing desa kelas low-end yang berniat menggoda Anda cuman jadi bulu cemen doang.

Ini mungkin klise, tapi nggak pernah basi. Baca kitab suci, secara teratur tiap hari, bikin hati tetap tenang. Tuhan mencintai orang-orang yang baca kitab suci, dan menjaga mereka supaya tetap selamat di dunia dan akhirat. Selamat itu bukan cuman sekedar selamat dari bencana dan penyakit, tapi juga selamat supaya tetap bisa berpikir jernih. Dan berpikir jernih itu, mutlak diperlukan untuk menjaga selera supaya tetap tinggi.

Saturday, July 11, 2009

Shakepeare Mabok

William Shakespeare jelas-jelas ngantuk waktu bilang "Apalah arti sebuah nama?" Tak ada jaminan bahwa nama bukan masalah besar. Bohong tuh. Gw akan tunjukkan bagaimana nama seorang anak bisa bikin beragam masalah ribet dalam hidup anak itu, bahkan sampai dia mati sekalipun. Contoh kecilnya aja, gimana kalo anak dinamain sama orang tuanya "Gendheng"? Kalo dia mati, maka di patok kuburannya akan ditulis gede-gede, "Gendheng, wafat tanggal 31 September." Apa nggak jadi bahan ketawaan para penjaga kuburan yang tugasnya nyapu-nyapu rumput nanti? "Hahaha, pantesan si mayat ini dinamain Gendheng. Mana ada orang mati tanggal 31 September?!"

Gw masih ingat obrolan gw dengan seorang teman, Zack, 26, yang lagi nunggu kelahiran anaknya beberapa bulan lalu. "Mau dinamain apa, Zack?"
"Averous," kata sang calon ayah itu bangga.
Gw mengerutkan kening. "Kok nama ribet bener?"
"Lha aku pingin ada huruf V-nya biar keren kayak namamu," kata Zack, bikin gw sempat bingung apa korelasi keberadaan huruf V dengan kekerenan seseorang.
Tapi bukan itu yang gw perhatikan. "Lha nanti mau dipanggilnya apa, Zack? Us-Us?"
Gw betul-betul tipe tante yang minta dijitak.

Nah, kemaren bayi yang ditunggu-tunggu itu akhirnya lahir. Beneran, ternyata bokapnya kasih nama dia Averous. Dan gw masih sempat mengira panggilannya betul-betul Us-Us.
"Tega loe," kata bokap baru itu.
"Lha jadi aku mesti panggil apa nanti supaya anakmu mau noleh ke tantenya?" tanya gw.
Jawab bokapnya, "Averous dong. Langsung noleh apalagi kamu fasih bilang 'V' dibanding aku."
Gw ketawa. Zack ini kan emang orang Sunda, dan orang Sunda itu tuh tipikal suka nyebut huruf V jadi huruf P, hehehe. Gw kuatir tuh anak nanti kalo gede malah jadi dipanggil "Aperus".

Nama anak akan menentukan bagaimana dia disebut di masyarakat nanti. Contohnya gw sendiri. Nama gw telah berhasil menyeret gw dalam sederet kesulitan yang tidak menyenangkan. Sebagai pemilik nama yang cukup sulit dieja, gw sering banget ngajuin klaim ke orang-orang tolol yang males mencatat nama orang dengan benar, gara-gara nama gw sering dieja sebagai Viki, Fiky, dan berbagai varian lainnya. Paling banyak terjadi selama gw tinggal di Bandung, coz orang-orang lokal sering banget nyebut gw "Piki", padahal gw tau mestinya mereka bisa menyebut huruf V dengan benar. Katanya sih udah kebiasaan orang Sunda dari sononya, tapi gw nggak percaya coz itu alasan yang sangat merendahkan etnis. Kenapa sih lidah mereka itu nggak mau disiplin?

Teman gw malah pernah menasehati gw, kalo gw masih temperamen terhadap orang yang salah nyebut nama gw, jangan tinggal di Bali. Orang Bali tuh, nyebut huruf V jadi huruf P dan huruf P jadi huruf F. Ah, masa' sih, iya gitu?

Jadi ini tips kalo nanti Anda mau menamai anak Anda. Tidak berlaku buat yang anaknya udah telanjur lahir.

Jangan kasih nama yang terlalu ribet. Contoh kecil, ada bayi lahir namanya Septiana Wulandari, tapi nama kecilnya Tiwul. Dia begitu beken dengan panggilan itu sampai teman-temannya nggak inget lagi siapa nama aslinya. Sekarang menikah dengan orang bernama Sihombing. Nah, sekarang Tiwul bingung gimana caranya mau nulis namanya kalo masuk Facebook. Pake nama Septiana Wulandari karena itu nama aslinya, atau nama Tiwul Sihombing supaya orang gampang nemu dirinya?

Ini tips dari Bill Cosby. Manfaatkanlah ilmu fisika Anda yang udah capek-capek Anda pelajarin di sekolah itu. Kalo bisa, janganlah namain anak dengan konsonan di huruf terakhirnya. Pasalnya Anda bisa kesulitan ngawasin dia pas dia udah gedean dikit dan mulai doyan main ke tempat jauh. Ambil contoh, ada bayi namanya Ucrit. Ketika Ucrit udah gede dan seneng main di hutan, keasikan sampai sore dia nggak pulang-pulang, dan nyokapnya mulai kuatir dan ambil TOA, lalu berteriak, "Ucriiiii...ttt!!!" Nah, perhatikan kalo suara nyokapnya bergaung pada huruf R dan huruf I di radius 500 meter, tapi tiba-tiba mandeg ketika sudah sampai huruf T. Huruf T ini menggigit lidah dan mengakibatkan gaung suara nyokap tidak bisa mencapai radius lebih.

Bandingin kalo anaknya dinamain Budi. Tentu nyokapnya bisa manggil pake TOA dan berteriak, "Budiiiiiiiiii!!!!" dengan suara menggelegar sampai radius 1-2 km, membuat Budi yang lagi main petak umpet di hutan langsung jiper dan buru-buru pulang ke rumah sebelum nyokapnya mulai nyiapin rotan buat mukul bokongnya gara-gara pulang telat.

Dan itu bikin gw mulai berpikir dua kali buat menikahi Brad Pitt. Soalnya gw udah bercita-cita dalam diri sendiri, nanti kalo punya anak, anaknya mau dinamain kayak nama bokapnya. Kebayang deh kalo nanti anak gw dinamain Brad Pitt juga. Gimana nanti kalo dia rada gedean dan mulai sering main layang-layang sampai nggak pulang-pulang, apa gw kudu ngambil TOA dan teriak, "BREEE...TTTT!" dengan logat Jawa yang medok? Wah, kayaknya nggak akan kedengeran nih sama anak gw. Dan gw akan berpikir, mungkin lebih gampang kalo gw ngawinin orang lain aja. Jelas jauh lebih mudah manggil anak gw, "KEEEAAAANUUUU..!! Ayo pulang!!!!!"

Friday, July 10, 2009

Si Cantik dan Si Jelek

"Kalau mau punya suami, kau mau suami yang bagaimana?"

Pelajaran agama yang selalu membosankan mendadak menjadi menarik pada tahun terakhir gw pake seragam putih abu-abu, pas guru gw membuka bab tentang pernikahan di kelas. Gw lihat muka teman-teman perempuan gw mendadak menjadi romantis.

Satu per satu, jawaban-jawaban dari teman-teman gw mulai muncul seadanya. "Ganteng." "Tajir." "Pintar." Hm, standar. Gw pengen jawab tapi mulut gw mingkem. Gw takut diusir dari kelas cuman gara-gara bilang pengen cowok sexy.

***

Alkisah di sebuah kota, ada seorang dokter perempuan cantik bekerja di rumah sakit daerah setempat. Dalam setahun terakhir beredar desas-desus kuat bahwa kolega gw itu telah kencan diam-diam dengan seorang mantri yang juga kerja di rumah sakit itu.

Banyak yang ngga suka hubungan mereka. Soalnya ceweknya dokter, sedangkan cowoknya mantri. Dilihat dari segi pendidikan, yang perempuan kan S1 plus-plus, sedangkan yang laki-laki paling banter cuman D3. Ketimpangan inilah yang digosipkan oleh masyarakat bahwa sang cewek telah dapet sial.

Kolega gw itu ngga ambil pusing. Ketika sang dokter memutuskan untuk pindah agama mengikuti pacarnya itu, masyarakat mulai mikir bahwa sang gadis telah disantet. Mereka pikir kok bisa-bisanya perempuan ini mau sama bujang yang strata pendidikannya lebih rendah, dan masih pegawai honorer pula. Mending kalo yang cowok itu ganteng, lha menurut penerawangan mata orang-orang yang cerita sama gw, cowok yang digosipin di sini tampangnya tuh ngga banget. (Gw belum liat ya.) Jadi kesimpulannya, ini adalah Beauty and the Beast versi ndeso.

Saking gemasnya rakyat liat pasangan "aneh" ini, istrinya bupati sampai turun tangan. Istri bupati itu mendatangi sang dokter supaya "kembali ke jalan yang benar". Tentu saja kolega gw itu cuek bebek dan makin asyik mahsyuk dengan pacarnya itu.

Akhirnya bupatinya merilis surat tugas supaya dokter itu dipindahkan dari rumah sakit tempatnya bekerja, ke sebuah puskesmas terpencil yang letaknya sejauh 40 km dari ibukota kabupaten, yang miskin sinyal, jalannya masih sirtu alias cuma terdiri dari pasir dan batu. Semua orang mengira bahwa bupati sengaja melakukannya dengan dalih "pemerataan tenaga medis di pelosok", padahal tujuan sebenarnya hanya untuk "memisahkan" kisah cinta sang dokter dan sang mantri.

Orang kadang lupa bahwa cinta itu buta. Apalagi kalo cinta itu terjadi di daerah yang gemar ketiban mati lampu. Listrik yang doyan byar-pet di desa itu akan menyebabkan suasana desa menjadi gelap-gulita. Dalam keadaan gelap tentu orang jadi buta karena ngga bisa melihat. Dan begitulah cinta makin mekar tidak karuan dalam daerah yang miskin listrik itu. Sang mantri malah makin sering ngapelin dokter itu di desa terpencil itu. Mungkin itulah akibatnya kalo PLN ngga becus mengelola listrik. Cewek jadi ngga bisa melihat cowok yang ditaksirnya dengan jelas, sehingga yang mestinya jelek pun dia bilang cakep.

Tidak, gw becanda. Gw heran kenapa orang selalu mendiskreditkan pasangan-pasangan macam begini. Kenapa perempuan harus dapet suami yang ganteng, lebih tajir, lebih pinter, dan lebih-lebih lainnya? Gimana nasib yang jelek, yang melarat, yang imbisil? Bahkan Tukul Arwana sendiri pernah mengeluh, orang cakep tuh jangan kawin sama orang cakep lagi. Mbok sekali-kali orang cakep tuh kawin sama orang jelek. Kalo semua orang cakep diambil sama yang cakep lagi, orang jelek mau jadi apa..?

Gw pikir, mungkin kolega gw telah menemukan apa yang dia cari pada laki-laki itu. Meskipun buat standar ndeso, sang mantri itu adalah bujang paling jelek sedusun, tapi setidaknya laki-laki itu cukup ganteng, setidaknya di mata ceweknya. Bahwa dia cuman seorang mantri, sebenarnya itu kan bisa diatur. Suruh sekolah S1 supaya setara. Cari penghasilan tambahan supaya bisa kasih makan. Dan berhentilah bersihin muka pake ampelas supaya tampangnya ngga kayak papan penggilesan.

Kita tuh butuh pacaran buat saling mengisi. Ada perempuan yang pemarah kecantol sama laki-laki yang sabar, karena laki-laki itu bikin hatinya lebih adem. Ada laki-laki yang kaku jatuh sayang kepada perempuan yang ceria, karena perempuan itu bikin hatinya senang. Tampang itu urusan belakangan. Kita tuh tidur dengan hatinya, bukan tidur dengan tampangnya. Begitulah seharusnya cinta itu, menambal yamg bolong, mengisi yang kurang. Seperti Anda dan suami Anda. Seperti Anda dan istri Anda. Seperti Anda dan pasangan gay Anda.

***

Jadi waktu Pak Guru Agama nanyain gw pengen suami kayak apa, akhirnya gw jawab, "Yang SEHAT". Semua anak meledak ketawa hari itu.

Itu jawaban sopan sebenarnya dari seorang calon mahasiswa kedokteran. Padahal sebenarnya kalo Little Laurent yang ditanya, dengan tersipu-sipu dia akan jawab, "Saya mau suami yang tua.." (Dasar older-complex.) "..kaya.." (Dasar matre.) "..dan kalo bisa orangnya sakit-sakitan.." (What??!) "..dan lebih disukai, yang mau meninggal."

Gold-digger!