Gw belum pernah ke surga, gw berharap suatu hari nanti gw akan ada di sana tanpa harus mampir neraka dulu (amit-amit!). Tapi pada hari yang gw ceritain ini, gw nggak kepingin berada di tempat selain gw berada saat itu. Waktu itu umur gw 15 tahun, itu hari pertama gw masuk SMA, ketakutan sekaligus antusias nggak sabar nungguin kejutan di sekolah baru gw. Senior-senior gw menyambut kami semua dengan ramah, dan seperti setiap freshman yang pernah ada di muka bumi, gw begitu ngiler kepingin nyoba semua klub ekstra kurikuler yang ada. Setiap hari adalah ketawa, dengan teman baru yang asik-asik. Pada hari terakhir masa orientasi sekolah, gw diangkat jadi orang #3 di kelas dengan posisi sekretaris (orang #1 dan #2 adalah KM dan wakilnya, gw ogah melamar untuk posisi itu coz gw pikir KM itu = Kacung Murid, sedangkan dengan posisi #3, gw praktis jadi ketua cewek dh kelas, so isn't it cool, huh? Dasar politikus oportunis!)
Tiap masa orientasi sekolah harusnya kayak gitu, di mana setiap anak sekolah sama antusiasnya seperti baru pertama kali liat Dufan. Maka gw kaget kalo gw curhat sama teman-teman dari sekolah lain, di mana mereka selalu cerita bahwa masa orientasi sekolah adalah minggu terburuk dalam hidup mereka tahun itu. Seolah-olah sesekolahan bersekongkol menyambut murid baru sambil membentangkan spanduk lebar-lebar bertuliskan, "Selamat Datang di Neraka".
Masa orientasi sekolah itu cuman istilah hari gini, tapi isinya nggak pernah jauh-jauh dari murid-murid senior yang bebas memelonco anak-anak baru. Bentuk-bentuk intimidasi itu beragam, mulai dari mendamprat sampai menabok.
Jaman tante gw baru masuk sekolah barunya dulu, sekitar tahun '70-an, rambutnya kudu dikuncir 17 biji. Gw nggak ngerti kenapa jumlahnya kudu 17 biji, memangnya kalo rambutnya nggak dikuncir nggak boleh masuk sekolah? Padahal kalo nggak boleh masuk sekolah yo wis kebeneran, kan enak bisa santai-santai di rumah. Apa nanti kalo udah lulus sekolah, ada ijazahnya bertuliskan, "Lulus menguncir rambutnya sendiri sebanyak 17 biji selama enam hari"?
Teman gw pernah cerita bahwa perpeloncoan SMA-nya di Jakarta parah banget. Kan ceritanya kakak kelasnya bacain pengumuman keras-keras sambil buru-buru, "Besok bawa tugas berupa satu kodok, pisang satu sisir, tiga tahu berbentuk segilima.." dan entah apa lagi yang nggak jelas. Nah, si teman ini pinter, dia bawa semua barangnya, satu ekor kodok dalam sebuah toples plastik, tiga tahu yang dia potong sendiri bentuknya, satu buah pisang, dan satu buah sisir plastik. Ada temennya satu lagi, dia malah bawa pisang segepok yang dia beli di pasar, tau kan, yang jumlahnya sekali beli bisa sampai 15-20 buah itu.
Nah, siangnya, si kakak kelas yang galak mengomando, "Yak! Sekarang makan pisang yang kalian bawa dalam satu menit! HARUS DIHABISKAN!"
Temen gw dengan entengnya ngabisin pisangnya yang cuman dia bawa satu buah itu, sementara temennya yang bawa pisang segepok terpaksa makanin semua pisangnya yang belasan itu dalam semenit!
Memang kalo dipikir-pikir, semua perpeloncoan ini cuman lelucon kalo diceritain ke anak-cucu nanti. Cuman sandiwara doang dari kakak kelas sebagai penyambutan terhadap adek kelasnya yang baru. Katanya ini buat mempererat hubungan antar angkatan. Dan yang lebih penting lagi, melatih mental.
Melatih mental gimana, heh? Gw nggak lihat efek perbaikan mental dari menguncir rambut sebanyak 17 biji dan menangkap kodok yang nggak akan pernah dipake buat pelajaran biologi. Inikah yang dimaksud orientasi itu?
Mungkin mereka kepingin memiliterisasi anak baru. Istilah Maduranya "Dim-meKodim", artinya pura-pura jadi orang Kodim. Dulu tuh ada lelucon, tentara suka pura-pura nakut-nakutin rakyat kalo ada rakyat yang berani "macem-macem" sama tentara. Kenapa istilahnya Kodim? Soalnya yang biasa melakukannya itu orang-orang sok dari kesatuan-kesatuan militer kecil level Kodim ke bawah, yang pangkat serdadunya juga masih belum tinggi-tinggi amat. Jadi sekarang kalo ada orang ecek-ecek macam anak SMA yang baru berumur 16-17 tahun, belum ngerasain berdarah-darahnya jadi mahasiswa, tapi sudah berani sok nakut-nakutin anak baru dengan belagak memplonco ala militer, itu namanya "Dim-meKodim".
Dipikirnya intimidasi menciptakan rasa disiplin, disiplin menciptakan mental yang kuat. Tapi menurut gw intimidasi nggak menghasilkan apa-apa selain rasa takut yang berlebihan dari anak-anak baru. Ini sebenarnya bentuk lain dari "bullying", cuman dibungkus sedemikian rupa dengan nama "masa orientasi sekolah".
Untung SMA gw nggak pernah meng-ACC perpeloncoan buat anak-anak baru. SMA gw membuktikan bahwa menggojlok mental bukan dilakukan melalui perpeloncoan dari senior kepada anak baru, tapi seharusnya dilakukan dengan ngasih soal ujian mahasiswa sebagai soal ulangan SMA saban minggunya. Mental gw sukses dibombardir selama SMA itu.
Sekolah baru seharusnya menyambut ramah seperti Hawaii, bukan menindas seperti Camp Auschwitz.