Friday, July 10, 2009

Si Cantik dan Si Jelek

"Kalau mau punya suami, kau mau suami yang bagaimana?"

Pelajaran agama yang selalu membosankan mendadak menjadi menarik pada tahun terakhir gw pake seragam putih abu-abu, pas guru gw membuka bab tentang pernikahan di kelas. Gw lihat muka teman-teman perempuan gw mendadak menjadi romantis.

Satu per satu, jawaban-jawaban dari teman-teman gw mulai muncul seadanya. "Ganteng." "Tajir." "Pintar." Hm, standar. Gw pengen jawab tapi mulut gw mingkem. Gw takut diusir dari kelas cuman gara-gara bilang pengen cowok sexy.

***

Alkisah di sebuah kota, ada seorang dokter perempuan cantik bekerja di rumah sakit daerah setempat. Dalam setahun terakhir beredar desas-desus kuat bahwa kolega gw itu telah kencan diam-diam dengan seorang mantri yang juga kerja di rumah sakit itu.

Banyak yang ngga suka hubungan mereka. Soalnya ceweknya dokter, sedangkan cowoknya mantri. Dilihat dari segi pendidikan, yang perempuan kan S1 plus-plus, sedangkan yang laki-laki paling banter cuman D3. Ketimpangan inilah yang digosipkan oleh masyarakat bahwa sang cewek telah dapet sial.

Kolega gw itu ngga ambil pusing. Ketika sang dokter memutuskan untuk pindah agama mengikuti pacarnya itu, masyarakat mulai mikir bahwa sang gadis telah disantet. Mereka pikir kok bisa-bisanya perempuan ini mau sama bujang yang strata pendidikannya lebih rendah, dan masih pegawai honorer pula. Mending kalo yang cowok itu ganteng, lha menurut penerawangan mata orang-orang yang cerita sama gw, cowok yang digosipin di sini tampangnya tuh ngga banget. (Gw belum liat ya.) Jadi kesimpulannya, ini adalah Beauty and the Beast versi ndeso.

Saking gemasnya rakyat liat pasangan "aneh" ini, istrinya bupati sampai turun tangan. Istri bupati itu mendatangi sang dokter supaya "kembali ke jalan yang benar". Tentu saja kolega gw itu cuek bebek dan makin asyik mahsyuk dengan pacarnya itu.

Akhirnya bupatinya merilis surat tugas supaya dokter itu dipindahkan dari rumah sakit tempatnya bekerja, ke sebuah puskesmas terpencil yang letaknya sejauh 40 km dari ibukota kabupaten, yang miskin sinyal, jalannya masih sirtu alias cuma terdiri dari pasir dan batu. Semua orang mengira bahwa bupati sengaja melakukannya dengan dalih "pemerataan tenaga medis di pelosok", padahal tujuan sebenarnya hanya untuk "memisahkan" kisah cinta sang dokter dan sang mantri.

Orang kadang lupa bahwa cinta itu buta. Apalagi kalo cinta itu terjadi di daerah yang gemar ketiban mati lampu. Listrik yang doyan byar-pet di desa itu akan menyebabkan suasana desa menjadi gelap-gulita. Dalam keadaan gelap tentu orang jadi buta karena ngga bisa melihat. Dan begitulah cinta makin mekar tidak karuan dalam daerah yang miskin listrik itu. Sang mantri malah makin sering ngapelin dokter itu di desa terpencil itu. Mungkin itulah akibatnya kalo PLN ngga becus mengelola listrik. Cewek jadi ngga bisa melihat cowok yang ditaksirnya dengan jelas, sehingga yang mestinya jelek pun dia bilang cakep.

Tidak, gw becanda. Gw heran kenapa orang selalu mendiskreditkan pasangan-pasangan macam begini. Kenapa perempuan harus dapet suami yang ganteng, lebih tajir, lebih pinter, dan lebih-lebih lainnya? Gimana nasib yang jelek, yang melarat, yang imbisil? Bahkan Tukul Arwana sendiri pernah mengeluh, orang cakep tuh jangan kawin sama orang cakep lagi. Mbok sekali-kali orang cakep tuh kawin sama orang jelek. Kalo semua orang cakep diambil sama yang cakep lagi, orang jelek mau jadi apa..?

Gw pikir, mungkin kolega gw telah menemukan apa yang dia cari pada laki-laki itu. Meskipun buat standar ndeso, sang mantri itu adalah bujang paling jelek sedusun, tapi setidaknya laki-laki itu cukup ganteng, setidaknya di mata ceweknya. Bahwa dia cuman seorang mantri, sebenarnya itu kan bisa diatur. Suruh sekolah S1 supaya setara. Cari penghasilan tambahan supaya bisa kasih makan. Dan berhentilah bersihin muka pake ampelas supaya tampangnya ngga kayak papan penggilesan.

Kita tuh butuh pacaran buat saling mengisi. Ada perempuan yang pemarah kecantol sama laki-laki yang sabar, karena laki-laki itu bikin hatinya lebih adem. Ada laki-laki yang kaku jatuh sayang kepada perempuan yang ceria, karena perempuan itu bikin hatinya senang. Tampang itu urusan belakangan. Kita tuh tidur dengan hatinya, bukan tidur dengan tampangnya. Begitulah seharusnya cinta itu, menambal yamg bolong, mengisi yang kurang. Seperti Anda dan suami Anda. Seperti Anda dan istri Anda. Seperti Anda dan pasangan gay Anda.

***

Jadi waktu Pak Guru Agama nanyain gw pengen suami kayak apa, akhirnya gw jawab, "Yang SEHAT". Semua anak meledak ketawa hari itu.

Itu jawaban sopan sebenarnya dari seorang calon mahasiswa kedokteran. Padahal sebenarnya kalo Little Laurent yang ditanya, dengan tersipu-sipu dia akan jawab, "Saya mau suami yang tua.." (Dasar older-complex.) "..kaya.." (Dasar matre.) "..dan kalo bisa orangnya sakit-sakitan.." (What??!) "..dan lebih disukai, yang mau meninggal."

Gold-digger!