Saturday, July 4, 2009

Master Dogol

Jika Anda ngira bahwa praktek nyontek kebut semalem cuman jadi monopoli anak sekolah dan mahasiswa kelas teri, maka Anda salah.

Seorang perawat di suatu dusun suatu hari bertanya kepada seorang dokter, biokimia itu apa. Sang dokter jawab bahwa biokimia itu gabungan biologi dan kimia. Si perawat nanya lagi contohnya biokimia kayak apa. Sang dokter jawab bahwa biokimia itu misalnya menerangkan bagaimana kebanyakan glukosa dalam darah bisa bikin kondisi hiperglikemia, lalu nyuruh si perawat buka internet aja supaya dapet contohnya.

Beberapa hari kemudian, sang dokter mendapati seorang perawat lain lagi browsing tentang glukosa darah di kompie kantor mereka. Perawat yang ini ngambil artikel di internet lalu menjiplaknya mentah-mentah ke halaman MS Word-nya. Sang dokter tanya kepada perawat untuk apa artikel itu, mengingat perawat yang satu ini kerja di bagian keuangan yang nggak ada hubungannya sama sekali dengan glukosa darah.

Lalu perawat yang kedua ini jawab, dia bikin karangan ini buat atasannya, yaitu perawat yang pertama. Perawat yang gw ceritain pertama itu ternyata lagi ambil S2 Kesehatan Masyarakat di sebuah kampus di ibukota.

Kita lihat di sini ternyata ada yang ganjil.
1. Seorang mahasiswa S2 disuruh bikin tesis tentang hal yang bahkan dia tidak tahu sama sekali definisinya.
2. Karena mahasiswa S2 ini tidak mengerti materi tesisnya, disuruhnya orang lain yang kebetulan pendidikannya baru D3 buat ngerjain tesis itu.
3. Orang yang D3 ini tidak lagi bekerja dengan lingkup kesehatan, maka ketika dia disuruh bikin paper tentang dasar kesehatan, dia sulit cari bahan yang nyambung. Ini seperti disodori keyword doang lalu disuruh mengarang indah. Tesis macam apa ini?

Sang dokter pun mikir kampus macam apa yang nyuruh mahasiswa pascasarjananya bikin tesis tentang biokimia padahal mahasiswanya sama sekali tidak tahu apa itu biokimia. (Biokimia itu materi kuliah S1 kesehatan lho, jadi kalo mahasiswa pascasarjananya nggak tau apa itu biokimia, itu mengharukan.) Ternyata, program pascasarjana yang diikuti perawat itu, adalah program tiga semester yang kuliahnya cuma weekend, dan hanya sebulan sekali. Jadi, Anda bisa meraih gelar S2 Kesehatan Masyarakat hanya dalam tiga semester, dan cukup datang kuliah satu kali saja tiap bulannya. Tesis yang didaulat sebagai tugas akhir itu cuma formalitas, tak perlu riset. Dan itu pun nggak perlu Anda yang bikin, cukup Anda bayarin orang lain, nanti Anda tinggal tulis nama Anda di halaman depannya, dan gelar pun di tangan.

Gw rasa kasus ini banyak. Orang beramai-ramai masuk sekolah S2, sebagian bukan karena hasrat pengen belajar lagi, tapi lebih karena faktor kepepet. Buat pegawai negeri sipil, siapa yang punya gelar S2, berarti dia dapat pangkat yang lebih tinggi. Pangkat tinggi berarti gaji lebih gede. Jadi salah satu alasan orang sekolah pascasarjana adalah karena pengen duit.

Di pihak lain, kampus kudu cari akal supaya tetap bisa beroperasi. Mereka mulai buka kelas plus-plus, antara lain ya kelas weekend sebulan sekali itu, yang boleh diikuti mahasiswa manapun asal kuat mbayar. Perkara mahasiswanya nggak ngerti materi silabusnya karena kuliahnya cuman sebulan sekali, itu urusan belakangan. Masa bodoh dosennya nerangin cuman seadanya dalam tatap muka dua jam doang. Pokoknya yang penting, kampusnya bisa meluluskan mahasiswa pascasarjana dalam jumlah banyak. Kualitas lulusan masternya dogol, peduli amat.

Lalu otonomi daerah memperparah keadaan. Sadar bahwa Pemda nggak punya cukup pegawai sipil yang kompeten buat jadi kepala kantor, maka Pemda nuntut para pegawai yang masih S1 buat sekolah S2 dan minta pegawai lulusan D3 buat sekolah S1 lagi. Makin rendah tingkat pendidikannya, makin besar kemungkinan sang pegawai negeri sipil buat dilempar ke daerah terpencil yang miskin listrik. Siapa mau toh?
Maka pegawai-pegawai yang panik, pun rame-rame cari sekolah lagi. Sialnya, kampus negeri nggak punya cukup bangku buat mereka semua.

Maka kebutuhan akan gelar pun jadi lahan bisnis baru. Kampus-kampus dengan akreditasi kacangan pun mulai jualan gelar. Mereka membayari orang buat jadi dosen terbang, dan mengeruk keuntungan dari pegawai-pegawai negeri sipil malang yang haus gelar S1 dan S2. Di Palangka, Anda bisa nemu sekolah tinggi yang jurusannya cuma kuliah tiap weekend, dan kuliahnya diadakan di ruangan yang bayaran kontrakannya Rp 1 juta/bulan.

Akhirnya, siapa sih yang peduli dengan output pendidikan? Kalo Anda mau daftar atau promosi jadi pegawai negeri sipil di daerah yang kepepet sumber daya manusia, Anda nggak akan ditanya IPK kok. Cukup jawab Anda ini S1 atau S2 doang, atau D3 aja. Latar pendidikan nggak sesuai bidang kerjanya pun nggak problem. Di Kalimantan, sarjana pariwisata pun bisa jadi Kepala Dinas Kesehatan.

Gw ngeri, ngeri dengan pendidikan a la master-master dogol ini. Sekolah bukan lagi buat meningkatkan wawasan dan cara berpikir, tapi tujuan akhirnya cuma buat kejar penghasilan lebih banyak.

http://georgetterox.blog.friendster.com
www.georgetterox.blogspot.com