Anda dipanggil apa oleh adek Anda di rumah? Mas? Bang? Kang? Koh? Mbak? Teh? Cik?
Sebaliknya di kantor, Anda dipanggil apa oleh orang kantor? Apakah seperti orang rumah manggil Anda? Atau cukup manggil Anda "Pak" atau "Bu" saja?
Gimana kalo Anda masih kuliah, junior manggil Anda apa? Apakah senioritas masih bikin Anda dipanggil "Kakak"? Atau jangan-jangan semua produk feodal itu udah ngga ada lagi dan mereka manggil Anda langsung pake nama aja?
Tapi yang lebih penting lagi, dengan segala panggilan itu, Anda lebih senang dipanggil apa?
Gw kepikiran ini waktu Wijna komentar di blog gw minggu lalu. Gara-gara Wijna ng-Ospek di kampusnya tapi lebih berperan jadi senior yang baek-baek, maka junior-juniornya manggil dia langsung nama dan ngga manggil dia "Mas". Mungkin adek-adek itu lebih nganggap dirinya teman ketimbang sebagai senior. Gw pikir, nampaknya di kampus Wijna sudah mulai terjadi pergeseran cara pandang dari junior terhadap senior. Dadah feodalitas, halo kesetaraan.
Kakak gw yang kerja di pabrik makanan, manggil bosnya "Pak". Sementara si boss manggil dia langsung nama aja.
Gw inget di kantor gw sendiri gw selalu dipanggil "Dok", minimal ya gw dipanggil "Bu". Ngga ada yang panggil gw langsung nama.
Sebaliknya di kantor banyak perawat yang umurnya lebih muda dari gw, tapi gw tetap panggil mereka "Bu", sementara mereka manggil yang lebih tua di antara mereka "Kak".
Nampaknya feodalitas di kantor ditentukan oleh kedudukan seseorang. Tapi yang kedudukannya sama, feodalitas hanya berlaku ditentukan umur aja.
Di rumah, gw manggil kakak-kakak sepupu gw "Mbak" dan "Mas". Dan adek-adek juga manggil gw "Mbak". Memang para orang tua kami yang ngajarin kami begitu. Ini bukan feodal, tapi ada rasa menghargai yang lebih tua.
Lalu suatu hari kakak sepupu gw, sebut aja namanya Cristiano, seorang eksekutif BUMN, bawa pacar barunya ke pesta keluarga di rumah gw. Gw membatin bahwa gadis itu, sebut aja namanya Paris, nampaknya asik dan pecicilan kayak kami. Gw inget pertama-tama kita kenalan, yang kita omongin pertama adalah urusan tempat makan yang enak-enak. (Gw selalu menghindari topik tentang pekerjaan pada obrolan pertama.) "Iya Vic, di situ kan mereka jual croissantnya enak-enak, kapan-kapan liat sendiri deh, Vic."
Nah, pas makan malam, saat gw berhasil berdua aja sama Mas Cristiano, gw sikut dia.
"Mas, dapet tuh perempewi di divisi mana? Marketing apa customer service?" olok gw.
Mas Cristiano terkejut. "Dia masih kuliah."
Gw keselek. "What?!"
Akhirnya Mas Cristiano memberi tahu fakta yang nampaknya tidak penting buat dia tapi cukup penting buat gw. Paris, cewek cantik yang jadi pacarnya itu, ternyata belum 21 tahun.
Jadi dengan hati-hati gw tanya, "What does she call you?"
Mas gw mengernyit. "Cristiano."
Gw menutup bibir rapat-rapat, berusaha tidak mengkritik kenapa sepupu gw membiarkan gadis kecil itu manggil dia nama aja, bukan pake "Mas" atau "Kak" atau apalah gitu. Pantesan si Neng Paris itu langsung panggil gw "Vic". Lha orang dia panggil pacarnya aja juga langsung nama.
Catetan: Waktu itu gw hampir 25 tahun. Cristiano sendiri, udah 32 tahun.
Kadang-kadang ada culture gap yang cukup signifikan, di mana kita kudu luwes menyadarinya. Pertama-tama Cristiano datang di pintu rumah gw sambil ngenalin pacarnya itu, dia hanya sebut, "Kenalin nih."
Gw menyambut gadis itu dengan hangat. "Saya Vicky, yang punya rumah."
Gadis itu menyalami gw dengan erat. "Paris."
Gw: "Ayo masuk. Udah makan?"
Paris: "Udah, tadi kita sempat jajan croissant sebentar."
Mungkin skenarionya akan beda kalo pembicaraannya gini:
Sepupu gw: "Kenalin, ini Paris. Paris, ini sepupuku. Ati-ati, dia baru lulus. Dan sekarang bawaannya kepingin nyuntik melulu."
Gw: "Aduh, Mas, jangan bilang-bilang napa?" (pura-pura marah kepada sepupu gw, lalu nyengir ke cewek itu) "Saya Vicky. Sekantor sama Mas Cristiano ya?"
Paris: "Ooh..ngga, Mbak. Belum kerja.."
Gw: "Oh ya? Masih kuliah? Ambil S2?"
Paris: "Mm, belum. Masih S1.."
Gw: "Ooh..aku kirain udah master. Ayo masuk dulu yuk..sendalnya dipake aja.."
Nah, kalo dialognya kayak gitu kan lebih luwes. Ada informasi penting yang dikomunikasikan. Siapa kakak, siapa adek. Paris akan bisa memposisikan dirinya sebagai calon adek ipar yang baik. Gw bisa jadi calon kakak yang melindungi. Soalnya di keluarga tertentu, itu penting.
Sepupu gw dan Paris sekarang udah putus. Tante-tantenya keluarga gw ngga terlalu menyambut pacar Cristiano itu. Gw pikir, mungkin Paris masih perlu banyak belajar tata krama tidak tertulis di keluarga kami. Dan gw rasa, sedikit banyak Cristiano mestinya bertanggungjawab buat ngajarin dia.
Keluarga, sekolah, ataupun kantor punya tatakrama sendiri-sendiri dan itu menentukan bagaimana kita kudu bersikap. Itu sebabnya kudu ada orientasi di tiap lingkungan baru, supaya orang lama bisa ngajarin orang baru buat beradaptasi. Dengan demikian ngga ada lagi yang bingung, manggil Mbak atau Mas itu penting, nggak sih?