Monday, February 20, 2012

Medit!

Masih seneng ngomong-ngomongin trendnya tablet. Profesor saya menganjurkan murid-muridnya buat punya tablet, soalnya katanya bisa mencari informasi dalam waktu cepat. Membuat saya berpikir-pikir, apa bedanya, toh saya sudah mulai duluan ngeblog hanya dengan pakai HP semenjak empat tahun lalu, jauh sebelum Steve Jobs naik daun dengan iPad-nya. Tapi saya harus menghargai para penggemar fanatik tablet, coz bagaimanapun tidak ada yang bisa menandingi hematnya waktu jika kita mencet tombol ON dan langsung kompie-nya siap online hanya dalam lima detik. Bandingkan dengan leptop yang untuk loading-nya aja butuh lima menit dulu.

Tapi tetep aja saya nggak tertarik. Penyebabnya simpel: Tablet nggak asik dipake internetan sambil pup.
Memangnya kalau lagi pup saya nggak boleh tetap terhubung ke dunia?

Jadi..suatu hari kolega saya pergi bareng saya dengan mobil ke kawasan Menganti di sebelah barat Surabaya. Dasar kami bukan orang Surabaya sih, jadi kami kesasar. Kolega saya nyalain iPad-nya, maksudnya nyalain Google gitu cari alamat. Entah gimana tuh Google loading-nya lamaa banget.

Padahal gadget-nya Apple kan sudah gandengan sama Google kan ya? Jadi logikanya segala macem yang berhubungan dengan Google mestinya berjalan lebih cepet kan?

"Kamu pake kartu apa sih kok lemot nian?" Saya nggak tahan buat nggak mencela.
Terus kolega saya nyebut suatu provider, yang bikin saya langsung ngakak saking saya sudah hafal alangkah lemotnya tuh provider kalau sudah berurusan sama tablet.

Saya mengira dos-q kapok pakai provider lemot di kawasan desa Menganti itu.
Sampek hari ini, kami kerja di rumah sakit. Dos-q nyalain iPad-nya lagi dan protes, coz si iPad lemot lagi. Malu-maluin aja, batin saya. Tablet paling canggih hari gini kok lelet?? Memangnya rumah sakit kami di ujung dunia ya??

Ternyata..si kolega masih tetep mempertahankan kartunya yang lelet ituu.. Dengan iPad 2-nya yang tersohor dan canggih dan mahal, dia masih ngeyel tetap pakai kartu yang koneksinya lebih lelet ketimbang semut!

"Kan lebih murah.." Pasti itu kilahnya kenapa dos-q milih kartu yang lelet itu.
Konsumen Indonesia memang masih pegang standar ganda dalam urusan gadget. Punya tablet tapi pakai kartu yang murah. Padahal kartu murah belum tentu bisa membeli koneksi yang kencang.

Giliran ditawari kartu yang koneksinya kencang tapi rada mahalan dikit, otak langsung munyer karena sibuk ngitung selisih harga. Tidak adakah yang sibuk ngitung selisih waktu yang bisa dihemat dengan koneksi yang bagus?

Pakai iPad dengan kartu yang lemot itu, sama seperti ngecat rambut tapi nggak mau rajin creambath. Seperti ribut ngantre beli Blackberry Dakota tapi yang dipakai malah paket Gaul. Seperti bikin kolam renang di halaman rumah tapi airnya dibiarkan ijo. Seperti punya Alphard tapi ngeyel nggak mau pakai Pertamax.

Punya aset itu mbok ya dimaksimalkan dong ah. Dan investasi mahal dikit untuk hasil yang maksimal, kan lebih baik ketimbang percaya yang murah tapi hasilnya abal-abal toh?

Wednesday, February 15, 2012

Semua Hal Kecil Itu

Kami, para perempuan, senang jika saban kali kita habis kencan dan masuk rumah, kalian kirim pesan ke HP kalo kalian seneng kencan sama kami malam ini.

Kami, para perempuan, senang jika kalian kirim kabar kecil di tengah kantor kalian, misalnya kerusuhan sama teman di kubikel sebelah kalian atau sekedar foto makan siang kalian.

Kami, para perempuan, senang jika kami lagi main ke rumah kalian, pas waktu sholat kalian siapin kami sajadah.

Kami, para perempuan, senang jika kalian ikut komentarin status Facebook bokap-nyokap kami, tanpa bilang-bilang dulu sama kami.

Kami, para perempuan, senang jika kalian mau anterin kami ke tempat kuliah dan ikut dengerin dan pura-pura ngerti curhat 7 orang cewek di geng kami yang cerewet!

Kami, para perempuan, senang jika kalian bawain jamu anti masuk angin waktu kami kena flu, meskipun kalian tahu bahwa kami ini dokter yang nggak percaya jamu-jamuan.

Kami, para perempuan, senang jika kalian ikut anterin kami ke reuni temen sekolah, biarpun selama reuni itu kalian dicuekin lantaran kalian ndak ngerti blas isi pembicaraannya.

Kami, para perempuan, senang waktu kalian nyodorin bahu kalian ketika kami lagi mewek, dan kalian nggak pernah protes biarpun lengan baju kalian jadi kelunturan maskara di air mata kami.

Kami, para perempuan, senang jika kalian mau susah-payah belajar bikinin kopi dan menghiasnya dengan cherry dan cokelat serut dan entah apa lagi, supaya waktu kalian menghidangkannya kepada kami waktu main ke rumah kalian, kami bisa pura-pura lagi kencan di Starbucks.

Kami, para perempuan, senang jika saat kami kecapekan setelah ngantor gila-gilaan, kalian datang ke apartemen kami bawain makan malam.

Kami, para perempuan, senang jika kalian tetep bilang kami cantik, meskipun kalian tau muka kami kayak jeruk purut yang kelamaan nggak diolesi Ponds Radiance.

Semua hal kecil yang kalian lakukan itu, yang mungkin sepele bagi kalian, tapi sungguh berarti buat kami, membuat kami semakin mencintai kalian, dan ingin merawat kalian seumur hidup kami..

Nggak ada Valentine-Valentine-an. Bersama kalian, hidup kami adalah Valentine setiap hari.. :)

Sunday, February 12, 2012

Whitney dan Saya, In Memoriam

Jauh sebelum Whitney Houston stress karena gagal mengelola perkawinannya dengan Bobby Brown dan kecanduan nenggak narkoba, saya kenal Whitney sebagai salah satu penyanyi terbaik pada jaman saya masih ABG dulu. Saya ingat bagaimana saya sampek empet karena denger soundtrack Bodyguard berjudul I Will Always Love You berulang kali setiap hari di radio, tapi saya juga tidak menyangkal bagaimana Bodyguard itu salah satu film paling romantis yang saya tonton pada masa itu. Lima lagu soundtrack-nya jadi booming di Billboard Top 100 (selain I Will Always Love You, ada I Have Nothing, Run to You, Queen of the Night, dan I'm Every Woman), dan semuanya dinyanyikan oleh Whitney. Luar biasa.

Kalau nggak salah, ini Whitney Houston
dalam film Preacher's Wife.
Masih cakep dan belum kesambet narkoba.
Lagu favorit saya lainnya yang dinyanyikan Whitney adalah Same Script Different Cast, yang diduetkan bareng Faith Evans, mudah-mudahan saya nggak salah ingat. Mungkin karena lagu ini adalah pengalaman pribadi saya, hahaha. Dan satu lagi adalah I Learned from the Best, ya itu juga karena pengalaman pribadi, wkwkwk..

I Have Nothing adalah salah satu lagu yang jadi kenangan antara saya dan my hunk. Ceritanya, suatu malam, sewaktu kami dulu masih cuman jadi teman biasa, ceritanya kami lagi chatting, kami berada di rumah kami masing-masing, dan kami sama-sama lagi nontonin videonya I Have Nothing di Metro TV. Seharusnya saya nyadar waktu itu, kenapa saya bertahan nonton video itu sampek selesai, bukanlah karena lagunya menarik, tapi mungkin karena saya tahu bahwa di tempat nun jauh di sana, dia juga menonton video yang sama dengan yang saya lihat.. :D

Tapi bagaimanapun, kalau saya ditanya lagunya Whitney yang paling saya sukai, maka spontan saya akan menjawab soundtrack-nya Bodyguard yang berjudul Bapakmu! Karena, lagu itulah yang biasa saya mainkan di piano saya sambil merem, mengubah muka saya yang ganas menjadi melankolis.. 

Waktu hujan sore-sore, kilat sambar pohon kenari,
lembe lembe to ya, to ya o maule,
tanpa sadar aku, uhuu..ketemu bapakmu
pusing..
kasih, bapakmu.. ternyata bapakku..

(Eh, ini lagunya Whitney atau lagunya Padhyangan Project?!)

Inna lillahi wa inna ilaihi roji'uun. Semoga amal perbuatan Whitney diterima di sisi-Nya. Mudah-mudahan, tahlilannya Whitney seramai konsernya..

Saturday, February 11, 2012

Tablet Kebablasan

Sewaktu demam tablet merambah ke mana-mana, saya menyangka bahwa orang tidak lagi percaya kepada kekuatan netbook dalam urusan mempermudah pekerjaan. Tetapi ketika orang mulai bersikap terlalu kreatif atas tablet mereka, saya mulai merasa bahwa urusan tablet ini mulai memasuki era “salah kaprah”.

Tersebutlah suatu hari saya lagi berada dalam ruang kuliah bersama kolega-kolega saya yang lain. Kami lagi ngerjain proyek masing-masing dengan gadget-gadget kami sambil nunggu dosen datang. Lalu terdengar suara ringtone, cukup panjang, dan saya menoleh ke kolega-kolega saya dengan tatapan terganggu, “Angkat HP-mu, brother. Berisik, tau!”

Kolega saya, sebut saja namanya Ditsey, akhirnya tersadar bahwa gadget-nya baru saja berbunyi, akhirnya mengalihkan pandangan dari Macbook-nya. Saya sangka dia mau ngangkat Blackberry-nya, tapi ternyata dia malah ngegotong Samsung Galaxy Tab-nya dan nempelin barang segede talenan itu ke telinganya, lalu menyapa, “Halo? Halo? Ya, ada apa??”

Menelepon dengan tablet.
Rasanya seperti lagunya Glenn Fredly, "Berat bebanku.."
Gambar diambil dari sini
Kami ngeliatin dia dengan melongo sejenak melihat gestur aneh itu. Lalu, kolega saya lainnya yang duduk di sebelah Ditsey, sebut saja namanya Wahdsey, mengambil netbook Lenovo miliknya dan menggotongnya ke telinganya juga dan berujar, “Halo? Halo?”

Kami langsung ngakak terbahak-bahak liat ulah kedua orang itu. Saya bahkan tidak tahan untuk nggak mencela kolega saya yang lain, Novrsye, sembari menunjuk leptop Asus-nya yang segede-gede gaban, “He, kamu nggak mau telfonan pake itu sekalian?” (Karena di antara geng kami, saat kami semua sudah berlomba-lomba beli netbook yang imut-imut, Novrsye yang masih ngotot pakai layar 14” karena dia nggak tahan liat layar netbook yang sekecil-kecil semut).

***

Saya pasti gaptek lantaran saya nggak tahu bahwa tablet sekarang bisa dipakai nelfon. Dan menurut saya itu ganjil karena bodinya tablet itu memang nggak ergonomis buat digenggam dari telinga sampek mulut. Memang Galaxy Tab yang dibeli Ditsey itu kecil banget, ukurannya hampir sama dengan telapak tangan, tapi tetep aja saya rasa nggak asyik buat nelfon karena untuk menggenggamnya perlu dua tangan. Entah bagaimana gestur nelfon pakai tablet itu mengingatkan saya pada pemuda tengil yang saya lihat di Pengalengan ngegotong-gotong tape berbunyi lagu dangdut buat piknik di pinggir danau Situ Ciburuy.. Mau gaya-gayaan aja kok berat amat sih, Pak??

Kemaren tuh saya dibikin takjub lagi lantaran pas saya lagi main di operasi Cesar, kolega saya yang jadi juru anestesi tahu-tahu ngegotong iPad-nya tinggi-tinggi di atas muka si pasien yang lagi merem. Tampangnya persis seperti mau ngejatuhin iPad-nya di atas perutnya si pasien yang lagi saya operasi! Si kolega ternyata menangkap ekspresi saya yang terkejut (syukurlah, karena dia kan cuman ngeliat mata saya yang terbelalak, sementara idung dan mulut saya ketutupan masker), dan buru-buru berdalih, “Nggak pa-pa, ini cumak buat tugasku!”

Motret konser pakai tablet.
Kira-kira fotografernya lincah nggak ya?
Gambarnya diambil dari sini
Baru saya nyadar kalau ternyata si kolega motret adegan operasi itu untuk laporan tugas kuliahnya. Alamak, gestur lu motret megang iPad kayak megang Nikon aja..

Saya yakin para insinyur perancang Galaxy Tab maupun perancang iPad sama-sama tidak berniat membuat tablet-tablet aneh itu untuk dipakai nelfon apalagi motret. Fungsi telfon mungkin bisa digantikan dengan wireless, sedangkan kamera mungkin dimaksudkan untuk sebagai webcam. Yang jelas memotret dengan tablet tidak dimaksudkan sama seperti menggenggam Canon, sama seperti menelfon dengan tablet tidak sama seperti menggenggam Nokia. Jadi melihat teman-teman saya melakukan itu, rasanya buat saya masih ganjil.

Tablet itu mestinya hanya untuk membaca aja, bukan untuk motret apalagi nelfon.

(Salah, Vic, tablet itu bukan untuk baca, tapi untuk minum obat..)

Tuesday, February 7, 2012

Mau Baju Murah? Ke Surabaya Aja!

Hai fellas di Surabaya!

Mau gaun-gaun pesta ciamik nan murah?

Atau sepatu n tas branded extravaganza dengan harga terjangkau?

Nggak usah jauh-jauh ke mal!

Dateng yuk ke Wisma Mukti K-14,
di sana ada baju-baju nan cakep-cakep plus asesoris outfit lainnya yang bisa bikin kamu kalap abis!

Harga mulai dari IDR 5000 aja boo'..!

Nggak cuman fashion item,
kalian yang udah emak-emak pun bisa nemu alat-alat perlengkapan bayi dengan harga murah-meriah!

Jangan lelet ya, acaranya cuma 1 hari!
Hari Sabtu, 11 Februari 2012
Cukup dari jam 9 pagi, sampek jam 3 sore aja!
Siapa cepat, dia dapat!

Sumpah, ini bukan blog berbayar!

Acara ini dipersembahkan oleh dokter-dokter pendidikan spesialis Obstetri Ginekologi Universitas Airlangga.

Friday, February 3, 2012

Mikir Gede, Tindakan Simpel

Ketika Anda baru lulus sekolah dan kepingin cari pekerjaan, gimana sikap Anda waktu menelusuri iklan lowongan kerjaan di koran? Apakah Anda hanya cari kerjaan yang sesuai dengan latar belakang sekolah? Apakah Anda hanya cari kerjaan dengan fasilitas yang banyak? Apakah Anda hanya cari kerjaan di tempat yang dekat rumah?

Saya ingat awal-awal lulus jadi dokter, ketika sarana kesehatan yang sudi menerima makhluk-makhluk selevel kami hanyalah klinik-klinik kecil, saya cuman mau melamar kerja ke klinik yang bisa dicapai dengan naik angkot satu kali dari rumah :D
Bukannya saya jual mahal. Tapi saya rasa bekerja di tempat yang kira-kira jumlah pasiennya cuman seuprit pun nggak akan sepadan dengan biaya transpor yang harus saya keluarkan untuk kerja di sana.

Sepupu saya nulis di blognya bahwa menurutnya pelamar kerja dengan kualitas tinggi cenderung nggak akan melamar ke perusahaan yang nggak terkenal atau perusahaan yang bikin iklannya cuman pakai kolom kecil. Karena pelamar dengan kualitas tinggi pasti cenderung melamar ke perusahaan besar, minimal BUMN, atau malah bikin perusahaan sendiri. Bahkan kalau melamar di perusahaan yang biasa-biasa aja pun, mungkin dia tidak akan bertahan lama di sana karena tempat kerja kecil itu hanya sebagai "batu loncatan".

Saya masih baru lulus dokter enam tahun lalu, baru ngincipin pindah kerja sana-sini, sebelum akhirnya menghentikan aktivitas kutu loncat itu karena saya diterima sekolah spesialisasi. Jadi saya nggak ngerti-ngerti amat tentang melamar kerja. Tetapi mungkin saya bisa berbagi sedikit mengenai seni memanfaatkan peluang.

Manusia yang baru lulus sekolah, rata-rata mau enaknya aja. Kerja di gedung perusahaan besar, punya mobil pribadi yang disupirin, gaji melimpah dan syukur-syukur tunjangan pensiun abadi. Dulu saya juga begitu, dan sekarang pun masih. :D Belakangan saya tahu bahwa untuk berada di posisi itu nggak gampang. Perlu kualitas pribadi yang bagus. Tapi kualitas yang bagus itu kualitas yang gimana?

SOFT SKILL
Pintar di bangku kuliah ternyata nggak cukup. Saya hapal penyakit X harus dilakukan operasi Y, tapi kalau saya nggak bisa berkomunikasi dengan baik tentu pekerjaan saya nggak akan berjalan dengan lancar. Saya harus merayu pasien supaya mau dibuka perutnya, padahal untuk dioperasi itu, sudah prosedurnya menyakitkan, pasiennya disuruh bayar mahal pula. Saya rasa demikian juga dengan teman-teman dari latar belakang ilmu lain. Bagaimana merayu tukang gali tanah untuk bikin rumah supaya dia mau menguruk tanah luas dalam dua hari saja padahal jumlah tukang galinya cuma dua orang? Bagaimana menjual kosmetik di megastore yang cuman sudi menyewakan counter untuk kosmetik impor padahal merk kosmetik kita adalah buatan lokal? Saya rasa itu perlu soft skill komunikasi yang bagus.

HARD SKILL
Percuma kamu ramah, sopan, tapi IQ-nya tiarap. Seorang kolega saya pernah berusaha melamar di rumah sakit besar di Surabaya tapi gagal gara-gara soal sepele: dia bilang pernah kerja di Puskesmas di Kupang tapi nggak bisa bilang Kupang itu di pulau mana. Lha ngapain mempekerjakan orang kalau orangnya bego?
Contoh lain, kamu tidak bisa menyuruh seorang insinyur bikinkan jembatan kalau insinyur itu tidak tahu gimana mutu semen yang bagus. Kamu tidak bisa mempekerjakan ahli facial di salon mewah jika waktu dia melamar kerja si ahli facial itu lagi kena flu dan nggak mau pakai masker. Lhoo..klien yang mau di-facial bisa ketularan penyakit dong?

PENAMPILAN MENARIK
Sebagian besar dari kita lahir dengan hidung yang pesek, tompel segede koin seceng di pipi kiri, dan suara yang lebih serak daripada Dewi Perssik. Tapi punya penampilan jelek bukan berarti nggak bisa dikoreksi dong? Gimana orang mau mempekerjakan kita kalau kita datang dengan sepatu sendal belel dan gaya jalan yang diseret, atau rambut shaggy kusut nggak tersisir, dan sikap duduk kangkang seperti baru disunat? Teman saya pernah dengan simpelnya bilang bahwa dia pernah lebih milih pelamar yang nggak pakai dasi ketimbang yang pakai dasi. Alasannya, waktu itu dasi pelamarnya itu ada gambar Betty Boop-nya.. :D

Persoalannya, kadang-kadang kita sudah mengira kualitas kita bagus, tapi penyedia lowongan belum berkenan sama kualitas kita. Dokter umum yang baru lulus mungkin sudah tahu bahwa sakit maag mestinya dikasih obat antimaag, tapi mungkin dia belum tahu mana pasien yang butuh obat antimaag jenis H2 antagonis dan mana yang lebih cocok dikasih obat antimaag proton pump inhibitor. Gimana meladeni pasien yang kepingin diopname karena muntah-muntah hamil, dan gimana meladeni pasien yang kepingin diopname semata-mata hanya karena pingin ngabisin imberse dari asuransi. Pakai sepatu macam apa jika kerjaan kita 9-5 dan kudu naik turun tangga tanpa bikin muka jadi pegel. Kapan bisa nyuri waktu buat makan siang padahal jumlah orang yang butuh jasa kita itu seabrek. Itu semua bukan dipelajari di sekolah, tapi dipelajarinnya justru di dunia kerja. Dan kadang-kadang, kesempatan untuk belajar hal-hal begitu belum tentu bisa didapatkan dengan nyaman di perusahaan besar, tapi justru lebih cepat dipelajari di perusahaan kecil.

Bukalah lowongan kerja di bagian-bagian iklan baris dan jangan segan-segan menelepon mereka untuk minta pekerjaan. Kalau yang mau menerima kita itu CV kecil-kecilan, kita punya dua pilihan yang bisa dilakukan: 1) membangun CV itu supaya berkembang menjadi PT yang lebih besar, atau 2) cari pengalaman sebanyak-banyaknya di CV kecil itu supaya bisa loncat lain kali ke PT yang lebih besar. Tapi kalau CV kecil-kecilan aja nggak mau menerima kita, berarti kemungkinannya juga dua: 1) kualifikasi keahlian kita bukan yang mereka butuhkan, 2) kita nggak cukup baik buat perusahaan mereka.

Menjadi pemilih-milih dalam melamar kerja, misalnya karena kita lebih suka kerja di perusahaan gede ketimbang perusahaan kecil, juga nggak dosa. Tapi, sebaiknya kita juga tahu diri, terlalu lama nganggur tanpa punya penghasilan karena mengharap dapet lowongan dari perusahaan besar juga nggak baik. Selain bikin dompet makin lama makin tipis, juga bikin otak makin lama makin tumpul lantaran nggak dipakai.

Jauh lebih baik lagi kalau kita nggak usah cari kerjaan, tapi bikin lapangan pekerjaan sendiri dan ngasih gaji ke banyak orang. Untuk itu pasti perlu sumber daya, mulai dari merekrut orang, merekrut modal, sampek ilmu manajemen. Di mana belajar cari koneksi, cari modal dan belajar ngatur-ngatur orang? Ya itu dimulai bukanlah saat kita punya perusahaan sendiri, tapi dimulai saat kita masih bekerja untuk orang lain dong.

Jangan pernah menyepelekan pekerjaan kecil yang kita hadapi sekarang. Saya ngetikin laporan persalinan setiap hari, bikin saya jadi ngeh mana pasien hamil yang kudu buru-buru dioperasi dan mana pasien yang bisa ditunda bayinya sampek lahir sendiri (padahal saya cuman ngetik, tapi nggak pernah berhadapan dengan pasiennya langsung). Ketika saya naik pangkat dan jadi eksekutor, berhadapan lima detik dengan pasien, saya langsung tahu kapan harus segera nelfon dokter yang lebih senior dan kapan bisa melahirkannya sendiri.
Dan di tempat lain juga begitu. Paman saya memulai karier dengan disuruh menjalankan toko orang lain sendirian, sampek kemudian dia kepingin buka warung fotokopi sendiri, lalu sekarang kios itu berkembang jadi perusahaan cetak yang meladeni jasa percetakan dari pabrik-pabrik multinasional di Surabaya (dan itu dimulai dengan menjadi penjaga toko). Kakak saya dulunya jualan bakso di food court kampus, hasil labanya dipakai buat modal jualan pasir lukis anak-anak, pas lagi jualan pasir di mal ternyata dia lihat anak-anak butuh tempat main selama ditinggal orangtuanya belanja, maka dia lihat peluang bikin taman bermain di mal, maka modal dari jualan pasir dia pakai buat beli hak waralaba untuk bikin taman bermain, dan sekarang taman itu punya cabang di mal-mal seluruh Jawa (lihatlah bahwa semula ia hanya seorang penjual bakso).

Semua keberhasilan itu dimulai dari hal kecil. Tapi jangan kama-lama bekutetan dengan hal kecil. Tindakan kecil untuk tujuan akhir yang lebih besar.

Anda sudah kerja dan merasa nyaman? Anda sudah kerja tapi kepingin pindah? Anda belum kerja dan bingung gimana mau melamarnya? Yok, bagi-bagi di sini yaa..

Thursday, February 2, 2012

Disuruh Bayar Kuliah

Sekitar beberapa minggu lalu saya dan kolega-kolega di sekolah dapet surat edaran bahwa bulan ini sudah waktunya kami bayar SPP kuliah. Entah gimana pengumuman kayak gini selalu bikin kami sebel karena kami nggak tahu caranya bayar SPP tanpa ninggalin gedung tempat kami magang. Lha kalau kami pergi meninggalkan meja kerja kami masing-masing untuk bayar SPP, terus siapa yang tanganin pasiennya?

Aturan dari sekolah bilang bahwa SPP itu kudu dibayarin tunai ke teller bank. Padahal teller bank-nya itu cuman buka saban hari kerja, dari jam 8 pagi sampek jam 3 sore. Lha rumah sakit tempat kami magang kan kerja 24 jam. Saya sendiri masuk kerja mulai dari jam 6 pagi sampek jam 3 sore, itu pun kadang-kadang prolong sampek jam 9 malam, tergantung beratnya penyakit pasien yang ditangani. Terus kapan kami mau bayar SPP-nya..?

Alhasil kami terpaksa memberdayakan tangan-tangan "belakang" buat bantuin kami bayar duit sekolah. Kami sediain duitnya, lalu buat pergi ke teller bank-nya kami minta nyokap, suami, pacar, adek atau kakak, bahkan supir dan para asisten rumah tangga terpaksa diajarin demi gantiin kami ke teller bank. Lebih susah lagi karena nggak sembarang cabang bank boleh jadi tempat bayar SPP-nya. Aturannya, bayar SPP kudu di teller bank cabang depan sekolah kami, nggak boleh di cabang yang lain-lain.
Saya sendiri lebih terheran-heran karena hari gini masih ada aja peraturan sekolah yang nyuruh mahasiswanya bayar SPP pake duit tunai ke teller manusia. Padahal kolega saya kalau lagi pinjem duit buat urunan dugem di restoran aja saya suruh dia bayar pakai transfer. Transfer duit kan sekarang udah bisa pakai internet banking, bisa pakai SMS, bisa pakai ATM. Mana sempat kita ke bank, memangnya kita makhluk pengangguran nggak punya kerjaan?
Kenapa nggak pake beginian aja sih?
Kan lebih praktis?
Foto diculik dari sini

Ini sekolah setingkat S2 lho, bukan taman kanak-kanak. Muridnya adalah orang-orang sibuk, bukan anak kecil yang masih diasuh emaknya. Mbok ya urusan bayar itu dibikin gampang, jangan bikin aturan-aturan yang dipersulit. Mosok kudu nunggu saya jadi rektor dulu, baru bayar SPP-nya boleh pakai transaksi online?

(Halah, kalau kamu jadi rektor, kan SPP-nya gratis, Vic.. :p)
http://laurentina.wordpress.com
www.georgetterox.blogspot.com

Wednesday, February 1, 2012

Kontes Balapan Jempol

Hari gini makin bejibun aja kontes upload foto di Facebook. Modusnya standar: Bikin lomba, pesertanya disuruh upload fotonya di Facebook, lantas foto yang paling banyak dikasih "like", maka pemilik foto itu yang menang. Mengingatkan saya pada kontes nyanyi AFI, di mana pemenangnya ditentukan dari banyaknya SMS.

Ada temen saya yang seneng banget ikutan kontes foto anak. Jadi dia upload foto anaknya itu, terus berharap foto anaknya itu banyak yang nge-"like". Nah, buat promosiin foto anaknya yang dilombakan itu, dia minta temen-temennya buat ngasih jempol ke fotonya. Salah satu yang dimintain jempol itu saya.

Sebenarnya saya mau-mau aja dimintain jempol, bukankah sesama banci narsis harus saling membantu? Lagian toh caranya gampang, tinggal pencet icon "like". Nggak kayak pembela partai moncong putih yang buat tanda solidaritas aja pakai acara jempol darah segala, serem amat. Cuman caranya minta jempol gitu yang kadang-kadang saya nggak seneng. Temen saya yang banci kontes foto itu promosiin fotonya dengan menge-tag fotonya di profil semua temennya. Bayangin kalau dia punya friend 100 orang aja, foto itu di-tag ke 100 orang itu sehingga foto anaknya itu nongol di 100 profil orang yang beda-beda.

Balapan jempol.
Foto dari sini
Kalau cuman satu-dua kali sih nggak problem buat saya, tapi kalau udah keseringan lama-lama saya empet. Saya nggak seneng ngeliat di profil Facebook saya ada foto seorang anak yang sama sekali nggak saya kenal. Well, lepas dari anaknya lucu atau enggak (semua anak kecil pasti lucu, kecuali anak yang muntah di sepatu Christian Louboutin-mu), adalah ganjil kalau saya di-tag-in foto yang sama sekali nggak ada saya di situ. Apalagi kalau saya di-tag foto itu cuman demi mensukseskan pemilik foto yang lagi ikut kontes balapan jempol!

Bagian yang lebih menjengkelkan adalah komentarnya. Pernah seharian saya nggak buka Facebook sama sekali. Pas saya buka malemnya, ternyata ada 10 notifikasi dari Facebook yang belum saya baca. Saya kirain tadinya itu notifikasi seperti friend request atau undangan nonton pameran lukisan, tapi ternyata notifikasi itu adalah berita bahwa saya di-tag-in foto anaknya temen saya dan ke-9 notifikasi lainnya adalah komentar-komentar yang berderet di bawah foto tersebut. Saya dipaksa baca komentar foto itu satu-satu! *tepok jidat*

Teruus..sekarang ada lagi modus berbalas jempol. Temen saya tuh upload foto anaknya, lalu minta temennya buat kasih jempol. Si temen lain yang dimintain jempol itu ternyata juga ikutan upload foto anaknya sendiri, lalu bales minta dikasih jempol juga. Lalu ada temen-temen lainnya, yang rupa-rupanya juga ikutan lomba dan pada nawarin buat tukeran jempol juga. Dan saya nggak kenal siapapun yang arisan komentar di bawah foto itu. Saya cuman orang malang yang ketiban siyal dipaksa membaca percakapan orang lain gegara saya di-tag-in foto oleh orang yang tergila-gila balapan jempol!

Saya nggak tahan. Mau negor si teman kok takut temannya tersinggung. Kalau dipikir-pikir, si teman sama saya juga nggak deket-deket amat, dia lho selama 10 tahun nggak pernah ngirimin saya selamat Lebaran, selamat hari Kartini, selamat naik kelas, atau minimal ucapan selamat ulang tahun. Susah payah saya mengakui, si teman nggak pernah nyapa saya di ranah media sosial kecuali kalau dia lagi minta jempol. Itu pun mintanya bukan ngomong, "Vicky yang Manis Kayak Permen Stroberi, Minta jempolnya dong.."
Tapi malah ngomong gini, "Hai prenz, bantuin like fotoku dong.." Kesannya kayak pesen broadcast massal gitu..

Akhirnya setelah saya bertapa tujuh hari tujuh malam di lantai paling atas kantor demi memohon petunjuk untuk menghentikan bencana tag-tag-an foto ini (kenapa harus di kantor? Yaa soalnya kalau mau cari wangsit di gunung Bromo kayaknya nggak bisa, lha saya susah dapet cuti..), saya mengambil langkah yang paling saya sebelin: tekan "unfriend".

Teman yang baik, bukanlah teman yang datang cuman kalau ada perlunya.

Tolong ya, Sodara-sodara Jemaah, makasih udah mau jadi temen saya, tapi pleeaase..saya mohon, jangan pernah nge-tag saya foto di Facebook kalau nggak ada saya di dalem fotonya. Lagian apa asiknya sih koleksi banyak-banyak jempol gitu? Daripada banyak-banyakan jempol kan mending kontes banyak-banyakan komentar. Lebih berkualitas, daripada cuman mentingin kuantitas..