Saya ingat awal-awal lulus jadi dokter, ketika sarana kesehatan yang sudi menerima makhluk-makhluk selevel kami hanyalah klinik-klinik kecil, saya cuman mau melamar kerja ke klinik yang bisa dicapai dengan naik angkot satu kali dari rumah :D
Bukannya saya jual mahal. Tapi saya rasa bekerja di tempat yang kira-kira jumlah pasiennya cuman seuprit pun nggak akan sepadan dengan biaya transpor yang harus saya keluarkan untuk kerja di sana.
Sepupu saya nulis di blognya bahwa menurutnya pelamar kerja dengan kualitas tinggi cenderung nggak akan melamar ke perusahaan yang nggak terkenal atau perusahaan yang bikin iklannya cuman pakai kolom kecil. Karena pelamar dengan kualitas tinggi pasti cenderung melamar ke perusahaan besar, minimal BUMN, atau malah bikin perusahaan sendiri. Bahkan kalau melamar di perusahaan yang biasa-biasa aja pun, mungkin dia tidak akan bertahan lama di sana karena tempat kerja kecil itu hanya sebagai "batu loncatan".
Saya masih baru lulus dokter enam tahun lalu, baru ngincipin pindah kerja sana-sini, sebelum akhirnya menghentikan aktivitas kutu loncat itu karena saya diterima sekolah spesialisasi. Jadi saya nggak ngerti-ngerti amat tentang melamar kerja. Tetapi mungkin saya bisa berbagi sedikit mengenai seni memanfaatkan peluang.
Manusia yang baru lulus sekolah, rata-rata mau enaknya aja. Kerja di gedung perusahaan besar, punya mobil pribadi yang disupirin, gaji melimpah dan syukur-syukur tunjangan pensiun abadi. Dulu saya juga begitu, dan sekarang pun masih. :D Belakangan saya tahu bahwa untuk berada di posisi itu nggak gampang. Perlu kualitas pribadi yang bagus. Tapi kualitas yang bagus itu kualitas yang gimana?
SOFT SKILL
Pintar di bangku kuliah ternyata nggak cukup. Saya hapal penyakit X harus dilakukan operasi Y, tapi kalau saya nggak bisa berkomunikasi dengan baik tentu pekerjaan saya nggak akan berjalan dengan lancar. Saya harus merayu pasien supaya mau dibuka perutnya, padahal untuk dioperasi itu, sudah prosedurnya menyakitkan, pasiennya disuruh bayar mahal pula. Saya rasa demikian juga dengan teman-teman dari latar belakang ilmu lain. Bagaimana merayu tukang gali tanah untuk bikin rumah supaya dia mau menguruk tanah luas dalam dua hari saja padahal jumlah tukang galinya cuma dua orang? Bagaimana menjual kosmetik di megastore yang cuman sudi menyewakan counter untuk kosmetik impor padahal merk kosmetik kita adalah buatan lokal? Saya rasa itu perlu soft skill komunikasi yang bagus.
HARD SKILL
Percuma kamu ramah, sopan, tapi IQ-nya tiarap. Seorang kolega saya pernah berusaha melamar di rumah sakit besar di Surabaya tapi gagal gara-gara soal sepele: dia bilang pernah kerja di Puskesmas di Kupang tapi nggak bisa bilang Kupang itu di pulau mana. Lha ngapain mempekerjakan orang kalau orangnya bego?
Contoh lain, kamu tidak bisa menyuruh seorang insinyur bikinkan jembatan kalau insinyur itu tidak tahu gimana mutu semen yang bagus. Kamu tidak bisa mempekerjakan ahli facial di salon mewah jika waktu dia melamar kerja si ahli facial itu lagi kena flu dan nggak mau pakai masker. Lhoo..klien yang mau di-facial bisa ketularan penyakit dong?
PENAMPILAN MENARIK
Sebagian besar dari kita lahir dengan hidung yang pesek, tompel segede koin seceng di pipi kiri, dan suara yang lebih serak daripada Dewi Perssik. Tapi punya penampilan jelek bukan berarti nggak bisa dikoreksi dong? Gimana orang mau mempekerjakan kita kalau kita datang dengan sepatu sendal belel dan gaya jalan yang diseret, atau rambut shaggy kusut nggak tersisir, dan sikap duduk kangkang seperti baru disunat? Teman saya pernah dengan simpelnya bilang bahwa dia pernah lebih milih pelamar yang nggak pakai dasi ketimbang yang pakai dasi. Alasannya, waktu itu dasi pelamarnya itu ada gambar Betty Boop-nya.. :D
Persoalannya, kadang-kadang kita sudah mengira kualitas kita bagus, tapi penyedia lowongan belum berkenan sama kualitas kita. Dokter umum yang baru lulus mungkin sudah tahu bahwa sakit maag mestinya dikasih obat antimaag, tapi mungkin dia belum tahu mana pasien yang butuh obat antimaag jenis H2 antagonis dan mana yang lebih cocok dikasih obat antimaag proton pump inhibitor. Gimana meladeni pasien yang kepingin diopname karena muntah-muntah hamil, dan gimana meladeni pasien yang kepingin diopname semata-mata hanya karena pingin ngabisin imberse dari asuransi. Pakai sepatu macam apa jika kerjaan kita 9-5 dan kudu naik turun tangga tanpa bikin muka jadi pegel. Kapan bisa nyuri waktu buat makan siang padahal jumlah orang yang butuh jasa kita itu seabrek. Itu semua bukan dipelajari di sekolah, tapi dipelajarinnya justru di dunia kerja. Dan kadang-kadang, kesempatan untuk belajar hal-hal begitu belum tentu bisa didapatkan dengan nyaman di perusahaan besar, tapi justru lebih cepat dipelajari di perusahaan kecil.
Bukalah lowongan kerja di bagian-bagian iklan baris dan jangan segan-segan menelepon mereka untuk minta pekerjaan. Kalau yang mau menerima kita itu CV kecil-kecilan, kita punya dua pilihan yang bisa dilakukan: 1) membangun CV itu supaya berkembang menjadi PT yang lebih besar, atau 2) cari pengalaman sebanyak-banyaknya di CV kecil itu supaya bisa loncat lain kali ke PT yang lebih besar. Tapi kalau CV kecil-kecilan aja nggak mau menerima kita, berarti kemungkinannya juga dua: 1) kualifikasi keahlian kita bukan yang mereka butuhkan, 2) kita nggak cukup baik buat perusahaan mereka.
Menjadi pemilih-milih dalam melamar kerja, misalnya karena kita lebih suka kerja di perusahaan gede ketimbang perusahaan kecil, juga nggak dosa. Tapi, sebaiknya kita juga tahu diri, terlalu lama nganggur tanpa punya penghasilan karena mengharap dapet lowongan dari perusahaan besar juga nggak baik. Selain bikin dompet makin lama makin tipis, juga bikin otak makin lama makin tumpul lantaran nggak dipakai.
Jauh lebih baik lagi kalau kita nggak usah cari kerjaan, tapi bikin lapangan pekerjaan sendiri dan ngasih gaji ke banyak orang. Untuk itu pasti perlu sumber daya, mulai dari merekrut orang, merekrut modal, sampek ilmu manajemen. Di mana belajar cari koneksi, cari modal dan belajar ngatur-ngatur orang? Ya itu dimulai bukanlah saat kita punya perusahaan sendiri, tapi dimulai saat kita masih bekerja untuk orang lain dong.
Jangan pernah menyepelekan pekerjaan kecil yang kita hadapi sekarang. Saya ngetikin laporan persalinan setiap hari, bikin saya jadi ngeh mana pasien hamil yang kudu buru-buru dioperasi dan mana pasien yang bisa ditunda bayinya sampek lahir sendiri (padahal saya cuman ngetik, tapi nggak pernah berhadapan dengan pasiennya langsung). Ketika saya naik pangkat dan jadi eksekutor, berhadapan lima detik dengan pasien, saya langsung tahu kapan harus segera nelfon dokter yang lebih senior dan kapan bisa melahirkannya sendiri.
Dan di tempat lain juga begitu. Paman saya memulai karier dengan disuruh menjalankan toko orang lain sendirian, sampek kemudian dia kepingin buka warung fotokopi sendiri, lalu sekarang kios itu berkembang jadi perusahaan cetak yang meladeni jasa percetakan dari pabrik-pabrik multinasional di Surabaya (dan itu dimulai dengan menjadi penjaga toko). Kakak saya dulunya jualan bakso di food court kampus, hasil labanya dipakai buat modal jualan pasir lukis anak-anak, pas lagi jualan pasir di mal ternyata dia lihat anak-anak butuh tempat main selama ditinggal orangtuanya belanja, maka dia lihat peluang bikin taman bermain di mal, maka modal dari jualan pasir dia pakai buat beli hak waralaba untuk bikin taman bermain, dan sekarang taman itu punya cabang di mal-mal seluruh Jawa (lihatlah bahwa semula ia hanya seorang penjual bakso).
Semua keberhasilan itu dimulai dari hal kecil. Tapi jangan kama-lama bekutetan dengan hal kecil. Tindakan kecil untuk tujuan akhir yang lebih besar.
Anda sudah kerja dan merasa nyaman? Anda sudah kerja tapi kepingin pindah? Anda belum kerja dan bingung gimana mau melamarnya? Yok, bagi-bagi di sini yaa..