Sunday, October 31, 2010

Suatu Sore di Rumah Hantu

Takutnya, blog ini dibredel, cuman gara-gara foto-foto di posting ini rada nggak layak buat dilihat anak kecil. Jadi Sodara-sodara yang kepingin lihat posting ini dan mau komentar, klik sini aja ya. Yang kepingin password, silakan hubungin saya via jalur pribadi. Yuuk mareee..! ;-)

Saturday, October 30, 2010

"Pindah"? Pindah Kepalamu!

Seorang pejabat parlemen beberapa hari lalu bikin geger dunia maya gara-gara pernyataannya yang bilang, "Mentawai kan jauh. Itu konsekuensi kita tinggal di pulaulah." Katanya kemudian, "Siapa pun yang takut kena ombak jangan tinggal di pinggir pantai. Sekarang kalau tinggal di Mentawai ada peringatan dini dua jam sebelumnya, sempat nggak meninggalkan pulau?" "Kalau tahu berisiko pindah sajalah.. Kalau rentan dengan tsunami dicarikanlah tempat. Banyak kok di daratan."

Sewaktu saya baca berita itu, saya nggak bisa nggak tertegun. Sedikit banyak dari sudut pandang logika, mungkin dos-q benar. Tapi dari sudut pandang orang Mentawai sendiri, apakah itu logis untuk dilakukan? Gimana dengan segi psikologis orang Mentawai yang sudah bertahun-tahun tinggal di sana? Apakah psikologis tidak bisa disebut logis? Waduh, kalau sampek beneran, bisa-bisa temen-temen saya yang psikolog bakalan ngamuk berat.

Kemaren saya nonton berita di tivi, tentang gimana ngungsiin orang-orang Umbulharjo itu setengah mati susahnya lantaran mereka nggak mau turun biarpun Merapi sudah kepul-kepul. Ternyata semenjak tahun 2004, artinya sudah enam tahun ini, sudah ada wacana supaya penduduk tuh jangan diijinkan tinggal di sekitar gunung Merapi dan mendingan para penduduk itu direlokasikan aja. Penduduk ternyata rada sensi kalau dengar kata “relokasi”, coz itu berarti memaksa mereka untuk meninggalkan desa yang sudah mereka huni semenjak mereka semua masih kecil. Di desa yang mereka dipaksa untuk tinggalkan itulah, mereka menjalani seluruh kehidupan mereka; ya sekolah, ya berladang, ya beternak sapi, ya gangguin anak gadis Pak Kades, ya beranak, ya semuanya.

Di sini kita melihat bahwa kadang-kadang niat pemerintah untuk memindahkan penduduk dari daerah rawan bencana itu tidak selalu berhasil, meskipun kita tahu pasti bahwa niat pemerintah itu kan baek. Siapa sih yang tega lihat anak-anaknya setiap saat bisa terancam disamber tsunami atau gunung meletus?

Saya mendadak inget diri saya sendiri. Saya tinggal di Bandung sebelah utara. Gunung Tangkuban Perahu sebenarnya letaknya cuman beberapa kilometer dari rumah saya. Memang sudah berabad-abad lamanya gunung itu nggak meletus, tapi tidak ada satu pun saya pernah dengar jaminan bahwa gunung itu sudah mati.

Saya merenung. Kira-kira kalau saya disuruh pergi dari tempat ini, misalnya karena takut Gunung Tangkuban Perahu aktif lagi, saya mau, nggak? Toh keluarga saya tidak seperti penduduk Mentawai atau Merapi, kami kan nggak lahir di Bandung, bahkan kami baru tinggal di Bandung selama 23 tahun. Kami ini berdarah Jawa Timur, jadi kami bisa pergi dari tempat ini kapan saja.

Jadi saya tanya sama nyokap saya yang lagi njahit sambil nonton tivi, “Mom, kalau Mom direlokasi dari rumah ini, mau nggak, Mom?”

Nyokap saya terdiam. Lalu melanjutkan jahitannya. Katanya, nyokap dan bokap saya udah pasang investasi di Bandung selama bertahun-tahun, sayang kalau ditinggal. Itu alas an kedua. Alasan pertamanya? Mom punya ikatan emosional dengan tempat ini selama 23 tahun.

Ganti saya terdiam. Kedengarannya nggak logis memang, tapi mungkin kami akan sedih banget kalau disuruh pergi, meskipun dengan alas an kota kami nggak aman dari ancaman gunung meletus. Bayangkan, di kota ini, saya tumbuh. Saya belajar, terseok-seok menghadapi menstruasi pertama, mabuk dan jatuh cinta, stress tiap ulangan sekolah, nangis menjelang skripsi, mendapatkan pekerjaan pertama, dan entah apa lagi. Bokap saya memulai prakteknya di kota ini, mulai dengan pasien yang cuman do-re-mi sampek akhirnya pulang telat setiap malam lantaran pasiennya membludak. Nyokap saya gonta-ganti teman-temannya sesama ibu-ibu, dari kelompok satu ke kelompok yang lain, yang mengajarinya tentang segala hal, termasuk mana sekolah terbaik buat anak-anak dan mana tempat paling murah buat nyari kain sutra yang bagus.

Saya rasa apa yang dirasakan oleh keluarga kami terhadap Bandung, juga dirasakan oleh keluarga-keluarga di Mentawai dan Merapi. Betapapun tempat-tempat mereka rawan gempa vulkanik dan tsunami, tetap aja susah banget bagi mereka untuk pergi dari lahan yang sudah membesarkan mereka selama bertahun-tahun. Kalau Anda disuruh merelokasi mereka, dan Anda mengerti posisi psikologis mereka terhadap tempat itu, tegakah Anda?

Mungkin perlu pendekatan psikologis yang baik buat menghindarkan tiap orang dari marabahaya. Tapi yang jelas, bukan dengan nyuruh orang pindah tempat tinggal seenaknya, seperti orang mindahin sapi ke daratan yang masih kosong.

Fotonya diambil dari sini

Friday, October 29, 2010

Angin Segar Berkat Foursquare

Lupakan sejenak cerita saya kemaren lantaran sebel gara-gara pegawai di Toko Oen. Sekarang saya ceritain sekuel dari petualangan saya di Malang itu. Kan di toko Oen itu saya berhasil ketemu Siwi Rahayu, juragan warnet asal Singosari yang nyambi jadi mahasiswi di Mulyosari. Kelar nyeruput esgrim yang rasanya biasa-biasa aja di Toko Oen dan ternyata menurut kami malah lebih enak esgrim dari sebuah toko kuno di Surabaya, saya dan Siwi pun hengkang ninggalin toko Oen dan mutusin buat nyeruput cwi mie di kawasan Jalan Kawi.

Ada macem-macem cwi mie yang dijual, tapi mereka mempromosikan cwi mie-nya yang versi hot. Saya sendiri yang sudah kepanasan berhari-hari di Jawa Timur, sengaja pilih yang biasa-biasa aja, nggak usah yang hot. Cwi mienya ada yang rasa ayam, ada yang rasa jamur. Mau cwi mie yang dua-dua rasanya sekaligus nggak pa-pa, tapi harganya nambah.

Pas Siwi lagi milih menu makanan, saya nyalain HP dan seperti biasa saya mau check in di Foursquare. Dengan cepat saya nemu kedai cwi mie itu di Foursquare, yang ternyata jumlah people-nya sudah ratusan dan udah banyak banget yang ngasih tips. Horee..ternyata tempat ini popular, nggak sia-sia Siwi ngajakin saya dugem di sini, batin saya. Eh, eh, pas saya lihat di sudut kanan Foursquare, tau-tau ada tulisan, bahwa kalau ngumumin check in di Foursquare bahwa kita lagi ada di tempat itu, kita dapet diskon 10%!

Whoaa..kuping saya langsung nari-nari baca kata diskon (bayangin aja kuping nari tuh kayak gimana ya?). Saya cross-check ke mbak-mbak di kasirnya, ternyata memang bener. Ya sudah, saya dan Siwi langsung ma’em cwi mienya dengan lahap, sampek mangkoknya pun bersih tandas. Pas saya mbayar, beneran, tagihannya dipotong 10% karena saya check in atas tempat itu di Foursquare. Ihiiyy! *jingkrak-jingkrak*

Ya know, saya memang udah banyak denger di luar negeri sono, bahwa kalau kita check in di Foursquare atas tempat-tempat tertentu, kadang-kadang kita dapet compliment, entah itu berupa sekedar kopi gratis atau voucher ma’em gratis atau entahlah. Tapi sudah setengah tahun saya ikutan Foursquare di Indonesia, nggak pernah saya dapet compliment apapun di tempat manapun yang saya check-in-kan. Mungkin coz para pedagang Indonesia belum begitu nyadar pentingnya Foursquare buat membangun loyalitas pelanggan yah, hehehe. Saya sendiri nggak merasa rugi-rugi amat, coz saya seneng bagi-bagi tips atas tempat manapun di Foursquare, dan mesti saya akuin kalau sedikit banyak Foursquare ikut nyumbang traffic buat blog saya. Namun dengan adanya terobosan kedai cwi mie di Malang yang nawarin diskon 10% buat Foursquarer ini, jelas bikin konsumen dengan seneng hati mau balik ke sana lagi. Saya aja kepingin bawa temen 10 orang ke sana kok buat kecipratan diskon, hehehe..

Sesungguhnya orang-orang yang nggak punya Foursquare adalah orang-orang yang merugi. Mudah-mudahan semakin banyak tempat lagi bagi-bagi compliment buat anggota Foursquarer yang check in di tempat mereka. Yihaaa..!

Wednesday, October 27, 2010

Ngamuk ke Alam

Alam yang saya maksud bukan Alam yang ngeblog di sini. Bukan juga Alam yang dulu ngetop dengan lagunya Mbah Dukun atau Sabu (Sarapan Bubur) itu. Alam yang saya maksud kali ini adalah alam sungguhan, alias alam semesta.

Sebelum saya berangkat ke Surabaya bulan lalu, bokap saya udah mewanti-wanti supaya saya mawas diri coz biaya hidup di Surabaya itu tinggi. Saya kirain yang bokap saya maksud dengan “biaya tinggi” adalah karena di sana bemonya cukup jarang lantaran kebanyakan orang bawa mobil sendiri. Semula saya tenang-tenang aja coz saya nggak keberatan naik bemo, toh di Surabaya saya cuman tinggal sebulan ini. Tapi ternyata saya baru ngeh kalau yang dimaksud “biaya tinggi” adalah biaya yang mesti dikeluarin para warga Surabaya buat pakai AC.

Surabaya ternyata kota paling panas di Indonesia (meskipun saya nggak yakin, kan saya belum pernah ke Pontianak yang jelas-jelas dilalui garis khatulistiwa). Surabaya lebih panas ketimbang Jakarta, ketimbang Pulang Pisau, ketimbang Medan, ketimbang kota-kota manapun yang pernah saya satronin. Semua orang pakai AC di mana-mana, entah di mobil, di kantor, di rumah. Kadang-kadang saya kesiyan sama deretan rumah-rumah yang bagus-bagus di jalan protokol Surabaya yang tembok luarnya dikotor-kotorin oleh perabotan AC.

Saya yang warga Bandung, sampek senewen menghadapi udara panas Surabaya. Pindah dari Bandung ke Surabaya serasa pindah dari Rusia ke Gurun Sahara. Nggak masuk akal, mosok kadang-kadang sehari saya mandi sampek tiga kali. Bener-bener boros sabun. Pokoknya betul bahwa biaya hidup di Surabaya itu tinggi, coz boros listrik buat nyalain AC atau kipas angin, boros sabun mandi, dan boros deterjen coz pakai baju baru sebentar aja langsung keringetan.

Selama sebulan saya tinggal di sana, hujan cuman turun empat kali. Ironisnya, saban kali saya buka Twitter dan mbaca tweet-an orang-orang Jakarta, isinya keluhan tentang Jakarta kehujanan melulu sampek nggak bisa dipakai jalan-jalan ke mana-mana. Saya sebel ngeliatnya, mbok orang-orang Jawa sebelah barat ini pindah aja ke Surabaya supaya mereka nggak ngeluh kehujanan terus-menerus. Saya bingung kenapa hujan cuman turun di Jawa sebelah barat, sedangkan di sebelah timur keadaannya kering-kerontang. Saking keringnya, saya njemur baju mulai jam setengah enam pagi aja, jam 10 siang sudah kering.

Sekarang saya ngerti kenapa my hunk selalu bersukaria tiap kali hujan. Coz itu berarti Surabaya jadi dingin dan dia bisa enak-enakan melungker di tempat tidur. Lha buat saya, Surabaya mau hujan apa enggak, nggak ada bedanya. Biarpun hujan, saya tetep pasang kipas angin banter-banter, coz hujan nggak bisa menurunkan suhu udara yang rata-rata 35 C. By the way on the way busway, fisiologi badan saya masih berdasarkan suhu rumah saya di Bandung yang cuman 19 C.

Ketika saya pulang ke Bandung kemaren, saya baru ngeh bahwa alangkah beruntungnya saya bisa menyesuaikan diri dengan kota beriklim panas dan kota beriklim dingin sekaligus. Di Bandung, hujan turun hampir setiap hari tanpa tedeng aling-aling, bikin asisten pribadi nyokap saya kelimpungan coz ngejemur baju jadi lama keringnya, dan saya jadi ngamuk coz tiap kali hujan, koneksi Speedy saya entah bagaimana langsung lemot. Apakah kabel teleponnya terendam hujan? Kok nggak keren banget.

Jadi, dua hari lalu, timeline Twitter saya banjir dengan keluhan orang-orang Jakarta yang ngamuk lantaran kebanjiran. Jakarta macet total, ketinggian banjir bervariasi antara 0,5-1,5 meter. Seorang cewek yang lagi berteduh terperosok ke lobang gorong-gorong yang cukup dalam dan lobang itu nggak keliatan lantaran banjir. Saya pikir, orang-orang Jakarta ini kok kesiyan amat.

Ramalan amatir saya, sampek 50 tahun lagi, Jakarta nggak akan bebas dari banjir. Coz mereka sudah merombak hutan-hutan bakau menjadi hutan apartemen. Jika kau ingin tinggal dan bekerja di Jakarta, yang pertama harus kaupikirkan adalah apakah rumahmu bebas banjir. Apakah jalanmu menuju kantor juga bebas banjir. Nggak usah mikirin beli mobil dulu. Mobil semewah apapun nggak bisa membebaskanmu dari banjir, kecuali kalau kamu naik tank. Kalau kamu nggak bisa berhadapan dengan risiko kemacetan dan kebanjiran itu, nggak usah ngomel jika kamu adalah penduduk Jakarta. Coz ngomel nggak ada gunanya.

Dan Surabaya memang sudah ditakdirkan dari sononya buat panas. Jadi memang harus siap sedia boros listrik, boros deterjen, dan boros sabun mandi. Saya sih sudah siap bawa payung ke mana-mana, coz saya nggak mau rencana saya jalan-jalan terhalang cuman gara-gara saya takut kepanasan.

Jangan ngamuk sama alam. Kitalah yang mesti menyesuaikan diri. Dan berhentilah ngamuk sama gubernur. Dia mungkin arsitek yang pinter menata kota, tapi butuh lebih dari satu orang arsitek untuk mengusir orang-orang yang suka buang sampah sembarangan di bantaran kali Ciliwung.

Gambar cowok kebanjiran di atas diambil dari sini. Kalau foto saya di atas dijepret oleh mas yang ini.

Tuesday, October 26, 2010

Empat Kilo Kotoran

"Ndak usah nyuci. Bawa aja ke laundry."

Begitu komentar orang-orang waktu saya nanyain apakah kira-kira saya bisa nemu tempat kost yang tempat jemurannya cukup ideal. Soalnya menurut saya fasilitas tempat kost itu harus meliputi tempat jemuran juga, yang mana tempat jemuran yang ideal haruslah panas dan aman; panas = berlimpah sinar matahari, aman = bebas dari gangguan orang fetis yang doyan malingin celana dalam orang lain.

Saya terpaksa ngekost di Surabaya bulan ini, coz urusan saya mengharuskan saya bolak-balik ke rumah sakit sedangkan di depan rumah sakit itu nggak ada hotel. (Halah, gayamu. Mana ada hotel mau diinepin sebulan dengan anggaranmu yang mini?)
My hunk cariin saya tempat kost yang aman, di mana tamu laki-laki yang bukan keluarga nggak boleh masuk rumah, dan letaknya strategis pula, coz di kiri-kanan banyak orang jualan makanan. Bagian yang saya suka selain ada kompornya adalah tempat jemurannya yang berada di lantai atas, di mana saya bisa nyuci baju dan ngejemur baju tanpa takut tuh baju keujanan biarpun lupa saya ambil selama berhari-hari. (Lebay ah, mosok ada orang njemur baju tapi lupa ngambil lagi?)

Pada hari-hari pertama saya terheran-heran, kok yang nyuci cuman 1-2 orang? Terlihat dari tempat jemuran yang sebenarnya menurut perhitungan saya nggak akan cukup andaikan seisi rumah itu mau mencuci baju bersamaan. Saya sih oke-oke aja coz berarti saya nggak akan pernah keabisan tempat buat ngejemur baju. Tapi lama-lama saya penasaran juga, gadis-gadis ini pada nyuci baju di mana sih?

Suatu hari saya jalan-jalan ke warnet terdekat buat nyetak arsip. Saya nemu sebuah bangunan tiga lantai seukuran sekitar 4 x 8 m2 per lantainya. Pemiliknya bikin usaha multifungsi; di lantai satu dia pasang sederet kompie buat disewain main internet, dua boks telepon umum, dan mesin fax, serta dua buah mesin cuci merk Elect**lux yang sepertinya tidak berhenti bekerja selama 16 jam. Di lantai dua itu dia sewain kamar buat kost-kost-an, dan saya nggak mau repot-repot tanya di mana dia ngejemur pakaian semua kliennya.

Pelanggannya biasanya anak kost yang dateng dengan seabrek baju kotor dalam tas kresek. "Sekali londri minimal empat kilo (gram), Mbak. Sekilonya (Rp) 3000," kata pemilik usaha itu nerangin ke saya.
"Langsung bisa diambil (pemiliknya) saat itu juga?" tanya saya.
"Oh, ndak. Ditunggu tiga hari. Tapi waktu diambil, pakaiannya sudah bersih, sudah harum, dan sudah disetrika."

Di atas mesin cuci itu berjubellah berkantong-kantong baju dan tiap kantong ada bon plus nama pelanggan, tanggal pesanan, dan tanggal diambilnya. Cucian yang nggak diambil seminggu bukan tanggung jawab pengusahanya.

"Bu, pernah nggak ada kejadian sampek nunggu tiga hari, ternyata pas diambil, cuciannya belum jadi juga?" tanya saya.
Si ibu tersenyum. "Ya, itu makanya saya cuma berani njanjiin tiga hari. Kalo lagi nggak musim ujan ya cucian bisa langsung diambil sehari itu juga."

Lama-lama saya ngerti kenapa gadis-gadis di tempat kost saya pada nggak nyuci sendiri. Jadi ke tempat inilah mereka bawa baju-baju mereka. Tapi saya nggak bisa bayangin mereka mesti nunggu sampek baju kotornya jadi empat kilo baru dibawa ke binatu. Baju empat kilo itu baju berapa hari? Andaikata seharinya sekilo, apa berarti mesti nunggu empat hari, baru bajunya dicuci? Waduh, kayak apa kuman-kumannya?

Inget tahun lalu saya pernah nulis jangan pernah numpuk celana dalem kotor berhari-hari coz itu bisa jadi lahan kuman infeksi saluran kencing?

Lalu pada weekend pertama saya di tempat kost ini, suatu sore saya mau makan di ruang tengah. Ternyata ruang tengah telah berganti menjadi arena jemuran mini, coz tetangga-tetangga saya ngejemur celana-celana dalam mereka di pangkringan pendek di depan jendela kamar mereka. Ya oloh, ternyata meskipun mereka nyuci baju-baju mereka di binatu, mereka lebih suka nyuci underwear mereka sendiri. Meskipun mereka baru bisa nyuci seluruh underwear pas weekend. Berarti hari Sabtu-Minggu adalah Hari Mencuci Celana Dalam..!

Saya maklum sih. Mereka kan mahasiswa, pergi kuliah sebelum matahari terbit, pulang sesudah matahari terbenam. Mana ada waktu buat nyuci baju?

Untung sekarang saya udah bukan mahasiswa lagi. Jadi saya punya manajemen waktu yang baik buat atur jadwal sehari-hari. My hunk sampek terheran-heran kenapa saya tinggal sendirian tapi nyuci hampir tiap hari. Saya bilang, saya nggak tahan lihat tumpukan baju kotor di kamar saya. Lagian saya ke Surabaya kan niatnya urusan pekerjaan, akibatnya isi koper saya cuman textbook doang, bajunya dikit. Kalau saya nggak nyuci hari ini, besok-besok saya jadi nggak punya baju.. :-D

Monday, October 25, 2010

Menuju Puncak!

Sudah lama saya punya cita-cita kepingin foto-fotoan di tempat tinggi berlatar laut biru lepas, tapi cita-cita itu cuman dipendam dalam alam khayalan. Pasalnya saya tinggal di Bandung, dan di sana nggak ada itu tempat tinggi yang bisa disatronin buat foto-fotoan, kecuali kalau saya penghuni apartemen atau tukang jagain speaker di masjid agung Alun-alun. Mau ke Menara Petronas juga nggak mungkin, coz kayaknya kejauhan. Menara Eiffel juga nggak banget deh, coz kata nyokap saya yang pernah ke sana, naik ke atasnya jauh banget dan capek. Lho, padahal tinggal manjat tangga kan?

Jadi pas saya nyeberang ke Madura minggu lalu, nggak ada yang lebih asyik buat saya selain naik ke Mercu Suar Sembilangan. Mercu suar ini salah satu mercu suar paling bangkotan di Madura, umurnya sekitar dua abad. Masuknya gratis, yang jagain cuman bapak-bapak setempat yang tinggal di sebuah rumah dinas di sebelahnya.

Posisi mercu suar ini di sisi baratnya Kabupaten Bangkalan, jadi pas deh buat lihat matahari terbenam di sebelah barat Madura. Kalau mau ke sini gampang aja; dari Jembatan Suramadu, masuk ke kota Bangkalan, begitu sampek di alun-alun, carilah arah barat laut menuju Desa Sembilangan. Kalau nyetir dari Jembatan Suramadu, lamanya kira-kira setengah jam. Jangan kuatir tempat ini nggak populer, coz menurut teman kost saya tempat ini sering banget dijadiin tempat rekreasi keluarga. Heran juga kenapa pas saya tiba di venue, sampek sana nggak ditarik retribusi. Mungkin dipikirnya tempatnya kurang komersil, minimal nggak bersahabat buat emak-emak yang bawa bayi atau sakit encok.

Pada dasarnya menaranya cuman sebuah bangunan berbentuk silinder dengan tangga dari logam yang nempel di tembok. Di tengah menara ada lift-lift-an jaman dulu yang kayaknya dipakai buat ngangkut barang ke atas, dan saya sempat berpose di sebelah kanan sini. Saya heran kenapa jaman maju gini mereka belum bikin lift buat manusia juga, apakah tempat ini sering mati lampu? Tangganya bisa bikin siapapun nggak waras; sudah bentuknya spiral melungker-lungker, curam pula. Total lantainya ada 16 buah, dan tiap lantai ada jendela kaca yang nggak bisa dibuka. Alhasil niat mau foto-fotoan gaya cantik terpaksa bubar gara-gara make-up buyar lantaran keringetan.

Untungnya my hunk udah ngewanti-wanti saya sebelum nganterin saya kemari. Tahu saya demen pakai sepatu balet, dia larang saya pakai sepatu itu ke Mercu Suar coz takut tangganya bikin sepatu saya jebol.

Nasehat saya buat cewek-cewek yang gila petualangan tapi tetep kepingin cakep di depan kamera: Kalau ke sini jangan sekali-kali pakai rok. Tangganya bikin rok mana pun keserimpet. Datenglah sore-sore coz kalau siang itu paling panas, dijamin hawanya bikin senewen. Tapi jangan malem-malem juga, coz sini nggak ada lampunya, gelap lho.

Akhirnya setelah dua-tiga kali mengeluh (atau melenguh?), saya sampek juga di lantai puncak. Bujubunee..pemandangannya bagus banget dari segala putaran sisi. Mulai dari tambak Madura yang gersang sampek Laut Jawa yang biru. Untungnya pas saya ke sana, hari baru hujan, jadi langit masih mendung dan angin bertiup sejuk.

Eh ya, turun dari menara, saya sempet lihat sapi Madura lagi merumput. Spontan saya langsung minta Nita Sellya yang jalan sama saya buat motretin saya. Lha jarang-jarang kan saya bisa foto-fotoan bareng sapi?

Eh ya, ada tebak-tebakan nih. Kenapa sapi Madura warnanya cokelat, nggak putih kayak sapi di Jawa? Jawabannya liat di sini ya.. :-D

Tuesday, October 19, 2010

Menerjang Banjir demi Bakso Bakar


Biasanya bakso dibikin dengan cara daging diumet-umet, lalu dicampur tepung, terus direbus, dan disajikan dengan sawi dan disiram kuah. Tapi kali ini saya disuguhin bakso bakar, penganan khas Malang. Bakso direbus dulu seperti biasa, lalu dibakar. Sajikan dengan bumbu dan kecap.

Bumbunya apa, saya juga nggak ngerti. Yang jelas, waktu saya dateng ke tempat dugem ini pas saya main ke Malang, tempatnya penuh sampek-sampek saya hampir nggak kebagian tempat. Saya lihat yang check-in di Foursquare juga udah banyak banget.

Saya ngotot kepingin ma'em bakso ini coz saya denger di tivi-tivi bahwa bakso bakar adalah icon khas Malang. Makanya saya sampek bela-belain nembus badai berhujan dan banjir kemaren demi nyari bakso bakar. Mumpung saya lagi di Malang. Untung kakak saya mau nganterin, hahaha..

Saking larisnya bakso bakar, kedai yang jual bakso bakar berserakan di Malang. Saya dikasih tahu bahwa yang enak itu katanya di kawasan Jl Diponegoro, Jl Dr Cipto, atau di kawasan Dinoyo.

Eh ya, apakah Anda tahu bumbunya bakso bakar? Saya pengen bikin sendiri di rumah. Hmm..yummy..

Sunday, October 17, 2010

Jangan Ditiru Yaa..


Delay pesawat memang menyebalkan. Kita sudah kadung masuk ruang boarding, tapi pesawatnya nggak berangkat-berangkat juga. Nggak tahu ya kalau nungguin pesawat delay itu bikin capek?

Tapi, perlukah kita ikut-ikutan jadi penumpang menyebalkan? Yang karena atas nama capek, malah bikin penumpang lain jadi nggak bisa duduk?

Saturday, October 16, 2010

Akhirnya, Ikut Pesta Blogger Juga..

Seorang temen saya yang bukan blogger pernah nanya, blogger itu kalau lagi kopi darat ngapain aja sih? Saya jawab, kopi darat blogger itu kerjaannya cuman ma’em dan foto, ma’em dan foto, itu doang. Tapi saya nggak pernah mikir bahwa kopi darat kadang-kadang berakhir dengan acara main HP sendiri-sendiri.

Tahun ini saya beruntung gara-gara saya nggak sengaja ikutan Pesta Blogger 2010. Seperti yang kia semua tahu bahwa Pesta Blogger nggak dipusatin di Jakarta doang, tapi juga ada road show-nya ke kota-kota lain di Indonesia (dan sayangnya, Bandung nggak masuk!). Bulan ini kebetulan saya lagi banyak urusan di Surabaya, dan jadilah saya menceburkan diri di road show Pesta Blogger di sini. Saya pikir ini seharusnya jadi acara yang antusiastik, coz saya bisa kopi darat sama blogger-blogger lain yang selama ini cuman ketemu saya di forum komentar di dunia maya.

Pas saya masuk, senyum saya melebar coz di pintu venue saya nemu Hedi Novianto. Yihaa..akhirnya ketemu juga sama mas jurnalis bola ini. Di dalem seneng juga akhirnya ketemu sama Mas Fayyas yang ternyata sama sekali nggak mirip gajah dan nggak pula bau pesing (jadi kenapa dos-q nyebut dirinya Gajahpesing sih??).

Sebenarnya saya rada-rada minder masuk ke sarangnya komunitas blogger Tugu Pahlawan ini coz saya tahu saya blogger dari “negara” lain, tapi yang paling gangguin saya daalah fakta bahwa mungkin saya di situ yang sudah rada berumur. Lha wong tempat itu isinya anak-anak mahasiswa semua yang masih pada ABG veteran, dan saya kan udah bukan ABG lagi, hehehe.. Sampek-sampek pas saya sempat duduk sama Fenty di depan, saya bisik-bisik sama dos-q, kenapa tempat ini isinya mahasiswa semua, dan ternyata kata Fenty malah acara ini lebih banyak didatengin mahasiswa ketimbang blogger sungguhan. Mungkin harusnya acara ini jangan dinamain Pesta Blogger, tapi dinamain Pesta Netizen aja, hihihi..

Apakah saya dateng ke tempat kopi darat blogger yang salah? Coz sepanjang acara Pesta Blogger di Surabaya itu, tamu-tamu cuman disuguhin ma’em prasmanan dan duduk nontonin talk show. Saya mesti berjuang keras untuk tetap senyum sepanjang acara, biarpun saya rasa saya makin lama makin nggak nyambung dengan acara yang diadakan. Saya lirik tamu-tamu di kiri-kanan saya, my hunk di sebelah kiri saya sudah sibuk dengan HP-nya, nge-twit sana nge-plurk sini. Dan teman-teman di sebelah kanan saya sudah sibuk juga dengna HP-nya masing-masing. Mendadak saya merasa kesepian. Blogger kalo ketemu tuh mbok ya ngobrol, ngerumpi, ngegosip, bukan sibuk update status atau check-in. Atau apakah teman-teman saya lagi pada live tweet?

Mungkin, kalau saya jadi panitia kopi darat blogger skala besar-besaran, dari awal saya udah wajibkan semua tamu buat ninggalin URL blognya masing-masing di meja resepsionis, bukan sekedar ninggalin alamat e-mail. Mungkin saya akan bikin stand-stand makanan model gerobak di sekeliling ruangan, supaya tamu-tamu bisa ngerumpi di pinggir tiap stand bareng kelompok mereka masing-masing sekaligus ngecengin blogger lain di stand seberang. Mungkin saya bakalan undang band buat nyanyi-nyanyi sepanjang acara, tapi fungsinya cuman buat kesenian latar doang. Tapi yang jelas, saya nggak akan membuat tamu-tamu yang para blogger ini duduk doang nontonin orang ngomong di depan.

Bagaimanapun, acara kopi darat nggak akan seru kalau nggak foto-foto. Jadi, mumpung saya lagi jalan-jalan ke daerah lain, saya nggak lupa maksa orang buat motretin saya dengan para jemaah Georgetterox, hehehe. Terima kasih buat Mas Eric Tranggono yang udah motretin saya sama Mas Fahmi. Lha tumben-tumbenan kan, biasanya saya kalau mau foto berdua sama Mas Fahmi malah ngejepret kamera sendiri bak anak alay, hehehehe..