Wednesday, December 29, 2010

Bagasi Saya Hilang dan Ditemukan Lagi

Hari ini, saya naik Merpati Nusantara Airlines dari Bandung, dengan tujuan Surabaya. Penerbangan dimulai pada pukul 6.00 dari Bandara Husein Sastranegara di Bandung, dengan nomor penerbangan MZ 616, dan saya mendarat di Bandara Juanda Surabaya jam 7.00. Saya check in di counter bawa koper cokelat berukuran besar, seberat 16 kg, ukurannya sekitar 60 cm x 40 cm x 30 cm, dan koper saya dipasangi label bagasi.

Ketika saya mendarat di Juanda, saya menunggu di baggage claim di depan rel yang mengantarkan koper itu. Koper saya tidak ada.

Saat saya menulis blog ini, saya sedang mengklaim kehilangan koper saya di kantor Merpati di Juanda. Saya tidak bisa bergerak dari sini, coz saya tidak bisa melakukan pekerjaan saya di Surabaya selama koper saya belum ditemukan. Karena semua keperluan saya untuk bekerja ada di dalam situ. Koper saya berisi pakaian, bahan-bahan untuk mandi, kipas angin, dan buku-buku.

Mohon doa dari jemaah semua, supaya koper saya ditemukan.

Saya mempercayakan diri saya untuk terbang bersama koper saya di Merpati, karena saya menyangka mereka bisa menjaga koper yang saya titipkan dengan baik. Jadi sebaiknya mereka menemukan koper saya. Karena saya tahu, hanya mereka yang bisa membantu saya menemukan kembali koper yang sudah saya titipkan kepada mereka.

Sunday, December 26, 2010

Absen Doloo..

Sepanjang dua hari kemaren, saya ngiderin alamat e-mail orang-orang buat bilang selamat Natal. Ini kebiasaan saya semenjak kecil, bahkan sewaktu dulu belum ada e-mail dan saya masih ngirimin orang-orang kartu Natal dari Hallmark.

Nah, kemaren pas dateng ke fesbuk seorang temen buat bilang selamet Natal, tahu-tahu saya terhenyak. Ternyata wall-nya sudah penuh dengan berita-berita kematian teman saya. Saya kaget, owalah..pantesan akhir-akhir ini dia jarang nge-buzz saya di chatroom lagi. Temen saya itu, John Sinaga, staf kedutaan besar Amrik di Jakarta, sudah meninggal sebulan lalu, nampaknya karena sakit jantung.

Tahu nggak kenapa saya rajin ngiderin orang-orang buat bilang selamat Natal? Saya hanya mau ngabsen mereka, pastikan mereka masih hidup. Waktu dan jarak kadang-kadang sukses bikin kita putus hubungan sama teman, dan ketika kita akhirnya menemukan teman itu kembali, ternyata si teman itu sudah meninggal..

Jadi buat teman-teman yang Natalan tahun ini, saya mau bilang selamat Natal ya. Mudah-mudahan teman-teman sehat semua.

Oh ya, foto ini saya jepret dua hari lalu di @PvJBandung. Ceritanya di tengah mal ada patung Sinterklas. Lalu saya liat dua orang cewek pakai jilbab ini, mereka foto-fotoan di depan patung Sinterklas dengan riangnya. Buru-buru saya cabut HP saya dari tas, lalu saya jepret, klik! Ria Sugiarto benar kemaren dalam posting saya tiga hari yang lalu, Natal itu bukan cuman milik orang Nasrani. Orang-orang lainnya, bahkan yang pakai kerudung pun, ternyata juga menyukai Natal!

*Eh Vic, katanya lu kan kemaren turun ke mal untuk cari sepatu kets buat main badminton, kok malah jadi motretin orang gaya-gayaan di depan Sinterklas sih?*
http://laurentina.wordpress.com
www.georgetterox.blogspot.com

Friday, December 24, 2010

Ada Dufan di Malang

Tidak perlu jauh-jauh ke Jakarta kalau cuman kepingin liat taman ria. Itu komentar saya waktu dateng kemari. Batu Night Spectacular yang letaknya cuman 15 menit nyetir dari perbatasan kota Malang ke arah barat laut ini ternyata bisa jadi tempat pelesir yang ciamik buat masyarakat Jawa Timur. Nggak cuman tamannya yang penuh wahana-wahana asyik buat disatronin, tapi juga jadi tempat asyik buat sarana narsis alias foto-foto.

Batu Night Spectacular, atau yang penduduk lokalnya lebih demen menyingkatnya jadi BNS, umumnya masang wahana-wahana standar dari taman ria. Mulai dari roller coaster, rumah hantu, dan aneka kendaraan yang umumnya menantang adrenalin pengunjung. Saya tertarik dateng ke sini, coz saya kepingin liat potensi daerah Malang buat mendongkrak perekonomiannya. Dan ternyata BNS memang cukup keren buat jadi daya tarik Malang, khususnya buat Batu, kota kecil deket Malang yang jadi tempat berdirinya taman ria ini.

Namanya aja udah mengandung kata Night, maka BNS ini pantesnya ya didatengin malem-malem. Loketnya aja baru buka jam tiga sore. Lhoo..apa menariknya? Yaa..memang daya tariknya BNS ini dari lampu-lampu di tamannya yang kerlap-kerlip sentrong sana-sini. Salah satu site unggulannya adalah Taman Lampion, yaitu taman seluas sehektar yang penuh dengan macem-macem konstruksi dari lampion warna-warni. Ada konstruksi bentuk kurcacinya Putri Salju, ada konstruksi bentuk menara Eiffel, sampek konstruksi bentuk hati raksasa. Pendeknya, surga deh buat yang seneng foto-foto dengan pose alay bin centil.

Ada juga rumah hantu, yang cukup menarik buat orang yang seneng nembak-nembak boneka pakai lampu laser. Saya nggak cerita banyak-banyak ya perkara rumah hantu ini, kan udah saya beberin foto-fotonya di sini.

Bioskop tiga dimensi juga ada lho di sini. Filmnya ya seperti bioskop 3D umumnya, dibikin pake sudut pandang pelakunya, dengan kamera meliuk-liuk nggak keruan. Kursinya penonton ya goyang-goyang mengikuti filmnya, jadi nggak disarankan nonton buat emak-emak hamil yang bolak-balik kontraksi, atau buat anak kecil yang norak nggak mau pakai sabuk pengaman. Nanti jatuh, Sayaaang!

Sebenarnya saya kepingin nyoba wahana-wahana yang naik-turun banting-banting nggak keruan itu, tapi gara-gara saya ke sini dua bulan lalu bareng kakak saya yang rada fobia tempat tinggi, jadi dia nggak mau nemenin saya naik-naik itu. Pelajaran kecil, kalau mau ke taman ria, cobalah pergi dengan sesama penggemar roller coaster. Ada yang mau pergi sama saya? *wink wink*

Favorit saya dari BNS ini sih tempat ice-skating. Selain adem, juga mainnya asik. Sebenarnya lapangan esnya bukan pakai es seluruhnya lho, tapi pakai lilin, jadi nggak terlalu licin. Terakhir kali saya main ice skating adalah 14 tahun lalu waktu saya sekolah di Oz, jadi sekarang saya udah lupa caranya. Ternyata mbak-mbak yang jagain ice-skating di BNS ini sabar banget ngajarin saya, nggak sampek lima menit pun saya udah asik meluncur di sekeliling lapangan. Yang takut jatuh nggak usah ngeri kepeleset, coz kita dipasangin pelindung di lutut dan sikut. Eh ya, kalau ke sini jangan lupa bawa kaos kaki sendiri ya, soalnya kadang-kadang sepatu luncurnya bikin lecet.

Dan..mumpung saya lagi pakai kostum sipil dan nggak ada yang ngenalin saya, saya pun beraniin diri main rodeo. Caranya gini, kita naik ke patung banteng, terus patungnya goyang-goyang ngikutin irama musik tango. Kita disebut sukses kalau selama patung bantengnya goyang itu, kita nggak jatuh. Whoaa..saya nggak tahan lama-lama di atas banteng ngamuk itu, nggak butuh semenit buat saya terpelanting ke atas kasurnya yang empuk! Tapi entah kenapa, petugasnya membiarkan saya bayar satu kali tapi naik bantengnya tiga kali. Barangkali liat saya nggak becus naik banteng tapi semangat belajarnya tinggi, atau memang jarang-jarang ada pengunjung yang cantik sekaligus urat malunya udah putus kayak saya.. :p

Jadi kesimpulannya gimana ya? Lantaran saya tinggal di Bandung dan udah kenyang bolak-balik ke Dufan, maka mau nggak mau saya pun bandingin BNS dengan Dufan. Dufan kan sekarang tiketnya udah Rp 100k lebih, tapi itu sudah termasuk tiket terusan. Adapun di BNS nggak menganut sistem tiket terusan. Kalau ke BNS cukup bermodal minimal Rp 7k aja di hari Senen sampek Kamis, sudah bisa keliling-keliling seluruh taman, tapi tentu saja nggak naik apa-apa. Kalau mau naik wahana ya kudu bayar lagi, tarifnya antara Rp 7-20k per wahana, tergantung kadar kekerenan wahana yang bersangkutan.

Wahana ini sama sekali nggak cocok buat mereka yang jaim atau kepingin pacaran, tapi lebih cocok buat mereka yang seneng main gila-gilaan bareng temen-temen se-gank atau bareng keluarga. Syukur-syukur bawa anak kecil, coz menurut saya sebagian besar wahana lebih bernuansa kekanak-kanakan ketimbang mewah. Yang jelas, jangan pakai rok, apalagi sepatu hak tinggi keliling taman ria. Bisa mati pegel, tau..

Bagusan mana sama Dufan? Ah, pertanyaan sadis itu, hahaha.. Tapi cukuplah ini buat kalangan masyarakat Jawa Timur yang kepingin seneng-seneng tanpa harus perjalanan terlalu jauh. Yang jelas sih, saya kepingin ke sini lagi, apalagi karena developer-nya BNS udah janji bahwa setiap tahun akan ada empat wahana baru. Dan di seberang BNS ada Jatim Park yang belum sempat saya satronin juga. Ada yang kepingin ke Malang dan senang-senang di BNS? Ayuk, ayuk, ajak saya dong.. :)

Tuesday, December 21, 2010

Simbol Natal dan Protes Lebay

Sewaktu umur saya 15 tahun, guru fisika saya curhat di depan kelas saya. Dia bilang, kalau Lebaran, sekolah dikasih libur seminggu. Tapi kalau Natal, guru yang Nasrani cuman dikasih libur pas 25 Desember doang. Jadi guru saya, yang memang agamanya Protestan, merasa iri..

Guru saya ngomong gitu sambil ketawa, sehingga murid-murid sekelas ikutan ketawa juga. Tapi saya, saat itulah untuk pertama kalinya belajar, bahwa negara ini memang nggak bersikap adil terhadap golongan minoritas.

Oh ya, waktu itu saya sekolah di SMA negeri yang mayoritas murid dan gurunya muslim.

Saya sering mikir, kenapa Pemerintah kasih cuti Lebaran sampek seminggu, sedangkan cuti Natal aja nggak sampek tiga hari. Memangnya orang-orang yang Natalan nggak kepingin kumpul lama-lama sama keluarganya ya? Lalu kalau kayak gitu caranya, sekalian aja pas Nyepi dikasih cuti seminggu untuk orang-orang Hindu, dan ada cuti Waisak seminggu untuk orang-orang Budha. Adil toh? Jangan bilang itu nggak mungkin.

Saya bisa bayangin, penduduk Indonesia yang mayoritas muslim ini pasti ngamuk kalau cuti Lebaran cuman dikasih dua hari. Tapi dalam sejarah Indonesia, nggak ada ceritanya orang Kristen ngamuk kalau dikasih cuti Natal dua hari. Tanpa bermaksud kasar, memangnya didengerin ya?

Jadi, saya ketawa denger sebuah lembaga religius kemaren bilang bahwa simbol Natal dipasang berlebihan di tempat-tempat umum. Sayang berita itu nggak melansir definisi kata "berlebihan". Apanya yang lebay sih? Kalau nggak suka liat pohon Natal dipasang menjulang tinggi setinggi 30 meter di mal, ya nggak usah ke mal aja selama bulan Desember. Kalau pegawai toko yang pakai jilbab nggak mau disuruh pakai topi Sinterklas, ya nggak usah masuk kerja. Memangnya dengan mengagumi semarak Natal bisa merusak akidah ya? Kok kesannya mental religiusnya jadi nggak tahan godaan?

Saya suka ngeliat semarak warna merah, ijo, dan emas di mana-mana. Lagu Natal favorit saya adalah All I Want for Christmas is You-nya Mariah Carey. Dan saya juga seneng ciuman di bawah mistletoe. Tapi Natal tidak lantas mengubah saya menjadi seorang Kristen atau pun Katolik. Karena pandangan religius saya nggak bisa digeser cuman gara-gara simbol sebuah hari raya.

Jadi, sodara-sodara mayoritas yang nggak seneng liat simbol Natal, segel saja mulutmu dan berhentilah jadi orang lebay. Negara ini bukan cuman milik umat agama kalian sendiri, tahu. Biarkan orang lain merayakan hari rayanya dengan bersorak-sorai, toh mereka juga nggak pernah laporin anak-anak kalian yang main mercon saban kali habis taraweh. Kenapa kita nggak coba berkontribusi kreatif dengan bikin pohon Natal dari seribu ketupat? Selain buat dekorasi, toh bahannya bisa dimakan bersama-sama..

Terima Kasih buat Para Penolak

Apa yang kamu pikir adalah musibah, sesungguhnya itu adalah jalan Tuhan buat menggiring kamu ke keadaan yang lebih baik.

Semalam, saya nonton Asri Welas di talk show-nya Deddy Corbuzier. (Eh ya, ada yang bisa kasih tahu saya kenapa ilusionis bisa jadi pembawa acara bincang-bincang? Apakah ini pertanda ekspansi bakat entertainment si Deddy, atau memang dia sudah mulai nggak laku jadi tukang sulap?)

Jadi gini, semalam Asri cerita bahwa suatu ketika dos-q tuh udah pernah dikontrak buat jadi presenter suatu acara sebanyak 30 episode. Nah, di tengah jalan acara tahu-tahu Asri itu dikabarin kalau kontraknya dibatalkan oleh si produser. Menurut produsernya, suaranya Asri itu terlalu cempreng, nggak enak didenger. Dan kata produsernya, Asri nggak akan pernah jadi artis terkenal.

Asri sempat down waktu dikata-katain gitu. Tapi beberapa waktu kemudian, Asri diajak main di sinetron Suami-suami Takut Istri, dan seperti yang kita semua tahu, sinetron produksinya Anjasmara itu booming dan bikin Asri melesat jadi selebritis. Nggak cuman Asri akhirnya berhasil lepas dari image-nya sebagai emak-emak jawa yang bikin takut suaminya yang galak, tapi juga Asri sekarang punya acara sendiri yang bertemakan jalan-jalan. Sampek sekarang, pamor Asri kini bersinar terus biarpun sebenarnya tampangnya "biasa-biasa aja" dan suaranya memang cempreng.

Lalu dalam acaranya Deddy semalam, Asri berterima kasih kepada produser yang udah pernah mecat dos-q dengan semena-mena itu. Coz kalau dia tetap bertahan di acaranya yang lama, barangkali Asri nggak akan ganti produser dan mencapai kariernya yang cemerlang seperti sekarang.

Saya jadi terharu dengernya, coz saya rasa di sini kita bisa ambil pelajaran bahwa ditolak seseorang atau suatu perusahaan (katakanlah, misalnya rumah produksi) ternyata belum tentu musibah. Kalau Tuhan memang menggariskan kita masuk ke karier yang lebih baik, maka Dia akan mengeluarkan kita dari karier sebelumnya, meskipun dengan cara yang mungkin tidak kita inginkan (misalnya ditolak atau dipecat). Ingat akhir-akhir ini Irfan Bachdim lagi naik daun di tim nasional sepakbola kita, padahal siapa yang sangka kalau dia dulu pernah ditolak oleh Persija dan Persib hingga akhirnya Irfan mesti puas main di Persema. Nampaknya manajernya Persija dan manajernya Persib nggak melihat jeli bakatnya Irfan, sehingga butuh mata seorang pelatihnya Persema buat kasih tahu bahwa sebenarnya Irfan adalah asset sepakbola yang berharga. Tapi coba bayangkan kalau Irfan diterima di Persib, mungkin karier Irfan nggak akan sebagus sekarang dan dia akan terperangkap dalam manajemen morat-marit klub bola yang suporternya selalu bikin rusuh kota saya itu.

Kepada para tertolak, berterima kasihlah kepada para penolak. Coz jika para penolak itu dulu menerima kalian, barangkali kalian nggak akan berada pada kedudukan yang sebagus sekarang.
http://laurentina.wordpress.com
www.georgetterox.blogspot.com

Friday, December 17, 2010

Jor-joran Peredaran Magnum

Korban iklan. Itu kesan saya saban kali denger orang bicara tentang Magnum. Dan ternyata saya juga korban iklan. Buktinya, saban kali saya masuk toko dan nemu lemari esnya Wall's, saya nggak bisa nahan diri buat nggak ngelirik ke dalamnya, nyari-nyari siapa tahu di dalamnya ada Magnum.

Kok bisa ya Magnum laris-manis, padahal kita semua tahu bahwa Magnum bukanlah barang baru? Saya sendiri udah ngincipin Magnum sekitar 10-15 tahun lalu, waktu saya masih nganggep Magnum sebagai barang mewah, coz saya cuman boleh malakin bokap saya Magnum kalau saya mau berkelakuan jadi anak baik (dan itu sangat jarang terjadi, hihihi.. :p). Temen saya, @ferrymalvinas, mencoba menganalisis ini di Twitter beberapa minggu lalu, dan dos-q mengijinkan saya mengutip hipotesa-hipotesa dummy-nya..

Pada dasarnya, ada dua macem konsumen untuk es krim. Yang pertama adalah konsumen yang cuman sudi beli barang murah, dan yang satu lagi adalah konsumen yang mau beli barang mahal. Lalu produsen es krim sendiri punya konsumen sasaran untuk itu, dan polanya gampang ditebak: Produk es krim yang cukup murah di pasaran adalah Campina, Diamond, dan hampir semua produk Wall's. Sedangkan es krim yang mahal antara lain Haagen Dazs dan Baskin Robbins.

Waktu itu, Wall's kepingin memperluas laba dengan bikin produk mahal juga. Maka dibikinlah Magnum. Cuman pada wangsa 10-15 tahun lalu itu, Magnum nggak terlalu ditonjolkan juga, setidaknya coz saat itu Wall's juga punya produk lain yang hampir sama mahalnya, yaitu Vienetta. Inget kan, jaman segitu jarang-jarang kita bisa nemu kue es krim?

Tahun ini, kita bisa membaca bahwa perekonomian memang lebih baik. Kendati penghasilan per kapita menurun, tapi nggak dipungkiri bahwa rasa seneng publik terhadap es krim nggak pernah berkurang. Malah, kini konsumen nggak cuman terdiri atas konsumen tajir dan konsumen yang cuman mau beli barang murah, tapi juga ada jenis konsumen lain, yaitu konsumen yang cukup berpenghasilan buat rela merogoh koceknya untuk beli es krim sekelas Haagen Dazs atau Baskin Robbins, tapi nggak mau sering-sering juga milih merk itu (karena mereka sadar, terus-terusan beli barang mahal ternyata nggak selalu bisa memuaskan batin). Nah, konsumen inilah yang dilirik Wall's dan dimanfaatin buat naikin profit. Ada dua produk Wall's yang kira-kira cocok buat konsumen ini: Vienneta dan Magnum. Masalah kecil: Vienneta mungkin punya kelemahan besar, coz kalau mau dimakan kudu dipotong pakai pisau, akibatnya nggak bisa dimakan sambil jalan-jalan. Alias, tidak praktis. Maka jadilah Magnum yang dipromosikan.

Gimana caranya supaya pemasarannya Magnum sukses? Pakai aja rumus sakti 4P: Product, Price, Promotion, Place.

Product: Magnum menggembar-gemborkan keunggulannya bahwa kandungan utama es krim ini adalah cokelat Belgia. Belum lagi Magnum konon punya macem-macem rasa, ada yang klasik, ada yang almond, dan rasa entah apa lagi.

Price: Dengan harga yang tetap di atas level "biasa-biasa aja", Magnum memberi kesan seolah-olah produknya itu "eksklusif". :p Dengan harga yang dibanderol ceban, praktis Magnum cuman punya satu saingan berat di level harga ini: Bazzoka-nya Campina.

Promotion: Ini gampang banget. Selain pasang iklan yang cukup berkelas juga, media jejaring sosial jadi sarana ampuh buat promosi gratis. Sebarkan via Facebook, dan kalau perlu bikin account Twitter khusus untuk "pemburu Magnum". Kenapa tidak?

Place: Magnum bisa menggaet konsumen-konsumen sok mahal yang disebut di atas, dan nggak perlu takut bersaing dengan Baskin Robbins dan Haagen Dazs. Kenapa? Coz Magnum dijual di counter-counter Wall's yang gampang banget ditemukan di mini market ecek-ecek deket rumah. Sedangkan Baskin dan Dazs? Kalau mau makan itu kan harus ke mal yang keren dulu..

Saya tergelak-gelak waktu baca ora-twit Ferry ini, dan langsung berniat nulisnya buat blog saya. Tapi saya nggak mau buru-buru waktu itu, coz saya baru mau nulisnya kalau saya udah ngincipin Magnum-nya sendiri. Dan ternyata nggak gampang mendapatkan Magnum.

Saya udah nyusurin super-supermarket yang ada di deket rumah saya di Bandung, tapi nggak pernah nemu Magnum. Pelayannya selalu jawab, Magnumnya abis. Dan ternyata nggak cuman saya yang selalu keabisan stok Magnum. Teman-teman di kota-kota lain di Indonesia ternyata juga mengeluh sering keabisan Magnum. Begitu seringnya Magnum diberitakan abis, sampek-sampek dibikin account Twitter sendiri bernama @MyMagnumID. Isi twit-nya? Membagi-bagi informasi di mana ditemukan toko yang jual Magnum. Hahaha..kurang kerjaan banget yah..

Sampek minggu ini, ketika saya udah mulai ngurusin sekolah baru saya di Surabaya. Nggak sengaja waktu saya mau beli pembalut di minimarket deket rumah paman saya, ternyata di sana saya malah nemu Magnum bertumpuk-tumpuk..

Dan setelah saya incipin sendiri es krim yang satu itu, entah karena mungkin saya nggak bisa bedain cokelat Belgia dengan cokelat Belanda, cokelat Swiss, cokelat Oz, atau cokelat entah mana lagi. Atau mungkin karena saya udah bisa bikin es krim sendiri. Atau karena saya udah bosen liat promosi yang jor-joran dan mulai curiga dengan stoknya yang cuman seuprit. Tapi menurut saya sih, rasanya Magnum itu..biasa ajah.

Mungkinkah, ini salah satu strategi Wall's supaya dagangannya melonjak laku? Sengaja bikin promosi yang terang-terangan di tivi sampek yang versi bawah tanah di internet, tetapi menahan stoknya sedikit-sedikit supaya kesannya Magnum itu cepet laris? Entahlah, saya cuman dokter, bukan ahli pemasaran. Mungkin Anda lebih ngerti ketimbang saya. Atau lebih enak lagi, mari kita tanyakan kepada Wall's yang bergoyang..
http://laurentina.wordpress.com
www.georgetterox.blogspot.com

Monday, December 13, 2010

Goyang Lidah dengan Tahu

Ini salah satu jajanan favorit turis kalau jalan-jalan ke Bandung. Yep, tahu! Saya juga nggak ngerti kenapa orang-orang mau antre ke Lembang sini demi beli tahu, tapi kenyataannya tempat ini nyaris selalu penuh di waktu weekend.

Ibu-ibu yang biasanya pakai tanktop dan celana capri biasa berjubel di depan kasir minta sekotak tahu yang dibanderol antara 5.000-an sampek 27.000-an, di mana mereka bisa dapet kotak berisi tahu sebanyak 10-50 biji. Servisnya cepet lho, dan pegawainya gesit semua ngambilin kotak-kotak tahu. Tapi kalo bapak-bapaknya biasanya nggak mau ngantre, mereka malah seneng nongkrong di warung pujasera buat jajan tahu yang langsung digoreng di tempat dan bisa dimakan panas-panas saat itu juga. Tahu diwadahin keranjang bambu, dan biasanya dikasih bonus cabe. Harganya tahu cukup Rp 800,-/buah.

Favorit saya akhir-akhir ini adalah tahu brintik, yang saat ini counter-nya bertebaran di mal-mal. Tahunya dipotong kecil-kecil seperti stik nugget, lalu digoreng, kemudian dicelupin bumbu dan digoreng lagi. Bumbunya macem-macem lho, bisa dipilih sesuai selera, ada rasa sapi, rasa tuna, rasa balado, dan entah apa lagi.

Saya sih senengnya tahu brintik keju disiram
mayonnaise, seperti yang saya pasang fotonya di sini. Haiyaa..makan beginian jadi mirip makan katsu yang suka dijual di kedai Jepang-Jepang-an yang suka ada di mal itu, malah jadi nggak inget kalau ini sebenarnya tahu, hehehe. Tapi pengemasan tahu ini masih terlalu sederhana, tahu cuman dijejer dalem kotak plastik, lalu disiram mayonnaise dan kotaknya tinggal dijepret di sekelilingnya. Jadi nggak cocok buat pembeli yang rada slebor dan bawa tahunya pulang, pasti mayonnaise dan saosnya mbleber ke mana-mana..

Wednesday, December 8, 2010

Karyaku Diakui Bukan Milikku

Ini curhat. Curhat yang sama sekali tidak menyenangkan.

Agustus tahun ini saya diajak kolega untuk membantu sebuah lembaga pendidikan di Bandung buat bikin textbook. Lembaga itu, yang terdiri atas beberapa dosen kaliber berat, kepingin nerbitin sebuah buku tentang hamil kembar. Cuman karena mereka dokter spesialis, tahu sendiri mereka sibuknya kayak apa, jadi mereka cari dokter-dokter umum untuk menulis buat mereka. Dan pilihan penulis rekrutan itu jatuh ke tangan saya.

Tugas saya gampang-gampang susah. Sebagai penulis, saya harus merangkum beberapa textbook bahasa linggis, ambil inti sari, lalu menulisnya kembali dalam bahasa Indonesia. Karena saya dokter umum yang pengetahuannya nggak spesialistik, maka tugas saya adalah memeriksakan tulisan saya tadi ke staf lembaga itu sebagai dokter spesialisnya, untuk mendapatkan koreksi. Sebagai penghargaan atas jerih payah saya, saya dibayar dengan tarif yang sudah disepakati.

Saya ngerjain buku itu mati-matian. Sampek-sampek kurang tidur segala. Termasuk blog saya terbengkalai (ingat semenjak bulan Agustus, Georgetterox jarang posting setiap hari?). Sebenarnya motivasi saya kerja bukan sekedar karena saya dibayar, tetapi karena yang saya kerjakan ini adalah textbook yang akan dipakai mahasiswa-mahasiswa kedokteran, sehingga reputasi saya sebagai penulis sangat dipertaruhkan. Saya mbayangkan kalau buku ini jelek tulisannya, pasti nama saya ikutan borok.

Buku itu ditargetkan selesai diedit bulan September, coz lembaga itu berniat me-launching buku itu bulan Oktober, dalam sebuah simposium nasional. Adalah susah ngerjain textbook setebal sekitar 100-an halaman hanya dalam enam minggu aja, tapi saya nggak pernah putus asa. Akhirnya buku itu selesai juga ditulis dan diedit, lalu saya dan teman-teman sesama penulis menyerahkan draft bukunya ke lembaga pendidikan yang menyewa kami, untuk diterbitkan. Buku itu, diberi judul Kehamilan Multifetus.

Saya sempat diberi tahu bahwa launching buku itu akan berlangsung dalam sebuah simposium di sebuah hotel di Bandung pada awal Oktober. Sayangnya saya nggak bisa dateng, coz selama Oktober saya tinggal di Surabaya untuk ujian masuk seleksi dokter spesialis.

Sebulan saya tinggal di Surabaya, saya nggak dengar kabar apapun tentang buku itu. Apakah buku itu dicari segmen pembaca yang diincar? Apakah hasil cetakannya sesuai dengan desain lay-out yang kami buat? Apakah pembaca senang dengan isinya? Saya ingin tahu, tapi tidak ada yang kasih tahu saya. Lembaga yang menyewa jasa saya tidak kasih komentar. Teman-teman saya yang sesama penulis buku itu juga nggak kasih kabar apa-apa.

Desember ini diawali minggu yang cerah. Ternyata saya lulus seleksi untuk masuk sekolah dokter kandungan di Surabaya. Dengan senang, saya memberi tahu staf lembaga yang menjadi supervisor kami ketika menulis buku itu. Sekalian saya mau ambil buku Kehamilan Multifetus yang telah digarap oleh saya dan teman-teman selama berminggu-minggu itu. Lha saya kan penulis buku itu, mosok saya nggak dapet eksemplar sih?

Saya pun menghubungi teman saya yang juga menulisi buku itu. Dia bilang dia belum mendapatkan bukunya juga coz buku itu ternyata baru di-launching weekend lalu. Rencana semula me-launching buku itu pada Oktober bergeser ke bulan Desember, coz simposiumnya sendiri juga ikut ditunda sampek awal Desember lalu.

Tadi siang, saya dateng ke lembaga itu buat ambil bukunya. Supervisor saya yang menyambut saya, langsung kasih saya eksemplarnya. Buku itu nampak menarik, praktis, ringan, padahal itu textbook lho. Dengan semangat saya membuka daftar nama penyusunnya. Dan mendadak saya merasa ada es meluncur dalam perut saya.

Nama saya, tidak ada di dalam daftar penyusun itu.

Daftar penyusun itu hanya terdiri atas nama-nama dosen yang tugasnya mengoreksi tulisan saya. Tapi nama saya, dan teman-teman sesama penulis, yang justru bekerja menyusun kalimat demi kalimat, alinea demi alinea, tidak disebut sama sekali dalam buku itu.

Saya pun bertanya ke supervisor saya, kenapa kok nama kami nggak ada. Supervisor itu nampak sangat kaget, coz menurut sepengetahuannya, sewaktu draft buku itu ditetapkan, nama saya dan teman-teman penulis masih ada.

Supervisor saya mencoba menyelidiki. Ternyata, setelah penetapan draft buku itu, ada lagi "penetapan" yang lain di mana supervisor saya nggak hadir. Dalam "penetapan" itu, seorang staf lembaga protes coz nama penulis non-lembaga itu dimasukkan ke daftar penyusun, padahal penulis tersebut (dalam hal ini saya dan teman-teman penulis) sudah dibayar dari awal untuk menulis naskahnya. Jika nama saya dan teman-teman penulis dimasukkan ke daftar penyusun, dikuatirkan kami akan kecipratan royalti, coz memang hukum mewajibkan royalti harus diberikan ke semua orang dalam daftar penyusun. Nama saya dan teman-teman dihapus, coz kami kan bukan staf lembaga, melainkan hanya penulis yang disewa untuk menulis "atas nama" lembaga itu. Adapun uang jasa nulis yang dulu diberikan ke saya dan teman-teman, dianggap sebagai uang untuk "membeli" hak cipta kami...

Saya nyaris ketawa dalam hati membayangkan ada orang berupaya menghalang-halangi saya dapet royalti. Padahal saya nggak ngurusin royaltinya, saya lebih peduli bahwa saya telah menulis naskah untuk separuh buku itu dan mereka serta-merta membuang nama saya begitu saja dari daftar penyusun. Tahu nggak, padahal kalau nama saya tetap ada di situ, saya bisa pakai buku itu sebagai portofolio karya ilmiah jika suatu hari nanti saya ingin dipromosikan jadi doktor atau profesor. Pengakuan nama saya lebih penting ketimbang segepok duit, kok tega-tega banget mereka ngaku buku itu karya mereka padahal saya yang nulisinnya?

Ya nggak salah sih, staf-staf lembaga itu juga memang ikutan ngedit. Tapi kan saya juga ikutan berkontribusi mengarang banyak sekali, kok enak banget nama saya dihapus pada saat-saat terakhir menjelang bukunya naik cetak?

Nggak cuman nama saya dan teman-teman penulis yang dihapus. Tapi juga nama beberapa orang lain seperti lay-outer, desainer cover, dan ilustrator. Tak ada pengakuan atas nama orang-orang itu, padahal karya mereka bertebaran di buku itu.

Sudah telanjur, buku Kehamilan Multifetus itu kadung di-launching. Sudah disebarkan ke banyak orang, dan takkan ada yang tahu bahwa ada orang-orang selain staf lembaga itu yang justru berperan banyak agar buku itu bisa tersusun cantik seperti itu. Di halaman dua buku itu hanya tertulis bahwa buku itu ditulis oleh staf-staf lembaga saja, sedangkan desain lay-out oleh penerbitnya. Bah, jelas-jelas saya tahu persis yang bikin lay-out-nya bukan mereka. Dan ini cuman gara-gara ketakutan akan risiko royalti yang mesti dibagi-bagi.

Saya bisa bilang ke orang-orang bahwa saya ikutan nulis buku itu, dan saya bisa bayangkan bahwa saya akan dikira membual. Tapi saya nggak berniat lupa bahwa saya pernah menulis textbook dan saya ingin merekam memori prestasi kecil itu baik-baik. Maka saya menulis curhat ini, untuk pelajaran buat saya dan buat orang-orang penulis seperti saya. Menulislah. Publikasikanlah. Dan jangan pernah biarkan lagi orang lain mengaku-ngaku karyamu sebagai hak miliknya.

Wednesday, December 1, 2010

Imaginary

Aku menatap langit-langit kamarku. “Apa Dia bercanda lagi?”

“Kapan terakhir kali Dia bercanda kepada kamu?”

“Aku ngga inget,” aku ketawa lirih. “Dia sering begitu. Berulang kali perasaanku membubung tinggi, sampek aku merasa sudah menang. Lalu tau-tau Dia hempaskan aku sampek ke paling bawah, dan ternyata aku gagal. Aku takut yang Dia kasih itu perasaan optimis palsu.”

“Jadi yang sekarang ini bukan optimis sungguhan?”

“Well..” aku berusaha cari-cari kata yang tepat. “Aku cuman berusaha tidak terlalu senang. Takutnya nanti kalau ternyata bukan kesenangan yang aku dapet, aku bisa sedih setengah mati.”

Ia tersenyum dan menepuk-nepuk bahuku. “Kalau yang sekarang ini senang sungguhan, kau mau terima, nggak?”

“Uh..” aku menelan ludah berulang-ulang. “Aku senang sih. Tapi aku takut juga.”

“Lho? Takut kenapa? Bukankah selama ini yang kau inginkan? Yang kauminta kepada-Nya setiap sepertiga malam seperti menyanyi Indonesia Raya? Doamu begitu terus setiap hari, jangan-jangan kau tidak punya doa yang lain.”

“Aku tidak punya doa yang lain coz aku memang tidak punya keinginan yang lain!”

“Ya sudah, sekarang Dia kabulkan keinginanmu itu. Kenapa kau harus takut?”

“Karena kalau aku terima berarti aku pergi selamanya.”

“Ah, jangan berlebihan. Kau cuman disuruh pergi ke timur.”

“Ya, tapi aku ninggalin rumah,” kataku bergidik ngeri. “Berarti aku resmi hidup sendirian. Bertahan hidup sendiri. Sebatang kara. Kalau aku kepingin jalan-jalan dan dugem gimana?”

“Makanya di timur kau mulai bikin jaringan teman baru. Buat makan-makan, buat spa, buat belanja textbook..”

“Gimana kalau Mom atau Pops sakit? Siapa yang nentuin obat buat mereka?”

“Tenang saja. Dia akan jaga mereka selama kau ngga ada.”

Mataku mulai berkaca-kaca. “Kenapa Dia suruh aku pergi? Kenapa tidak Dia biarkan aku sekolah di barat aja seperti Dia ijinkan teman-temanku yang lain menjaga orangtua mereka?”

“Vicky,” dia berusaha bijak. “Dia yang menciptakan kalian, jadi Dia yang tahu apa yang terbaik buat setiap makhluk-Nya. Sekarang siapa yang bilang sama kau bahwa sekolah di rumah sendiri itu sekolah yang terbaik buatmu? Apa kau bisa jamin budaya sekolah di situ compatible dengan semangatmu yang meluap-luap? Apakah kau pikir lulus dari situ kau tetap manusia, bukan robot? Yang lebih penting lagi, apakah sekolah di situ akan bikin kau bahagia?”

“Well, setidaknya kan aku tetap tinggal di rumah..” suaraku mengecil, menyadari aku meragukan ideku sendiri.

“Dan kau pikir tinggal di rumah itu adalah yang terbaik?”

Aku bergeming.

“Kadang-kadang, untuk mencapai apa yang selama ini kita impi-impikan, kita memang harus berani melangkah keluar dari halaman rumah kita.”

Aku menoleh. “Kenapa baru sekarang? Kenapa nggak Dia kasih dari dulu-dulu? Dia suruh aku muter-muter dulu, ke Cimohai, ke Cali.. Mandi textbook tiap hari. Menghadapi tiang gantungan berkali-kali, dan bolak-balik aku digantung sampek leherku nyaris putus, sampek aku kecapekan sendiri mengejar impianku. Aku capek menunggu, rasanya seperti nungguin bisul yang mau pecah..”

Ia tersenyum. “Aku juga ngga tahu. Mungkin Dia menyuruhmu belajar sesuatu sebelum kau boleh betul-betul mendapatkan hadiahmu.”

“Belajar menghadapi realitas bahwa dokter kadang-kadang dihambat oleh birokrasi busuk?” tanyaku sinis.

“Yeah, salah satunya itu.”

“Kenapa Dia kasih aku yang susah, sedangkan teman-temanku dikasih yang gampang?”

“Teman-temanmu dikasih gampang apanya? Kolusi dan nepotisme itu sama dengan gali lobang sendiri. Kau lihat sekarang, korban-korban sudah mulai berjatuhan. Tapi kau ngotot masuk pakai jalur jujur.”

“Karena hatiku tersiksa kalau tidak jujur,” kataku getir. “Aku tidak bohong. Kadang-kadang jujur itu malah mengucilkan aku. Dan tidak berarti aku ngga pernah meneteskan air mata hanya karena aku milih jalur yang jujur.”

“Dan sekarang Dia menunaikan janji-Nya kan? Dia kasih kau hadiah yang terbaik, di tempat terbaik, yang cocok buat prinsipmu itu. Meskipun kau harus menunggu lama buat dapet ini. Tapi kau sudah dapet lebih banyak dari yang kau inginkan dalam empat tahun ini.”

Aku nyengir. “Yeah. Aku lihat tempat-tempat eksotis. Aku lihat dunia lain. Dan aku dapet pacar yang cinta setengah mati padaku. Mungkin kalau aku sekolah di rumah sendiri tiga tahun lalu, aku nggak akan pernah dapet itu semua.”

“Well, rejeki Tuhan memang nggak pernah bisa kita sangka-sangka, kan?” Ia mengerling. “Coba kau jawab lagi, kenapa kau ingin sekolah dokter kandungan?”

“Karena,” kataku. “Ketika kita menolong perempuan, sesungguhnya kita tidak cuma menolong dirinya saja, tapi juga menolong anak-anaknya, dan bahkan mungkin menolong suaminya. Dengan demikian, jika aku diijinkan jadi ginekolog, aku akan punya kesempatan tidak hanya menolong satu orang pasien saja, tapi mungkin menolong satu keluarga, dan bahkan mungkin satu generasi.”

Ia mengangguk-ngangguk. “Yeah, dan sekarang Tuhan kasih kau kesempatan untuk belajar menjadi ginekolog. Kau sudah menang, Vic. Bisulnya sudah pecah.”

Aku tersenyum, menarik selimutku sampek ke bahu, lalu mencium bantal dan tertidur bahagia..

Monday, November 29, 2010

Tiket Panas

Bukan, ini bukan tentang tiket yang ditaruh di panci terus dipanggang di atas kompor.

Jadi ceritanya gini nih.

Sabtu, 27 November, sudah hampir jam 12 malem tapi saya bolak-balik nggak bisa tidur dan mata saya nggak mau merem. Saya buka Twitter lalu mulai ngetwit nggak karuan khas tweep insomnia lainnya, sampek saya nemu twit dari @BIP_Bdg yang lagi buka kuis berhadiah nonton Harry Potter.

Saya iseng ndaftar kuis. Bukan berharap bisa nonton lho, coz saya udah nonton Harpot minggu lalu bareng Nita Sellya, Wardiani, dan Ade Anom, dan review-nya udah saya tulis di sini. Motivasi saya ikut kuis adalah "coz saya seumur-umur nggak pernah menang kuis via Twitter, yang pengikut account-nya ada ribuan". Ini masalah tantangan.

Minggu, 28 November, jam 10 pagi. Pertanyaan kuisnya keluar, "Sebutkan nama 4 orang temanmu yang mau kamu ajak nonton Harry Potter besok."
Pikiran saya berkelebat cepat. Waduh, saya mau ajak siapa ya?
Sadar ini kuis gesit-gesitan, saya pun spontan ngetik nama teman-teman saya, "Nisa, Grace, Nia, Ita."
Nggak usah nanya deh kenapa saya nggak sebut nama Anda ya, hihihi..
Jam 5 sore. BIP nge-twit lagi. Saya menang kuis!
Saya dapet hadiah dua tiket nonton Harry Potter untuk pemutaran di Bandung Indah Plaza, tanggal 29 November. Saya disuruh ambil tiketnya di food court tanggal 29 jam 10.30. Jam pemutaran akan diberitahukan waktu saya ngambil tiket.

Masalah kecil sekarang: Dengan adanya dua tiket yang nampaknya jadi milik saya, saya mau nonton sama siapa?

Saya bingung. Kok jam pemutaran nggak dikasih tahu dulu sih? Saya kan jadi nggak bisa memperkirakan teman yang mana yang available buat diajak nonton?

Saya mulai ngitung-ngitung teman yang udah jadi kandidat. Nisa kerja seharian, mungkin baru bisa pulang sore. Grace memang pernah bilang kepingin nonton sama saya, tapi minggu lalu saya SMS dia kok nggak mbales. Nia nggak kerja, coz dia baru melahirkan. Ita? Dia nggak bales mention saya, mungkin HP-nya ilang.

Jadi saya SMS Nia dulu. Dia rada kurang hiburan akhir-akhir ini, saya mau bikin dia seneng. Tapi Nia kemudian jawab SMS saya, dia nggak bisa pergi. Kayaknya bayinya yang belum umur dua bulan itu mengurungnya di rumah.
Saya buzz Grace di Yahoo Messenger. Mau nggak nonton Harpot ama gw? Eeh..Grace nolak mentah-mentah, hahaha. Saya rayu dia, gratis lho. Ya ampun, tetep aja dia nggak mau. Dia bilang, dia nggak suka film sihir-sihiran.

Tapi saya tetep rayu dia. Saya bilang, dia nggak usah bayar, sungguh. Dia boleh tidur selama di bioskop kalau dia mau. Yang jelas nih tiket milik saya, mubazir kalau nggak dipakai.

Akhirnya Grace setuju. Saya yakin deh, kalau nggak gratis pasti dia nggak mau, hahaha.

Senen, 29 November. Grace temenin saya ambil tiket jam 10.30 di food court BIP. Baru di sana saya dikasih tahu, ternyata tiket itu buat film yang jam 18.00.

Whoaa..saya ngedumel. Grace bilang nggak bisa nonton jam segitu, coz dia udah janjian sama dosennya.
Saya ng-SMS Nisa, mungkin kalau jam 6 sore dia available. Nggak tahunya Nisa jawab, dia janjian juga sama dosen.

Sampek di sini saya berpikir, saya harus balik ke sekolah lagi, coz di dunia ini saya satu-satunya yang nggak punya janji sama dosen.

Jam 12 siang. Saya akhirnya obralin tuh tiket di Twitter. Saya mau jual tuh dua tiket, Rp 20.000 aja. (Harga aslinya di bioskop BIP adalah Rp 30.000.)
Ya elah, twit-an saya nggak ada yang nyaut. Padahal udah di-retweet oleh @iklanbaris.

Saya putuskan untuk rada baik hati. Saya gratisin di Facebook, yang mau biarlah kirim message aja ke saya.
Ada tiga yang komen, tapi nggak ada follow-up. Ya ampun, pada nggak mau nonton Harpot tah di BIP? Ini gratis lho!

Lha saya mau nonton lagi ya males kalau cuman sendirian. Emangnya saya nggak ada kerjaan, apa? Saya ngajakin nyokap, tapi nyokap saya nolak. Itu jamnya sembahyang Magrib. Saya ngajakin bokap, nggak mungkin. Coz bokap saya kerja jam segitu. Lagian bokap saya tersinggung, "Mosok Pops disuruh nonton film anak-anak?"

Sampek-sampek saya dan Grace turun pangkat jadi calo tiket di bioskop BIP. Tiap orang yang gelagatnya mau nonton kita samperin satu-satu, "Mbak, mau nonton murah nggak?"
Kita datengin dua orang anak kecil yang masih kuliahan gitu, mereka nampak tertarik, tapi langsung nolak begitu saya bilang mainnya jam 6 sore.
Ada segerombolan anak SMA saya samperin, mau nonton Harpot murah nggak? Eeh, ternyata mereka ke bioskop bukan mau nonton Harpot, tapi mau nonton Penganten Sunat.. :p

(OMG, judul pelem apaan sih itu?)

Anehnya, siang ini yang dateng ke bioskop juga nggak banyak. Nggak ada antrean di depan loket, nggak kayak antrean yang membludak di Ciwalk minggu lalu. Apakah minggu keemasan Harpot sudah berlalu? Atau orang males pergi nonton ke BIP?

Jam 1 siang, saya nggak tahan. Cabut ah, coz saya kudu sembahyang di rumah. Sampek saya dan Grace hengkang di mal, nih tiket belum laku juga.

Yaah..saya kan ikutan kuis itu memang karena alasan cemen: Saya nggak pernah menang dapet tiket gratis dari internet. Lagian saya kirain tadinya ngajakin nonton sama temen bisa buat ajang kangen-kangenan. Mana saya duga kalau availabilitas teman-teman saya nggak sefleksibel yang dulu? Hahaha..ini sih judulnya rejeki nggak jodoh ya..

Saturday, November 27, 2010

Standar-standaran Dodol

"Karena saya sekolah tinggi-tinggi, untuk berpikir. Bukan buat jadi robot."

Kemaren adek saya nelfon dan cerita-cerita. Jadi, dia baru dapet kerjaan, disuruh gantiin praktek seorang dokter di deket rumahnya. Pasiennya banyak sih, jadi lumayan adek saya dapet penghasilan. Cuman adek saya nggak seneng praktek gantiin dokter itu.

Si dokter itu bikin peraturan, misalnya kalau penyakitnya A, lantas pasiennya diobatin dengan paket obat X. Sedangkan kalau penyakitnya B, lantas pasiennya diobatin dengan paket obat Y. Dan seterusnya. Pokoknya tiap penyakit tuh sudah ada daftar obatnya sendiri-sendiri. Dan adek saya mesti nurutin "standar" itu. Persis robot.

Adek saya nggak suka. Pasalnya, standar itu juga nggak bener-bener amat. Di dalam tiap paket tuh ada obat yang sebenarnya nggak perlu buat diminum pasiennya. Alhasil, kalau dipaksakan buat dikasih ke pasiennya, maka pulang-pulang pun pasiennya jadi bawa terlalu banyak obat. Otomatis, pasiennya jadi bayar lebih kan?

Memang sih, kalau di dusun-dusun gitu, jarang banget ada toko obat. Biasanya dokter praktek sembari jualan obat, jadi supaya pasiennya nggak mondar-mandir cari-cari toko obat lagi. Lebih praktis sih.

Tapi ya itu. Dokter jadi tergoda buat obral obat-obatan. Mana kalau di dusun-dusun gitu pasien kan suka nggak mikir panjang. Disuruh dokternya minum obat lima biji sekaligus, ya manut aja. Mana tahu pasiennya kalau sebenarnya obat itu nggak perlu diminum semuanya?

Akibatnya dokternya praktek bukan buat ngobatin orang sakit lagi. Tapi tujuannya lebih untuk jualan obat.

Adek saya, dokter yang baru lulus, merasa idealismenya diganggu. Dia mulai seperti saya, yang nggak suka profesi penyembuh disamaratakan dengan tukang jualan obat. Dari dulu saya selalu bilang, kalau pasien nggak butuh obat banyak-banyak, ya nggak usah dikasih obat yang memang nggak diperlukan. Janganlah cuman gara-gara nyari duit lantas kita membodohi pasien-pasien kita yang memang nggak tahu apa-apa soal obat.

Jadi inget, dulu pertama kali saya dapet kerjaan, di sebuah klinik. Ada standar prosedur di klinik itu, kalau orang luka dan harus dijait, diobatinnya pake amoksisilin dan asam mefenamat. Amoksisilin buat basmi kuman, asam mefenamat buat pereda nyeri.
Ya Tuhan, saya mbatin. Amoksisilin nggak akan cukup manjur untuk membasmi seluruh kuman di luka itu. Kenapa nggak pakai obat yang lain aja?
Tapi boss saya di klinik itu melarang saya ngobatin pakai obat lain yang lebih manjur. Alasannya, obat itu nggak dijual dalam klinik itu.
Saya bilang, ya udah, kasih resep ke pasiennya, suruh pasiennya nebus obat di apotek seberang jalan. Saya dilarang juga, coz itu kan namanya bukan bikin kliniknya laku, tapi malah bikin tempat usaha orang lain laku.

Saya nggak tahan. Coz saya tahu kalau pasien luka jait itu cuman diminumin amoks, dia akan menghadapi resiko kena tetanus di kemudian hari karena amoks tidak cukup membunuh kuman anaerob di tempat lukanya.

Saya langsung keluar dari klinik itu begitu nemu kerjaan yang lebih enak di klinik lain.
Buat saya, kerjaan yang enak itu bukanlah kerjaan yang gajinya lebih banyak. Tapi kerjaan yang enak adalah kerjaan yang nggak bertentangan dengan hati nurani saya.

Pasien itu sendiri memang tabiatnya macam-macam. Ada jenis pasien yang seneng bawa pulang obat banyak-banyak. Buat dia, makin banyak obat yang mesti dia minum, dan bahkan makin mahal obatnya, makin senenglah dia. Maka saya bisa ngerti kenapa dokter yang disubstitusi adek saya di dusun itu demen kasih obat banyak-banyak. Mungkin supaya pasiennya puas dan besok-besok balik lagi ke dokternya.
Oh well, tentu saja pasiennya balik lagi. Karena minum obat yang nggak perlu-perlu justru bikin penyakitnya nggak sembuh-sembuh.

Saya nolak keras ide itu. Coz saya inget dalam sebuah simposium yang saya hadirin, seorang profesor pernah berkata, "Kalau pasien datang ke kita, pikirkan supaya dia sembuh. Jangan pikirkan supaya besok dia datang lagi!"

Jadi, saya bersyukur dalam hati, coz adek saya yang masih fresh-graduated nggak tergoda akan duit banyak yang diperoleh dari menjadi robot yang melakukan standar penjualan obat. Semoga dia nemu kerjaan yang dia senangi, tanpa harus gangguin nuraninya yang nggak mau membodohin pasien.
Dan saya bersyukur idealisme saya belum diusik oleh tuntutan perut. Buat apa capek-capek sekolah dokter, kalau ujung-ujungnya cuman buat jadi robot tukang jualan?
http://laurentina.wordpress.com
www.georgetterox.blogspot.com

Wednesday, November 24, 2010

Cantik-cantik Bulet

Perempuan jalan-jalan ke Lombok nampaknya wajib deh cari mutiara. Mutiara memang salah satu cindera mata khas Lombok, dan Lombok adalah salah satu pusat terkemuka penghasil mutiara di Indonesia. Tahu nggak, Indonesia memasok 26% mutiara dari perairan Laut Selatan dunia lho. Saingan Indonesia dalam memproduksi mutiara di kawasan Laut Selatan ini adalah Filipina, tapi itu belum apa-apa coz rival berat kita dalam urusan mutu mutiara adalah Oz. Yupz, negara Kangguru itu memang masih lebih unggul menghasilkan mutiara, dan ironisnya, denger-denger sih, budidaya mutiara di Indonesia kebanyakan masih didominasi kepemilikannya oleh negara tetangga kita itu.

Saya nggak mau kehilangan kesempatan buat nyari mutiara ini pas jalan-jalan ke Lombok dua bulan lalu. Berbekal petunjuk dari Deppy Simorangkir, saya pergi ke kawasan Sekarbela di Mataram buat nyari pasar mutiara. Anda para penggemar perhiasan mestinya nggak lupa buat mampir sini deh, coz Sekarbela adalah jalan kecil yang kiri-kanannya bertebaran toko-toko yang ngejual mutiara.

Sebenarnya Sekarbela bukan satu-satunya tempat yang jualan mutiara di Mataram, coz masih ada tempat lain yang jual mutiara lengkap dengan sertifikatnya yaitu di kawasan Selaparang. Tapi kebetulan di Selaparang harganya jauh lebih mahal, mungkin lantaran mutu kemasannya juga lebih bagus. Saya cerita soal Sekarbela aja, coz tempat ini lebih beken di kalangan turis.

Ada banyak macemnya mutiara, tapi bolehlah di sini saya tarik garis besarnya bahwa mutiara itu terdiri atas mutiara air tawar dan mutiara air laut. Mutiara air tawar dijual murah-meriah, sementara mutiara air laut dibanderol dengan harga yang lebih mahal.

Kenapa mutiara air laut lebih mahal? Coz memang mutiara air laut ukuran butirannya gede dan isinya memang berat. Di Sekarbela, penjualnya membanderol mutiara air laut dengan harga antara Rp 200-250 ribuan/gram. Adapun mutiara air tawar, biarpun volumenya segede mutiara air laut tapi massanya nggak sebanyak itu.

Mutiara nggak cuman warna putih doang lho, tapi ada juga yang warnanya seperti emas, oranye, pink, bahkan biru. Saya sendiri paling seneng warna mutiara item, soalnya tampangnya eksotis ;-). Dan semakin item warnanya, semakin mahal..

Ada juga orang nyaranin buat mbedain mutiara air laut dengan mutiara air tawar, yaitu dengan cara dibakar. Mutiara air laut biasanya tahan bakar, sedangkan mutiara air tawar nggak tahan bakar biarpun nggak meleleh. Bisa juga pakai trik menggigit mutiara dengan gigi. Mutiara air tawar bisa tergores oleh gigi, sementara mutiara air laut nggak akan kena gores. (Tapi saya mbatin dalam hati, memangnya siapa sih yang mau gigit-gigit mutiara?)

Mutiara nggak dijual mentah-mentah di Sekarbela, tapi wujudnya dengan dipasangin ke liontin kalung atau cincin emas. Calon pembelinya menentukan cincin/rantai kalung mana yang mau dipasangin mutiara, lalu penjualnya akan ngitungin harga emasnya per massa, kemudian ditambahkan dengan harga mutiara yang bersangkutan. Jangan lupa ditawar ya..

Persoalan dalam milih mutiara ketika belanja:
1. Banyak mutiara dijual dalam keadaan nggak mulus. Ada yang udah retak, dan cacat itu sendiri memengaruhi kualitas mutiara. Meskipun penjualnya sendiri berkilah bahwa retak itu memang aselinya dari kerangnya.
2. Saya kepinginnya mutiara item, nyatanya susah banget nyari mutiara yang warnanya sungguh-sungguh item. Kebanyakan mutiara yang diklaim item nyatanya berwarna item keabu-abuan, bukan item ngemplak kayak urang-aring gitu.
3. Mesti cari penjual mutiara yang beneran kerjanya apik, bukan asal-asalan. Pada teknisnya di lapangan (ceilee..ini kan ngomongin toko perhiasan, bukan lapangan), kita beli mutiara terus ditanem ke perhiasan yang kita inginkan. Berarti di sini ada faktor pelobangan pada mutiara sehingga mutiara itu jadi luka. Seninya adalah berusaha supaya lobang yang dihasilkan nggak terlalu gede sehingga malah bikin bopeng mutiara itu sendiri.

Sunday, November 21, 2010

Copot Selop Dulu..

Dalam setiap perekrutan pager bagus penting buat nanyain ke orang bersangkutan, nomer sepatunya berapa? Kadang-kadang si pager sudah bocorin nomer sepatunya, tapi tetep aja sepatu yang dipilih ternyata nggak cocok sama nomernya.

Sewaktu sepupu saya menikah tadi siang, dos-q merekrut sepupu-sepupu saya yang lain buat jadi pager bagus. Cowok-cowok itu dipinjemin beskap, lengkap dengan blangkon dan selopnya sekalian.

Menjelang resepsi, para pager bagus sudah berbaris rapi di pinggir karpet merah, menyambut penganten. Sepupu-sepupu saya berdiri gelisah, bolak-balik selopnya dicopot, sehingga beberapa kali kamera saya nangkep mereka nyeker. Saya ngerti sih, berdiri lama itu ngebosenin, tapi kelakuan bolak-balik nyopot selop itu kan ganjil?

Hahaha..mungkin selop memang sering kekecilan. Apalagi selop pinjeman buat pager bagus. Solusinya gimana yah? Apa sebaiknya nggak usah pakai selop aja sepanjang acara biar nyeker sekalian? Aduuh..nanti takut kakinya cacingan.. :p
http://laurentina.wordpress.com
www.georgetterox.blogspot.com

Tuesday, November 16, 2010

Kangen Ketupat

Foto ini saya ambil sejam lalu, dalam perjalanan ke kantor. Iya, saya ngantor hari ini, biarpun sebagian daerah di Indonesia sudah libur buat merayakan Idul Adha. Sebenarnya nggak problem, coz di kota saya, rata-rata mesjid baru ngadain sholat Id besok.

Seorang nenek naik angkot yang saya tumpangin dari pasar. Dia baru aja beli ketupat. Mungkin buat perayaan Idul Adha. Saya ngeliatin dengan rasa mupeng.

Sudah lama di keluarga saya nggak makan ketupat. Ya kalau Lebaran tetap makan lontong sih, tapi nggak dari yang dibungkus daun anyaman kayak gini. Semenjak Grandma kena Alzheimer, nggak ada lagi yang bikin ketupat di rumah.

Jadi ngeliat nenek jalan sendirian naik angkot beli segepol ketupat kayak gini, saya merasa salut. Semoga Ibu sehat wal afiat selalu ya, Bu.

Oh ya, tadi malem saya ngobrol sama my hunk. My hunk mutusin buat ikut bokapnya ber-Idul Adha hari ini, coz memang mesjid deket tempat tinggalnya pada solat Id pagi ini. Saya sempat merasa aneh, coz mendadak saya merasa saya dan dia beda "keyakinan", hahaha..

Tapi saya juga maklum sih. Kalau aja tetangga-tetangga saya pada sembahyang hari ini, mungkin saya juga ikutan sembahyang hari ini. Lha mosok saya mau sembahyang sendirian di lapangan besok? (Jadi saya beriman kepada apa? Kepada kitab Tuhan atau kepada mesjid setempat? *sok mendramatisir*)

Beuh, ambil aja dampak positifnya. Jika di suatu tempat ada dua mesjid merayakan Idul Adha pada dua hari yang berbeda, berarti kita bisa ngantre daging kurban dua kali dong?

*Heyy..Vickyy!! Jangan ngajarin ngambil kesempatan dalam kesempitan! Memangnya kamu mau pura-pura melarat ya pakai acara nodong daging kurban segala?*

Eh, nggak usah nyelamatin saya Idul Adha ya. Saya muslim, tapi saya nggak merayain Idul Adha. Nanti aja kalau saya udah naik haji, atau saya udah bisa nyembeleh kurban, baru saya diselamatin.. ;-)
http://laurentina.wordpress.com
www.georgetterox.blogspot.com

Saturday, November 13, 2010

Bikin Pizza Yuk!

Tergiur lantaran saban kali lewat situ tempat parkirnya selalu penuh, saya pun mutusin buat ngajakin bonyok saya ke sebuah kedai pasta di Ganesha tiga hari lalu. Sengaja datengnya malem-malem pas hari kerja, coz saya kirain itu hari di mana pengunjungnya sepi. Ternyata saya salah. Tempat itu tetep aja penuh, dan rasanya makin malem makin penuh.

Saya dan bonyok masuk, lalu pesen pizza. Sudah diwanti-wanti di 4sq, bahwa nih tempat servisnya lelet, tapi saya nggak gentar. Beneran ternyata, pizzanya luama banget dihidanginnya, kira-kira sekitar 20 menit dari waktu mesan. Sampek di meja, kita bertiga pun ngincip-ngincip. Kesimpulannya: Beuh, cuman pizza beginian aja kok nih kedai bisa laris banget?

Gondok, maka saya pun nyobain bikin pizza sendiri di rumah. Bahannya roti bulet, dan saya ambil bahan apa aja yang ada di kulkas. Saya panggang 15 menit, dan ketika panggangan ngeluarin bunyi..Ting! Saya pun antusias menghirup baunya. Haiyaa..sedap..

Masih banyak yang mesti saya pelajarin. Saya lupa ngolesin piring dengan mentega, sehingga pas saya mau ngeluarin pizza dari piring, ternyata piringnya lengket. Saya belum becus ngiris bawang bombay, coz irisannya biarpun udah saya bikin tipis sampek saya nangis-nangis, ternyata masih juga terlalu kasar. Saya juga belum perhitungkan arah nyemprot saos tomatnya, sehingga setelah dipanggang pun saos tomatnya meluber keluar pizza. Apalagi yah? Oh ya, mestinya saya belajar nyari kulit pizza yang lebih tipis..

Tapi ngomong-ngomong, saya tetep seneng. Besok-besok, saya mau bikin pizza lagi, mungkin dengan keju yang lebih banyak. Satu yang masih bikin saya penasaran: Gimana sih caranya bikin pizza yang tepinya bisa ngeluarin keju krim itu?

Eh ya, ini saya kasih dua foto pizza. Yang satu adalah pizza yang saya makan di restoran, dan yang satu lagi pizza bikinan saya. Sama-sama enak lho..

*wink*

Friday, November 12, 2010

Studi Banding ke Kebun Binatang

Saya pernah lihat singa di Setail, di sana singa dikerangkeng dan nggak pernah saya denger singa kabur dan keluyuran di Surabaya.
Saya pernah foto-fotoan di depan kandang gajah di Ragunan, kandangnya juga digembok rapet dan gajahnya nggak bisa kabur.
Saya pernah nontonin buaya di Tamansari, biarpun buayanya ganas tapi nggak pernah ada buaya lepas dari kebun binatang itu.
Tadinya saya pikir karena kebun binatang itu kecil, jadi ngawasinnya gampang. Tapi kemudian saya sering keluar-masuk Taman Safari yang notabenenya lebih luas ketimbang kebun binatang, bahkan mobil saya keluar-masuk tempat dikurungnya macan-macan buas, tapi meskipun ribuan mobil bisa keluar dari sana, nggak pernah ada berita macan bisa kabur dari Taman Safari, terus pakai rambut palsu dan nongkrong di stadion buat motret pertandingan tenis.

Jadi, kalau binatang aja nggak bisa kabur dari kebun binatang, kok bisa narapidana lepas dari penjara?? Padahal penjara kan lebih kecil ketimbang kebun binatang? Kan penjara dan kebun binatang sama-sama digembok rapet?

Malah temen saya Bang Codet semalam bilang di Twitter, masih lebih bagus keamanan di kebun binatang, seumur-umur kan nggak pernah ada kita denger ceritanya macan lolos keluar dari kebun binatang. Mungkin bagusnya para penjahat dikerangkeng aja di sana, jangan dikurung di penjara. Sudah penjara kita kesempitan, penghuninya banyak, dapet makan cuman dikit, toilet satu aja dipakai rame-rame. Masih enak macan-macan di kebun binatang, sudah ruang gerak di kamarnya super luas, sehari dikasih makan daging berkilo-kilo, mau pup aja nggak usah nunggu ngantre bareng temen-temennya.

Barangkali kebun binatang jangan cuman jadi ajang karyawisata buat anak sekolah. Mbok sekalian kebun binatang dijadikan ajang studi banding buat para sipir penjara. Sebagai sesama pemegang gembok, siapa tahu para sipir penjara bisa belajar sama para penjaga kebun binatang tentang gimana caranya mengunci gembok yang baik dan bener. Dan jangan lupa kunci gembok itu mesti dipegang di saku penjaganya, bukan malah disimpen sama penghuni kurungannya..
http://laurentina.wordpress.com
www.georgetterox.blogspot.com

Thursday, November 11, 2010

Mau Laku Nggak Sih?

Jam 11 siang tadi saya bela-belain dateng ke sebuah mal di pusat kota Bandung lantaran mau beli sabun di Tokobadan. Itu salah satu merk favorit saya, dan saya udah jadi member loyal untuk kurun waktu yang cukup lama. Pas saya jalan ke arah gerai itu, hati saya ciut lihat pintu masuknya ditutup. Hah? Tutup? Tapi kok jendelanya transparan dan lampunya nyala?

Saya ngintip ke dalam dan saya lihat kondisi toko cukup berantakan. Pegawainya lagi sibuk ngatur-ngatur barang. Saya dan nyokap panggil-panggil, dan petugasnya bilang mereka masih tutup dan baru buka lagi jam 1 siang. Kita ngeyel kepingin masuk, cuma mau beli barang satu aja, tapi petugasnya tetep ngelarang.

Saya dan nyokap kecewa banget, dan kita berdua hengkang ninggalin mal. Siyalan, padahal kita bela-belain ke mal itu cuman buat ke gerai kosmetik itu lho.

Saking kecewanya, saya langsung update status di Twitter meluapkan kekesalan saya. Saya mbatin, gimana caranya gerai kosmetik sekelas Tokobadan masih tutup pada jam 11 siang? Nggak mau tokonya laku ya? Padahal mal itu sudah buka semenjak jam 10 pagi.

Beberapa saat kemudian, dateng tweet balesan dari si gerai. Katanya, mereka lagi stock opname, entah apa itu, jadi SEMUA cabang Tokobadan toko mereka memang tutup khusus pagi itu. Saya makin gusar, coz saya nggak tahu lagi mesti sewot gimana.

Saya bukan pebisnis, jadi saya nggak ngerti cara kerja para pedagang. Kalo mereka mau beres-beres barang dagangan mereka, kenapa mereka nggak lemburin aja pegawainya sebelum mal dibuka? Memangnya beres-beres barang antara jam 7 sampek jam 10 pagi nggak bisa gitu? Atau antara jam 10 malem sampek jam 5 pagi, pas waktunya nggak ada konsumen masuk mal? Kalau si gerai nekat nutup tokonya sampek jam 1 siang, padahal malnya udah buka jam 10 pagi, apa itu namanya bukan menghalangi omzet antara jam 10 pagi sampek jam 1 siang?

Tapi nyokap saya bilang, Tidak, itu sudah mereka perhitungkan. Daripada bayarin pegawai mereka lembur di luar jam buka mal, mendingan tutup sebentar selama jam pagi. Paling-paling mereka kehilangan calon pembeli selama jam pagi, dan ruginya tidak seberapa, coz biasanya pagi-pagi tuh pembelinya cuman satu-dua orang.

Beuh, saya nggak suka ide itu. Memangnya masukan yang sangat berharga buat toko tuh cuman jam-jam rame belanja doang? Gimana dengan konsumen yang cuman masuk toko dengan lihat-lihat doang tanpa belanja, apakah mereka nggak bisa disebut input yang berharga? Justru saya kalau lihat suatu toko nggak ada pengunjungnya sama sekali, saya malah mikir toko itu nggak menarik dan pasti sebentar lagi bangkrut.

Di lain pihak, kalau saya lihat suatu gerai di mal itu nggak menarik, saya jadi males lewat gerai itu. Efeknya, saya jadi males jalan di koridor mal itu. Ujung-ujungnya, saya jadi ogah nongkrong di mal itu. Apakah bukan tidak mungkin kelakuan pengunjung macem saya ini bisa bikin mal bangkrut?

Jadi inget, ketika dua bulan lalu saya mau naik pesawat pagi dari Cengkareng. Jam 6 kurang 15 menit, saya berkeliaran di terminal kepingin sarapan. Saya lewat gerai Roti Anak Cowok dan kepingin beli. Dua petugasnya nongkrong di counter lagi ngerumpi. Saya bilang mau beli roti susu mentega. Petugasnya bilang nggak bisa, coz mereka baru buka jam 6. Padahal jelas-jelas mereka udah buka pintu lebar-lebar dan roti sudah siap ditata, tapi mereka nggak mau melayani saya. Hanya karena saat itu baru jam 6 kurang 15 menit!

Saya terpaksa gelontorin troli saya di bandara cari gerai lain. Ya know what, lucu melihat toko-toko sudah terang-benderang tapi petugasnya duduk-duduk aja padahal orang-orang udah kemecer kepingin beli. Semuanya tergantung prosedur. Penjualan sudah diitung per komputer. Maka setiap penjualan di luar jam prosedur pun dianggap tidak valid.

Tidak heran pegawai Roti Anak Cowok nggak mau melayani saya sebelum jam 6 pagi. Tidak heran juga pegawai Tokobadan nggak mau ijinkan saya beli sabun sebelum jam 1 siang.

Di mata saya, dunia bisnis kadang-kadang bisa menjadi tidak logis.
http://laurentina.wordpress.com
www.georgetterox.blogspot.com

Wednesday, November 10, 2010

Upaya Menghindari Gondok

Setelah nonton acaranya tivi kemaren, saya jadi keingetan wisuda saya. Sewaktu angkatan saya mau diwisuda enam tahun lalu, kami mesti ngantre di gedung fakultas buat ngambil jatah toga. Jadi saya dan teman-teman berbaris ambil toga, lalu meneken semacam daftar absen yang menyatakan bahwa kami sudah ambil toga yang kami beli itu.

Di daftar itu ada kolom-kolom nama, nomer mahasiswa, dan tanda tangan. Dan di kolom sebelahnya, ada kolom "Salaman / Tidak Salaman", yang salah satunya harus dicoret.

Saya bingung itu kolom apaan. Lalu petugas kampus nanya sama saya, nanti pas diwisuda dan saya dikalungin medali, saya mau salaman sama dekannya apa enggak. Saya mengerutkan kening. Ya jelas saya mau salaman dong, saya kan orangnya baik hati lagi tidak somse.

Temen saya malah lebih parah lagi. Sehubungan dengan biaya wisuda kami waktu itu yang udah cukup mahal, dia jadi rada sensi buat tanda tangan formulir apapun. Jadi waktu disuruh teken daftar Salaman / Tidak Salaman itu, dia malah nanya, "Kalo saya salaman, bayar (wisuda)-nya lebih mahal?"

Pada Hari H, beneran saya diwisuda. Saya dikalungin medali, dipindahin kunciran toganya, disalamin oleh Dekan. Saya lihat semua proses seolah terkendali, bahkan gerakan tangan Dekan seolah sudah otomatis, dan bahkan fotografer nampaknya sudah tahu kapan momen yang pas buat motret saat saya salaman sama Dekan.

Tapi kemudian saya juga lihat, beberapa teman cewek saya yang kebetulan pakai jilbab, nggak salaman sama Dekan. Mereka cuman nerima map, dikalungin medali, dipindahin kuncir doang. Dan Dekan juga nggak nampak gelagat mau salaman sama mereka.

Nampaknya, itu gunanya kolom Salaman / Tidak Salaman yang mesti kami coret sendiri waktu itu. Beberapa teman saya, rupanya mencoret kolom Salaman. Panitia wisuda pun menandai nama-nama teman saya itu, lalu membisikkannya ke Dekan. Jadi pas adegan penyerahan map dari Dekan ke mereka, Dekan nggak perlu ngulurin tangan buat salaman. Jadi nggak ada adegan fotografer motret Pak Dekan yang gondok gara-gara wisudawatinya nolak salaman. Oh ya, teman-teman saya yang nggak mau salaman ini, kebetulan percaya bahwa wanita sebaiknya tidak salaman dengan pria yang bukan muhrimnya.

Saya rasa akal-akalan panitia ini layak ditiru di acara-acara lain, termasuk di acara kenegaraan sekalipun. Para pihak yang nggak mau bersalaman dengan non-muhrim, hendaknya kasih tahu protokol sebelum acara berlangsung. Supaya nggak perlu ada adegan menteri bingung mau nggak salaman sama istri presiden yang udah kadung ngulurin tangannya.

Bukan begitu, Pak Tiff?

*wink*
Gambarnya diambil dari sini lho...

Tuesday, November 9, 2010

Teh Pemicu Beser


Jamak orang memulai pagi dengan minum teh atau kopi. Teh atau kopi juga menjadi minuman yang dimuliakan, misalnya jadi minuman pilihan untuk menyuguhin tamu.

Tapi saya pribadi, nggak terlalu seneng disuguhin teh atau kopi.

Monday, November 8, 2010

Bagaimana Menikmati Jembatan

Sebagai outsider, saya sering ditanya jika membicarakan Madura, apakah sudah pernah lewat Jembatan Suramadu?

Jelas sudah.

Pertanyaan berikutnya, apakah saya lewat jembatan itu siang atau malam?

Saya mengerutkan kening. Lho, apa bedanya?

Katanya, lebih bagus kalo lewat situ pas malam.

Saya dapet kesempatan nyeberangin jembatan itu tahun lalu dua kali. Waktu lewat pertama kali pas magrib, lampunya mati, mungkin pemdanya lupa mbayar listrik. Berikutnya lewat sore-sore, saya udah cukup senang nyeberang laut.

Tahun ini, saya ke jembatan itu lagi dua kali pas dua bulan lalu. Siang-siang, lantaran nganterin nyokap saya belanja batik. Tapi sebulan kemudian, saya lewat jembatan itu lagi, kali ini bareng my hunk. Setelah sesorean saya dan my hunk mendaki mercu suar, malem-malem kita berdua lewat jembatan. Saat itulah saya terperangah.

Daya tarik jembatan adalah pilar-pilarnya yang berwarna merah di siang hari. Tetapi ketika malam, pilar-pilar itu rupanya berpendar ngeluarin warna biru. Anehnya, waktu mau saya potret, warna birunya berubah jadi ijo. Lalu pendaran warnanya ada juga yang jadi merah. Dan pas mau saya potret lagi, ternyata jadi ungu??

Tapi pas warna ungunya saya potret, kok outputnya di kamera saya jadi biru sih? Ada apa dengan kamera saya?

*bingung*

Ngomong-ngomong, adakah di antara Sodara-sodara yang berhasil foto di atas jembatan Suramadu? Coz saya berusaha merayu my hunk buat motretin saya di situ, tapi dia menolak habis-habisan lantaran takut ditangkep pulisi. Kan di jembatan Suramadu, mobil nggak boleh berhenti..?

Sunday, November 7, 2010

Uniknya Kopi Darat

Apa aja hal-hal unik yang dapat kita temukan dalam kopi darat?
dalam sebuah pesta perayaan galeri seni, 8 Oktober 2010
1. Kopi darat, meskipun sebenarnya nggak selalu harus dengan minum kopi, tapi selalu lebih enak digelar sambil makan-makan. Makanya kopi darat hampir selalu digelar di tempat dugem, entah itu restoran atau kafe. Nggak ada orang mau kopi darat di rumah sakit, atau sumur minyak, atau di jalan tol.

2. Kalo nggak ada event-event tertentu, ternyata jarang blogger mau kopi darat sama blogger sesama kotanya. Makanya mereka rada semangat kalau di kopi darat itu ada blogger dari luar kota yang dateng. Soalnya bosen kalau temen yang ketemu kopi darat itu orangnya 4L: Lu Lagi, Lu Lagi.

dalam acara pengganyangan masakan penyetan, 24 Oktober 2010

3. Hampir selalu blogger punya ekspetasi tinggi terhadap blogger yang mau dijumpainya kalo mau kopi darat pertama kali. Mulai dari pakai baju yang rada kerenan dikit, atau ketemu di venue yang rada kerenan. Nggak ada orang mau kopi darat pertama kali di kolam renang. Kenapa ya, takut ketahuan kalau tampangnya jelek pas lagi telanjang?

4. Saban kali saya kopi darat, saya hampir selalu cipika-cipiki di awal pertemuan. Padahal baru pertama kali ketemu lho, tapi kok rasanya seperti udah kenal lama ya? Bahkan ke blogger cowok, biarpun saya nggak cipika-cipiki, pas pertama kali ketemu selalu aja timbul rasa seneng seolah-olah berhadapan dengan teman lama yang udah lama nggak ketemu.

5. Selalu aja ada kecenderungan blogger pasca kopi darat selalu reportase hasil kopi daratnya. Entah itu foto kopi daratnya dipampang di blognya, atau dengan reportase langsung saat itu juga di Twitter-nya. Hasrat kepingin berbagi atau sekedar narsis?

Novianto Raharjo, saya, Eddy Fahmi, n Angki Bukaningrat

dalam suatu makan malam sembari nonton tari perut, 8 Oktober 2010

Thursday, November 4, 2010

Rest in Peace

Kadang-kadang saya bertanya-tanya, untuk setiap bis malam yang pergi sehari semalaman, di manakah supir bis akan beristirahat sementara para tamu penumpang bisnya bersenang-senang semalaman di taman ria? Mending kalau di venue disediain ruang tidur khusus supir bis, lha kalau nggak ada? Maka solusi yang masuk akal adalah tidur di dalam bis. Tapi kalau supirnya tidur di telentang di bangku penumpang, nanti penumpangnya marah-marah.

Jadi, ruangan terakhir yang bisa dipakai buat tidur-tiduran adalah..bagasi.

Saya motret ini di kawasan Batu Night Spectacular, Malang, minggu lalu. Supir ini nampak tidur dalam damai. Kalau bahasa Inggrisnya sih: REST IN PEACE.

Hehehe.

Wednesday, November 3, 2010

Cece Arab

Orang-orang Galaxy Mall di Surabaya ini aneh. Ke toko mana pun saya pergi, selalu aja ada yang nyapa saya, “Silakan, Ce! Lagi promo, Ce!” atau “Mari masuk, Ce! Lihat-lihat dulu, Ce!”

Tadinya saya bingung mereka manggil-manggil siapa. Lha nama saya kan Vicky, dan ke mana-mana biasanya saya dipanggil Mbak, jadi siapa itu manggil-manggil saya Ce? Viece, gitu maksudnya? Atau Laurence?

Maka suatu hari saya pergi ke sebuah pameran pernikahan di Galaxy Mall. Baru masuk sudah ada yang manggil-manggil, “Silakan, Ce, diliat dulu, manakala ada yang cocok..” Saya pindah ke stand sebelahnya yang nyewain gaun pengantin, eyalaa..saya dipanggil- panggil lagi, “Cari yang gimana, Ce? Mau yang model kemben? Atau lengan panjang, Ce? Cece mau yang simpel atau pakai brokat?”

CECE?? Saya menggeleng pusing dan noleh ke my hunk. “Kenapa sih mereka panggil aku Cece?”

My hunk ketawa. “Ndak pa-pa, aku ya dipanggil Koko..”

Padahal my hunk tuh namanya ya nggak ada huruf K atau O-nya sama sekali..

Baru saya ngeh. Cece tuh panggilan buat cewek a la orang-orang Tionghoa ya?

“Emangnya mukaku kayak orang Cina ya?” tanya saya sambil ngeliatin kaca. “Muka Mas ya ndak ada Cina-cinanya blas, kok ya dipanggil Koko..”

Terus kata my hunk, “Soale kamu ada di Galaxy Mall, di sini banyak orang Cina jadi ya semua orang dipanggil Cece n Koko..”

Sekitar dua minggu kemudian, saya diajak my hunk sembahyang di Mesjid Ampel. Daerah itu kayaknya lebih layak disebut Arabian Town, soalnya kiri-kanan mesjid isinya pasar yang jual barang-barang Arab dan yang jualnya ya kebanyakan orang Arab.

Dan Madura. Soalnya begitu saya sampek di mesjidnya, ternyata banyak orang-orang tiduran sambil nungguin adzan di sana, dan saya kupingin rata-rata mereka bersenda gurau pakai logat Madura.

Selepas sembahyang, saya lepas mukena dan sisiran. Angin dari Pelabuhan Tanjung Perak bertiup sepoi-sepoi nyebulin rambut saya dan saya nggulung rambut saya jadi cepol. Saya duduk di pilar sambil nungguin my hunk dari sayap mesjid bagian pria, dan tiba-tiba ada orang teriak-teriak, “Dek, Dek! Jangan di situ!”

Saya noleh. Dua orang emak-emak berwajah Pamekasan melambaikan tangan ke saya, berteriak, “Dek, jangan duduk di situ!”

Saya terkejut dan buru-buru ngesot duduk di lantai, sambil menoleh ke wanita-wanita Madura itu dan mengomat-ngamitkan kata “Maaf”. Baru ngeh kalau saya satu-satunya di mesjid itu yang duduk di pilar, lain-lainnya duduk di lantai. Nampaknya mesjid itu dianggap suci oleh orang-orang setempat sampek-sampek duduk di pilar aja dianggap tabu.

My hunk dateng akhirnya dan saya buru-buru keluar dari mesjid. Sempat saya lewat di depan emak-emak itu dan tersenyum, “Terima kasih, Bu.. (sudah diingatkan supaya nggak duduk di pilar..)”

Emak-emak itu nampaknya lebih tertarik dengan tampang bawaan saya yang lebih mirip turis. “Adek, Adek bukan orang sini ya? Adek ini orang mana?”

Saya terhenyak. “Saya? Saya orang Surabaya.” Saya males ngaku kalau saya warga luar kota, nanti dikiranya “pantesan, nggak tahu aturan”.

Dua emak itu nampak terpana. “Kok cantik? Adek orang Arab ya?”

Hngg? Nggak salah nih? “Iya,” jawab saya seenaknya.

“Aduh kanaak..reng Arab..radin sampeyan..” (Dalam bahasa Madura artinya “Aduh Nak, orang Arab, cantik kamu..”)

Saya cengar-cengir dan buru-buru pergi sebelum saya meledak karena ketawa. Pas sudah rada jauh dikit dari mesjidnya saya ngomong ke my hunk, “Jadi di Galaxy Mall aku dikira orang Cina, kalo di Ampel aku dikira orang Arab..”

Semenjak itu my hunk punya gurauan baru buat ngeledekin saya kalau saya kepanasan oleh hawa Surabaya. “Doh, doh, doh..kesiyan deh cece Arab kepanasan.. :-p”

Tuesday, November 2, 2010

Norski?

Bukannya saya sombong ya, atau nggak mau go green. Tapi kalau ditawarin, mau nggak saya pakai baju dari bungkus-bungkus produk deterjen yang ditempel sana-sini itu, saya pasti langsung jawab: Emoh. Alasan pertama, coz aselinya saya memang nggak seneng pakai baju plastik. Panas, bo’. Alasan kedua, saya nggak suka pakai apapun yang ada cap nama produk tertentu dan produk itu bukan produk mode. Kesannya saya ngiklan, gitu.

Makanya waktu saya lihat pawai di Cimohai minggu lalu ini, saya bertanya-tanya. Apakah mereka sungguhan bikin baju dari bungkus-bungkus kopi dan mie instan ini untuk dipakai sehari-hari, atau cuman buat gaya-gayaan pas karnaval doang? Coz sejatinya saya nggak lihat manfaat dari pawai ini, selain ngajak panas-panasan sehingga bikin tukang jualan produk pemutih kulit dan tukang teh botol jadi laris-manis, atau sekedar bikin macet jalan.

*Oh Vicky, kamu nggak mbois banget ih. Kan seru ikutan pawai di jalan itu, bisa diliatin emak, bapak, tetangga, temen, gebetan, calon mertua, termasuk juga nongkrong jadi bahan buat blogmu ini..