Wednesday, December 1, 2010

Imaginary

Aku menatap langit-langit kamarku. “Apa Dia bercanda lagi?”

“Kapan terakhir kali Dia bercanda kepada kamu?”

“Aku ngga inget,” aku ketawa lirih. “Dia sering begitu. Berulang kali perasaanku membubung tinggi, sampek aku merasa sudah menang. Lalu tau-tau Dia hempaskan aku sampek ke paling bawah, dan ternyata aku gagal. Aku takut yang Dia kasih itu perasaan optimis palsu.”

“Jadi yang sekarang ini bukan optimis sungguhan?”

“Well..” aku berusaha cari-cari kata yang tepat. “Aku cuman berusaha tidak terlalu senang. Takutnya nanti kalau ternyata bukan kesenangan yang aku dapet, aku bisa sedih setengah mati.”

Ia tersenyum dan menepuk-nepuk bahuku. “Kalau yang sekarang ini senang sungguhan, kau mau terima, nggak?”

“Uh..” aku menelan ludah berulang-ulang. “Aku senang sih. Tapi aku takut juga.”

“Lho? Takut kenapa? Bukankah selama ini yang kau inginkan? Yang kauminta kepada-Nya setiap sepertiga malam seperti menyanyi Indonesia Raya? Doamu begitu terus setiap hari, jangan-jangan kau tidak punya doa yang lain.”

“Aku tidak punya doa yang lain coz aku memang tidak punya keinginan yang lain!”

“Ya sudah, sekarang Dia kabulkan keinginanmu itu. Kenapa kau harus takut?”

“Karena kalau aku terima berarti aku pergi selamanya.”

“Ah, jangan berlebihan. Kau cuman disuruh pergi ke timur.”

“Ya, tapi aku ninggalin rumah,” kataku bergidik ngeri. “Berarti aku resmi hidup sendirian. Bertahan hidup sendiri. Sebatang kara. Kalau aku kepingin jalan-jalan dan dugem gimana?”

“Makanya di timur kau mulai bikin jaringan teman baru. Buat makan-makan, buat spa, buat belanja textbook..”

“Gimana kalau Mom atau Pops sakit? Siapa yang nentuin obat buat mereka?”

“Tenang saja. Dia akan jaga mereka selama kau ngga ada.”

Mataku mulai berkaca-kaca. “Kenapa Dia suruh aku pergi? Kenapa tidak Dia biarkan aku sekolah di barat aja seperti Dia ijinkan teman-temanku yang lain menjaga orangtua mereka?”

“Vicky,” dia berusaha bijak. “Dia yang menciptakan kalian, jadi Dia yang tahu apa yang terbaik buat setiap makhluk-Nya. Sekarang siapa yang bilang sama kau bahwa sekolah di rumah sendiri itu sekolah yang terbaik buatmu? Apa kau bisa jamin budaya sekolah di situ compatible dengan semangatmu yang meluap-luap? Apakah kau pikir lulus dari situ kau tetap manusia, bukan robot? Yang lebih penting lagi, apakah sekolah di situ akan bikin kau bahagia?”

“Well, setidaknya kan aku tetap tinggal di rumah..” suaraku mengecil, menyadari aku meragukan ideku sendiri.

“Dan kau pikir tinggal di rumah itu adalah yang terbaik?”

Aku bergeming.

“Kadang-kadang, untuk mencapai apa yang selama ini kita impi-impikan, kita memang harus berani melangkah keluar dari halaman rumah kita.”

Aku menoleh. “Kenapa baru sekarang? Kenapa nggak Dia kasih dari dulu-dulu? Dia suruh aku muter-muter dulu, ke Cimohai, ke Cali.. Mandi textbook tiap hari. Menghadapi tiang gantungan berkali-kali, dan bolak-balik aku digantung sampek leherku nyaris putus, sampek aku kecapekan sendiri mengejar impianku. Aku capek menunggu, rasanya seperti nungguin bisul yang mau pecah..”

Ia tersenyum. “Aku juga ngga tahu. Mungkin Dia menyuruhmu belajar sesuatu sebelum kau boleh betul-betul mendapatkan hadiahmu.”

“Belajar menghadapi realitas bahwa dokter kadang-kadang dihambat oleh birokrasi busuk?” tanyaku sinis.

“Yeah, salah satunya itu.”

“Kenapa Dia kasih aku yang susah, sedangkan teman-temanku dikasih yang gampang?”

“Teman-temanmu dikasih gampang apanya? Kolusi dan nepotisme itu sama dengan gali lobang sendiri. Kau lihat sekarang, korban-korban sudah mulai berjatuhan. Tapi kau ngotot masuk pakai jalur jujur.”

“Karena hatiku tersiksa kalau tidak jujur,” kataku getir. “Aku tidak bohong. Kadang-kadang jujur itu malah mengucilkan aku. Dan tidak berarti aku ngga pernah meneteskan air mata hanya karena aku milih jalur yang jujur.”

“Dan sekarang Dia menunaikan janji-Nya kan? Dia kasih kau hadiah yang terbaik, di tempat terbaik, yang cocok buat prinsipmu itu. Meskipun kau harus menunggu lama buat dapet ini. Tapi kau sudah dapet lebih banyak dari yang kau inginkan dalam empat tahun ini.”

Aku nyengir. “Yeah. Aku lihat tempat-tempat eksotis. Aku lihat dunia lain. Dan aku dapet pacar yang cinta setengah mati padaku. Mungkin kalau aku sekolah di rumah sendiri tiga tahun lalu, aku nggak akan pernah dapet itu semua.”

“Well, rejeki Tuhan memang nggak pernah bisa kita sangka-sangka, kan?” Ia mengerling. “Coba kau jawab lagi, kenapa kau ingin sekolah dokter kandungan?”

“Karena,” kataku. “Ketika kita menolong perempuan, sesungguhnya kita tidak cuma menolong dirinya saja, tapi juga menolong anak-anaknya, dan bahkan mungkin menolong suaminya. Dengan demikian, jika aku diijinkan jadi ginekolog, aku akan punya kesempatan tidak hanya menolong satu orang pasien saja, tapi mungkin menolong satu keluarga, dan bahkan mungkin satu generasi.”

Ia mengangguk-ngangguk. “Yeah, dan sekarang Tuhan kasih kau kesempatan untuk belajar menjadi ginekolog. Kau sudah menang, Vic. Bisulnya sudah pecah.”

Aku tersenyum, menarik selimutku sampek ke bahu, lalu mencium bantal dan tertidur bahagia..