Setelah nonton acaranya tivi kemaren, saya jadi keingetan wisuda saya. Sewaktu angkatan saya mau diwisuda enam tahun lalu, kami mesti ngantre di gedung fakultas buat ngambil jatah toga. Jadi saya dan teman-teman berbaris ambil toga, lalu meneken semacam daftar absen yang menyatakan bahwa kami sudah ambil toga yang kami beli itu.
Di daftar itu ada kolom-kolom nama, nomer mahasiswa, dan tanda tangan. Dan di kolom sebelahnya, ada kolom "Salaman / Tidak Salaman", yang salah satunya harus dicoret.
Saya bingung itu kolom apaan. Lalu petugas kampus nanya sama saya, nanti pas diwisuda dan saya dikalungin medali, saya mau salaman sama dekannya apa enggak. Saya mengerutkan kening. Ya jelas saya mau salaman dong, saya kan orangnya baik hati lagi tidak somse.
Temen saya malah lebih parah lagi. Sehubungan dengan biaya wisuda kami waktu itu yang udah cukup mahal, dia jadi rada sensi buat tanda tangan formulir apapun. Jadi waktu disuruh teken daftar Salaman / Tidak Salaman itu, dia malah nanya, "Kalo saya salaman, bayar (wisuda)-nya lebih mahal?"
Pada Hari H, beneran saya diwisuda. Saya dikalungin medali, dipindahin kunciran toganya, disalamin oleh Dekan. Saya lihat semua proses seolah terkendali, bahkan gerakan tangan Dekan seolah sudah otomatis, dan bahkan fotografer nampaknya sudah tahu kapan momen yang pas buat motret saat saya salaman sama Dekan.
Tapi kemudian saya juga lihat, beberapa teman cewek saya yang kebetulan pakai jilbab, nggak salaman sama Dekan. Mereka cuman nerima map, dikalungin medali, dipindahin kuncir doang. Dan Dekan juga nggak nampak gelagat mau salaman sama mereka.
Nampaknya, itu gunanya kolom Salaman / Tidak Salaman yang mesti kami coret sendiri waktu itu. Beberapa teman saya, rupanya mencoret kolom Salaman. Panitia wisuda pun menandai nama-nama teman saya itu, lalu membisikkannya ke Dekan. Jadi pas adegan penyerahan map dari Dekan ke mereka, Dekan nggak perlu ngulurin tangan buat salaman. Jadi nggak ada adegan fotografer motret Pak Dekan yang gondok gara-gara wisudawatinya nolak salaman. Oh ya, teman-teman saya yang nggak mau salaman ini, kebetulan percaya bahwa wanita sebaiknya tidak salaman dengan pria yang bukan muhrimnya.
Saya rasa akal-akalan panitia ini layak ditiru di acara-acara lain, termasuk di acara kenegaraan sekalipun. Para pihak yang nggak mau bersalaman dengan non-muhrim, hendaknya kasih tahu protokol sebelum acara berlangsung. Supaya nggak perlu ada adegan menteri bingung mau nggak salaman sama istri presiden yang udah kadung ngulurin tangannya.
Bukan begitu, Pak Tiff?
*wink*
Gambarnya diambil dari sini lho...