Saturday, December 12, 2009

Asyik Sih, Tapi..


Pada tahun kedua kuliah, gw ditanyai teman-teman, kayak gini, "Vicky, Vicky, Vicky, besok gede, mau jadi (dokter) apa?" sambil nanya a la nyanyi Susan n Ria Enes.
Gw jawab dengan mantap, "Aku mau jadi dokter ahli forensik."

Cita-cita itu disambut dengan "Booo..!" oleh teman-teman gw. Alasannya, kalau gw beneran jadi dokter forensik, beneran gw nggak bisa ditumpangin berobat gratis oleh teman-teman gw. Dokter forensik itu kan dokter spesialis jenazah?

Padahal, gw kepingin jadi dokter forensik lantaran terpesona kenangan akan Dana Scully di X Files yang suka gw tonton dulu. Dana Scully itu salah satu pahlawan favorit gw: dia dokter, cantik, dan senyumnya irit. Dia memesona gw pada banyak adegan, antara lain waktu dia ngoperasi darurat orang di kamar mandi apartemen yang banjir, waktu dia ngotopsi dengan pakai kacamata pilot, dan waktu dia jadi saksi ahli di sidang FBI dan bilang bahwa tersangka pembunuh itu malsuin rekam medisnya. Dialah inspirasi gw buat masuk kuliah kedokteran, dan gw kepingin seperti dia.

*Inilah akibatnya kalau a-be-geh kebanyakan nonton science fiction*

Ada beberapa alasan dulu gw nganggap forensik itu seksi. Kerjaannya dokter forensik itu ngapain, gini nih bayangannya:

1. Pimpin otopsi alias membedah mayat. Misalnya mayat akibat kecelakaan, bencana, atau pembunuhan.

2. Identifikasi DNA. Banyak dipakai buat identifikasi bayi yang nggak jelas siapa bokapnya. Sinetron banget ya? Hahaha!

3. Pimpin penggalian kuburan. Misalnya buat kasus pembunuhan yang mayatnya harus diselidiki ulang, jadi mayat yang dikubur mesti digali lagi. Nah, kasus ginian sering jadi sasaran liputan media massa. Bisa sering masuk tivi, bo'!

4. Kalau ada pembunuhan, dokter forensik diundang ke TKP. Dia lihat sendiri mayatnya posisinya gimana, nyungsep atau telentang, melet atau nyengir, biru atau bersimbah darah. Nanti dia yang nentuin mayatnya matinya gimana. Seru!

Dari sini keliatan kalau waktu itu gw mengira kedokteran forensik itu identik dengan infotainment, hahaha..

Sewaktu gw jadi koass, gw mulai menyadari bahwa pada kenyataannya kedokteran itu tidak seindah yang gw bayangkan. Lebih spesifik lagi, kedokteran forensik itu nggak seindah seperti yang dicitrakan Dana Scully. Waktu gw tugas koass di forensik, gw pun mengalami masalah empot-empotan yang bikin gw meragukan alasan di atas yang sempat bikin gw ngira bahwa forensik itu seksi. Antara lain:

1. Otopsi ternyata mesti temenan sama formalin. Gw tau mayat itu mesti dibalurin formalin biar awet. Tapi gw nggak ngira formalin itu sebau itu! Baunya nggak mau ilang dan uapnya pedih. Huh, masih mending ngupas bawang merah setumpuk deh.

2. Permintaan otopsi terjadi kapan aja, termasuk malem-malem saat dokter mestinya tidur. Sebut aja gw irasional, tapi gw sebel kalau gw lagi enak-enak molor dan tiba-tiba gw dibangunin buat disuruh meriksa orang mati.

3. Sedikit orang Indonesia yang minta diperiksa DNA anaknya. Jadi kurang seru, gitu lho.

4. Menggali kuburan itu seru. Tapi nggak seru kalau pekuburannya panas dan nggak ada pohonnya buat berteduh. Kok kemayu banget kalau Bu Dokter mimpin penggalian kuburan sambil pakai payung cuman gara-gara takut item!

5. Nggak ada ceritanya gw ikut dosen forensik gw ke TKP pembunuhan. Di negara kita, mayat pembunuhan ditemukan di TKP, digotong polisi dulu ke rumah sakit, baru otopsinya belakangan. Padahal kalau dokter forensiknya diundang sendiri ke TKP saat mayatnya masih tergeletak, akan banyak sekali petunjuk perkara yang bisa ditarik di situ.

Tapi dari semua itu, yang jadi perhatian gw adalah kenyataan bahwa dokter forensik sering banget dipanggil oleh kepolisian. Permintaan otopsi biasanya dateng dari polisi yang minta keterangan apakah korban pembunuhan itu dibunuh dengan sengaja atau memang bunuh diri, dibunuh dari jarak dekat atau jarak jauh, pokoknya kayak gitu deh. Sama sekali bukan masalah kalau tugas dokter hanya cerita apa adanya. Tapi jadi nyebelin kalau kita ditowel oleh oknum-oknum siyalan yang request-nya jelek-jelek, misalnya:
1. "Dok, jangan ditulisin ya kalau pelurunya 9 mm."
2. "Dok, jangan ditulis kalau korban ditembak dari jarak jauh."
3. "Dok, jangan ditulis kalau lengan korban yang megangin pistol ke kepalanya itu, nggak kaku."
4. "Dok, jangan ditulis kalau luka tembaknya sebenarnya ada dua."
5. "Dok, anaknya sekolah di SD Ibu Pertiwi, kan? Nurut aja sama permintaan kami ya."

Gw nggak kepingin lagi jadi dokter forensik. Gw sangat salut kepada kolega-kolega gw yang mau jadi dokter forensik, coz mereka bersedia jadi saksi kunci untuk kasus-kasus hukum pidana yang njelimet. Mudah-mudahan mereka nggak diteror oleh mafia-mafia jahat yang takut mereka ngomong jujur. Karena, dokter itu, harus berkata apa adanya.