Tuesday, December 22, 2009

Berkah Tanpa Batas

Seorang teman konsul ke gw kemaren, dia warga negara Jepang yang lagi pertukaran mahasiswa di Bandung, dan dia baru aja beli obat antimalaria coz takut kena. Tadinya gw bilang bahwa malaria udah nggak eksis lagi di Bandung, jadi dia nggak usah minum obat itu. Tapi ternyata dia mau pergi ke Kalimantan dalam waktu dekat, jadi dia pikir sebaiknya dia minum obat itu dan sekarang dia mengkuatirkan efek sampingnya. Gw kasih dia beberapa nasehat medis dan bilang dia nggak perlu kuatir.

Ngomong-ngomong soal malaria, gw jadi inget waktu gw masih kerja di Kalimantan tahun lalu. Gw mungkin sudah beberapa kali nulis bahwa sepanjang setahun lalu gw kerja jadi dokter pegawai tidak tetap di Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Keputusan yang cukup berani yang pernah gw bikin coz selama gw tinggal di sana, gw nggak pernah minum obat antimalaria sama sekali. Dan syukurlah gw nggak pernah kena. Padahal hampir semua teman gw yang kerja PTT di Cali sana pada bawa oleh-oleh malaria di badannya waktu pulang.

Untuk perlindungan gw sendiri, gw menginvestasikan duit gw dengan belanja obat nyamuk buat di rumah dan melumuri bodi gw dengan lotion anti nyamuk sehari-hari. Gw pernah dianjurin buat masang kelambu juga, tapi gw tolak. Soalnya, gw bingung cara nyucinya gimana. Gw malah pikir kelambu itu lebih potensial bikin alergi debu ketimbang melindungi dari nyamuk.

Minggu lalu, gw ketemu seorang kolega gw waktu gw masih di Cali dulu. Dia ini dokter yang sama angkatan PTT-nya sama gw, berangkat dari upacara pelepasan yang sama, kerja di provinsi yang sama. Cuman bedanya, gw kerja di Pulang Pisau, dia kerja di Pegatan, jadi selama setahun itu kita berdua nggak pernah ketemu.

Kolega gw itu ngasih tahu gw bahwa ketika kontrak kerja kami di sana sama-sama berakhir akhir Agustus lalu, dia sendiri baru pulang ke Jakarta pada minggu kedua bulan September. Padahal gw waktu itu kan sudah pulang ke Bandung pada minggu terakhir Agustus. Ternyata, kolega gw itu sudah berencana pulang pas minggu pertama Septembernya, tetapi dia nggak bisa berangkat, coz bandara Cilik Riwut di Palangka ketutupan asap pekat akibat pembakaran hutan. Menunggu dua minggu itu sangat bikin BT, coz uang transport kita sesudah masa tugas berakhir itu kan nggak ditanggung oleh Dinas. Siapa juga sih yang mau nginep di hotel sampai dua minggu cuman gara-gara nungguin kabut asap reda?

Gw jadi inget, pada minggu-minggu sebelum gw pulang itu, gw geregetan coz takut nggak bisa pulang. Pembakaran hutan sudah terjadi sejak bulan Juli 2009, melingkupi sebagian wilayah Kalimantan Tengah. Kalau gw keluar dari apartemen gw subuh-subuh, gw nggak bisa lihat jauh coz ada kabut asap, cuman waktu itu belum parah-parah amat, coz kalau udah lewat jam delapan pagi kabutnya ilang. Tapi menginjak minggu pertama Agustus, staf kantor gw yang kerja di Bandara Cilik Riwut melapor bahwa kabut asap mulai menghalangi pesawat yang mau mendarat ataupun yang mau terbang. Perasaan gw waktu itu, this is not good.

Ketika surat pengakhiran kontrak gw keluar pada minggu terakhir Agustus, gw langsung berkemas dan terbang dengan pesawat pertama dari Palangka ke Jakarta. Ternyata, sehari sesudah gw terbang itu, kabut asap di Palangka makin pekat dan sudah sampai ke taraf mengganggu kegiatan kota. Anak-anak sekolah berangkat lebih siang, coz jalanan sudah nggak kelihatan di pagi hari, sehingga sekolah terpaksa memundurkan jam belajarnya. Bahkan mereka yang berangkat pagi pun terpaksa pakai masker coz sudah mulai banyak yang batuk-batuk. Beberapa hari sesudah gw terbang dari Palangka itu, bandara ditutup coz pesawat-pesawat nggak berani mendarat. Orang-orang yang mau terbang, terpaksa berjuang buat nggandol travel ke Banjar supaya mereka bisa terbang dari sana. Padahal jalan Trans Kalimantan dari Palangka ke Banjar sudah kena kabut juga. Termasuk kolega gw, akhirnya baru bisa pulang ke Jakarta pada minggu kedua September, coz baru pada saat itu pesawat berani beraktivitas di Palangka.

Gw baru nyadar bahwa selama gw kerja di Cali itu gw betul-betul dilindungi Tuhan. Semua kolega gw pulang dari tugas PTT sambil bawa malaria di badannya, tapi gw satu-satunya yang nggak kena, padahal gw nggak minum obat. Kalau sehari aja gw telat beli tiket terbang dari Palangka waktu gw pulang, barangkali gw bisa terkatung-katung lebih lama di sana tanpa kepastian. Hanya Tuhan yang tahu kapan kabut asap itu akan berakhir.

Nggak ada batasnya, berkah yang diturunkan Tuhan itu buat gw. Dan gw sangat bersyukur untuk itu.