Akhirnya, gw masuk koran (lagi)!
*Ada apa, Vic, lu sakit maag sampai batal kunjungan kerja di Makassar?*
(Bukan!)
*Apa kampanye caleg lu gagal gara-gara pembagian sembako lu dituduh sebagai politik duit?*
(Bukaan!)
*Jadi kenapa dong? Hah, pasti lu baru konferensi pers ya, bilang bahwa lu nggak sengaja meremas bokong si tante itu di film Pijit Atas Tekan Bawah?*
(Little Laurent, lu pernah ditabok pake gagang sapu, nggak?)
*Jadi kenapa lu masuk koran?!*
(Tulisan gw tentang pencegahan HIV dimuat di situ.)
*Ya elah, gw kirain kenapa gitu. Gitu aja bangga!*
(Gw langsung ngejar-ngejar Little Laurent sambil bawa sapu)
Gw terperanjat waktu gw baca e-mail di ruang tivi hostess gw. Redaksi sebuah koran bertiras paling besar di Kalimantan Tengah, ngabarin bahwa tulisan gw dimuat di edisi hari ini. Bingung, apa yang harus gw lakukan? Mau sorak-sorai, tapi takut hostess gw kaget dan kena serangan jantung. Gw mau lompat tinggi, tapi gw takut langit-langit rumah hostess gw jebol. *Jangan berlebihan dong, Vic. Lu kan kate!* Hwaa..serba salah!
Halaman koran itu mencetak mana nama gw dan nama instansi tempat kerja gw. Bahkan di antara huruf-huruf kecil itu, gw bisa liat wajah orang-orang yang sumringah menatap gw. Bonyok gw, yang nggak pernah ngedukung karier menulis gw. Grandpa, yang sampai meninggalnya masih ngomporin gw buat jadi penulis. Grandpa gw yang satu lagi, yang selalu mengkliping nama cucu-cucunya yang masuk koran gara-gara menang undian. Mantan pacar gw, yang mungkin bakalan berkata dengan ketus, "Tumben kamu nggak nulis tentang putusnya kita buat dimasukin koran?"
Hati gw yang kege-eran, segera ingat siapa aja yang telah bikin gw sirik karena tulisannya di koran. Gw seperti kolega gw Andri Harmaya, yang tulisannya dimuat di Banjarmasin Post. Gw seperti kolega gw Genis Wahyu, yang (katanya) bolak-balik "menulis artikel kesehatan populer di berbagai media cetak". Oh tidak, gw seperti idola gw Carrie Bradshaw, yang nulis kolom Sex and the City di New York Star tiap minggu. Sekarang, gw telah jadi seleb!
Lebih tepatnya, gw adalah selebriti Kalimantan Tengah.
Beuh! Pikiran narsis itu gw tunda dulu. Tidak, gw belum jadi seleb kalo gw belum..
Gw nelfon redaksinya. Lalu gw tanyain apa gw dapet honorarium atas tulisan gw.
Jawab perempuan itu, "Oh, tidak ada, Bu. Itu cuma-cuma. Kami belum menyediakan anggaran untuk itu."
Gw nutup telepon dan ketawa ngakak. Huahauhaha! Gw nggak dibayar!
Lima tahun lalu, gw nulis dan ngabisin 15% dari sebuah halaman di Pikiran Rakyat dan gw dibayar. Nggak banyak, tapi cukup buat beli parfum. Hari ini, tulisan gw ngabisin 30% dari sebuah halaman koran terbesar di Kalimantan Tengah dan gw nggak dibayar. Padahal 25-30% koran itu isinya iklan melulu. Kalo kata orang Jawa, ediann tenaan..!
*Vic, jangan matre,* kata Little Laurent sok bijak. *Lu kan nulis itu buat cari nilai kredit untuk akreditasi dokter. Dan mana idealisme lu bahwa seharusnya tiap profesi nulis di koran untuk membantu mencerdaskan wawasan masyarakat?!*
Saat itulah gw sadar bahwa kalo ada seratus koran aja yang mikir kayak Little Laurent, dunia pers nggak akan maju-maju.
Ada alasan kenapa orang malas baca koran. Karena koran itu harus beli. Jalan satu-satunya merayu orang beli koran, adalah dengan kasih tulisan yang menarik. Apa ada orang mau beli koran yang isinya cuman iklan caleg?!
Kadang-kadang tulisan di koran bikin jenuh. Lha yang nulis orangnya itu-itu aja. Maka selain ada wartawan sebagai penulis tetap, juga harus ada kontributor tidak tetap yang punya ide tulisan yang kira-kira lebih segar. Kontributor ini bisa diundang dari masyarakat pembaca. Persoalannya pembaca mana yang mau nulis buat koran itu?
Terus terang aja, daripada nulis di koran, mendingan nulis untuk internet. Tulisan di koran hanya dibaca sebentar, berikutnya jadi bungkus kacang. Tapi sekali tulisan dimuat di internet, itu dimuat selamanya di direktori Google. Masa depan jurnalisme ada di tangan media online, bukan di tangan media cetak. Kalo koran nggak mau upgrade diri, termasuk kasih stimulan pada kontributor tidak tetapnya, koran itu harus siap-siap gulung tikar.
Dunia menulis tidak dihargai tinggi di negeri kita, setidaknya tidak di tingkat daerah. Bahkan koran dengan pembaca terbanyak di sini pun nggak menghargai kontributor dengan layak. Mungkin mereka nggak tau bahwa tulisan kita itu mahal.
Kalo kamu udah berani nulis di blog, berarti kamu boleh disebut mahal. Karena kamu berani keluarkan ide pikiran kamu dan kamu nggak takut dikomentarin macam-macam oleh orang asing di forum yang penuh orang yang nggak kamu kenal. Mahal bukanlah masalah host blog kita berbayar, atau kamu dibayar untuk menulis sesuatu. Mahal adalah harga pikiran kita yang orisinil.
Tiru Carrie Bradshaw. Dia minta honor 4 sen PER HURUF. Karena dia jual ide, bukan cuman jual nama. Kamu juga kan?
*Vic, dari sekian banyak penulis yang bisa dijadiin idola, lu malah pilih karakter fiktif dari film sitkom produksi Fox?!*