Telerr..!
Minggu lalu gw diundang ke pesta pernikahannya orang Dayak. Gw excited banget, bukan lantaran gw bakalan diundang makan-makan gratis, tapi kan ini pesta budayanya orang Dayak, bukan pestanya orang Jawa yang demen saling melempari pisang atau pestanya orang Sunda yang senang menyuapin pasangannya satu sama lain dari belakang leher; dua-duanya adalah event aneh yang takkan terjadi di dunia nyata, selain hanya untuk menyenangkan hati wedding organizer. Gw selalu sebut itu omong kosong, sebab: Gw ngga akan mau melempari dan dilempari pisang oleh suami gw. Gw bukan monyet, dan gw maunya dilemparin surat deposito! Dan kenapa harus suap-suapan dari belakang leher? Memangnya tangannya nggak tau di mana letak mulut?
OK, cukup kisah panjang lebar ngga penting itu. Kali ini gw akan menyoroti pernikahan Dayak Ngaju ini yang jatuh pada hari Kamis. Aneh deh. Kenapa ada orang mau kawin hari Kamis? Malam pertama kok malam Jumat? Nyentrik bener.. Gw sudah dua kali diundang kondangan di Palangka, dan dua-duanya kawin hari Kamis. Malah pernah ada orang kawin hari Rebo dan Selasa. Mungkin kalo diadain resepsinya hari Sabtu atau Minggu, takut pejabat yang diundangnya nggak dateng. Maklumlah, banyak pejabat di Cali yang weekendnya malah liburan ke Jawa.
Dan secara teknis, gw nggak kenal sama pengantennya. Yang punya hajat nih, kakak perempuan dari bapak kost gw. Tapi yang ngundang gw bukan si perempuan itu, melainkan kakak laki-laki dari bapak kost gw, yang tidak lain dan tidak bukan adalah pakde tertua dari sang mempelai perempuan. Bingung? Sama!
Mungkin abangnya bapak kost gw pengen kenalan ama gw, jadi dia kirim undangan ke gw via bapak kost gw. Biarpun bukan dia yang ngunduh mantu, secara teknis dia tetap diitung sebagai yang punya hajat juga, coz dia ada di barisan "Turut mengundang" di undangannya. Tahukah kamu bahwa pada hajatan pernikahan orang sini, yang jadi "Turut mengundang" bisa sampai delapan orang. Kalo diliat dari gelar-gelar para "Turut mengundang" itu, ada haji, ada pendeta, ada S.Sos, ada ST, maka gw tebak, mereka dicantumin sebagai "Turut mengundang" coz ikutan urunan bikin hajatan.
Kawinan mereka untungnya nggak seribet orang Jawa yang upacaranya bisa sampai dua hari dua malam. Acaranya cukup sehari aja, tapi padat. Pagi-pagi mereka kawin secara adat. Lalu ada pemberkatan pernikahan di gereja. Nanti siangnya menikah di catatan sipil. Baru setelah itu resepsi. Gw kasihan sama pengantennya. Malam pertama pasti mereka sakit punggung.
Inti acara kawin adat adalah perjanjian harta gono-gini. Untuk ngedapetin istri, mempelai pria kudu kasih macam-macam sesajen (kayak mau minta proyek sama pejabat aja deh!). Sialnya acara persembahan sesajen itu diadakan dalam bahasa Dayak, jadinya gw ngga ngerti. Pokoknya yang gw tangkep, si cowok kudu ngasih sertifikat properti entah berupa tanah atau rumah, beberapa lembar kain lokal (salah satunya bahalai, biasa dipake perempuan Dayak buat bungkus bodinya kalo abis mandi di sungai), dan tentu saja, duit. Oh ya, kalo nanti sampai terjadi perceraian, menurut mereka, "Pihak yang bersalah harus membayar kepada pihak yang tidak bersalah, ganti rugi sebesar 50 juta rupiah."
Dan jangan dikira kostum kawin mereka cuman pake rompi kayak orang Dayak pemburu jaman dulu. Ternyata mereka pake semacam baju kurung gitu, dan warnanya merah terang, seperti yang gw potret ini, yang malah ngingetin gw sama kostum kawinan Melayu. Waduh, ini sih kurang eksotis menurut gw. Secara umum, pesta mereka terlalu beradab; nggak ada acara nyanyi-nyanyi diiringi gendang, babi guling, atau tuker-tukeran arak seperti yang gw baca di buku-buku Dayak jaman sekolah dulu.
*Vic, lu lagi nyari pesta brutal ya? Vandalism is dead, girl!*
Dan seperti biasa, tapung tawar pun dilakukan pada penganten. Ritualnya kayak posting "Mendadak Dukun" gw minggu lalu, pengantennya dicipratin air beras di jidat dan bahunya sambil didoain. Gw cuman mencemaskan make-up penganten ceweknya. Itu foundation dan bedaknya nggak luntur ya dicipratin air?
Dan kostum adat itu cuman dipake pas acara adat doang. Pas resepsinya mereka pake jas dan gaun putih a la Barat. Hey, kostum adat Dayak nggak laku lho buat resepsi kondangan di sini. Semangat westernisasi mode menggeneralisata bukan semata-mata karena mayoritas orang Dayak pemeluk Kristen. Tapi penganten muslim pun juga pake gaun Barat, bahkan yang berjilbab sekalipun. Entah apa alasannya.
Sayang kesenengan gw jalan-jalan ke kondangannya orang Dayak terganggu oleh tamu-tamu pesta yang nggak diundang. Mungkin lantaran ada beberapa tamu yang rada norak dan ngga terpelajar, jadi mereka ngebul suka-suka di dalam aula resepsi. Tapi yang mencengangkan, sepasukan anak dari sekolah di gedung sebelah masuk dan nyerobot hidangan prasmanan tanpa malu-malu, masih pake seragam lengkap dan tas ransel. Malah ada yang naik ke podium dan salaman segala sama pengantennya. Haiah..kelakuan skanky Indonesia di mana-mana ternyata sama aja..!