Bokap nyokap gw sebaiknya nggak baca blog gw kali ini, coz mereka bisa manyun kalo bukan mesem-mesem asem alias tersenyum kecut. Bayangin mereka udah sekolahin gw tinggi-tinggi, tapi ujung-ujungnya gw malah kepingin jadi tukang gali.
Gw merancang posting ini di sebuah Innova milik travel yang melaju susah-payah di jalan negara Trans Kalimantan yang melintasi desa Tumbangnusa, Pulang Pisau. Namanya sih keren, jalan negara. Tapi tampangnya gombal kayak yang lagi gw potret ini, penuh lumpur karena aspalnya amblas untuk kesekian kalinya. Tukang gali-galian cuman melapisi jalan dengan tanah dan pasir seadanya, sekedar nolongin beban jalan yang nggak kuat dilindas ribuan kendaraan yang kelebihan beban, setiap harinya. Dinas Pekerjaan Umum cuman dikasih anggaran seadanya buat merawat jalan. Dan buat gw, para tukang gali-gali ini nggak melakukan apapun selain sekedar garuk-garuk tanah.
Ingatan gw melayang kepada mantan gw yang baru terbang dari Jawa dan sekarang lagi kerja di Kotawaringin. Semula gw melonjak senang karena akhirnya dia bersama gw lagi. Well, setidaknya dia ada di Kalimantan Tengah. Paling-paling gw ada di sebelah timur propinsi, dan dia ada di sebelah baratnya. Kita bisa ketemu sewaktu-waktu di Palangka, di tengah-tengah propinsi. Ada jalan negara, kan?
Romantisme itu buyar ketika travel kasih tau gw pagi ini. Posisi mantan gw di Kotawaringin itu bisa dicapai dengan travel dari Pulang Pisau, tapi dalam sebelas jam, tidak termasuk berhenti buat makan. Lalu jalur sebelum Sampit selalu banjir di musim hujan. Akan jauh lebih baik kalo pergi ke sana pake Ranger, bukan Innova. Tak ada jalur lain. Itu jalan negara.
Padahal yang butuh jalan nggak cuman gw yang kebelet kepingin ketemu mantan gw. Yang butuh juga rakyat Kalimantan Tengah. Boro-boro jalan negara bisa dipake buat nyebrang ke Kalimantan Barat. Mau dipake buat jalan dari satu kabupaten ke kabupaten lain aja susahnya amit-amit.
Jalan negara itu dibangun dengan membabat hutan kayu rakyat dan menyulapnya jadi perkebunan kelapa sawit. Jalan itu semula ditujukan supaya perusahaan gampang ngangkut hasil bumi pake truk ke pelabuhan. Yang terjadi malah truk ngangkut kayu-kayu dan kelapa itu dengan beban berlebih. Gubernur udah ngatur supaya truk cuman ngangkut 8 ton supaya jalan negaranya nggak stres. Tapi truk-truk yang bandel malah nyogok aparat dinas supaya mereka boleh lewat dengan beban 15 ton.
Selain ulah truk yang nakal, jalan juga gampang rusak coz anggaran yang disediain buat merawat jalan juga cuman seiprit. Pejabat berwenang cuman mau akhir tahun '09 ini seluruh ruas jalan negara selesai dibikin dan menghubungkan semua ibukota kabupaten. Tapi mereka nggak mau tau bahwa anggaran yang dikit cuman bisa dipake buat bikin jalan kualitas rendah. Akibatnya tiap lima tahun, jalan mesti direparasi ulang coz aspalnya gampang jebol. Nyatanya nggak saban lima tahun, sekarang saban musim hujan aja lumpur naik dan nyampur ke jalan, bikin jalan negara jadi mirip bubur.
Rakyat ngomel, tapi nggak ada gunanya. Mobil-mobil di jalan negara kucel semua coz harus bergulat dengan kubangan di tiap kilometer jalan. Lebih kasian lagi para pengendara motor antar kota. Tampang mereka penuh lumpur, ya badan motornya, ya badan pengendaranya.
Bumi Cali memang kaya, tapi rakyatnya melarat. Hasil bumi yang diangkut pake jalan negara yang udah membabat hutan itu, nggak pernah dinikmati rakyatnya. Pariwisata di Kalimantan Tengah susah berkembang, coz belum apa-apa turis udah eneg sama jalan negara yang lebih mirip kubangan lumpur. Sampit (ibukota Kabupaten Kotawaringin Timur) dan Palangka (ibukota Kalimantan Tengah) sama-sama kota utama, tapi keduanya nyaris nggak bersodara, coz terpisah jalan negara yang banjir saban tahun. Nggak heran, Kotawaringin ngebet pengen bikin provinsi sendiri supaya nggak usah tergantung birokrasi Palangka untuk ngembangin daerahnya.
Menyedihkan, kuli-kuli galian asal Dayak menggaruk-garuk tanah hanya untuk proyek perbaikan jalan yang tanpa ujung, tapi jalan ini nggak cukup memadai buat ngontakin sodara-sodara mereka dari Kotawaringin ke Kapuas, atau dari Sebangau ke Murungraya. Dan menyedihkan, gw ada di tanah yang sama dengan mantan kekasih gw, tapi gw nggak bisa nemuin dia karena kondisi jalan yang penuh lumpur. Padahal gw nggak merindukan apa-apa dari dia selain garuk-garuk punggung dia. Tapi dengan kondisi medan kayak gini, gw terpaksa menekan kangen dan cuman bisa garuk-garuk tanah..:(