Sudah beberapa bulan terakhir saya terobsesi sama berat badan. Terutama berat badan janin saya. Gini nih repotnya jadi dokter, saya sampai hafal kalau usia janin sudah sekian minggu, berat badannya si janin mesti segini. Sementara kalau usianya sudah nambah lagi, berarti berat badannya si janin harusnya segitu.
Soal Bayi
Siyalnya saya nggak bisa mantau beratnya si janin saban hari, jadi saya cuman bisa mantau trend-nya sebulan sekali pas lagi periksa ke dokter kandungan. Saban kali USG, yang saya tanyain pertama kali pasti "Berapa berat dia sekarang?" (Dan saya nggak peduli sama sekali soal jenis kelamin.)
Kalau dokternya sudah sebut angka berapa ratus gram, saya selalu tanya apakah itu normal untuk usia kehamilan segitu. Kalau beratnya di bawah rentang normal, saya pasti deg-degan kebat-kebit. Tapi kalau beratnya di atas rentang normal, saya deg-degan juga coz takut sama fenomena giant baby. (Giant baby identik dengan keterlambatan perkembangan otak.)
Jika kalian bukan dokter, sebaiknya kalian bersyukur. Tidak selalu banyak pengetahuan itu berkah.
Karena saya cuman bisa nimbang beratnya si janin sebulan sekali, maka yang bisa saya timbang cuman berat saya sendiri. Saya nimbang berat saya seminggu sekali, pake timbangan di rumah. Menyimpulkan hasil timbangan harus mainin mindset di otak juga. Kalau beratnya naik, saya selalu berusaha berkata, "Alhamdulillah, si janin pasti makin gede nih." Tapi kalau beratnya nggak naik, saya rada kecewa coz saya mengharapkan si janin makin besar, dan pikiran itu buru-buru saya ganti dengan "Baiklah, seenggaknya gw nggak perlu beli baju baru."
Percayalah, kehamilan ini adalah urusan permainan pikiran. Mind game.
Soal Suami
Selain ngurusin berat sendiri sama berat si janin, berat badan my hunk jadi urusan saya juga. Ceritanya sebulan yang lalu, my hunk diajakin koleganya ke gym. Di sana dos-q diukurin pake timbangan entah apalah gitu, lalu seorang personal trainer di sana ngeluarin selembar kertas dari mesin. Kertas itu berisi angka-angka aneh yang intinya nyebut kalau my hunk kekurusan. Dengan tinggi badan segitu harusnya beratnya lebih gede lagi, tapi my hunk enggak. Trainer-nya bilang, yah ujung-ujungnya sih promosi emang, kalau mau nge-gym di situ mereka bisa bantu my hunk gedein massa otot, bikin beratnya lebih ideal, dan lain-lain.
Dos-q nggak peduli, tentu saja, coz dos-q lebih enjoy sepedaan subuh-subuh keliling Surabaya timur daripada bayar banyak-banyak buat nge-gym. Tapi saya membaca kertas itu dan mutusin bahwa si personal trainer tukang promo memang benar. Suami saya memang kurus. Setidaknya, dos-q bukan masuk kategori yang terbilang aman dari sindroma metabolik menurut WHO. Kalau dos-q begini-begini terus, kami akan menghabiskan waktu pensiun kami dengan bolak-balik ke rumah sakit untuk nganterin my hunk cuci darah. Terus kapan saya liburan ke Lithuania, kalau gitu?
Jadi saya browsing-browsing, baca-baca tentang kebutuhan nutrisi, dan nyocokin dengan menu di rumah. Semakin dibaca, semakin saya kepingin tepok jidat. Selama ini saya salah. My hunk salah. Keluarga kami salah. In fact, orang Indonesia salah. Gizi kita memang salah semua. Ada ketidakseimbangan antara karbohidrat, lemak, dan protein. Volume masing-masing zatnya masih kurang. Dan timing nutrisi yang tidak tepat. Efeknya? Gampang ngantuk sesudah sarapan, tidur di malam hari nggak nyenyak, ketergantungan terhadap ngemil, kurus waktu muda tapi gemuk nggak terkendali waktu tua.
Maka sekarang saya bikin jadwal masak tiap hari. Di leptop saya ada kalender kosong yang isinya menu makanan seminggu untuk saya dan my hunk. Tiap menu, udah saya itung jumlah karbo, protein, plus lemaknya. Malah saya itung jumlah natriumnya dan kolesterolnya juga (yang ini untuk pembiasaan supaya kami nggak tergantung pada garam dan lemak. Tentu saja tujuan akhirnya supaya pada waktu tua nanti kami nggak kelebihan kolesterol atau kena hipertensi).
Minggu ini kami periksa ke dokter kandungan. Saya nimbang berat saya. My hunk numpang nimbang beratnya sendiri juga. Pulang-pulang, saya tanya beratnya dos-q berapa. Lalu dos-q bilang, ternyata dalam sebulan ini dos-q naik tiga kilo. Saya sama sekali nggak bisa menggambarkan betapa bahagianya saya.
Waktu dos-q mulai memacari saya lima tahun yang lalu, dos-q 10 kilo lebih kurus daripada sekarang. Dan lihatlah hari ini dos-q 10 kilo lebih berat daripada semenjak kami pertama kali berkencan, dan beratnya naik pesat 3 kilo dalam sebulan terakhir semenjak saya bikin program pengaturan makanan untuk dos-q.
Balik ke Soal Bayi Lagi
Semalem saya dapet kabar, kolega saya yang sama-sama hamil 32 minggu juga, tahu-tahu melahirkan. Anak itu laki-laki, tapi beratnya masih 1,6 kilo. Persalinan prematur. Tak ada yang tahu sebabnya.
Ini sudah 48 jam, tapi si bayi sudah mulai kelaparan. Karena masih anak pertama, kolega saya belom keluar ASI-nya. Mereka terpaksa kasih anak malang itu susu formula. Sebagai sesama ibu, saya sedih diceritain begitu.
Saya hanya bisa bilang ke kolega saya, kamu jangan sedih. Semoga ASI-mu segera keluar. Karena hanya perasaan senang yang bisa merangsang hormon oksitosin untuk mengeluarkan ASI kita. Kan kita sudah diajarin itu di bangku kuliah.
Tapi saya nggak mau mengingatkannya sebuah bab menyedihkan di textbook kuliah kami tentang anak-anak prematur di bawah berat dua kilo yang akhirnya meninggal atau sakit berat karena organ-organ yang memang belum berfungsi baik.
Jadi saya hanya mengelus perut saya sendiri dan mengingat bagaimana dokter kandungan meng-USG anak saya dan mengumumkan bahwa beratnya sudah 1,9 kilo. Sama-sama 32 minggu kayak anak kolega saya yang lahir sebelum waktunya itu. Ya Tuhan, terima kasih saya belom kontraksi. Sungguh baru sekarang saya menghargai every 100 grams of weight that He Gives.
Setelah kau menikah, kau akan lebih menghargai kesehatanmu.
Setelah kau menjadi orang tua, kau akan lebih menghargai rejekimu.
Rejeki itu nggak selalu berupa duit, kadang-kadang rejeki itu berupa peningkatan berat badan.
Dan dengan cara itu, kau bersyukur dengan lebih baik dan belajar menghargai hidup.
http://georgetterox.blogspot.com
http://laurentina.wordpress.com
Soal Bayi
Siyalnya saya nggak bisa mantau beratnya si janin saban hari, jadi saya cuman bisa mantau trend-nya sebulan sekali pas lagi periksa ke dokter kandungan. Saban kali USG, yang saya tanyain pertama kali pasti "Berapa berat dia sekarang?" (Dan saya nggak peduli sama sekali soal jenis kelamin.)
Kalau dokternya sudah sebut angka berapa ratus gram, saya selalu tanya apakah itu normal untuk usia kehamilan segitu. Kalau beratnya di bawah rentang normal, saya pasti deg-degan kebat-kebit. Tapi kalau beratnya di atas rentang normal, saya deg-degan juga coz takut sama fenomena giant baby. (Giant baby identik dengan keterlambatan perkembangan otak.)
Jika kalian bukan dokter, sebaiknya kalian bersyukur. Tidak selalu banyak pengetahuan itu berkah.
Karena saya cuman bisa nimbang beratnya si janin sebulan sekali, maka yang bisa saya timbang cuman berat saya sendiri. Saya nimbang berat saya seminggu sekali, pake timbangan di rumah. Menyimpulkan hasil timbangan harus mainin mindset di otak juga. Kalau beratnya naik, saya selalu berusaha berkata, "Alhamdulillah, si janin pasti makin gede nih." Tapi kalau beratnya nggak naik, saya rada kecewa coz saya mengharapkan si janin makin besar, dan pikiran itu buru-buru saya ganti dengan "Baiklah, seenggaknya gw nggak perlu beli baju baru."
Percayalah, kehamilan ini adalah urusan permainan pikiran. Mind game.
Soal Suami
Selain ngurusin berat sendiri sama berat si janin, berat badan my hunk jadi urusan saya juga. Ceritanya sebulan yang lalu, my hunk diajakin koleganya ke gym. Di sana dos-q diukurin pake timbangan entah apalah gitu, lalu seorang personal trainer di sana ngeluarin selembar kertas dari mesin. Kertas itu berisi angka-angka aneh yang intinya nyebut kalau my hunk kekurusan. Dengan tinggi badan segitu harusnya beratnya lebih gede lagi, tapi my hunk enggak. Trainer-nya bilang, yah ujung-ujungnya sih promosi emang, kalau mau nge-gym di situ mereka bisa bantu my hunk gedein massa otot, bikin beratnya lebih ideal, dan lain-lain.
Dos-q nggak peduli, tentu saja, coz dos-q lebih enjoy sepedaan subuh-subuh keliling Surabaya timur daripada bayar banyak-banyak buat nge-gym. Tapi saya membaca kertas itu dan mutusin bahwa si personal trainer tukang promo memang benar. Suami saya memang kurus. Setidaknya, dos-q bukan masuk kategori yang terbilang aman dari sindroma metabolik menurut WHO. Kalau dos-q begini-begini terus, kami akan menghabiskan waktu pensiun kami dengan bolak-balik ke rumah sakit untuk nganterin my hunk cuci darah. Terus kapan saya liburan ke Lithuania, kalau gitu?
Jadi saya browsing-browsing, baca-baca tentang kebutuhan nutrisi, dan nyocokin dengan menu di rumah. Semakin dibaca, semakin saya kepingin tepok jidat. Selama ini saya salah. My hunk salah. Keluarga kami salah. In fact, orang Indonesia salah. Gizi kita memang salah semua. Ada ketidakseimbangan antara karbohidrat, lemak, dan protein. Volume masing-masing zatnya masih kurang. Dan timing nutrisi yang tidak tepat. Efeknya? Gampang ngantuk sesudah sarapan, tidur di malam hari nggak nyenyak, ketergantungan terhadap ngemil, kurus waktu muda tapi gemuk nggak terkendali waktu tua.
Maka sekarang saya bikin jadwal masak tiap hari. Di leptop saya ada kalender kosong yang isinya menu makanan seminggu untuk saya dan my hunk. Tiap menu, udah saya itung jumlah karbo, protein, plus lemaknya. Malah saya itung jumlah natriumnya dan kolesterolnya juga (yang ini untuk pembiasaan supaya kami nggak tergantung pada garam dan lemak. Tentu saja tujuan akhirnya supaya pada waktu tua nanti kami nggak kelebihan kolesterol atau kena hipertensi).
Minggu ini kami periksa ke dokter kandungan. Saya nimbang berat saya. My hunk numpang nimbang beratnya sendiri juga. Pulang-pulang, saya tanya beratnya dos-q berapa. Lalu dos-q bilang, ternyata dalam sebulan ini dos-q naik tiga kilo. Saya sama sekali nggak bisa menggambarkan betapa bahagianya saya.
Waktu dos-q mulai memacari saya lima tahun yang lalu, dos-q 10 kilo lebih kurus daripada sekarang. Dan lihatlah hari ini dos-q 10 kilo lebih berat daripada semenjak kami pertama kali berkencan, dan beratnya naik pesat 3 kilo dalam sebulan terakhir semenjak saya bikin program pengaturan makanan untuk dos-q.
Balik ke Soal Bayi Lagi
Semalem saya dapet kabar, kolega saya yang sama-sama hamil 32 minggu juga, tahu-tahu melahirkan. Anak itu laki-laki, tapi beratnya masih 1,6 kilo. Persalinan prematur. Tak ada yang tahu sebabnya.
Ini sudah 48 jam, tapi si bayi sudah mulai kelaparan. Karena masih anak pertama, kolega saya belom keluar ASI-nya. Mereka terpaksa kasih anak malang itu susu formula. Sebagai sesama ibu, saya sedih diceritain begitu.
Saya hanya bisa bilang ke kolega saya, kamu jangan sedih. Semoga ASI-mu segera keluar. Karena hanya perasaan senang yang bisa merangsang hormon oksitosin untuk mengeluarkan ASI kita. Kan kita sudah diajarin itu di bangku kuliah.
Tapi saya nggak mau mengingatkannya sebuah bab menyedihkan di textbook kuliah kami tentang anak-anak prematur di bawah berat dua kilo yang akhirnya meninggal atau sakit berat karena organ-organ yang memang belum berfungsi baik.
Jadi saya hanya mengelus perut saya sendiri dan mengingat bagaimana dokter kandungan meng-USG anak saya dan mengumumkan bahwa beratnya sudah 1,9 kilo. Sama-sama 32 minggu kayak anak kolega saya yang lahir sebelum waktunya itu. Ya Tuhan, terima kasih saya belom kontraksi. Sungguh baru sekarang saya menghargai every 100 grams of weight that He Gives.
Setelah kau menikah, kau akan lebih menghargai kesehatanmu.
Setelah kau menjadi orang tua, kau akan lebih menghargai rejekimu.
Rejeki itu nggak selalu berupa duit, kadang-kadang rejeki itu berupa peningkatan berat badan.
Dan dengan cara itu, kau bersyukur dengan lebih baik dan belajar menghargai hidup.
http://georgetterox.blogspot.com
http://laurentina.wordpress.com