Salah satu poin penting
dari perencanaan keuangan ialah bagaimana mengembangkan aset yang ada supaya
jadi banyak menghasilkan dan bagaimana melindungi aset yang ada supaya nggak
sampek hilang oleh hal-hal yang nggak terduga. Salah satu musibah yang sering
bikin kita bangkrut itu adalah kalau kita sakit.
Sebenarnya bukanlah
penyakit itu yang bikin bangkrut, bukan juga harga obatnya apalagi biaya
dokternya, tetapi rumah sakitnya itulah yang bikin bangkrut. Bahkan penyakit Indonesia
yang paling sering bikin mati yaitu serangan jantung, sebenarnya nggak akan
menggorok isi dompet penderitanya asalkan pilih dokter yang cerdas di Puskesmas
yang tepat, dan obat-obatan yang diperlukan sebetulnya sudah ditanggung oleh
Jamkesmas. Jadi nggak benar itu kalau ada pameo “orang miskin nggak boleh
sakit”. Yang bener adalah “orang miskin nggak boleh (masuk rumah) sakit
(swasta).”
Kenapa rumah sakit adalah
biang keroknya penyebab bangkrut? Karena sebagaimana institusi penyedia
layanan, rumah sakit harus sediain tempat tidur. Ada biaya cuci sprei. Biaya
ngepel lantai. Biaya nyediain makanan. Biaya listrik dan air mandi buat pasien.
Belum lagi kalau keluarganya ikutan numpang ngecharge poncin dan radio
transistor dan ikutan nyuci baju. Untuk mengompensasi semua itu maka rumah sakit
matok harga tarif kamar, dan harga inilah yang sering dikeluhkan oleh pasien
itu sebagai harga mahal.
Asuransi kesehatan
bertindak pada isu ini dengan meng-cover tarif inap sehingga nasabahnya nggak
perlu bayar “biaya kamar” kalau harus diopname. Pada kenyataannya, meskipun
ditanggung asuransi pun tetap aja keluarga pasiennya keluar duit banyak karena
untuk menungguin pasien kan keluarga tetap harus makan. Karena asuransinya
cuman nanggung kelas tiga misalnya, maka keluarga penunggu pun tidur di lantai
dan lama-lama jadi masuk angin. Lama-lama jadi ikutan sakit. Maka jumlah
manusia sakit yang tadinya cuman satu pun jadi dobel.
Jauh lebih bagus bagi
nasabah jika pasiennya berobat jalan ke poliklinik rumah sakit, bukan diopname.
Memang harga obat secara keseluruhan yang keluar akan lebih banyak (bayangkan
kalau obat itu harus diminum seumur hidup, berapa harga yang harus dibayar?),
tapi kan tetap lebih efisien juga karena nasabah tetap bisa menjalankan
aktivitasnya sehari-hari kendati sedang menjalani pengobatan. Siyalnya banyak
asuransi belum meng-cover rawat jalan ini, mereka baru mau gantiin duit nasabah
kalau nasabahnya rawat inap doang. Soalnya kebanyakan asuransi masih berupa
asuransi jiwa, bukan asuransi kesehatan. Prinsip asuransi jiwa itu, kalau nyawa
hilang maka keluarganya akan dapet duit kompensasi. Tapi kalau nasabahnya masih
hidup tapi harus berobat seumur hidup, maka asuransi nggak akan gantiin karena
nasabahnya masih dianggap belum hilang nyawanya.
Asuransi kesehatan yang
dibayarkan preminya melalui gaji pegawai negeri sipil atau tentara sebetulnya
sudah bertingkah baik dengan membayari obat dan rumah sakit saban kali
nasabahnya berobat jalan. Tetapi rujukannya seringkali ribet dan menyusahkan
nasabahnya sendiri. Untuk berobat gratis, ia harus berobat di rumah sakit
tertentu. Supaya ia bisa ke rumah sakit tersebut, ia harus punya surat
pengantar dari Puskesmas tertentu. Untuk bisa diladeni Puskesmas tersebut, ia
harus menunjukkan KTP bahwa ia adalah warga kelurahan yang menjadi wilayah
kerja Puskesmas tersebut. Bayangkan seandainya ia adalah warga Pondok Indah
Jakarta, yang sedang surfing di Nias dan tahu-tahu kecelakaan dan telinganya
kemasukan ubur-ubur. Ia nggak bisa dirawat gratis di Sibolga karena secara
administratif kelurahan di Pondok Indah nggak boleh merujuknya ke rumah sakit
di Sibolga. Siapa bilang punya asuransi kesehatan itu selalu enak?
Belum lagi konsep sakit
menurut dokter dan menurut asuransi sendiri masih belum sinkron. Menurut
asuransi, sakit masih dianggap sesuatu yang harus mengancam nyawa atau
mengganggu pekerjaan, intinya berdampak ke urusan perekonomian. Alhasil orang
yang mandul dan kepingin berobat kesuburan nggak disebut sakit. Baru kalau
kandung telurnya ketangkep ada kistanya, asuransi baru bersedia mengompensasi
karena kista berpotensial jadi kanker. Jadi alasan asuransi menanggung
nasabahnya adalah karena takut nasabahnya mati lantaran kanker, bukan karena
takut nasabahnya mandul.
Idealnya asuransi
kesehatan mestinya bisa melindungi nasabahnya setiap saat, tanpa pilih-pilih
waktu, tanpa pilih-pilih penyakit, tanpa pilih-pilih metode pengobatan.
Asuransi kesehatan mestinya tetap bisa melindungi nasabahnya di mana aja selama
asuransi tersebut masih di wilayah kerja Indonesia. Asuransi kesehatan mestinya
tetap nurut sama dokter apapun penyakitnya karena dokter bekerja untuk
kesehatan manusia, bukan untuk kesehatan perekonomian. Dan asuransi mestinya
tetap bisa mbayarin nasabahnya biarpun nasabahnya berobat jalan untuk seumur
hidup.
Apakah sudah ada asuransi
yang seperti itu?