Saturday, July 27, 2013

PR buat Asuransi Kesehatan

Salah satu poin penting dari perencanaan keuangan ialah bagaimana mengembangkan aset yang ada supaya jadi banyak menghasilkan dan bagaimana melindungi aset yang ada supaya nggak sampek hilang oleh hal-hal yang nggak terduga. Salah satu musibah yang sering bikin kita bangkrut itu adalah kalau kita sakit.

Sebenarnya bukanlah penyakit itu yang bikin bangkrut, bukan juga harga obatnya apalagi biaya dokternya, tetapi rumah sakitnya itulah yang bikin bangkrut. Bahkan penyakit Indonesia yang paling sering bikin mati yaitu serangan jantung, sebenarnya nggak akan menggorok isi dompet penderitanya asalkan pilih dokter yang cerdas di Puskesmas yang tepat, dan obat-obatan yang diperlukan sebetulnya sudah ditanggung oleh Jamkesmas. Jadi nggak benar itu kalau ada pameo “orang miskin nggak boleh sakit”. Yang bener adalah “orang miskin nggak boleh (masuk rumah) sakit (swasta).”


Kenapa rumah sakit adalah biang keroknya penyebab bangkrut? Karena sebagaimana institusi penyedia layanan, rumah sakit harus sediain tempat tidur. Ada biaya cuci sprei. Biaya ngepel lantai. Biaya nyediain makanan. Biaya listrik dan air mandi buat pasien. Belum lagi kalau keluarganya ikutan numpang ngecharge poncin dan radio transistor dan ikutan nyuci baju. Untuk mengompensasi semua itu maka rumah sakit matok harga tarif kamar, dan harga inilah yang sering dikeluhkan oleh pasien itu sebagai harga mahal.

Asuransi kesehatan bertindak pada isu ini dengan meng-cover tarif inap sehingga nasabahnya nggak perlu bayar “biaya kamar” kalau harus diopname. Pada kenyataannya, meskipun ditanggung asuransi pun tetap aja keluarga pasiennya keluar duit banyak karena untuk menungguin pasien kan keluarga tetap harus makan. Karena asuransinya cuman nanggung kelas tiga misalnya, maka keluarga penunggu pun tidur di lantai dan lama-lama jadi masuk angin. Lama-lama jadi ikutan sakit. Maka jumlah manusia sakit yang tadinya cuman satu pun jadi dobel.

Jauh lebih bagus bagi nasabah jika pasiennya berobat jalan ke poliklinik rumah sakit, bukan diopname. Memang harga obat secara keseluruhan yang keluar akan lebih banyak (bayangkan kalau obat itu harus diminum seumur hidup, berapa harga yang harus dibayar?), tapi kan tetap lebih efisien juga karena nasabah tetap bisa menjalankan aktivitasnya sehari-hari kendati sedang menjalani pengobatan. Siyalnya banyak asuransi belum meng-cover rawat jalan ini, mereka baru mau gantiin duit nasabah kalau nasabahnya rawat inap doang. Soalnya kebanyakan asuransi masih berupa asuransi jiwa, bukan asuransi kesehatan. Prinsip asuransi jiwa itu, kalau nyawa hilang maka keluarganya akan dapet duit kompensasi. Tapi kalau nasabahnya masih hidup tapi harus berobat seumur hidup, maka asuransi nggak akan gantiin karena nasabahnya masih dianggap belum hilang nyawanya.

Asuransi kesehatan yang dibayarkan preminya melalui gaji pegawai negeri sipil atau tentara sebetulnya sudah bertingkah baik dengan membayari obat dan rumah sakit saban kali nasabahnya berobat jalan. Tetapi rujukannya seringkali ribet dan menyusahkan nasabahnya sendiri. Untuk berobat gratis, ia harus berobat di rumah sakit tertentu. Supaya ia bisa ke rumah sakit tersebut, ia harus punya surat pengantar dari Puskesmas tertentu. Untuk bisa diladeni Puskesmas tersebut, ia harus menunjukkan KTP bahwa ia adalah warga kelurahan yang menjadi wilayah kerja Puskesmas tersebut. Bayangkan seandainya ia adalah warga Pondok Indah Jakarta, yang sedang surfing di Nias dan tahu-tahu kecelakaan dan telinganya kemasukan ubur-ubur. Ia nggak bisa dirawat gratis di Sibolga karena secara administratif kelurahan di Pondok Indah nggak boleh merujuknya ke rumah sakit di Sibolga. Siapa bilang punya asuransi kesehatan itu selalu enak?

Belum lagi konsep sakit menurut dokter dan menurut asuransi sendiri masih belum sinkron. Menurut asuransi, sakit masih dianggap sesuatu yang harus mengancam nyawa atau mengganggu pekerjaan, intinya berdampak ke urusan perekonomian. Alhasil orang yang mandul dan kepingin berobat kesuburan nggak disebut sakit. Baru kalau kandung telurnya ketangkep ada kistanya, asuransi baru bersedia mengompensasi karena kista berpotensial jadi kanker. Jadi alasan asuransi menanggung nasabahnya adalah karena takut nasabahnya mati lantaran kanker, bukan karena takut nasabahnya mandul.

Idealnya asuransi kesehatan mestinya bisa melindungi nasabahnya setiap saat, tanpa pilih-pilih waktu, tanpa pilih-pilih penyakit, tanpa pilih-pilih metode pengobatan. Asuransi kesehatan mestinya tetap bisa melindungi nasabahnya di mana aja selama asuransi tersebut masih di wilayah kerja Indonesia. Asuransi kesehatan mestinya tetap nurut sama dokter apapun penyakitnya karena dokter bekerja untuk kesehatan manusia, bukan untuk kesehatan perekonomian. Dan asuransi mestinya tetap bisa mbayarin nasabahnya biarpun nasabahnya berobat jalan untuk seumur hidup.

Apakah sudah ada asuransi yang seperti itu?