Lebaran itu seharusnya sholat Id bersama keluarga, tetapi tahun lalu saya
menghabiskan Lebaran dengan mengurusin orang-orang yang mau melahirkan di rumah
sakit.
Saya mahasiswa sekolah spesialisasi kedokteran kandungan dan tahun lalu
saya ditugaskan magang di sebuah rumah sakit di Sidoarjo selama tiga minggu
sekitar Lebaran. Ini pertama kalinya saya merayakan Idul Fitri tanpa bersama
orang tua saya (waktu itu saya masih belum punya suami) dan sekolah saya memang
nggak memberikan libur meskipun Lebaran. Waktu diberi tugas itu, saya udah
ikhlas aja dalam hati untuk tidak berlebaran sama keluarga, karena saya mikir, “Ah,
paling-paling saya masih bisa sholat Id bersama dokter-dokter jaga lainnya di
lapangan parkir rumah sakit.”
Pada malam Idul Fitri kamar bersalin saya bersihkan dari pasien dan semua
pasien yang masih hamil saya bikin supaya cepat lahir sehingga mereka bisa
memperkenalkan anak baru mereka ketika keluarga mereka membesuk mereka pada
hari Lebaran. Sungguh aneh malam itu saya tidur nyenyak, dan saya masih sempat
menyiapkan mukena plus sajadah plus koran untuk siap-siap sholat Id di lapangan
rumah sakit. Jam lima pagi saya bangun dengan perasaan segar dan mandi.
Ketika balik ke kamar tidur sambil mengeringkan rambut habis keramas,
feeling saya nggak enak ketika HP saya berkedip-kedip tanda SMS masuk. Ternyata
itu dari kolega saya. Isinya simpel sekali. “Pasien baru. Kiriman. Kala dua
lama.”
Saya lari ke kamar bersalin dan menjumpai kolega saya dan beberapa bidan mengerubuti
seorang ibu yang terbaring pasrah di tempat tidur dengan perut membelendung nampak
seperti habis menelan kulkas. Saya mendengar sendiri mulut saya bertanya, “Siapa
yang kirim?” padahal sebenernya saya mau ngomong, “Siapa yang menghalangi saya
mau sholat Id?”
Salah satu bidan rumah sakit itu menyahut, “Ini bidan yang ngirim, Dok.
Dari Bangil, Dok.” Ia menunjuk seorang wanita berpakaian sipil yang nampak
berdiri ketakutan seperti mau dimarahi.
“BANGIL?!” Saya sendiri nyaris kaget mendengar suara saya menahan marah seperti
itu. Bangil adalah sebuah kecamatan di Pasuruan, luar wilayah kerja Sidoarjo
tempat saya bertugas. “Di sana kan juga ada rumah sakit?!”
“Maaf, Dokter, ini tadi pasien datang ke rumah saya jam setengah empat.
Saya pimpin mengejan tapi anaknya nggak lahir-lahir. Saya telpon ke Rumah Sakit
Bangil tapi katanya tempatnya penuh. Jadi saya bawa ke sini, Dok..” Suara sang
bidan perujuk terdengar menggigil ngeri karena telah menyalahi aturan rujukan
yang berlaku.
Saya diam saja dan mengambil sarung tangan. Lalu saya masukkan tangan saya
ke dalam vagina si ibu. Perut saya mual ketika tangan saya meraba tulang
panggulnya. Siyalan. Sempit nian.
Saya memandang si pasien. “Anak keberapa, Bu?”
“Pertama,” jawab si pasien lesu.
“Berapa tingginya?”
“Di bukunya 145 senti, Dok,” sela bidannya.
“Di bukunya?” ulang saya. Saya
menatap si bidannya, seolah bertanya, “Anda nggak ukur sendiri?”
“Dia bukan pasien saya, Dok. Bidan yang biasa dia kunjungi di Bangil lagi
mudik Lebaran,” kata bidannya.
Saya membatin dalam hati. “Aku kan
juga kepingin Lebaran. Setidaknya sholat Id. Ini lho jam 5.30. Sebentar lagi
sholat Id-nya mulai.”
Saya meraba vaginanya lagi. Kepala janin itu sudah di bawah banget, tapi rambutnya
belum menyembul keluar.
Saya bisa telfon dokter yang lebih senior dan minta
pasien ini di-Cesar sekarang juga. Karena anak itu sudah terperangkap dalam
panggul ibunya selama dua jam lebih dan panggul ibunya terlalu sempit untuk
melahirkannya. Tapi saya mulas membayangkan jam segini kamar operasi di
Sidoarjo kosong karena semua perawatnya pergi sholat Id. Operasi kan butuh
dokter anestesi, butuh ahli instrumen. Mana bisa mereka datang pada jam kritis
begini? Mau tunggu sampek sholat Id selesai satu jam lagi? Kalau bayinya mati
di dalam perut, gimana?
Atau saya punya pilihan lain yang sangat benci saya lakukan. “Bu,” saya
menelan ludah dan menatap matanya. “Ibu mau mengejan atau tidak?”
“Nggak kuat, Dok..” si pasien mengeluh lesu.
Dasar emak-emak muda. Gini nih akibatnya kalau umur belum 20 tahun sudah hamil.
“Bu, anak Ibu dalam bahaya. Nggak mungkin operasi jam segini, kamar
operasinya tutup, semua orang sholat Id. Kalau anak ibu nggak keluar sekarang,
anak Ibu saya vakum.”
Si pasien mengangguk. “Iya, Dok, nggak pa-pa.”
Lalu saya mengucapkan nyanyian standar yang harus diberitahukan kepada
semua pasien yang akan dilakukan tindakan medis berbahaya. “Bu, kalau anak Ibu
saya vakum, mungkin otak anak Ibu bisa perdarahan di dalam..” Si ibu mulai mengkeret.
“Mungkin dia akan cedera banyak di dalam kepalanya..” Wajah si ibu mulai ngeri.
“Bisa jadi kerusakan-kerusakan kecil di otak..” Si ibu makin tegang. “..dan mungkin
nanti kalau sudah besar kepintarannya lebih lamban daripada teman-teman
seumurannya.”
Si ibu langsung menjerit, “Jangan, Dok! Jangan, Dok! Saya mau ngedhen aja,
Dok! Saya nggak mau divakum, Dok!” Spontan ia menekuk kedua kakinya dan mulai
ngejan bak orang mau berak. “Ngggg..”
Dua bidan langsung bertindak membantu si ibu memeluk kedua betisnya
sendiri, dan menyemangati si pasien. “Ayo, Bu! Dorong, Bu!” Saya berdiri di
depan vagina si Ibu, seolah-olah seperti penjaga gawang yang mau nangkep bola.
“NGGGGGG!”
Saya pegang selangkangan si ibu. Nampak kepala si janin mulai bergerak
maju. Bersamaan dengan itu saya dengar suara sayup-sayup suara seorang imam dari
lapangan, “Allahu Akbar..!”
Hati saya teriris. Sholat Id sudah dimulai.
“Allahu Akbar!” seru si imam itu lagi.
“Ibu! Ayo dorong lagi!” seru saya berpura-pura tidak mendengar suara takbir.
“NGGGGGG!”
“Allahu Akbar!”
Rambut si janin mulai menyembul keluar. “Ibu! Anaknya rambutnya item!” seru
saya.
Si ibu makin kenceng mengejan, dan bidan-bidan berteriak-teriak
menyemangatinya. “Ayo, Bu! Dorong terus! Berak, Bu! Berak!”
“Allahu Akbar!”
“AAAAGGGGHHH!” jerit si ibu.
Lalu jidat si anak nongol. “Ibu, teruskan!” seru saya, telinga saya semakin
panas dengar suara takbir.
“Allahu Akbar!”
“Lagi, Bu!” seru saya.
“Allahu Akbar!”
“AAAAAGGGGHHH!”
Dan pada takbir terakhir, anak itu pun lahir.
Itu bayi perempuan. Lehernya terlilit tali pusatnya sendiri. Beratnya 3700
gram. Ketubannya hijau, tapi dia menangis keras. Ibunya juga menangis, bilang
terima kasih, dok, terima kasih, sus, terima kasih nggak jadi operasi. Bidannya
yang merujuk nampak sangat lega, karena bayinya selamat. Saya minta pada
mahasiswa-mahasiswa kebidanan yang magang di situ untuk membersihkan bokongnya
si ibu yang penuh darah, dan saya akan kembali sebentar lagi ke sana untuk
menjahit vaginanya yang sobek. Lalu saya cuci tangan dan lari ke kamar tidur
untuk menggelar sajadah.
Dan untuk pertama kalinya seumur hidup, saya sholat Id sendirian.