Sunday, October 11, 2009

Mirip Jualan Kue


Foto ini gw jepret waktu gw ke Martapura, Cali Selatan, tahun lalu. Yang namanya turis kan begitu antusias liat pasar, apalagi di depan pasar perhiasan tuh banyak banget orang jual wadai alias kue-kue khas Cali. Ada yang jual lempok, ada yang jual dodol kandangan, wah pokoke macem-macem deh.

Waktu itu udah siang pas gw nyusurin lapak-lapak wadai itu satu per satu. Seperti yang pernah gw bilang dulu-dulu, gw tuh bukan semangat ngejar produk belanjaannya, tapi gw lebih semangat liat kelakuan penjualnya nawarin kue-kue mereka ke gw.

Ada penjual yang pas gw deketin lapaknya, diem aja, malah asik ngelonin anaknya sambil kipas-kipas. Gw nanya, "Berapa ini dodolnya, Bu?" Penjualnya langsung sebut harga. Gw nawar, "Kurangin dikit ya, Bu?" sambil nyebut harga setengahnya aja, langsung si penjual nyahut, "Kada bisa kurang itu, modalnya ja kada segitu." lalu dia ngelonin anaknya lagi tanpa noleh ke gw lagi.

Beda lagi sama penjualnya yang satunya. Gw deketin, langsung penjualnya nawarin gw dodolnya tanpa gw tanyain dulu. Gw tanyain harganya, penjualnya jawab. Ternyata harga dodolnya sama. Gw tawar setengah harga, lalu penjualnya malah ketawa dan nawarin gw kuenya yang lain yang sesuai harga yang gw minta. Gw bilang nggak mau kue yang lain, gw maunya dodol kandangan itu tapi nggak mau mahal-mahal. Si penjual bilang memang pasaran harganya segitu.

Lagi-lagi, ini masalah promosi. Dua-duanya sama-sama jualan kue, tapi penjual yang kedua mengemas jualannya lebih menarik ketimbang yang pertama.
Penjual pertama sok jual mahal sama gw, belagak seolah-olah nggak butuh dodol dagangannya dibeli oleh gw.
Penjual kedua pertahanin prinsipnya yang nggak mau dodol dagangannya dibeli dengan harga lebih murah. Tapi dia paham kemauan gw sebagai turis yang menginginkan kue khas Banjar, jadi dia nawarin gw kuenya yang lain, yang kira-kira harganya mufakat dengan selera gw.

***

Dalam berurusan sama pembeli, ada beberapa macam penjual kue yang gw tau.

1. Penjual kue yang mau dibeli berapa aja.
Mau dibeli kemurahan kek, mau dibeli kemahalan kek, yang penting kuenya laku.

2. Penjualnya mungkin nggak setuju kuenya ditawar murah. Jadi dia nawarin tester dulu ke pembelinya. Kalo pembelinya seneng testernya, pembelinya bakalan beli kue yang banyak. Kalo nggak suka testernya, pembelinya minggat dan nggak balik lagi. Penjualnya nggak rugi apa-apa selain rugi tester doang.

3. Penjualnya nuntut harga segitu, nggak boleh ditawar-tawar. Prinsipnya, kalo pembelinya nggak sanggup bayar, ya nggak usah beli sama sekali.

4. Penjual yang nggak mau jual kuenya sama sekali. Ditawar murah, nggak mau. Ditawar mahal, nggak mau. Ternyata, penjualnya liat siapa yang mau beli kuenya dan mutusin nggak mau kuenya dibeli oleh orang itu.

***

Diminta untuk bilang "ya", itu rasanya sama seperti jualan kue. Cuman yang bisa kita kasih itu bukanlah kue dodol atau lempok, tapi cinta.

Kalo kita seperti penjual #1, kita mau terima siapapun yang meminta kita, nggak peduli yang memintanya itu cemen atau keren. Kita cuman mau diri kita laku dan punya pasangan.

Kalo kita mirip penjual #2, maka kita memberlakukan masa percobaan sebelum kita menyerahkan diri jadi properti orang lain. Suruh dia mengenal kita dulu, (entah pacaran dulu, ta'aruf dulu, test-drive dulu, terserah deh apa istilahnya menurut nilai yang dianut masing-masing orang), baru setelah itu kita upgrade ke komitmen yang lebih serius.

Dalam posisi #3, tak ada masa percobaan. Kenal, suka, langsung boyong ke Catatan Sipil. Kalo nggak mau diproperti, ya udah!

Posisi #4 jelas paling sok eksklusif. Kita merasa di atas angin, tau yang meminta kita itu di luar kriteria inklusi kita, jadi kita nggak mau sama sekali sama dia. Mau dikasih sesajen berlian kek, dikasih sapi perah kek, dikasih sawah lima hektar kek, pokoke nggak mau.

Gw pikir, serumit-rumitnya jualan kue, masih jauh lebih rumit melibatkan diri dalam complicated relationship. Kalo kue dagangan kita basi, kan tinggal dibuang. Tapi cinta dalam hati kita nggak pernah basi, jadi nggak bisa dibuang. Kata kolega gw dulu, cinta itu seperti kentut: ditahan bikin sakit, dikeluarkan malah bikin ribut.

Solusinya ya, cinta harus diberikan kepada orang lain. Siyalnya, kita nggak pernah tau apakah orang yang mau kita sodorin cinta itu, layak atau nggak nerimanya. Layak dikasih kue dagangan kita atau nggak. Pantas dapet cinta kita atau nggak.

Diterima atau nggak, sama-sama ada konsekuensinya. Kalo kita bilang "ya", kudu siap jadi kekasih yang bertanggungjawab jaga diri dan jagain dia. Kalo kita bilang "nggak", mungkin kita kehilangan kesempatan buat menyayangi seseorang secara maksimal.

Saat ini, gw sedang berpikir-pikir, gw ini mirip penjual kue yang nomer berapa. Untuk pertama kalinya dalam hidup gw, gw resah coz gw nggak tau gw mirip penjual kue yang mana. Dan, saat gw berada dalam posisi menjual kue kepada orang lain, pada saat yang bersamaan itulah gw juga kudu nawar kue yang dijual orang itu..