Berkat gempa di Sumatera beberapa hari lalu, dokter bedah makin laris. Bukan karena banyak korban yang ketiban reruntuhan bangunan, tapi sebagian besar cedera justru lebih karena yang nolongnya "salah nolong".
Dalam suatu bencana ketiban reruntuhan bangunan akibat gempa seperti yang kita saksikan di tivi belakangan ini, biasanya ada tiga macam kesakitan yang bisa timbul:
1. Sakit akibat ketiban. Contohnya, karena tiang roboh nimpa badan seseorang bernama Pak Datuk, akibatnya tulang panggulnya jadi patah.
2. Sakit sewaktu ditolong. Contohnya, orang-orang datang dan melihat Pak Datuk kejepit reruntuhan tiang. Mereka pun menarik paksa badan Pak Datuk lalu menggendongnya rame-rame. Tapi karena proses menggendong yang salah, akibatnya pecahan tulang dalam panggul Pak Datuk menghajar ginjal sehingga ginjalnya rusak.
3. Sakit sesudah ditolong. Pak Datuk sudah diperiksa dokter dan diputuskan harus dioperasi untuk menyambung tulang panggulnya yang patah dan memperbaiki ginjalnya. Tapi karena rumah sakit hancur dan operasi cuma bisa dilakukan di tenda darurat, maka operasi pun berjalan dengan kualitas sterilitas yang "seadanya". Akibatnya, setelah dioperasi, Pak Datuk pun terancam infeksi. Infeksi itu menurunkan daya tahan tubuh Pak Datuk yang biasanya normal, sehingga selama dirawat pasca operasi Pak Datuk menjadi sering kena flu. Ini diperparah pasokan makanan yang sulit ke area gempa sehingga Pak Datuk menjadi kurang gizi.
Dengan ilustrasi di atas kita bisa ngerti bahwa seseorang yang tadinya cuma patah tulang bisa merembet ke masalah lain, seperti ancaman kudu cuci darah seumur hidup buat mengkompensasi kerusakan ginjalnya, kerasukan kuman yang ganas-ganas, sampai kurang gizi, bahkan mungkin depresi hebat.
Ini sebenarnya bisa kita antisipasi kalo kita semua tau prinsip dasar menolong korban cedera yang tepat. Tidak cuman pada waktu gempa, coz dalam keadaan sehari-hari mungkin kita pernah nemu seseorang yang celaka, misalnya ketiban lemari yang roboh, atau kejepit dalam mobil yang terguling di jalan. Kita mungkin ingin nolong dengan membebaskan orang itu, tapi gimana caranya nolong dia tanpa nimbulin penyakit-penyakit baru yang gw sebut di atas?
Yang harus kita camkan adalah, korban itu harus kita bebaskan dalam keadaan LURUS. Definisi lurus yang gw maksud adalah seperti yang digambarin di atas pada gambar A. Sikap kepala harus lurus dengan dada, perut, kedua tangan, dan kaki. Karena itu, yang mau nolong diharuskan bawa tandu, supaya korban bisa berbaring lurus seperti seharusnya.
Gimana kalo yang nolong cuman orang awam, bukan SAR, bukan ambulans yang biasa bawa tandu? Boleh aja korban digotong seperti gambar B di atas. Perhatikan korban ditolong tanpa tandu, tapi para penggotongnya tetap menjaga seluruh badan korban supaya tetap lurus. Cara ini dibenarkan.
Bahkan dalam keadaan darurat kita bisa manfaatin apapun buat jadi alas badan bagi korban. Menyolong pintu WC umum, sampai ngiketin korban di atas batang pohon yang panjang, lalu memanggul batang pohon itu secara horizontal rame-rame sampai ke tempat stabil. Kalo emang niat nolong, kita pasti kreatif!
Yang dilarang keras adalah gambar C di atas. Perhatikan korban digotong dengan tubuh mencong-mencong tanpa alas apapun. Kesalahan pada cara nolong ini:
1. Kepala terkulai, ada kemungkinan tulang leher patah. Kalo patahan leher menghajar tenggorokan, kemungkinan besar orang ini nggak bisa nafas dan langsung tewas waktu digendong.
2. Tangan terkulai. Kalo kita tidak tau bahwa lengan atasnya patah, maka pecahan lengan akan mematikan saraf di tangan sehingga tangan pun busuk dan harus diamputasi.
3. Bokong tidak dipegang. Kalo betul ada tulang perut atau tulang panggul yang patah, patahannya akan melukai usus atau ginjalnya di dalam. Sedikitnya orang ini nggak akan bisa boker atau pipis lagi.
4. Paha dipegang, tapi betisnya bebas. Jika ada patah di tungkai yang tidak stabil, maka aliran darah ke kaki akan putus sehingga kaki akan busuk dan harus diamputasi juga.
Musibah tidak pernah bisa kita duga datangnya dan siapapun bisa jadi korban. Kita yang beruntung bisa selamat, memang seharusnya nolong, tapi kita juga mesti tau bahwa pertolongan kita nggak boleh sampai menimbulkan masalah baru bagi si korban. Mudah-mudahan kita nggak gendong korban dengan asal-asalan lagi, seperti adegan yang disiarkan berulang-ulang oleh tivi negeri kita sepanjang akhir minggu ini.
P.S. Gambar di atas gw jiplak dari halaman 1179 Buku Ajar Ilmu Bedah yang diedit R. Sjamsuhidajat dan Wim de Jong, dirilis oleh Penerbit Buku Kedokteran EGC tahun 1997.