Jika gw menulis blog ini dengan melibatkan kata “politik” pada paragraf pertamanya, dijamin jemaah blog gw langsung kabur tanpa mau repot-repot baca seluruh tulisan. Bagaimana pun juga kata itu sudah bikin banyak orang sepantaran gw alergi atau minimal gatel-gatel. Tapi gw terpaksa menulis ini coz gw cukup terusik dengan artikel jajak pendapat di Kompas, dua hari lalu, “Pemuda Indonesia, Generasi Apolitis yang Optimistis”.
Pada grafik di samping yang mendeskripsikan hasil jajak pendapat itu, dibilang bahwa yang disebut pemuda adalah orang berusia 16-30 tahun. Ini adalah area generasi ABG veteran (rata-rata masih ditanggung orang tua, masih belum tahu mau kariernya jadi apa) dan generasi X (sudah mulai berusaha cari makan sendiri biarpun masih tertatih-tatih, dan sudah bisa membayangkan kepingin bekerja seperti apa). Gw adalah generasi X, dan gw merasa jajak pendapat ini bicara tentang kaum gw, tapi sayangnya gw nggak merasa ini menggambarkan kaum gw dengan tepat.
Apa alasannya generasi pemuda Indonesia dibilang apolitis? Pasalnya dari hasil jajak pendapat ini disuratkan (bukan disiratkan lho..) bahwa, hanya sedikit responden yang bilang tertarik buat jadi anggota berbagai organisasi politik dan sosial. Sesuai yang dilansir di grafik sebelah, tidak sampai setengah responden bersedia jadi anggota organisasi kemasyarakatan, organisasi kepemudaan, dan lembaga swadaya masyarakat. Bahkan tidak sampai 20% yang sudi masuk partai politik apalagi buat jadi anggota parlemen. Selanjutnya pada tabel diungkapkan bahwa yang paling banyak diinginkan oleh pemuda adalah menjadi tajir, jauh di atas keinginan untuk “menjadi pemimpin di komunitasnya”.
Gw nggak tau metode macam apa yang dibikin dalam jajak pendapat ini, yang jelas gw nggak suka kalo dengan kedua hasil di atas maka serta-merta disimpulkan bahwa “pemuda Indonesia itu apolitis”.
Sebelum mulai bilang bahwa kita mungkin apolitis, kita patut nanya, memangnya politis itu apa sih? Apakah bersedia jadi anggota partai politik itu lantas dibilang politis? (Tentu aja, Vic, apalagi kalo tujuannya masuk partai politik itu buat ngincar gaji anggota DPR, iya kan?) Lantas, apakah kalo nggak mau jadi anggota partai politik itu berarti apolitis?
Gw sangat ragu soal itu. Menurut gw, nggak mesti jadi anggota partai politik, organisasi masyarakat, dan sejenisnya itu kalo kepingin dibilang politis. Menurut gw, kalo kita kerja di suatu kantor, lalu berani nanya ke boss kenapa gaji kita nggak naik-naik padahal kita sudah bikin perusahaan kita untung besar, itu sudah bisa disebut politis coz kita sudah berani bersikap kritis terhadap manajemen kenaikan gaji pegawai. Di lingkungan rumah, kalo kita berani bilang enggak kepada petugas kelurahan yang seenaknya mungut biaya perpanjangan KTP, itu juga udah politis coz kita nggak mau disemena-menakan sebagai warga negara yang udah bayar pajak yang mestinya dipake buat bayar pegawai negara. Dan kalo teman-teman gw udah berani bikin petisi di Facebook yang bilang bahwa konstitusi anti pornoaksi itu melecehkan banyak perempuan dan tidak menghargai keberagaman budaya di Indonesia, itu juga udah termasuk politis.
Memangnya kenapa kalo kita nggak mau jadi pemimpin di komunitas? Maksudnya, misalnya jadi ketua Karang Taruna, gitu? Gw nggak tau apakah kelompok-kelompok yang mengira dirinya “organisasi kepemudaan” itu bisa mewakili semangat muda atau enggak, atau cuman sekedar jadi perpanjangan Pak RT buat minta sumbangan pesta Agustus-an doang. Sebagai generasi muda, gw ngaku aja kalo gw maunya berada di situasi kelompok yang mau dengerin gw bicara jujur, bukan sekedar bicara “asal bapak senang”. Gw juga kepingin dengerin informasi masukan dari orang lain yang membangun, bukan sekedar yang bilang “setujuuuhh!” kayak anggota paduan suara, bukan juga kecaman yang nggak jelas bilang “kau masih ingusan, jangan sotoy, sudah nurut aja sama orang tua sini”. Dan gw yakin yang kayak gini nggak cuman gw doang, tapi juga orang-orang sepantaran gw yang lain dari generasi gw.
Memang generasi pemuda kita masa sekarang nggak bisa dibandingin sama generasi yang nelorin Sumpah Pemuda pada tepatnya 81 tahun yang lalu. Tapi nggak adil kalo generasinya Bung Karno dicitrakan sebagai generasi gigih yang membangun bangsa, sedangkan generasi kita cuman dicibir sebagai generasi yang mau ongkang-ongkang kaki dan sibuk Facebok-an doang. Situasi jaman sekarang dengan jaman dulu juga beda. Dulu kita melawan sebuah tirani bernama kolonialisme Belanda, sedangkan kita sekarang melawan kaum konservatif yang katanya mau melawan budaya korupsi tapi nggak jadi-jadi. Dulu generasi muda cuman bisa mengekspresikan paling banter dengan menulis di Koran. Sekarang? Kalo kita bisa internetan di HP, kenapa mesti susah-susah buat mengaspirasikan pikiran? Pemuda jaman dulu ya berpolitik dengan cara terbaik yang bisa mereka lakukan di masa itu, sedangkan pemuda sepantaran jaman kita ya punya cara sendiri buat berpolitik.
Selamat Sumpah Pemuda. Usia boleh nambah, tapi semangat harus tetap muda. Biar gw tanya kepada Anda semua, gimana caranya Anda supaya nggak disebut apolitis?