Sunday, August 26, 2012

Bosan Pura-pura Melarat

Ketika saya nulis tentang program melahirkan gratis di rumah sakit tahun lalu, saya nggak ngira kalau program gratisan itu bisa bikin dampak complicated kayak gini.

Alkisah seorang perempuan, sebut aja namanya Kembang (kenapa Kembang? Karena kalau namanya Bunga itu kayak nama korban pemerkosaan), sedang hamil lima bulan, pergi ke bidan untuk periksa kehamilan. Ketika ditensi ternyata Bu Kembang sakit darah tinggi. Kuatir pasiennya kena preeklampsi, bidannya buru-buru anter si pasien ke rumah sakit. Setiba di rumah sakit, dokternya mengumumkan Bu Kembang memang beneran kena preeklampsi, jadi Bu Kembang kudu diopname dan diobservasi ketat.

Tersebutlah dokter yang mengopname Bu Kembang di rumah sakit itu pusing tujuh keliling karena tensi si ibu naik-turun galau nggak karuan setiap hari. Saban kali dokternya mau nyuruh Bu Kembang pulang, nggak jadi soalnya tensi Bu Kembang naik melulu nggak turun-turun. Bu Kembang makin stres soalnya bosen diopname dan nggak bisa ketemu keluarganya sering-sering. Pasalnya Bu Kembang diopname di kelas 3, dan aturan rumah sakit bilang kalau keluarga cuman boleh jenguk pasien pas jam besuk aja. Selama dirawat pasien nggak boleh ditungguin keluarga di samping tempat tidur soalnya kehadiran pendamping nggak kasih kontribusi apa-apa selain menuh-menuhin ruangan yang udah telanjur sempit. Padahal Bu Kembang udah diopname di situ tujuh hari, bisa dibayangin betapa bosennya dos-q karena di situ dos-q cuman tidur dan tiduran aja nungguin jam besuk datang. Lha apa bedanya sama penjara kalau gitu?

Akhirnya keluarga Bu Kembang dateng ke manajemen ruang opname dan memohon supaya keluarga boleh tinggal di samping Bu Kembang 24 jam. Alasannya soalnya ibu hamil kan sering-sering pipis, jadi supaya ada yang siap memapah Bu Kembang ke toilet setiap saat. Manajemennya nolak soalnya kata dokternya Bu Kembang itu masih bisa jalan sendiri, jadi nggak perlu didampingin setiap menit. Lagian manajemen tahu itu cuman akal-akalan keluarga si pasien aja, supaya keluarganya diijinin masuk ke kamar kelas tiga di luar jam besuk.

Lama-lama keluarga ngeyel kepingin tetep bisa nemenin si pasien terus-terusan. Akhirnya rumah sakitnya kasih tahu bahwa, aturannya adalah keluarga cuman bisa menemani si pasien di samping tempat tidur jika si pasien diinapkan di kelas satu atau kelas VIP. Keluarga bilang oke aja kalau pasiennya dipindahin dari kelas tiga ke kelas satu atau kelas VIP sekalian. Tapi rumah sakit nggak mau oke, soalnya sejak awal tuh pasien udah mendaftar ingin dirawat di rumah sakit itu dengan menggunakan Surat Keterangan Tidak Mampu alias menyatakan dirinya miskin. Dan pemerintah setempat sudah mutusin bahwa warga miskin cuman berhak dirawat di kelas tiga, nggak boleh naik kelas ke kelas dua apalagi minta dirawat di VIP. Kalau sampek Bu Kembang selaku pasien Tidak Mampu minta naik kelas, artinya dos-q mengaku bahwa pernyataan awal yang dos-q bikin bahwa dos-q miskin itu ilegal.

Dokternya sampek geleng-geleng kepala. Bukan aneh lihat pasien ngaku miskin mendadak kepingin dirawat di kelas VIP cuman demi bisa ditemenin keluarga. Tapi keheranan kenapa rumah sakit pemerintah nggak mau terima kenyataan bahwa si pasien miskin bisa mendadak mengaku bisa bayar VIP. Lha ini kan Lebaran, siapa tahu pasien miskinnya baru dapet mustahiq zakat jadi sekarang bisa bayar mahal, ya kan?

Bu Kembang dan keluarga jadi nyesel kenapa dari awal mereka ndaftar di rumah sakit itu dengan mengaku-ngaku Tidak Mampu. Coba kalau dari awal nggak nyodor-nyodorin Surat Keterangan Tidak Mampu, pasti mereka bisa pindah kelas kapan saja mereka mau. Lha mereka pakai Surat itu soalnya denger-denger yang Tidak Mampu itu bisa dirawat gratis di rumah sakit alias nggak mbayar. Tapi mereka nggak ngeh kalau ternyata konsekuensi dari nggak mbayar itu harus bersedia dirawat di kelas tiga. Artinya harus bersedia mematuhi aturan bahwa dia harus tidur sendirian bersama pasien-pasien lain di ruangan yang sempit tanpa ditemani keluarga. Cuman boleh dijenguk keluarga pas jam besuk doang.

Sekarang Bu Kembang memohon-mohon ke dokternya supaya boleh pulang. Dokter menolak karena menganggap pasiennya belum sehat betul. Pemerintah sudah berkomitmen kepingin merawat warganya yang miskin dengan serius, bela si dokter, jadi kalau tensi masih galau pada si ibu hamil ya ibunya nggak boleh pulang.
Dan karena memang penyebab tekanan darah tinggi pada ibu hamil adalah kehamilannya itu sendiri, maka idealnya si ibu harus tinggal di situ sampek tiba waktunya melahirkan. Padahal kehamilan si ibu baru enam bulan. Alamak.

Program pemerintah menggratiskan warga untuk diopname itu cuman program populis. Bungkusnya yang bernama "gratis" itu terdengar indah, tapi manifestasinya tetep aja nggak enak. Mestinya masyarakat nggak boleh langsung terbuai dengan kata gratis, karena di dunia ini jelas "there's no such thing like a free lunch". Selalu ada yang harus dibayar dengan penderitaan. Dikiranya enak kalau punya duit cukup buat pindah ke kelas VIP tapi nggak boleh pindah gegara dari awal sudah ngaku-ngaku melarat?

Jangan pernah ngaku-ngaku kerdil. Nanti ditanggapi kerdil sungguhan. Nyesel lho.
http://laurentina.wordpress.com
www.georgetterox.blogspot.com