Saturday, September 1, 2012

Harus Terlahir Keren!

Saya dulu rada ogah ditanyain tempat lahir. Itu yang nanya sungguh-sungguh atau memang cuman basa-basi doang?
PBB (Penanya Basa-basi): "Kamu lahir di mana, Vic?"
Saya: "Kalimantan."
PBB: "Oh ya? Jauh amat? Kalimantan mana?"
Saya: "Kalimantan Tengah."
PBB: "Kamu orang sana?"
Saya: "Enggak."
PBB: "Jadi kamu orang mana?"
Saya: "Orang Jawa."
PBB: "Kok bisa lahir di sana?"
Saya: *ngemut Baygon*

***

Dua hari lalu, pas saya jaga di rumah sakit, seorang ibu datang dianterin tetangganya, dengan tujuan ingin melahirkan. Dia nggak mules-mules, ketubannya masih utuh, dan belum keluar darah dari selangkangan. Karena nggak darurat-darurat amat, bidan yang jagain rumah sakit suruh pasiennya pulang aja dan balik lagi kalau sudah mau melahirkan beneran.

Si pasien bilang dia sudah jauh-jauh dateng dari Madura, males banget kalau balik lagi ke rumah. Surabaya-Madura kan jauh, pakai acara nyebrang jembatan dulu pula. Bidannya angkat bahu, ini kan rumah sakit, bukan hotel, kalau nggak terpaksa banget ya nggak boleh dirawat karena pasiennya bisa ketularan penyakit dari pasien lain.

Si pasien berkilah, setahun lalu sodaranya dateng ke situ karena sakit demam, toh ya boleh aja nginep. Si bidan ngeliatin si pasien, dan mulai nanya si pasien dibayarin asuransi mana kok ngeyel kepingin nginep. Begitu si pasien memamerkan surat keterangan tidak mampu, si bidan langsung suruh pasiennya pulang dan berkata, kalau mau melahirkan gratis ya kudu bawa surat rujukan dari Puskesmas di Madura dulu. Lha si pasien ke situ cuman bawa surat miskin, jelas surat gituan nggak akan laku di Surabaya.

Begitu si pasien pergi, saya berkata ke bidan, pasien itu bakalan balik lagi ke rumah sakit sini, ngapain disuruh pulang?
Bidannya ketawa dan berkata bahwa si pasien itu nggak akan balik lagi. Pemeriksaan saya normal, artinya tuh pasien sehat-sehat aja. Asuransi melahirkan gratis di rumah sakit di Surabaya cuman berlaku jika kehamilannya bermasalah. Pasien-pasien yang hamil normal hanya boleh melahirkan gratis di Puskesmas atau bidan yang sudah ditunjuk, bukan di rumah sakit.

Saya rasa si nyonya Madura tadi tahu bahwa dia normal, jadi ngapain dia bela-belain naik oplet ke Surabaya?
"Karena.." Si bidan ketawa. Lalu dia mulai merendahkan suaranya. "..karena dia kepingin melahirkan di Surabaya."
"Apa?" Saya nggak ngerti.
Si bidan cerita. Suaminya kerja di Madura, sering dimintain tolong buat merayu dirinya untuk bikin surat kelahiran. Nah, di surat kelahiran itu mbok ya dicantumkan bahwa bayi lahir yang terkait itu lahir di Surabaya..
"Mereka (orang-orang Madura) itu berpikir.." lanjut si bidan. "..kalau lahir di Surabaya itu (lebih) keren."
"Whuatt?" Saya nyaris terpekik dan pegangan sama kursi, takut jatuh terjengkang karena nggak kuat nahan ketawa. "Apa maksudnya itu mereka bela-belain nyebrang ke sini supaya anaknya terlahir di Surabaya gitu?"
"Nggak cuman ibu yang mau melahirkan, Dok," cerita si bidan. "Bahkan orang-orang yang sudah dewasa pun, sering minta dibikinin akte kelahiran palsu. Jadi kalo ditanya, 'Sampean lahir di mana?' Lalu dia jawab, 'Saya lahir di Sorbejeh..' Rasanya lebih gimanaa gitu.."
Mendadak saya ingat bahwa akte kelahiran saya dicetak di Kalimantan.

***

Mungkin masalah perasaan termarjinalkan. Masalah rendah diri. Masalah keinginan perbaikan citra. Begitu simpelnya keinginan orang-orang Madura itu: ingin punya akte yang distempel catatan sipil Surabaya.
Padahal belum tentu juga lahir di Surabaya itu lebih yahud ketimbang lahir di Pamekasan. Ya kan?

Lalu saya inget bahwa saya sendiri juga bukan lahir di kota besar. Saya lahir di pinggir sungai di pinggir hutan yang jauh dari peradaban kota. Nggak usah nanya kenapa bokap saya memilih mengeluarkan saya dari rahim nyokap saya di sana. Tapi saya nggak pernah merasa minder lahir di pinggir sungai. Karena saya memang tidak dibesarkan dengan perasaan minder. Perasaan belagu lebih tepat, hahaha..

Saya justru baru merasa unik karena saya lahir di desa ketika saya dewasa. Sewaktu saya lulus dari fakultas kedokteran, semua kolega saya ribut karena kesulitan mencari pekerjaan. Konon jalan kami untuk punya karier bagus tanpa mengandalkan koneksi, hanya bisa dicapai seandainya kami sudah pernah praktek di desa terpencil di Indonesia. Banyak kolega saya berupaya melamar untuk kerja jadi dokter PTT di Nias, di Flores, di Papua, di Aru, dan entah di mana lagi, tapi banyak yang gagal karena di daerah-daerah itu sudah ada saingan yang mengincar praktek di situ, dan saingannya lebih kuat karena mereka memang dokter asli kelahiran sana. Bupatinya lebih senang mempekerjakan dokter asal tempat itu ketimbang mempekerjakan dokter yang KTP-nya dari Bandung atau Jakarta..

Saya yang juga kepingin kerja PTT, mendadak ingat bahwa saya kan lahir di Kalimantan biarpun saya putra Jawa. Tanpa pusing-pusing, saya mengajukan formulir lamaran, bilang bahwa saya ingin kerja PTT di Kalimantan. Sebulan kemudian, saya terima surat bahwa saya dipanggil untuk kerja PTT di Pulang Pisau, tempat saya lahir dulu.

Lahir di pinggir sungai di hutan ternyata membuat jalan saya lebih mulus untuk mendapatkan pekerjaan!

***

Jadi kalau saya ditanya sekarang mengenai tempat lahir saya:
PBB: "Kamu lahir di mana?"
Saya: "Cali.." (Jawab saya dengan aksen Malibu)
PBB: "CALIFORNIA??"
Saya: "Cali-mantan.." (Jawab saya dengan nada mengejek)
PBB: "Uuh..kamu! Kalimantan mana? Pontianak? Balikpapan? Banjar?"
Saya: "Pulangpisau."
PBB: "Di mana tuh?"
Saya: "Ah, nggak terkenal. Kamu dikasih tau juga nggak akan inget kok.."
PBB: "Terus? Kamu asli sana? Orang Asmat? Orang Sasak? Eh, orang apa sih namanya yang asli Kalimantan itu?"
Saya: *nyeruput Baygon*
http://laurentina.wordpress.com
www.georgetterox.blogspot.com