Thursday, November 29, 2012

Pak Guru Bilang, Lupa Itu Tidak Apa-apa

Akan jauh lebih sederhana, jika jenis-jenis penyakit itu sesimpel diagnosa Puskesmas: PUSing, KESeleo, dan MASuk angin.

Kalau pusing kasih aja parasetamol. Kalau keseleo kasih aja asam mefenamat. Kalau masuk angin kasih aja vitamin C.

Tetapi dalam prakteknya, penyakit tidak pernah sesederhana itu.

Penyakit itu, menurut ICD-X ada ribuan jenis. Setiap diagnosa penyakit punya obat yang beda-beda. Tidak semua penyakit bisa sembuh dengan kasih obat, beberapa harus ditindak, mulai dari dipijit sampek dibelah.

Persoalannya, tidak semua dokter hapal jenis-jenis pertolongannya. Daya menghapal itu sangat ditentukan bermacam-macam faktor, mulai dari umur dokter yang bersangkutan, pengalaman, sampek kemauan dokternya untuk membaca buku dan ikutan seminar. Akibatnya, nggak semua keluhan pasien yang datang berobat bisa ditangani dengan betul. Ada yang penyakitnya hilang (saya nggak suka istilah SEMBUH), ada juga yang enggak. Ada yang terhibur setelah dokternya bilang, "Nggak pa-pa kok, Bu/Pak. Ini normal." Ada juga yang jadi galau setelah dokternya bilang, "Hmm..ini bisa sembuh asalkan Anda begini, begitu, bla-bla-bla..nanti kontrol lagi ke sini bulan depan ya?" Ini dokternya bisa ngobatin nggak sih?



Dokter juga seorang pedagang yang nggak mau pasiennya kabur (baca: nggak balik lagi) cuman gara-gara pasiennya nggak percaya kepadanya. Karena itu jawaban "Nggak pa-pa kok, Bu/Pak" jadi jawaban favorit dokter yang ragu-ragu. Padahal "nggak-pa-pa" itu akan jadi bom di kemudian hari jika sebenarnya pasien itu "apa-apa" akibat dokternya tidak mengkonfirmasi keraguan. Jadi yang rugi di sini siapa? Pasiennya kan?

Guru saya membahas ini kemaren. Sabdanya, dokter mestinya nggak boleh takut menjadi tidak populer cuman gara-gara sungkan mau buka buku di depan pasiennya. Seorang pejabat mantan wapres di negeri ini malah pernah bilang bahwa pasien sebetulnya mengerti bahwa dokter bisa lupa (maksudnya lupa itu, tidak hapal semua penyakit, sehingga juga tidak hapal semua obat yang harus diresepkan). Dan karena mereka menghargai sifat dokter yang juga bisa lupa itu, mereka nggak keberatan juga kalau dokter itu mau mengkonfirmasi keraguannya. Konfirmasi keraguan itu bisa dengan cara macam-macam:
1. Lihat contekan yang diumpetin di laci, di ruangan lain. Versi canggih: di talenan (tablet, maksudnya) atau di laptop.
2. Tawarin pasiennya pemeriksaan lab tambahan meskipun pasiennya harus bayar sendiri.
3. Suruh pasiennya balik lagi tiga hari lagi, soalnya dokternya mau baca buku lagi untuk memastikan penyakit si pasien.

Saya mau nanya nih ke jemaah blog saya. Sodara-sodara Jemaah Georgetterox, gimana perasaan Sodara sebagai pasien, jika sewaktu berobat ke dokter, dokternya buka buku di depan Sodara? Apakah kepercayaan Sodara terhadapnya berkurang, atau Sodara malah menganggap itu lumrah? Jawab di kolom komentar ya..
http://laurentina.wordpress.com
www.georgetterox.blogspot.com