Monday, April 8, 2013

The New Simbok

Sepanjang hari kemaren saya melonjak-lonjak kegirangan lantaran senang karena my hunk akhirnya pulang setelah bepergian hampir seminggu keluar kota. Dos-q pesan ke saya supaya saya jemput dos-q di bandara malam itu karena pesawatnya baru datang jam 21.10. Pake maskapai singa, katanya. Saya mbatin bahwa naga-naganya pesawatnya bakalan delay karena saya tahu Singa itu jawaranya delay.

Pas maghrib jam 6 sore saya baru teringat kalau seyogyanya dos-q mendarat di Surabaya jam 21.10 maka mestinya take-off dari Jakarta itu kira-kira jam 19.00. Kalo take-off jam segitu, berarti boarding jam 18.45. Karena my hunk orangnya tertib dalam urusan naik pesawat, maka dos-q pasti udah masuk ruang tunggu dari jam 17.45. Saya berkedut samar-samar teringat kalau ruang tunggu di Cengkareng itu nggak ada kantinnya..

Saya buru-buru suruh my hunk makan malam dulu, takut si Singa delay dan ntar dos-q makannya telat. Terlambat. Dugaan saya benar. Dos-q udah kadung masuk ruang tunggu.

Jam 19.00 dos-q ngabarin saya bahwa ternyata si Singa sungguhan delay sampek 30 menit, it means pesawatnya baru berangkat jam 19.40. Artinya lebih lama lagi waktu yang akan dihabiskannya di ruang tunggu tanpa makan malam. Saya mbatin sebal. My hunk itu orangnya be-te-an kalau perutnya udah laper.

Akhirnya begitu dos-q kabarin bahwa dos-q sudah dipanggil masuk pesawat, saya buruan capcus siap-siap jemput dos-q ke bandara. Sepanjang jalan saya mengingat-ingat di bandara ada kantin mana yang enak. Saya melenguh dalam hati coz ingat di Juanda itu yang enak cuman Dunkin Donuts. Sisanya makanan-makanan biasa aja, harganya terlalu mahal malah.

Waktu my hunk datang, saya tanyain dos-q kepingin makan apa, soalnya di rumah nggak ada stok makan malam lantaran seharian saya kuliah sampek sore. Dos-q kepingin makan di rumah aja, bikin indomi goreng. Saya segera menyadari bahwa dos-q lebih kangen rumah ketimbang merespon lapar.

Tapi sepanjang jalan dari bandara ke rumah, dos-q diam. Saya memijat-mijat lengannya, tapi dia tidak berespon. Dalam hati rasanya saya kepingin nendang bokong saya sendiri. Tentu saja dia lapar, dodol. Saya melirik-lirik restoran-restoran langganan kami sepanjang jalan, siapa tahu ada yang buka, tapi gairah rumah makan di jalur Surabaya Selatan sampai Timur begitu lesu padahal itu malam minggu.

Malam itu di rumah saya membuka kaleng sarden dan my hunk makan dengan lahap. Baru setelah makan itu dos-q bicara banyak dan saya mulai mengenali kembali sebelah dirinya yang riang.

***

He cannot live without me. Biasanya dos-q makan nungguin saya. Bahkan dos-q seringkali nggak menyadari dirinya lapar, sehingga saya yang menyadarinya duluan ketika mood-nya turun. Dan dos-q nggak makan karena saya nggak ngingetin. Saya nggak ngingetin karena saya memang nggak ada di sampingnya waktu dos-q nungguin si Singa di bandara itu.

Lalu saya sampai pada pertanyaan, memangnya dos-q anak kecil ya sampek-sampek saya harus bertindak sebagai ibunya untuk menyuruhnya makan malam?

Separuh diri saya menjawab tidak, tapi separuh diri saya menyadari, iya. Mungkin karena ketika laki-laki semakin dewasa, dia mulai memprioritaskan hal-hal lain selain dirinya sendiri. Termasuk menaruh rasa lapar sebagai prioritas bawah. Di situ gunanya istri. Untuk menyeimbangkan isi kepala suami. Iya sih, memang lama-lama kedengaran kayak simbok..

Saya cuman masih harus belajar simbok macam apa yang harus saya perankan. Kalau saya terlalu jauh jadi simbok, my hunk bisa jenuh. Tapi kalau kadar ke-simbok-an saya terlalu rendah, my hunk bisa kurang gizi atau langganan sakit maag.

Mungkin saya perlu belajar dari para simbok senior yang sukses menjadi simbok.
www.laurentginekologi.wordpress.com
www.laurentina.wordpress.com
www.georgetterox.blogspot.com