Saturday, June 22, 2013

Apartemen atau Ranjang Gaduh?

Seperti biasa, radar saya langsung bunyi kalau lagi jalan-jalan dan liat iklan apartemen. Iseng kemaren pas lagi jalan di mal, liat sebuah perusahaan properti bikin pameran kecil-kecilan akan tower-nya yang masih baru kelas maket. Masih baru maket lho ya, alias tiang betonnya aja pun belum berdiri. Tapi saya selaku pemikir masa depan sudah neropong.

Sales marketing-nya adalah jenis salesman yang saya sukain. Meskipun sudah jam sembilan malem tapi masih menggebu-gebu presentasi tentang unit jualannya itu. Padahal saya belum tentu juga mau beli. Atau mungkin, setidaknya saya dan my hunk punya tampang seolah punya duit cash buat beli unit.

Dua kamar, dengan jendela pada kedua kamar dan ruang tamu. Posisi di tengah kota. Bisa menghadap kolam renang. Bisa juga menghadap pemandangan kota. Saya sih nggak peduli mau menghadap mana. Yang penting banyak jendelanya, biar sehat.

Dan setelah dia ngoceh berbusa-busa tentang fasilitas kolam renang + jogging track + sky garden, saya pun nanya harga. Dalam hati saya udah pasang taruhan bahwa dia akan bermain di harga Rp 500 juta.
"2,8, Bu," katanya. "Bisa dengan menggunakan KPA, lalu pake Bank X, atau Bank Y.."


Seterusnya saya nggak denger. Atau saya nggak ngeh. 2,8? Maksudnya apa sih? Nyicilnya 2,8 juta/bulan, gitu? Saya harus operasi Cesar berapa pasien supaya bisa beli rumah yang cuman terdiri dari dua kamar dan nggak ada taman sendiri itu?

My hunk lebih cepet tanggap. "Kreditnya bisa nyicil berapa tahun?"
"10 tahun, Pak," kata salesman-nya bangga. Lalu menyodorkan plan pembayarannya, dan mental saya sebagai penghuni pondok mertua indah langsung drop.

Saya pura-pura mengangguk puas, dan membawa brosur apartemennya pulang. Si salesman meminta nomer telepon kami dan saya langsung menulis nomer telepon my hunk. Dia pasti akan menelpon my hunk kapan-kapan untuk kasih tahu promo.

Sambil berjalan di sela-sela koridor mall, my hunk berkomentar, "Harga apartemen itu 2,8 milyar."
"Dan aku kirain selama ini paling banter harganya 500 juta doang."
Kami berdua tertawa, ngetawain kenaifan kami.

***

Lalu besoknya, saat nyetirin saya ke salon, my hunk berkata kepada saya. "Apartemen itu harganya Rp 2,8 milyar. Dicicil dalam 10 tahun. Berarti setahun nyicilnya Rp 280 juta. Kalo nyicilnya per bulan, berarti kira-kira.." Dos-q mikir sebentar, sambil tetep nyetir. "..yah, kira-kira Rp 28 juta."
Dos-q terdiam.
"Berarti kau harus jadi manajer nasional supaya bisa NYICIL apartemen itu," kata saya, sengaja menekankan nada suara saya pada kata "nyicil". "Pertanyaan gw, berapa malam dalam seminggu aku harus tidur duluan sendirian karena kamu harus sibuk jadi manajer nasional?"
Dos-q menjawab, "Kalau jadi manajer nasional, berarti tekanan kerjanya lebih berat. Lebih banyak menyita waktu di malam hari, termasuk mungkin tetap kerja pas weekend dan pas minggu. Kalo minggu tetap kerja, berarti nggak akan bisa menikmati apartemen itu." Dos-q terdiam, dan akhirnya bertanya, "Terus, kalo gitu buat apa beli apartemen?"

Saya terdiam dan menggaruk-garuk kepala. Menghitung jumlah malam yang terpaksa kami lewatkan dalam seminggu terakhir, malam-malam yang terbuang percuma. Setiap malam, hidup kami cuma punya dua pilihan: saat saya pulang ke rumah dari sekolah, dan langsung pingsan ketika mencium bantal, saking capeknya. Atau saat saya ketiduran duluan, karena nungguin my hunk nulis laporan sampek jauh larut malam.

"Bisakah kita buat cita-cita kita lebih sederhana aja dulu?" tanya saya kemudian. Lalu saya bilang, saya ingin kumpul dengannya lebih sering setiap malam.
Suami saya langsung ketawa tergelak, lalu mencium jidat saya.

***

Pernikahan itu, bagaimana ya? Ternyata semenjak kami menikah, kami bekerja lebih keras di karier masing-masing karena kepingin rejeki lebih banyak. Karena keinginan punya rumah sendiri adalah cita-cita kami yang paling tinggi setelah naik haji. Tetapi tanpa disadari, kerja keras itu menuntut tenaga ekstra, dan konsekuensinya adalah kecapekan setiap malam, sehingga kami hampir-hampir nggak punya waktu untuk berduaan saja dalam keadaan "sadar".

Saya kadang-kadang mikir, para suami-istri tajir yang rumahnya sebesar istana itu, apakah suaminya setiap hari pulang melepas dasinya dengan penuh lelah, dan apakah ranjangnya gaduh setiap malam?
Apakah kita mengejar materiil untuk kekayaan spiritual, atau kekayaan materiil itu akan datang dengan sendirinya kalau urusan spiritual kita beres?

www.laurentginekologi.wordpress.com
www.laurentina.wordpress.com
www.georgetterox.blogspot.com