Monday, April 4, 2011

Toh Harus Milih, Vic..

Saya perempuan normal, karena itu saya tergila-gila kepada sepatu. Saya perempuan yang sangat normal, karena itu saya tergila-gila kepada high heels. Dan saya baru menyadari kemaren, bahwa saya nggak punya high heels.

Eh, ada ding, high heels di lemari saya. Tapi sepatu itu pakai tali-tali yang sangat ketat, dan saya cuman tahan pakai sepatu itu selama tiga jam. Seterusnya, yuk dadah yuk bye-bye.

Kalau saya kuliah, kadang-kadang saya lihat teman-teman kuliah saya pakai high heels dan saya ngiler kepingin pakai juga. Tapi saban kali saya inget bahwa kerjaan saya sangat banyak setiap hari dan kerjaan itu memaksa saya kudu mondar-mandir dari tempat satu ke tempat lain dalam waktu cepat, keinginan saya buat pakai high heels langsung urung. Kalau dipikir-pikir, teman-teman saya yang pakai high heels itu, kerjaannya nggak segila kerjaan saya. Mereka nggak berjalan secepat saya, frekuensi begadang mereka nggak sebanyak saya, praktis mereka nggak akan kelelahan kalaupun mereka senang pakai high heels setiap hari. Jadi kesimpulannya, orang yang kerjaannya super padat, sebaiknya jangan pakai high heels. Begitu?

Tapi bagaimana dengan para model itu? Mereka kadang-kadang cuman tidur empat jam sehari, tapi kerjaan mereka kan juga berat. Mereka kan disuruh berdiri dan berjalan berjam-jam dengan muka harus selalu tersenyum dan tetap pakai high heels. Lantas apa bedanya mereka dengan dokter? Dokter harus berdiri lama ngoperasi orang, berjalan dari ruangan satu ke ruangan lain visite pasien, dan catet: Dokter harus

tersenyum atau pasiennya akan lapor ke wartawan cuman gara-gara dokternya nggak tersenyum. Jadi, nggak pa-pa kan kalau saya kepingin high heels?

Lha waktu saya masih kerja dulu, saya pakai high heels tiap hari ke kantor. Dan sepanjang tahun itu, sudah dua pasang sepatu yang saya patahkan haknya waktu saya lagi visite pasien. Salah satu sepatunya, haknya patah sampek tiga kali. Saya sampek malu mondar-mandir ke toko sepatunya buat perbaikin hak itu, sepertinya ada yang nggak beres dengan kaki saya. Anehnya, mbak-mbak di toko sepatu itu nggak pernah ketawain saya saban kali saya mau reparasi hak itu, dan toko sepatunya juga nggak pernah narik biaya reparasi. Kayaknya mereka akan selalu menggratiskan reparasi sepatu saya sampek saya bosen.

Begitu saya masuk kuliah lagi, saya sudah pasang skenario bahwa saya harus siap mobile. Jadi saya selalu pakai sepatu ceper tiap hari, supaya gampang jalan dari ujung satu rumah sakit ke ujung satunya. Saya cuman pakai high heels kalau lagi kencan sama my hunk; 1) karena kepingin gaya, 2) karena my hunk kan jangkung, kesiyan dia kalau mau noleh ke saya kudu nunduk.. :p Eh, Eka Situmorang malah pernah bilang bahwa wedge itu nggak bisa dibilang high heels. Dan kalau saya nurutin mazhabnya Eka itu, berarti selama ini saya memang nggak pernah pakai high heels, tapi saya cuman pakai klompen..

Saya berangan-angan ya, mbok sekali-kali tampang (kaki) saya itu sama segernya seperti event organizer acara launching Lamborghini, yang bisa jalan ke sana kemari dengan pakai high heels. Sampek tadi pagi, nyokap saya bilang sama saya, pakai sepatu rendah pun sudah cantik, asal yang penting sepatunya dilap bersih dan nggak bocel-bocel. Lha orang mau secantik apapun kalaupun pakai sepatu high heels, tapi jika dia merasa nggak nyaman pakai sepatu itu, otomatis cantiknya langsung ilang. Dan mood-nya yang nggak nyaman itu keliatan langsung dari mukanya. (Makanya kalau kita liat orang yang mukanya jutek, sebaiknya kita bertanya-tanya, jangan-jangan di dalam sepatunya ada beling.)

Iya, hidup ini memang harus milih. Mau pakai high heels supaya cantik tapi merasa nggak nyaman, atau mau pakai sepatu ceper tapi punya mood senang sepanjang hari?