Sunday, April 3, 2011

Maju (Tidak) Seperti Dihukum

Kelas saya ketiban tugas menarik sekitar empat bulan lalu. Kami disuruh bikin menara dari sedotan plastik, lalu menara yang sudah jadi akan dipajang di depan kelas bersama menara dari mahasiswa-mahasiswa lain. Karena urusan desain menara ini adalah urusan kreativitas, maka hasil desainnya beda-beda. Ada yang menaranya tinggi tapi tampangnya jadi nggak artistik, sebaliknya ada yang menaranya “nyeni” banget tapi tingginya nggak melebihi dada saya. Setelah menara-menara itu jadi, menara-menara itu dijejer di lantai depan kelas dan hendak difoto. Sewaktu fotografernya mau motret, dosen saya menginterupsi, mengambil kursi, lalu memindahkan menara yang sangat pendek ke atas kursi itu. Tapi dosen saya yang lainnya nggak setuju, katanya lebih baik menara pendek itu tetap ditaruh di lantai, supaya nampak di foto bahwa memang ukuran desain mahasiswanya itu macam-macam. Padahal dosen saya yang pertama sengaja menaruh menara itu di atas kursi, soalnya supaya kelihatan semua di bingkai kamera fotografernya (karena kebetulan waktu itu, fotografernya nggak bisa ngambil gambar dari jarak jauh supaya seluruh menara-menara kelihatan bentuknya. Kalau nggak ada kursi itu, maka menara yang pendek nggak akan ketangkap kamera).

Kenapa saya angkat kisah ini? Coz di sini saya mau cerita tentang sesuatu yang disebut perbedaan sudut pandang.

Jadi ceritanya, di sekolah saya yang baru, kami para mahasiswanya hampir tiap minggu disuruh bikin makalah. Setiap minggu, dosennya minta ada mahasiswa yang mempresentasikan makalahnya di depan kelas. Ya yang namanya mahasiswa kan macem-macem; ada yang dengan senang hati mau maju presentasi karena berharap dapet nilai tambahan, dan ada juga yang juga nggak mau maju lantaran merasa karyanya nggak bagus-bagus amat. Saya akan cerita tentang golongan yang kedua.

Dosen saya kadang-kadang suka seenak mood-nya sendiri kalau nyuruh mahasiswa presentasi. Dos-q akan mengedarkan pandangannya keliling kelas, lalu tiba-tiba menunjuk seorang mahasiswa dan berkata, “Yak! Anda, silakan presentasikan makalah Anda di kelas.”

Yang ditunjuk, kalau dia nggak siap, kadang-kadang dia akan bertanya-tanya, “Why me? Why me? Kenapa gw yang disuruh maju?”

Kolega saya adalah salah satu golongan yang kayak gitu. Dos-q selalu sibuk bertanya-tanya kenapa si A yang ditembak dosen buat disuruh maju. Mungkin si A ketangkep basah ngantuk di kelas. Mungkin si A nampak lebih sibuk ngobrol sama temen sebelahnya. Mungkin si A ketahuan suka bolos kuliah, jadi si dosen berniat menegur supaya nggak bolos. Pokoknya intinya, kolega saya mengira, yang maju itu sebetulnya sedang dihukum oleh si dosen.

Saya malah punya macem-macem diagnosa mengenai mahasiswa yang ditembak itu. Menurut saya, si A disuruh maju coz tampangnya nampak siap nunjukin bahwa dia belajar. Mungkin juga si A itu cantik atau ganteng, jadi si dosen kepingin cari hiburan dengan liat yang seger-seger presentasi di depan. Mungkin dosen itu pernah nggak sengaja liat si A di perpustakaan, jadi si dosen mau tahu apakah hasil tongkrongan si A di perpus itu berguna atau cuman duduk-duduk doang. Atau yang paling simpel, si A nampak paling gonjreng di antara mahasiswa-mahasiswa lain coz dia pake baju kuning. (Riset psikologi menunjukkan, warna kuning adalah warna yang paling menarik perhatian di antara sekian banyak warna. Saya terkejut karena ternyata warna yang paling menonjol itu bukan merah). Yang jelas, pokoknya orang tuh maju disuruh presentasi bukan karena mau dihukum.

Inilah yang dimaksud dengan perbedaan sudut pandang. Orang yang optimis, saat dia ditembak, dia akan melihat tembakan itu sebagai momen buat nunjukin potensinya. Tapi orang yang penuh dengan pikiran negatif, saat dia ditembak, dia akan melihat tembakan itu sebagai hukuman.

Terus, apa hubungannya sama cerita menara sedotan? Ya sama aja, nampaknya sudut pandang dosen saya yang pertama dengan yang kedua juga berbeda. Dosen saya yang pertama memandang bahwa setiap menara kudu keliatan difoto, jadi dos-q berusaha supaya menara yang pendek ikut terjepret kamera dengan cara naikin menara itu ke kursi. Tapi dosen saya yang kedua lebih memilih membiarkan menara pendek itu tetap apa adanya alias nampak lebih pendek daripada menara-menara lainnya, coz dos-q nggak memedulikan pentingnya menara pendek itu untuk ikutan difoto.

Sudut pandang kita pasti beda dengan sudut pandang orang lain. Sekarang problemnya, mau nggak kita sekali-kali keluar dari sudut pandang kita dan belajar untuk melihat dari sudut pandang orang lain? Orang yang pesimis, mungkin kadang-kadang perlu belajar sudut pandang orang optimis, supaya jidatnya nggak tambah keriput lantaran kerjaannya mengeluh melulu. Dan mungkin orang yang optimis, perlu belajar juga memandang dari sudut pandang orang pesimis. Supaya bisa bersyukur bahwa selama ini sudah dikaruniai pribadi yang optimis. Karena, otak yang dijejali pikiran negatif itu, sama sekali nggak enak..