"Aku sudah berusaha supaya peternakan di sana itu maju. Mereka aja yang sulit."
Baru-baru ini saya reunian sama seorang teman lama. Umurnya 32, kerja jadi supervisor di sebuah pabrik telekomunikasi di Jakarta. Tapi dos-q punya peternakan berisi 10 ekor sapi di Jogja.
Saya berhasil bikin dos-q cerita tentang bagaimana dos-q yang tadinya nggak pernah piara hewan malah jadi pemilik sapi. Dos-q ngoceh bahwa ini berawal dari dos-q menikah dengan seorang cewek Jogja. Si cewek ini berasal dari sebuah keluarga simpel di pinggiran Kotagede yang cuman punya usaha sederhana, bikin tempe.
Ketika Jogja dihantam gempa pada tahun 2006, usaha itu porak poranda tinggal puing-puing doang. Ketika semua bangunan di sana rusak, yang dimiliki keluarga itu hanya tinggal tanah yang luas dan nggak terpakai. Teman saya, sang mantu asal kota metropolitan, cuman punya sedikit uang, lalu mencoba bantu keluarga itu dengan beli tiga ekor sapi. Sisa kedelai dari usaha tempe dipakaikan buat pakan sapi itu.
Ternyata usahanya berkembang. Sapi-sapi yang semula kurus, berhasil jadi gendut dan dijual kembali dengan harga yang lebih mahal. Laba pun diputar kembali untuk beli sapi, dan sekarang peternakan itu punya sapi minimal 10 ekor.
Keluarga itu, yang semula ketiban apes karena jadi korban gempa, maka kini menjadi pengusaha terkemuka, setidaknya untuk ukuran desanya.
Yang dari semula cuman usaha sisa kedelai buat pakan sapi dan piara sapi, kini peternakan itu punya aset lain berupa kebon rumput gajah. Rumputnya ya buat pakan sapi itu. Jadi lumayan buat pakannya, peternakan itu nggak usah beli lagi. Kebonnya ya di lahan kosong milik keluarga itu juga, yang nggak terpakai semenjak gempa.
Kebon rumput gajah itu kedengarannya subur banget. Potensial buat surplus, kelebihan rumputnya mungkin bisa dijual ke peternakan lain. Soalnya semenjak keluarga itu sukses beternak sapi, tetangga-tetangganya jadi pada niru-niru ikutan piara sapi juga.
Tentu saja peternakan itu juga ngundang masalah baru. Yang simpel aja, kalau sapinya ada yang keseleo, keluarga itu harus panggil dokter hewan. Berarti ada biaya kesehatan untuk sapi.
Yang repot sekarang, karena sapinya makin banyak, berarti limbahnya juga makin banyak. Limbah itu mulai bikin masalah yang signifikan karena sejauh ini sistem pembuangannya masih belum jelas. Kalau dibiarin terus, lama-lama bisa merusak lingkungan. Yang rugi kan peternakan itu juga.
Teman saya ingin cari solusinya, tetapi dos-q bingung manage-nya. Karena dos-q cuman investor. Cuman. Dan eksekutor peternakannya itu ya keluarganya juga kan? (Iya deh, keluarga mertua. Apa bedanya?) Makanya untuk kordinasi pun sulit diatur juga.
Saban kali teman saya mencoba membicarakan ini, dos-q bingung mau mulai dari mana. Dos-q bahkan nggak tau, peternakan itu sudah menghasilkan laba berapa juta, padahal peternakan itu sudah berdiri bertahun-tahun. (Gempa itu kan sudah lama). Kalau ditanya, bulan ini untungnya berapa? Mertuanya selalu jawab, "Tuhan yang ngatur.."
"Di keluarga itu, istriku yang level pendidikannya paling tinggi, Vic," cerita teman saya. "Istriku D3. Keluarganya, orangtuanya, kakak-kakaknya, yah..nggak sampai segitu lah."
Teman saya sendiri S1.
***
Kita sering terheran-heran, kenapa orang kota lebih maju daripada orang desa. Sering kita menyalahkan pemerintah, kenapa pemerintah lebih rajin bikin pembangunan di kota daripada membangun desa.
Teman saya adalah contoh orang yang kepingin membangun desa (istri)-nya untuk jadi lebih makmur. Tapi dos-q terhambat manusia setempat yang nggak kepingin diatur dengan cara yang lebih profesional, atau setidaknya lebih intelek.
Kita yang mindset urban ini kadang bingung kenapa orang desa maunya alon-alon asal kelakon. Biar lambat yang penting selamat. Karena dalam mindset urban itu, tujuan yang lebih tinggi harus tercapai, karena itu mesti kerja lebih cepat.
Tapi kita sering lupa bahwa pada mindset orang desa, mereka sudah cukup puas dengan apa yang mereka dapatkan. Biarpun yang didapatkan itu ya cuman segitu-segitu aja.
Sebuah perenungan untuk menyikapi kesenjangan sosial antara kota dan desa.
http://georgetterox.blogspot.com
http://laurentina.wordpress.com
Baru-baru ini saya reunian sama seorang teman lama. Umurnya 32, kerja jadi supervisor di sebuah pabrik telekomunikasi di Jakarta. Tapi dos-q punya peternakan berisi 10 ekor sapi di Jogja.
Saya berhasil bikin dos-q cerita tentang bagaimana dos-q yang tadinya nggak pernah piara hewan malah jadi pemilik sapi. Dos-q ngoceh bahwa ini berawal dari dos-q menikah dengan seorang cewek Jogja. Si cewek ini berasal dari sebuah keluarga simpel di pinggiran Kotagede yang cuman punya usaha sederhana, bikin tempe.
Ketika Jogja dihantam gempa pada tahun 2006, usaha itu porak poranda tinggal puing-puing doang. Ketika semua bangunan di sana rusak, yang dimiliki keluarga itu hanya tinggal tanah yang luas dan nggak terpakai. Teman saya, sang mantu asal kota metropolitan, cuman punya sedikit uang, lalu mencoba bantu keluarga itu dengan beli tiga ekor sapi. Sisa kedelai dari usaha tempe dipakaikan buat pakan sapi itu.
Ternyata usahanya berkembang. Sapi-sapi yang semula kurus, berhasil jadi gendut dan dijual kembali dengan harga yang lebih mahal. Laba pun diputar kembali untuk beli sapi, dan sekarang peternakan itu punya sapi minimal 10 ekor.
Keluarga itu, yang semula ketiban apes karena jadi korban gempa, maka kini menjadi pengusaha terkemuka, setidaknya untuk ukuran desanya.
Yang dari semula cuman usaha sisa kedelai buat pakan sapi dan piara sapi, kini peternakan itu punya aset lain berupa kebon rumput gajah. Rumputnya ya buat pakan sapi itu. Jadi lumayan buat pakannya, peternakan itu nggak usah beli lagi. Kebonnya ya di lahan kosong milik keluarga itu juga, yang nggak terpakai semenjak gempa.
Kebon rumput gajah itu kedengarannya subur banget. Potensial buat surplus, kelebihan rumputnya mungkin bisa dijual ke peternakan lain. Soalnya semenjak keluarga itu sukses beternak sapi, tetangga-tetangganya jadi pada niru-niru ikutan piara sapi juga.
Tentu saja peternakan itu juga ngundang masalah baru. Yang simpel aja, kalau sapinya ada yang keseleo, keluarga itu harus panggil dokter hewan. Berarti ada biaya kesehatan untuk sapi.
Yang repot sekarang, karena sapinya makin banyak, berarti limbahnya juga makin banyak. Limbah itu mulai bikin masalah yang signifikan karena sejauh ini sistem pembuangannya masih belum jelas. Kalau dibiarin terus, lama-lama bisa merusak lingkungan. Yang rugi kan peternakan itu juga.
Teman saya ingin cari solusinya, tetapi dos-q bingung manage-nya. Karena dos-q cuman investor. Cuman. Dan eksekutor peternakannya itu ya keluarganya juga kan? (Iya deh, keluarga mertua. Apa bedanya?) Makanya untuk kordinasi pun sulit diatur juga.
Saban kali teman saya mencoba membicarakan ini, dos-q bingung mau mulai dari mana. Dos-q bahkan nggak tau, peternakan itu sudah menghasilkan laba berapa juta, padahal peternakan itu sudah berdiri bertahun-tahun. (Gempa itu kan sudah lama). Kalau ditanya, bulan ini untungnya berapa? Mertuanya selalu jawab, "Tuhan yang ngatur.."
"Di keluarga itu, istriku yang level pendidikannya paling tinggi, Vic," cerita teman saya. "Istriku D3. Keluarganya, orangtuanya, kakak-kakaknya, yah..nggak sampai segitu lah."
Teman saya sendiri S1.
***
Kita sering terheran-heran, kenapa orang kota lebih maju daripada orang desa. Sering kita menyalahkan pemerintah, kenapa pemerintah lebih rajin bikin pembangunan di kota daripada membangun desa.
Teman saya adalah contoh orang yang kepingin membangun desa (istri)-nya untuk jadi lebih makmur. Tapi dos-q terhambat manusia setempat yang nggak kepingin diatur dengan cara yang lebih profesional, atau setidaknya lebih intelek.
Kita yang mindset urban ini kadang bingung kenapa orang desa maunya alon-alon asal kelakon. Biar lambat yang penting selamat. Karena dalam mindset urban itu, tujuan yang lebih tinggi harus tercapai, karena itu mesti kerja lebih cepat.
Tapi kita sering lupa bahwa pada mindset orang desa, mereka sudah cukup puas dengan apa yang mereka dapatkan. Biarpun yang didapatkan itu ya cuman segitu-segitu aja.
Sebuah perenungan untuk menyikapi kesenjangan sosial antara kota dan desa.
http://georgetterox.blogspot.com
http://laurentina.wordpress.com